JENAKA


 
Daftar Isi


 Para Pemimpin Kita                   011
Kita dan Dunia Luar                   056
Nasionalisme                              065
Belantara Hukum Kita                069
Gurindam-gurindaman               079
Kisah Fakih Garin                      081
Katong Samua Basudara           103
Alkisah Kita Bijak                      131
Perihbahasa Kita                         150
Dan Lain-lain                        165


 
Tujuh Kata Besar

Sebuah lembaga survey melakukan penelitian terhadap 1.234 hasil wawancara berbagai media (mulai dari suratkabar, majalah, radio, televisi, sampai internet) dengan berbagai politikus tentang kata-kata apa saja yang paling banyak digunakan oleh mereka. Tujuh besar hasil survey tersebut berturut-turut adalah:
“Rakyat”, “Kita”, “Berjanji”, “Pasti”, “Akan”, “Mensejahterakan”, dan “Saya”.


Sajak Gedung Baru Dewan Kita

Lihatlah gedung baru kami.
Tinggi menjulang menjauhi bumi.
Mengangkang gagah macam gajah.
Harganya mahal semahal Taj Mahal.

Ada ruang kerja di sana ada ruang rapat di sana ada ruang anjangsana di sana ada.
Spa di sana ada kolam di sana ada taman di sana ada diskotik tempat kami melentik.
Semua semata demi kenyamanan kerja bersama sahaja.

Jadi, wahai rakyat yang kami wakili.
Suatu hari nanti berkunjunglah kemari.
Sekadar melihat-lihat tentulah diberi.
Sembari kita membuat janji lagi.


13 Kepintaran Anggota Dewan

1.          pintar berbicara,
2.          pintar merayu,
3.          pintar berjanji,
4.          pintar berbohong,
5.          pintar berkelit,
6.          pintar berdebat,
7.          pintar menyalahkan,
8.          pintar berselibat,
9.          pintar bersekongkol,
10.      pintar memanipulasi,
11.      pintar meloncat,
12.      pintar melihat kepentingan, dan
13.   pintar terlihat pintar.


 
Politik & Seks 1

            “Politik itu seperti seks.”
            “Kenapa?”
            “Kalau Anda berhasil lebih cepat, lawan Anda pasti kecewa.”


Politik & Seks 2

            “Politik itu seperti seks.”
            “Kenapa lagi?”
            “Ketegangan membutuhkan adrenalin.”

 
 
Kisah Fakih Garin
 
Beda Bahasa

            Fakih Garin adalah seorang tua gelandangan sepertiga gila (rada miring) yang terkenal di sebuah kota yang terletak di wilayah tengah Pulau Sumatera. Suatu hari di Bulan Puasa, ia beserta beberapa gelandangan dan anak-anak jalanan diundang berbuka puasa bersama di rumah Walikota. Sebagaimana biasa, tentu saja acara itu pun ramai pula dihadiri oleh pejabat-pejabat dan pengusaha-pengusaha penting di kota itu. Maka di deretan depan di atas kursi-kursi yang indah-indah dan empuk, mereka pun saling berbincang-bincang sembari tertawa-tawa di antara sesama mereka sementara menunggu beduk berbuka. Di kerumunan lainnya beralaskan permadani dan tikar, Fakih Garin memandangi orang-orang itu dengan wajah terheran-heran. Lalu, beberapa saat kemudian Walikota pun berdiri lalu kemudian mengucapkan pidato tentang apa-apa yang ingin disampaikannya. Tentang pembangunan yang berhasil mempercantik kota, tentang Adipura, tentang cita-cita ingin menjadikannya sebuah kota metropolitan dengan jalur jalan layang yang saling berkelindan, tentang berkurangnya jumlah angka kemiskinan, sampai kepada tentang persoalan surga dan neraka. Tampaknya ia merasa sangat berbahagia telah berhasil melaksanakan acara itu. Ditambah lagi dengan kilatan cahaya kamera foto dan handycam. Tetapi di tengah-tengah itu tiba-tiba terdengar suara kentut yang begitu nyaring, sehingga sempat membuat Walikota terpana beberapa saat. Teman-teman yang berada di samping tahu bahwa Fakih Garin-lah yang telah mengeluarkan angin dengan suara yang begitu nyaring itu. Mereka pun berbisik:
            “Fakih, kenapa engkau mengeluarkan angin dengan suara begitu nyaring itu? Bikin malu saja!”
            “Diamlah! Kita tak mengerti apa yang orang-orang itu katakan. Mereka juga pasti tak mengerti bahasa kentut aku!”


Pindah Rumah

            Suatu kali Fakih Garin menyaksikan sebuah demonstrasi anti KKN yang diselenggarakan oleh puluhan mahasiswa dan disaksikan tak kurang dari seratusan masyarakat. Dari atas atap sebuah mobil, seorang mahasiswa memaparkan orasinya dengan sebuah pelantang.
            “Jadi Saudara-saudaraku sekalian, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah rangkaian perbuatan yang sangat keji yang telah mereka, pejabat-pejabat, itu lakukan. Kenapa begitu? Ya, karena mereka telah merampok uang rakyat, uang kita! Sehingga kita menjadi miskin! Menjadi gelandangan! Anak-anak kita pun terlantar! Tak dapat bersekolah dengan baik! Tak dapat makan dengan baik!  Dengan KKN, mereka telah merampok harta benda kita, harta pusaka kita, harta karun kita! Maka, mari, demi masa depan bangsa dan anak-cucu kita, kita tolak KKN! Kita berantas KKN. Kita adili para koruptor! Hidup Rakyat! Hidup Rakyat! Hidup Rakyat!”
            Menyaksikan orasi dan semangat yang menggebu-gebu dari anak-anak muda itu, Fakih Garin mengangguk-angguk seolah paham, lalu kemudian tersenyum-senyum sendiri. Beberapa orang di samping yang mengenalnya, juga kemudian tersenyum-senyum pula penuh arti. Namun, keesokan harinya masyarakat gempar ketika mendengar berita bahwa rumah Walikota telah diduduki oleh ratusan gelandangan dan anak-anak jalanan, yang dikomandani oleh Fakih Garin. Ketika ditanya, orang tua miring itu hanya menjawab:
            “Bukankah seluruh harta benda kami sudah dibawa ke sini? Jadi, di sinilah rumah kami sekarang.”


Ayam yang Terkejut

            Suatu hari Fakih Garin dipanggil ke rumah kemenakannya itu.
            “Pak Cik,” sapa sang kemenakan dengan ramah, “Pak Cik suka makan ayam bakar, kan?”
            “Tentu saja aku suka sekali.” jawab orang tua itu dengan air liur yang terasa mulai menggenang.
            “Nah, kalau begitu kita sama, Pak Cik. Sekarang di rumah ini tidak ada orang, istriku sedang pulang ke kampungnya. Mau Pak Cik pergi membelikan ayam bakar untuk kita makan berdua?”
            “Bolehlah.”
            “Nah, ini uangnya. Beli yang seekor utuh ya, Pak Cik.”
            Fakih Garin pun pergi ke tempat penjual ayam bakar. Tak lama kemudian, ayam bakar itu pun selesailah. Namun di tengah perjalanan pulang, Fakih Garin tak sanggup menahan seleranya, maklumlah sudah dua hari tak makan dengan layak. Akhirnya ia berkata dalam hatinya, ah aku makan pahanya saja, pasti tak apa-apa. Maka, paha ayam bakar itu pun hilanglah satu. Sedang menikmati paha ayam bakar itu, Fakih Garin berjalan melintasi keramaian demonstrasi mahasiswa. Terang di sana ada beberapa temannya sesama gelandangan yang sedang asyik menyaksikan keramaian itu. Mereka pun kemudian melihat Fakih Garin tengah melintas sembari asyik melahap makanan yang lezat. Tak ayal, mereka semua segera merubungi orang tua itu dan meminta makanannya. Fakih Garin pun dengan senang hati memberikannya. Tapi, setelah semua habis, orang tua itu baru sadar bahwa makanan yang telah diberikannya itu bukanlah miliknya. Bingung, sesaat kemudian ia mendapat akal. Uang kembalian masih ada dan cukup untuk membeli dua butir telur gulai. Fakih pun pulang dengan lega.
            Tapi, tentu saja kemenakannya yang terkejut.
            “Apa ini Pak Cik, bukankah yang aku pesan adalah ayam bakar? Kenapa jadi gulai telur ayam yang dibeli?”
            “Aku sebetulnya sudah membelikanmu ayam bakar tadi. Tapi, saat melewati sebuah keramaian demonstrasi, agaknya dia terkejut sampai keluar telurnya.”
            “Tapi, mana ayamnya?”
            “Dia sudah lari terbang ….”

Tidak ada komentar: