gde agung lontar, Atas Nama Keajaiban Fiksi Indonesia 2000, Pekanbaru: Bunga Bangsa, Juli 2000, uk. 145x210 mm2, 111(x) hlmn. |
novelet satu
Atas Nama Keajaiban
pasal 3
KETIGA PENGADIL
GEDUNG itu begitu besar, dan
kelihatannya seperti sebuah bangunan tua. Bangunannya mirip-mirip tatanan
arsitektur Eropa pada masa renaisance.
Jendelanya besar-besar dan melengkung pada ambang atasnya. Dindingnya tampak
tebal-tebal, dengan pilar-pilar yang besar dan tinggi pula. Di bagian tengah
bangunan yang merupakan lorong utama bersusun empat puluh pilar doric sentuhan pemahat Yunani, sehingga
deretan pilar tersebut menjadikan bangunan itu seolah-olah merupakan kombinasi
sebuah kuil parthenon yang diselipkan
di tengah-tengah palazzo-medici-riccard
yang telah dibelah dua ter-lebih dahulu. Halaman muka gedung ini amat luas,
sehingga sekuntum bunga matahari di pojok sana terlihat hanya bagai sebesar
noktah kecil yang kekuningan saja. Ya, petamanan di muka gedung ini memang
nampak teratur rapi dan indah. Barangkali tidak kalah dengan taman di halaman Buckingham Palace. Di tengah-tengah
taman itulah, agak ke depan, berdiri dua buah tonggak baja kokoh yang mendukung
selembar plat baja tebal yang bertuliskan PENGADILAN. Tulisan itu berwarna
merah darah, di atas dasar putih susu; sehingga agak mengerikan kelihatannya
karena meskipun berwarna pucat tetapi begitu menonjol karena tulisannya yang
berukuran raksasa itu hampir memenuhi seluruh bidang plat. Sementara itu di
pojok kiri halaman depan gedung itu tumbuh dengan perkasa sebatang pohon
beringin raksasa yang barangkali sudah berusia ratusan tahun. Seluruh batang
tubuhnya tampak telah terlilit akar gantungnya sendiri yang juga membesar
sedemikian rupa sehingga mengesankan pohon beringin itu telah dililit oleh
puluhan ular python atau barangkali anaconda. Dekat pojok pohon beringin
itulah terhampang gerbang masuk ke halaman gedung Pengadilan itu. Jalan
masuknya dilapisi kerikil-kerikil kecil, yang akan berderak-derak setiap kali
terpijak. Jalan itu kemudian membelok ke kiri di hadapan gedung itu dan
seketika melebar tujuh kali lipat. Melewati lorong utama yang dipenuhi pilar
tadi, lalu kita akan bertemu dengan ujungnya yang bercabang tiga lorong kecil:
satu ke kiri, satu lurus terus, dan yang terakhir ke kanan. Semua lorong tadi
berlangit-langit yang tinggi dan melengkung sehingga mengesankan suatu
kenyamanan yang agak mengerikan.
Mereka tiba di muka gedung
pengadilan itu tepat pada saat matahari memancarkan sinarnya yang sulung, yang
tampak berwarna kemerahan, bagai delima merekah. Indah sekali. Garis-garis
cahaya kemerahan bertebaran bagaikan pancaran pelangi yang lurus, melanglang di
jagad raya, lalu menyelusup di sela-sela empat puluh pilar doric dan kemudian meliuk-liuk bagai selendang sutra tarian Cina.
Setelah mereka mendaki tujuh anak tangga di muka lorong utama itu, dan kemudian
melewatinya, mereka terus menembus ke lorong yang lebih kecil yang ditenggeri
puluhan pilar yang berbentuk spiral yang separuhnya terbenam ke dalam dinding.
Lorong itu panjang sekali. Meskipun lorong itu disinari cahaya yang benderang
di salah satu ujungnya niscaya cahaya itu tidak akan kelihatan dari ujung
lainnya. Sehingga andai-kata lorong itu kita lewati pada malam hari, tanpa
teman dan secercah cahaya pun, tentulah ia seolah menjadi suatu lorong hantu
yang begitu mengerikan dan bagai tak berujung.
Lama juga mereka melintasi lorong
itu. Dan selama di dalam lorong yang panjang dan hening itulah lelaki itu baru
bisa menyusun kembali kesadarannya dengan baik dan jernih. Selama perjalanan menuju
gedung ini tadi ia belum mengerti benar mengapa ia harus serta dalam rombongan
ini. Ia hanya merasakan bahwa pasti ada sesuatu pada dirinya yang menyangkut
dengan kepergian rombongan ini ke gedung ini. Namun yang jelas, tampaknya
memang ada hubungannya dengan peristiwa kedua anak muda itu. Mereka semua tak
pernah men-jelaskannya. Mereka tadi hanya membangunkannya dan lalu secara tegas
memintanya ikut serta. Entah bagaimana, ia menurut saja. Tapi, apakah karena
itu saja? Ia toh merasa tak pernah
melibatkan diri dalam jaring peristiwa itu, dan ia merasa yakin sekali bahwa ia
tetap kelihatan seperti orang yang tengah tertidur pulas sampai mereka
“membangun-kannya” dan membawanya serta dalam rombongan ini. Apakah hanya
karena kebetulan ia “tertidur” di dekat terjadinya peristiwa itu maka ia lalu
dicap terlibat pula? Atau, mungkinkah lelaki muda itu tahu bahwa ia hanya
berpura-pura tidur? Ah, ia tak yakin itu. Tak yakin. Seingatnya ia tak pernah
membuat gerak-gerik yang mungkin dapat membuat orang menarik kesimpulan bahwa
ia tidak tidur adanya. Tapi yang jelas ia kini telah berada dalam gedung yang
menurut perasaannya tak ramah ini.
Melewati sekitar paruh terakhir
lorong ini lelaki itu tiba-tiba seakan mengalami semacam halusinasi aneh. Ia
merasa seolah-olah telah melihat beberapa rekaman penting dari kehidupan yang
pernah dijalaninya. Ada rekaman adegan: bagaimana ia dilahirkan ke dunia ini
(ngeri sekali lelaki itu manakala melihat bagaimana ekspresi wajah ibunya saat
dalam proses melahirkannya itu, namun kemudian ia juga merasa bangga ketika
mengetahui bahwa wajah ibunya ternyata amat cantik), bagaimana ia memukul
seorang anak kecil dalam sebuah perkelahian sesama bocah, adegan ia menggoda
seorang gadis remaja di masa pubernya, adegan ia menemukan segumpal duit di
dekat tong sampah di pinggir sebuah jalan, adegan ia bersetubuh dengan
istrinya, adegan bagaimana ia menampar istrinya, bagaimana istrinya minggat,
bagai-mana ia menangis terguguk-guguk, bagaimana ia meninju seorang bajingan,
bagaimana ia ditinju seorang bajingan, sampai ke adegan ia makan sebongkol
jagung rebus di suatu senja. Ketika seluruh rekaman peristiwa itu selesai
barulah lelaki itu menyadari bahwa mereka ternyata telah sampai di depan sebuah
pintu yang begitu besar dan tampak mengerikan.
Agak lama mereka berdiri menunggu
pintu itu terbuka, sehingga sempat menimbulkan kebosanan yang berkepanjangan.
Manakala kemudian pintu itu terbuka maka terpampanglah sebuah ruangan semacam
sebuah aula yang sangat luas. Mereka lantas memasuki ruangan besar itu setelah
dipersilahkan oleh suatu suara yang menggema yang entah berasal dari mana. Dan
betapa terkejutnya mereka ketika menyadari betapa tiba-tiba saja seakan tubuh
mereka semua serasa menjadi kecil saat berada dalam ruangan yang amat luas ini
(lelaki itu tiba-tiba teringat pada serial Landof the Giants yang pernah ditonton-nya semasa kecil dahulu, saat masih
dalam format hitam putih). Langit-langit ruangan ini luar biasa sekali
tingginya, barangkali sekitar tujuh kali lebih tinggi dari langit-langit
lorong, seolah-olah takkan pernah tergapai oleh siapa pun. Bidang-bidang
marmer, atau ubin lantainya pun luar biasa sekali besarnya, barangkali
masing-masing ada empat kali empat meter bujursangkar. Layaknya para raksasa
saja yang meng-huninya. Namun juga betapa anehnya perasaan lelaki itu kemudian
manakala menyadari bahwa ternyata semakin jauh bidang-bidang marmer itu tidak
terlihat kian mengecil sebagaimana seharusnya, tetapi seperti tetap saja
besarnya, sehingga membuatnya menjadi giris.
Seakan-akan hukum perspektif tak berlaku di sini.
Akhirnya mereka berhenti di
tengah-tengah ruangan itu setelah terdengar suatu bentakan keras yang
memerintahkan mereka berdiri berjajar arah melebar. Di tengah-tengah, lelaki
itu dan wanita muda itu yang didampingi oleh lima pemuda kekar dan rombongan satelitte. Sedang di kanan lelaki itu
adalah lelaki muda yang didampingi oleh satu polisi plus tiga hansip. Agak lama
juga mereka berdiri demikian sampai ketiga pengadil yang dijanjikan muncul dari
pintu di belakang mimbar itu. Ketiga pengadil itu bertubuh tinggi besar dan
tegap, kira-kira berpostur seperti Lou Ferrigno dalam Hercules. Mereka mengenakan toga belang-belang hitam dan kuning,
mirip loreng harimau. Dari jarak beberapa puluh meter itu tak begitu jelas
kelihatan ekspresi wajah ketiga pengadil itu bagi mereka. Namun lelaki itu
merasa yakin bahwa ketiga pengadil itu bukanlah dari tipe peramah.
Setelah ketiga pengadil itu duduk
dengan gagahnya di balik meja mimbar yang panjang, hitam dan kokoh, yang
beralaskan kain tebal berwarna merah darah itu; barulah mereka dipersilahkan
untuk duduk pula. Dan, entah dari mana datangnya kursi di belakang mereka,
padahal semula tak satu pun terlihat adanya kursi di ruangan ini. Tampaknya
segalanya terjadi seperti secara ajaib.
NAH, agaknya sidang segera dimulai.
Terdengar tiga kali ketukan martil
kayu yang besar dari tangan pengadil yang di tengah. Beliau berdehem sejenak,
lalu mulai angkat bicara dengan suara bariton kelas berat.
“Sekarang sidang ini telah kami buka
dengan resmi. Sesuai dengan laporan petugas kami yang berwenang, kami telah
mencoba untuk mengerti persoalan yang kalian bawa, dan kami telah memutuskan
untuk menerima permohonan sidang kalian. Tetapi,” sambil menatap tajam pada
wanita muda itu, “kenapa perempuan itu tetap telanjang?” Seiring dengan
bentakan itu terdengar ketukan martil yang amat keras sehingga bergema
berkali-kali di dalam ruangan itu.
“Saya …, saya …,” wanita muda itu
berusaha untuk menjawab, namun perasaan takut telah mengelukan lidahnya.
“Mmm, perempuan! Tidak tahukah bahwa
kau telah melanggar tatanan nilai moral yang ada? Seharusnya kau dihukum untuk
perbuatanmu itu, dan bahkan bisa diperberat lagi dengan ancaman ketelanjanganmu
itu berarti telah menghina Pengadilan, contemp
of court. Dan ….”
“Saya ….”
“Diam! Jangan potong perkataanku!
Dua kali sudah kau membuat kesalahan yang tak perlu. Tetapi baiklah, sekarang
hal itu tidak menjadi masalah dulu, tetapi, nanti ….” Pengadil yang di tengah
itu lalu berbisik ke pengadil yang di kirinya. Mereka tertawa-tawa. Pengadil
yang di kanan juga tertawa-tawa, meskipun tak dibisiki.
“Sekarang, kau lelaki yang berluka
di kaki kirinya, berdiri dan berbicaralah.”
Lelaki
itu lalu berdiri dengan susah payah. Duduk yang lama telah membuatnya lupa pada
bagaimana caranya untuk berdiri (tiba-tiba saja ia teringat pada canda seorang
jenaka penjual bakso[1]).
“Saya
tidak ingin bicara. Saya hanya ingin pulang, karena saya tidak ada
sangkut-pautnya dengan persoalan ini.”
Ketiga
pengadil itu hening sejenak mendengar pernyataan itu, saling berpandangan, lalu
kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Ho ho ho, alangkah bodohnya,
alangkah bodohnya. Tahu tidak? Kau baru saja melakukan dua kesalahan yang
memalukan. Pertama, kau berkata bahwa kau tidak ingin bicara, padahal pada saat
yang sama kau telah berbicara. Kedua, kau mengatakan bahwa kau tak ada
sangkut-pautnya dengan persoalan yang akan dibentangkan di sidang ini, padahal
kau sudah ada di sini. Jadi, kesimpulannya, kau tidak boleh pulang. Jadi,
duduk!”
“Tapi, saya kira Tuan telah
keterlaluan. Tuan tidak berhak untuk memerintah saya.”
“Baiklah, kalau begitu kau tetap
saja berdiri.”
“Tuan keterlaluan. Saya tidak minta
berdiri ataupun duduk. Saya hanya ingin pulang. Titik.”
“Titik?” Ketiga pengadil itu tertawa
terbahak-bahak lagi. Setelah reda gelaknya, lalu pengadil yang di tengah
melanjutkan, “Begini, lelaki yang berluka di kaki kirinya, kau tidak bisa
pulang tersebab sebenarnya kau juga akan diadili. Sekarang, sebaiknya kau
mencangkung sajalah!”
Dan tiba-tiba saja lelaki itu sudah
mencangkung. Ia heran, entah kekuatan dari mana yang telah mampu memaksanya
untuk mencangkung seperti itu sehingga ia tak berdaya untuk melawannya. Bersamaan
dengan keheranannya itu terdengar gema tawa ketiga pengadil itu. Mengerikan
sekali. Melengking-lengking, melenting-lenting, memecah-mecah, yang serpihannya
kemudian saling berpentalan kian-kemari.
“Sekarang, bagaimana pendapatmu?”
ujar pengadil yang di tengah kemudian setelah reda tawanya. “Kau tidak mau
berdiri, dan juga tidak mau duduk. Karena itu, ya mencangkung saja. Adil ‘kan?”
“Saya tidak mengerti!” gerutu lelaki
itu.
“Ho ho ho, nanti kau akan mengerti
juga, anak manis. Sekarang, coba kauingat-ingat, apa yang telah kaualami selama
berada dalam lorong waktu tadi?” Diam sebentar. “Kalau sudah ingat, nah, itulah
yang akan kami permasalahkan dan akan coba kami selesaikan de-ngan
seadil-adilnya. Sesuai dengan nama jabatan yang kami emban.” Pengadil yang di
tengah itu kemudian bersuit, lalu entah dari mana tiba-tiba saja telah muncul
13 anak manusia berdiri berjejer di muka mimbar itu dan menghadap ke arah
lelaki itu. Mulai dari kiri satu per satu maju selangkah dan berkata:
“Kau kenal, sayangku? Aku adalah
ibumu yang meninggal satu menit setelah kau kulahirkan. Sebenarnya kelahiranmu
itu tidak begitu menyenangkan bagiku, karena bapakmu tak bertanggungjawab,
menghilang entah ke mana. Tapi sudahlah, kau tentu ketika itu tak mengerti
apa-apa, dan lagi itu bukanlah salahmu. Aku hadir di sini jelas tidak bermaksud
untuk menuntutmu, hanya sekadar memenuhi undang-an ketiga pengadil itu.”
“Kau kenal aku, jahanam? Aku adalah
anak kecil yang kaupukul itu. Sekarang aku sudah mayor jendral, dan aku tak
sudi untuk mengurus hal-hal yang kecil seperti ini. Puih!”
“Kau mengenaliku, don juan? Aku
adalah gadis manis yang pernah kaugoda dulu. Sayang sekali kau tidak berusaha
lebih keras waktu itu, dan bahkan kemudian menghilang entah ke mana. Coba kalau
kau lebih ulet, emh ….”
“Kau kenal aku? Ah, tentu tidak,
sebab kita memang tidak pernah berjumpa, apalagi saling berkenalan. Tapi, tentu
kau masih ingat dengan segumpal duit yang kautemukan itu, bukan? Nah, gumpalan
duit senilai 1.000.000 itu adalah kepunyaanku. Dan itu adalah senilai gajiku
saat itu. Kau tahu, setelah aku kehilangan duit itu waktu itu, aku
hampir-hampir saja menjadi seperti orang gila. Bagaimana tidak, banyak hal yang
sudah kurencanakan dengan duit itu: bayar sewa rumah, bayar listrik, air,
kebutuhan makan satu bulan, susu untuk anakku yang masih bayi, berobat istriku,
dan masih banyak lagi. Tapi, sudahlah. Kau memang sedang beruntung agaknya, dan
saat ini pun kau masih saja beruntung karena kekayaanku sekarang sudah pangkat
empat dari itu, yang dengan demikian duit sebegitu tak berarti lagi bagiku.”
“Kau ingat, sumiku? Aku adalah
istrimu yang sempat satu ranjang denganmu selama hampir dua tahun. Tentu kau
masih ingat dengan persetubuhan kita malam itu, bukan? Waktu itu aku sebenarnya
enggan sekali, tapi karena kaupaksa juga, ya dengan berat hati akhirnya kau
kulayani. Sebenarnya aku marah sekali padamu waktu itu. Aku ‘kan lagi capek?
Tahulah, mengurus rumahtangga kita, kaukira itu gampang? Masak, mencuci,
mengurus anak kita yang begitu lasak namun kemudian wafat, menyapu, macam-macam
lagi. Lagi pula pada waktu itu kondisiku tidak begitu sehat. Tapi, akhirnya
kemudian baru aku sadar bahwa kau memanglah amat membutuhkannya pada waktu itu,
dan aku menyesal telah bersikap separuh egois.”
“Kau masih ingat aku, sayang? Aku
adalah istrimu yang sempat satu ranjang denganmu selama hampir empat tahun.
Tentulah kau masih ingat inehyd mdnkaluy duocnyw mengcs ….”
KETIKA ketiga belas anak manusia itu
masing-masing selesai berbicara, maka bunyi suitan panjang mengiringi gaibnya
mereka kembali.
“Nah, bagaimana lelaki yang berluka
di kaki kirinya? Sudah jelaskah bagimu duduk persoalannya sekarang?”
“Saya tahu, tetapi saya tetap tidak
mengerti.” Ujar lelaki itu masih tetap dalam posisi mencangkung. Dan ia begitu
jengkelnya diperlakukan demikian – mana kakinya sudah mulai terasa kesemutan.
Keterlaluan sekali.
“Baiklah. Kau tampaknya baru akan
mengerti setelah dipenjara selama 13 tahun!”
“Apa?” lelaki itu tersentak. “Tiga
belas tahun? Saya tidak terima! Lagi pula bukankah tidak satu pun dari mereka
yang menuntut?”
“Itu tidak diperlukan karena tidak
selalu korban sendiri yang harus melakukan penuntutan. Saat ini kamilah yang
mewakili mereka semua. Mengerti? Nah, sekarang kau bersedia menerimanya, atau
sekadar ingin dicambuk sebanyak 13 x 365 kali saja? Kau bebas untuk memilih.”
“Tuan keterlaluan!”
“Kami.”
“Kami. Eh, Tuan-tuan keterlaluan!”
“Terserah. Oke, perkaramu kita sudahkan sampai di sini saja. Mm, sekarang
perkara kedua, di mana ….”
“Saya ingin naik banding!” lelaki
itu tiba-tiba menyalak.
“Apa?” Ketiga pengadil itu saling
toleh sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak. Reda tawanya 113 detik kemudian,
pengadil yang di tengah kembali berbicara, “Naik banding? Naik banding ke mana?
Ke atas pesawat terbang? (Kembali tertawa) Tidak tahukah kau kalau inilah
satu-satunya pengadilan di negeri ini? Jadi, jangan meluculah!”
“Tapi ….”
“Perkara kedua,” pengadil itu main
potong saja, “di mana kau bertindak sebagai saksi. Nah, ceritakanlah apa yang
kau ketahui.”
Lelaki
itu terdiam, masih terombang-ambing antara permasalahannya sendiri dengan
perkara yang baru ini.
“Bagaimana?” pengadil yang di tengah
mendesak.
“Saya ….”
“Ya?”
“Maaf, saya tidak tahu apa-apa.
Ketika peristiwa itu sedang terjadi saya sedang tertidur, bagaimana mungkin
saya bisa jadi saksi? Kalian memang keterlaluan. Sekarang, saya ingin pulang
saja, dan saya jelas tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan peristiwa
ini. Titik.”
“Titik? Ho ho ho.” Ketiga pengadil
itu tertawa kembali. “Kau merasa tidak ada sangkut-pautnya? Kau telah berdusta,
sobat. Jelas kau telah berdusta. Apa yang kaubilang tadi? Kau sedang tidur
ketika peristiwa itu terjadi? Mm, bagaimana mungkin kau tahu bahwa ketika peristiwa
itu sedang terjadi kau sedang tertidur? Kalau kau memang sebenar-benar sedang
tertidur seharusnya kau tidak tahu apakah ada sebuah peristiwa atau tidak yang
terjadi pada saat kau tertidur itu. Nah, nah, sekarang tersimpulkan bahwa kau
sedang berdusta. Artinya, ketika peristiwa itu berlangsung kau ternyata hanya
berpura-pura tidur. Benar, ‘kan?”
Lelaki
itu terkejut.
“Saya …, saya ….”
“Ho ho ho, kau telah mengakuinya,
sobat.”
Dan ketiga pengadil itu tertawa
lagi. Tawa kemenangan. Sedang lelaki itu, betapa ia mengutuki dirinya habis-habisan,
kenapa ia sampai bisa begitu gugup dan mudah ditebak dalam situasi yang krusial
demikian. Haram jadah betul ketiga pengadil itu, bagaimana mungkin mereka bisa
mengambil kesimpulan yang begitu tepat dari kata-kata yang tidak tepat? Lihai
sekali.
“Nah, sekarang kau tidak usah
mungkir lagi. Nenek bilang, itu berbahaya! Ho ho ho. Ayolah, anak manis,
katakan apa yang telah kaulihat.”
“Saya ….”
“Ayolah, jangan malu-malu.”
“Saya tidak melihat apa-apa! Saya
memang pura-pura tidur, tetapi mata saya terpejam.”
“Oo, tapi kau masih dapat mendengar,
bukan?”
“Saya ….”
“Ayolah. Jangan kaukatakan bahwa
telingamu telah kausumbat dengan timah.”
Tiba-tiba
lelaki itu merasa pundak kanannya dicolek orang dan lalu terdengar bisikan,
“Katakan saja perempuan itu yang telah memperkosaku. Kau mau 10.000 ‘kan?”
“Saya ….”
Tiba-tiba
kini pundak kirinya pula yang terasa dicolek orang, yang kemudian terdengar
pula bisikan, “Katakan saja lelaki sialan itu yang telah memperkosaku. Kau
adalah lelaki terhormat yang sudi mengasihani seorang perempuan yang lemah,
bukan?”
“Saya ….”
Tiba-tiba
pundak kanannya dicolek lagi.
“100.000.”
“Saya ….”
Tiba-tiba
pundak kirinya pula yang dicolek lagi.”
“Kau tahu apa harta kebanggaan
seorang perempuan?”
“Saya ….”
Tiba-tiba
kembali pundak kanannya yang dicolek.
“1.000.000.”
“Saya …, saya …. Saya mau berak! Ya,
saya mau berak! Mana WC? Mana WC? Saya mau berak. Berak! Tolong, WC! WC!”
“Di sini tak ada tempat berak!”
Pengadil yang di tengah berujar dengan gusar.
“Tuan keterlaluan! Saya sungguh! Tak
ada hal yang ingin saya lakukan saat ini selain berak. Tolonglah. Mana WC?”
“Kurang ajar betul. Pergilah!”
pasal 4
WC
WC itu kumuh sekali keadaannya, dan
tampaknya seperti tak pernah diurus. Pada sekitar lubang klosetnya banyak
tercecer kotoran manusia yang pernah mencangkung membuang hajatnya di situ.
Tampak jelas itu dari berbagai jenis manusia. Ada yang berwarna kuning
kemerahan, ada yang kebiruan, ada yang kehijauan, bahkan banyak pula yang
kehitaman. Dan, soal baunya? Jangan tanya lagi. Barangkali inilah tempat yang
paling busuk di dunia. Akibat aroma yang sedemikian luar biasa, terpaksa lelaki
itu menggulung celana yang telah ditanggalkannya tadi dan kemudian
menyempalkannya ke muka hidungnya. Biarlah sesak sedikit bernapas, daripada
harus mencium bau yang demikian ajubilah busuknya; pikirnya. Lelaki itu heran
sekali, bagaimana mungkin di tempat yang seharusnya segalanya bersih ini masih
saja ada bagian-bagian yang demikian kotor, meskipun sepintas tersembunyi.
Mestinya ia dapat merasa kagum pada bangunan ini mengingat tampak luarnya yang
begitu mentereng dan berwibawa. Tetapi sekarang, begitu ia mengalami sendiri
berada di dalamnya, terlebih-lebih di WC ini, seketika hilang-sirnalah
kekagumannya tadi.
Sebenarnya tadi jelas tak ada
maksudnya untuk benar-benar berak seperti ini. Apa yang terpikirkan olehnya
tadi saat berteriak itu hanyalah sekadar untuk menghindar dari tekanan suasana
sidang tadi. Namun, sekarang yang terpikirkan olehnya hanyalah segera
menyele-saikan urusan di sini, dan keluar.
SELESAI sudah. Namun, begitu lelaki
itu selesai mengancingi celananya kembali, tiba-tiba saja terdengar suara
bisikan halus. Dan ia tak merasa asing lagi dengan bisikan demikian.
“Kaukah itu, lalat manis? Di mana
gerangan kau?”
“Atas Nama Keajaiban, saya di sini,
di sudut yang bersarang labah-labah ini.”
Benar
saja, di pojok itu lelaki itu melihat seekor lalat berwarna hijau kemerahan
bertengger di celah dinding yang merekah.
“Kenapa kau ada di sini, lalat
manis?”
“Atas Nama Keajaiban, saya bermaksud
ingin menolong Anda, hai lelaki yang berluka di kaki kirinya. Bukankah Anda
sedang berada dalam keadaan kesulitan?”
“Itu memang benar. Tetapi, bagaimana
mungkin kau bisa menolongku?”
“Atas Nama Keajaiban, itu bisa kita
pikirkan nanti. Terlebih dahulu saya ingin mendengar pendapat Anda tentang
peristiwa itu, yang manakah yang Anda anggap berada di pihak yang benar? Lelaki
muda itukah, atau perempuan telanjang itukah?”
“Itulah persoalannya. Kukira aku
tidak bisa memutuskan manakah yang benar di antara mereka berdua. Dan kalaupun
bisa kuberi-kan saksi bahwa salah satu di antara mereka adalah benar, aku yakin
tempat ini tidak akan dapat memberikan keputusan yang benar.”
“Atas Nama Keajaiban, kenapa Anda
berpendapat demikian?”
Lelaki
itu menggeleng perlahan.
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa.”
“Atas Nama Keajaiban, perasaan tidak
selalu benar.”
“Lagi pula, apakah kebenaran itu? Seperti
apakah itu? Dan, adakah kebenaran
itu?”
“Atas Nama Keajaiban, Anda tetap
belum menjawab pertanyaan saya.”
“Itulah, lalat manis. Soalnya
sekarang bukanlah menjawab pertanyaanmu itu dengan segera. Pertanyaanmu itu
akan mudah terjawab apabila persoalan tentang kebenaran tadi dapat kita selesaikan dengan benar.”
“Atas Nama Keajaiban, matahari
terbit dari sebelah timur bumi, itulah salah satu model kebenaran. Dan dengan
demikian ia memang ada.”
“Baiklah, matahari terbit di sebelah
timur bumi. Tetapi, benarkah yang kaulihat itu adalah matahari adanya? Sebelah
manakah timur bumi itu? Siapakah yang menentukannya? Apa alasannya? Kenapa
harus bumi? Kenapa bukan bumi yang terbit di sebelah barat matahari?”
“Atas Nama Keajaiban, Anda telah
mempermasalahkan terlalu mendalam tentang kebenaran itu, padahal itu bukan tujuan
kita saat ini. Saya kira kita tak punya cukup waktu untuk membahasnya saat
ini.”
“Baiklah. Kalau begitu aku hanya
ingin tahu saja: apakah kebenaran itu.”[1]
Lalat
hijau kemerahan itu terdiam sebentar.
“Atas Nama Keajaiban, kebenaran
adalah tidak ketidakbenaran.
“Baiklah. Tetapi, apakah
ketidakbenaran itu?”
“Atas Nama Keajaiban, ketidakbenaran
adalah hal-hal yang menyimpang dari hukum-yang-benar.”
“Kalau begitu, kebenaran adalah yang
tidak menyimpang dari hukum-yang-benar, bukan? Lalu, apa pula hukum-yang-benar
itu?”
“Atas Nama Keajaiban,
hukum-yang-benar adalah ….”
TIBA-TIBA terdengar bunyi pintu WC
itu diketuk orang dengan keras, diiringi suara, “Hei! Ngapain lama-lama di dalam? Ngumpet,
ya? Ayo, segera keluar!”
“Yya, iya.” Lelaki itu cepat menjawab
dengan gugup. “Sebentar, Tuan, saya cebok dulu.”
“Buruan!”
“Yya, Tuan.”
Terdengar
gerutuan ‘setan’, lalu suara taktuk sepatu yang bergerak menjauh.
“ATAS Nama Keajaiban, ‘kan sudah
saya katakan tadi, waktu kita amat terbatas. Sekarang, berikan sajalah pendapat
Anda tentang siapakah di antara mereka yang benar?”
“Baiklah, baiklah lalat manis. Tapi,
menurutku sebenarnya di antara mereka berdua tidak ada yang benar karena
tuduhan mereka masing-masing adalah sama-sama tidak benar.”
“Atas Nama Keajaiban, kalau begitu
tentu hal ini menjadi lebih mudah. Katakan saja hal yang sebenarnya terjadi,
bahwa materi tuduhan mereka masing-masing tidak benar adanya sehingga tuntutan
mereka masing-masing menjadi cacat, yang dengan demikian semua-nya akan terbebas
dari kerumitan ini.”
“Memang benar pendapatmu itu, lalat
manis. Tetapi itu juga berarti menjebak diriku sendiri.” Terdiam sebentar. Lalu
terdengar lirih suaranya, “Bagaimana pun, rasanya aku menaruh iba pada wanita
muda itu.”
“Atas Nama Keajaiban, saya mengerti
perasaan Anda. Lalu, bagaimana?”
“Kau jangan salah sangka.”
“Atas Nama Keajaiban, tentu tidak.”
“Aku memutuskan untuk membenarkan
wanita muda itu saja, meskipun tidak dalam pengertian seluruhnya.”
“Atas Nama Keajaiban, saya cukup
mengerti maksud Anda. Ngng, selanjutnya begini: nanti Anda katakan pada ketiga
pengadil itu – entah bagaimana caranya – bahwa siapa nantinya yang paling
banyak dirubungi oleh lalat maka dialah sesungguhnya yang bersalah. Nanti saya
perintahkan rahayat saya untuk merubungi lelaki muda itu. Namun, karena wanita
muda itu pun tidak seluruhnya benar, maka sembilan rahayatku akan bertengger
pada putingnya. Begitulah gagasan saya. Setujukah?”
Lelaki itu merenung sebentar, sambil
kepalanya mengangguk-angguk perlahan, sampai akhirnya mengangguk benar-benar.
“Baiklah, aku setuju.”
Lalu lelaki itu pun keluar dari WC
itu untuk kembali ke ruang sidang. Belok kiri, sambil masih tetap setengah
tertunduk, lalu belok kanan, bertemu tangga kecil – turun, lalu belok ke kiri,
lalu belok ke kiri lagi; dan tiba-tiba saja lelaki itu sudah mendapatkan
dirinya berada di mulut sebuah lorong yang kecil dan panjang, yang belum pernah
dilaluinya.
[1] Perihal kebenaran
adalah salah satu topik utama dalam ilmu filsafat. Sejarah ilmu filsafat
sendiri, yang dikenal sampai saat ini, dimulai dari Yunani Kuno, dengan Thales
(640 – 550 SM) sebagai pengembangnya yang pertama. Protagoras (480 – 411 SM)
memperkenalkan relativisme dalam hal mencari kebenaran, seperti yang tertuang
dalam bukunya Aletheia (Kebenaran).
Namun Socrates (470 – 399 SM) menolaknya dengan mengatakan “yang baik” itu
mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia. (Sejarah Filsafat Yunani, Kees Bertens, 1979). Demikianlah berlanjut
sampai saat ini dalam bungkus dan pernik-pernik yang berbeda.
[1] Penulis
teringat pada S. Bagio dalam sebuah iklan lama tetang sebuah produk furniture;
sebuah sentilan yang sangat cerdas. Salam hormat untuk almarhum.
gde agung lontar, Nubuat, Pekanbaru: Gurindam Press, 2008, ISBN 978-979-1186-19-3, uk. 115x185 mm2, 376(vi) hlmn. |
gde agung lontar, Benang Merah Keajaiban, Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2009, ISBN 978-979-18945-5-5, uk. 105x175 mm2, 288 hlmn. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar