OLEH : gde agung lontar
Jerebu Riau
www.kadkahwin.weebly.com |
Ketika naskah ini mulai diketik,
titik api (hot-spot) yang terpantau
di wilayah Provinsi Riau mulai beranak-pinak lagi. Malam tadi running text sebuah stasiun tv
menyebutkan sudah ada 20 titik. Sementara itu sudah beberapa minggu ini pula
hawa panas melelayang di permukaan bumi Riau, membuat banyak orang yang tak
berada di ruangan berpendingin menjadi gerah dan gelisah; meskipun kadangkala
matahari tak tampak bersinar terik. Laporan dari BMKG pula, sekali-sekala
terdengar soal anomali cuaca, atau cuaca ekstrim. Apakah jerebu akan kembali
mengelabu[i]?
Beberapa waktu lalu ketika kabut
asap lama menyelimuti bumi Andalas dan negara tetangga, Penulis berniat membuat
opini berjudul “Langit tak Lagi Biru”, merujuk pada cerpen Penulis dengan judul
yang sama, yang dimuat di Riau Pos,
20-11-1994). Namun itu urung dilaksanakan begitu tersiar kabar SBY akan datang
ke Riau. Tetapi sekarang, tulisan ini adalah dalam konteks yang lebih luas.
Nampaknya istilah “jerebu” sendiri
kurang begitu dikenal dalam kosakata Bahasa Indonesia. Menurut H Syafruddin
Saleh Sai Gergaji (Riau Pos,
16032014) kata “jerebu” dalam Bahasa Melayu mencakup “pembakaran hutan atau
rimba yang marak uap apinya sehingga merebak ke segenap ceruk ....” Sementara
itu, menurut Kamus Dewan sendiri, jerebu yang sudah menyibukkan Upin & Ipin
ini bermakna “kabut bercampur debu yang terapung-apung di udara membuat alam
sekitar kabur dan kotor”. Bagi Penulis sendiri, kata itu tertanam samar dalam
minda masa kecil di Pulau Kundur, bahwa jerebu adalah partikel-partikel kasar
dan ringan yang melelayang ke udara hasil dari pembakaran (misalnya
serbuk-serbuk hitam bakaran kertas, dedaun kering, dsj). Namun sekarang,
menurut saya “jerebu” sesungguhnya adalah residu hasil pertelingkahan dan
perkelindanan antara penguasa, pengusaha, dan masyarakat [Riau] yang tak
berdaya. Atau dalam bahasa kanda Yusmar Yusuf (Riau Pos, 160314), “dia hasil dari sebuah endapan perilaku yang
menabrak prinsip-prinsip penghuni, penjaga, dan perawat itu”.
Dan 21 April lalu (Riau Pos, 23042014) LAMR telah pun mengeluarkan warkah amaran
tentang karhutla yang telah menjadi bencana nasional beberapa waktu yang lalu.
Ada lima butir amaran di dalam surat itu, yang memuat aspek-aspek struktural,
hukum, agraria, ekosistem, dan adat/budaya Melayu. Dalam tulisan ini,
perkenankanlah Penulis barangkali untuk sedikit menambah atau menegaskan
beberapa hal, yaitu berupa satu detil kecil dan dua hal yang besar dan penting.
Detil kecil [tetapi dapat berdampak besar] itu adalah objek yang disebut
sebagai “oknum pengusaha” di dalam butir kedua, menurut Penulis harusnya bukan
sekadar oknum saja, namun juga korporasi. Bagaimana pun korporasi di mana [sebagian]
lahannya mengalami kebakaran (dibakar/terbakar) dan peristiwa itu menyebabkan
bencana, menurut UU harus bertanggungjawab. Tak ada alasan bagi mereka bahwa hutan
itu terbakar, atau begitu luasnya lahan yang mereka kuasai sehingga tidak
terpantau, atau sulitnya medan, atau ulah oknum karyawannya sendiri, apalagi
sekadar menjawab tidak tahu. Itu semua adalah jawaban ecek-ecek; dan mereka
semua yang mengamini jawaban itu pastilah tergolong cek’e-cek’e.
Maka
korporasi itu juga harus bertanggungjawab.
Sebagai sekadar perbandingan,
Malaysia sendiri perkembangan perkebunan kelapa sawitnya melesat sejak 1990-an
dari 2 juta ha menjadi sekitar 5 juta ha; 2,7 juta ha di antaranya berada di
semenanjung, namun kita tidak pernah mengalami atau mendapatkan pemberitaan
soal jerebu akibat [pem/ke]bakaran hutan untuk pembukaan lahan selama periode
itu.
Dua hal penting pula adalah berkenaan
dengan adat dan [ke]budaya[an]; yang jelas merupakan intisari dan tanggungjawab
dari LAMR. Dalam warkat amaran itu memang sudah tercantum dalam butir 4 dan 5,
tetapi di sini izinkanlah Penulis mengelaborasi dan mengembangkannya lebih
jauh.
Nampaknya [kekuatan] adat dan
[ke]budaya[an] di Riau ini telah terdegradasi menjelang ke titik nadir;
terutama dalam konteks Melayu Riau. Dalam bincang-bincang ringan dengan kanda
Al-azhar dan [secara terpisah] ayahanda Tennas Effendi ketika Penulis
berkunjung ke LAMR beberapa waktu lalu, secara implisit tergambar keprihatinan
yang mendalam perihal adat dan [ke]budaya[an] Melayu ini. Bagaimana lemahnya
dalam tataran amir (pemerintahan), nyaris ketidak-pedulian mereka pada peran
adat dan budaya selain dalam tataran seremonial dan artifisial belaka,
masyarakat yang telah cuai kepada resam adat dan budaya; sampai kepada
bagaimana eksistensi adat, [ke]budaya[an], dan kedudukan [ke]Melayu[an] Riau
saat ini bukan lagi sekadar dikepung dari seluruh penjuru, bahkan telah diinfiltrasi
secara masif dengan pola-pola yang ilegal, bahkan condong ke kolonial. Maka
sejak puluhan tahun yang lalu kita pun menyaksikan keterpinggiran masyarakat
tempatan, dan kian menjadi-jadi beberapa tahun belakangan sehingga menjadi
ketersingkiran.
Maka dalam konteks ini kita pun bisa
melihat fakta-fakta [yang membanggakan atau merisaukan?] berikut. Sampai saat
ini ada sekitar 233 konsesi lahan perkebunan sawit di Riau, berkembang dari 556
ribu ha pada 1996; menjadi 1,3 juta ha pada 2002; 1,78 juta ha 2011; dan 2,2
juta ha 2013 (25 % dari luas kebun sawit secara nasional). Di samping sudah
merambah ke kawasan gambut secara ekosistem, perkebunan sawit seluas ini juga
dikhawatirkan akan menjadi kawasan monokultur, yang dapat saja memicu bencana
ekologi dan vegetasi. Sementara itu dalam laporan panjang Riau Pos 20042014 h:37-37 terhampar betapa peristiwa deforestrasi berlangsung
sangat memprihatinkan, bahkan merambah ke hutan konservasi. Sejak 1982 – 2012
terjadi deforestrasi di Riau seluas 11,4 juta ha. Hutan konservasi dari luasan
asli 582.228 ha (dari 9 kawasan) menjadi hanya 428.438 ha pada 2012 dengan 3
kawasan hilang lenyap dalam realitas di lapangan. Sementara itu berdasarkan
laporan Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2012 ada 8,6 juta hektar hutan Riau. Bila
dirinci menurut fungsinya: seluas 228.793,82 hektar (2,66 persen) merupakan
hutan lindung, kemudian 1.605.762,78 hektar (18,67 persen) adalah hutan
produksi tetap, 1.815.949,74 hektar (21,12 persen) adalah hutan produksi
terbatas dan 531.852,65 hektar (6,19 persen) adalah hutan suaka alam dan seluas
4.277.964,39 hektar (49,75) merupakan hutan produksi konversi.
Data semacam di atas dapat saja kita
tambahkan jauh lebih panjang lagi, lebih panjang daripada tali beruk kata
orang-orang tua, dengan resiko makin sulit memahami konteks dan korelasinya
satu sama lain, baik dalam hal angka-angka, waktu, istilah dan defenisinya,
maupun sumbernya. Hal semacam ini sudah harap maklum di birokrasi kita. Namun
terlepas dari data-data di atas, dari pesawat udara atau citra satelit, kita
memang mendapatkan kenyataan bahwa tutupan hutan sebenarnya di Riau sepertinya
tinggal kenangan belaka ....
Kita di sini bukan bermaksud
mengatakan bahwa kebun sawit itu buruk atau menebang kayu di hutan itu tak baik
atau pula mengambil lahan untuk hunian itu jahat. Keberhasilan pembangunan
perkebunan kelapa sawit, eksploitasi hutan, apalagi eksploitasi kandungan
mineral dan migas; semuanya sudah terbukti memberikan dampak ekonomi yang masif
bagi negeri ini (ingat, suatu masa lalu Riau pernah menyumbang hampir separuh
kebutuhan APBN). Namun tidak ada yang tidak terbatas, dan tidak pula layak
dilakukan dengan cara-cara yang bersimaharajalela. Kejadian kabut asap yang
seringkali memunculkan komentar tentang pembakaran yang dilakukan penduduk
tempatan, sesungguhnya melukai perasaan kami. Orang Melayu tidak mungkin merusak
hutan dan lingkungannya sendiri karena semua makhluk hidup mendapat tempat
untuk hidup secara wajar dalam tata ruang masyarakat adat Melayu (UUH, h:91),
sebagaimana juga dilansir dengan nada kesal oleh ayahanda Tennas dalam
pembicaraan ringan itu.
Namun persoalannya bukan semata itu; ada
yang lebih mencemaskan lagi terutama dalam konteks “duduk-tegaknya” masyarakat
[Melayu} Riau. Itu sebenarnya sudah terhampar cukup jelas dalam butir butir 4
dan 5 warkat amaran LAMR itu, yaitu dalam hal keseimbangan dan keadilan
agraria, termasuk hutan/wilayah adat. Ini sebetulnya cerita lama dan terjadi
hampir di semerata tempat di Indonesia (ingat di antaranya kasus Mahato dan
Mesuji), namun paling tidak di Riau kisah ini semakin masif terjadi beberapa
tahun belakangan, secara ilegal dan/atau dengan pola kolonialisme, dengan dukungan
“kekuatan luar” yang membenamkan daya tahan masyarakat [Melayu] Riau. Ini
bukanlah isu SARA, namun ini adalah persoalan keadilan sosial (amanat
Konstitusi), hukum, kebudayaan, dan kemauan politik.
Masalah agraria sendiri sebenarnya
merupakan masalah nasional yang “tak sudah-sudah”. Beberapa kali rencana
mereformasi UU Agraria warisan Holland, lenyap dalam senyap. Belum lagi
bertahun-tahun muncul ketidakselarasan antara UU Agraria, UU Kehutanan, dan UU
Perkebunan terutama dalam hal lahan, wilayah, dan tata ruang/wilayah, di mana
UU Kehutanan terkesan lebih superior dibanding lainnya. Maka di lapangan kita
pun melihat berbagai akibat yang memedihkan, dengan sad-ending orang kecil yang selalu menjadi korban. Menurut Gunawan
(“Reforma Agraria Pasca SBY”. Kompas,
11042014, h:6), seharusnya RUU Pertanahan (kelak; gal) mengatur prioritas
penerima tanah obyek reforma agraria, yang paling prioritas tentunya mereka
yang bersedia menggarap tanah, yaitu petani yang tak punya tanah, sehingga
berkorelasi dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Juga rakyat yang
tanahnya di bawah batas minimum kepemilikan.
Gerakan Kebudayaan [?]
Konon kalau tak salah ingat,
terciptanya novel Ladang Perminus
karya Ramadhan KH (1990) yang kemudian memenangkan SEA Write Award 1993 adalah
karena rasa prihatin pengarangnya selepas perjalanan dari Riau, yang
berkelindan dengan kasus korupsi di Pertamina masa sebelumnya. Sementara itu, Dikalahkan Sang Sapurba, novel pemenang
sayembara DKJ 1998 karya Ediruslan Pe Amanriza, agaknya adalah salah satu imaji
yang paling dekat (lokal) tentang persoalan yang telah dipaparkan di atas. Hal
yang serupa juga dapat kita temukan pada novel-novel Hary B Kori’un, Hang
Kafrawi, atau Olyrinson misalnya; atau dalam bentuk lain Laskar Pelangi Andrea Hirata. (Inilah sesungguhnya salah satu
contoh kepedulian dan pengabdian pengarang di jalan yang sunyi, bagi masyarakat
dan lingkungannya.)
Tetapi apa yang ingin diungkapkan di
sini sesungguhnya lebih dari itu. Apa yang telah disampaikan di atas barulah
sebagian dari gunung es persoalan yang menghimpit kita. Persoalan-persoalan
yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab para amir (pemerintah) kita. Sayangnya,
nampaknya mereka bukan menjadi problem
solver, melainkan malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Padahal
dalam Jagad Melayu (UU Hamidy: 2004)
dijelaskan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum (adat), dan kerajaan
(penguasa; gal.) itu adalah alat untuk melindungi yang lemah daripada
penindasan oleh yang kuat (h:10). Orang Melayu menghendaki pemimpinnya di
samping tajam dalam berpikir atau bijaksana, tapi juga seorang yang taat
melaksanakan ajaran Islam (h:11).
Persoalan besarnya, adalah
sebagaimana yang telah ditengarai YY dalam kolomnya di RP (ibid), tentang kisah
kevakuman, tentang budaya yang diisi dengan gaya monolitik, tentang Budaya
Melayu yang diagung-agungkan pada satu sisi, namun di sisi lain dia mengalami
perlemahan yang luar biasa pula.
Memang, jagad sekarang bukan lagi
dalam konteks “kerajaan Melayu” atau Melayu tradisional sebagaiman dalam buku
UUH di atas; pemerintah [daerah] ini adalah dalam konteks representasi Republik
Indonesia. Tapi hal itu tentu bukan menjadi halangan untuk tetap menerapkan
kearifan dan kebijaksanaan lokal dalam pelaksanaan pemerintahan di wilayah
tersebut. Kita tahu Aceh, Sumatera Barat, Jogjakarta, dan banyak daerah lainnya
bahkan begitu menonjolkan “ketradisionalan” mereka; dan kita melihat betapa
solidnya mereka. Jadi, persoalan “tradisional” atau kuno dalam hal adat dan
budaya lebih kepada bagaimana kita memelihara, menggunakan, dan
mengembangkannya.
Maka agaknya sudah waktunya kita
melakukan semacam Gerakan Kebudayaan di negeri ini. Yaitu gerakan yang meliputi
keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung aspek-aspek pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat; setidaknya menurut
defenisi EB Taylor. Yaitu gerakan yang mengedepankan akal-budi dan daya-cipta;
gerakan yang berbingkai moralitas, hukum, dan adat-istiadat.
Menurut
Penulis, ada dua pola dari gerakan kebudayaan ini yaitu: gerakan penyadaran
tentang pentingnya berkebudayaan [Melayu], dan gerakan kebudayaan sebagai
sebuah gerakan “politik” yang berlandaskan kebudayaan.
Gerakan
penyadaran tentang pentingnya berkebudayaan [Melayu] adalah gerakan yang
diharapkan dapat merevitalisasi, menghidupkan, dan memperkuat kembali
aspek-aspek dan sendi-sendi kebudayaan [Melayu] di dalam masyarakat dan
pemerintahan, sehingga dapat dan menjadi kebutuhan serta teraju untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan penyadaran ini mulai dari
konsep sistem nilai dalam kebudayaan [Melayu] sampai kepada hal-hal yang
bersifat praktis.
UUH dalam bukunya itu menjelaskan ada 3 sistem nilai
yang mendasar dalam kehidupan orang
Melayu di Riau, yaitu: resam, adat, dan agama Islam (h:17). Nilai-nilai agama
Islam dipandang sebagai barometer terhadap nilai-nilai yang lain seperti adat
dan tradisi/resam (h:49). Sedangkan sistem nilai adat memberikan keselarasan
antara manusia dengan manusia, serta membuat pola-pola keselarasan antar
masyarakat dengan penguasa (51). Sistem nilai tradisi pula mencoba membuat keharmonisan
antara manusia dengan alam. (51).
Agar gerakan penyadaran ini dapat sampai ke khalayak
luas maka tentulah diperlukan kerja-kerja pengenalan [kembali], pengajaran,
pendidikan, memberikan pemahaman, serta suri-tauladan. Kegiatan ini dapat
dilakukan dalam konteks pendidikan formal (sebagai bagian dari muatan lokal),
atau dapat juga dilakukan dalam kegiatan ekstra-kurikuler, acara-acara
seremonial kebudayaan, seminar dan diskusi, kegiatan Ibu-ibu PKK/Posyandu,
gelanggang remaja, media-media sosial [elektronik/digital], dst. Melihat keadaan
saat ini, memang agaknya kegiatan ini harus dilaksanakan secara cukup masif,
agar dapat dicapai penetrasi yang kuat dan segera (sebelum semuanya benar-benar
menjadi terlambat).
Gerakan kebudayaan sebagai sebuah gerakan politik yang
berlandaskan kebudayaan [Melayu] adalah merupakan sebuah gerakan aksi untuk
memberi penyadaran dan daya tekan terutama pada para stakeholder negeri seperti peneraju pemerintahan, baik pemerintahan
daerah maupun pusat, dan juga korporasi-korporasi yang ada di Riau; serta penguatan
pada para pemangku adat dan penjaga tradisi itu sendiri. Ini sejalan dengan
yang disampaikan UUH dalam bukunya tsb bahwa ada 4 kelompok dalam tradisi
kepemimpinan puak Melayu yaitu: pembimbing kehidupan beragama, teraju kerajaan,
pemangku adat, dan penjaga tradisi.
Memberikan penyadaran dan daya tekan bahwa penting
untuk menerapkan kaidah-kaidah yang berlandaskan pada [ke]budaya[an] Melayu
dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan serta perilaku di Negeri Alam
Melayu ini. Serta memberikan penguatan pada para pemangku adat dan penjaga
tradisi untuk dapat menyatukan tekad, semangat, dan segala sumber daya adat dan
tradisi agar dapat dilaksanakannya Gerakan Kebudayaan ini secara masif dan
terorganisir. Memasygulkan hati memang kala Penulis pernah mendengar cerita
seorang teman pencipta lagu bagaimana dalam sebuah perhelatan adat di sebuah
kabupaten mereka tidak mengundang lembaga adat yang lebih tinggi entah karena
apa. Padahal kita tahu, dalam bingkai lembaga adat seharusnya berlakulah azas
berjenjang naik bertangga turun. Atau beberapa peristiwa lainnya yang mirip,
seperti di lingkungan pemerintahan.
UUH membagi tingkat emosi puak Melayu atas: malu,
menghindar dan merajuk, latah, aruk, dan amuk. (h:15). Menurut beliau, malu
merupakan pakaian yang utama dalam tingkah laku puak Melayu. Kalau menghadapi
silang-sengketa, merajuk pula menjadi teknik menahan diri, sehingga pertikaian
tidak sampai berakhir dengan fatal (berkorelasi dengan budaya malu tadi). Kala
menghadapi tekanan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat,
dan tradisi yang baik, puak Melayu sering memberi reaksi latah, di mana
perintah dari pemimpin yang zalim hanya diiyakan tetapi tidak dilaksanakan.
Tahap inilah agaknya yang tengah kita saksikan di dalam pemerintahan bertahun
belakangan ini, di mana sering tersiar kabar [terbuka maupun tertutup]
bagaimana sebuah keputusan tidak dijalankan, atau penolakan penugasan,
ogah-ogahan, dst; belum lagi faktor sistem birokrasi yang nampaknya masih penuh
sengkarut. Kemudian, bila pemegang teraju kekuasaan berlaku lancang dan tidak
lagi tampil sebagai orang arif, timbullah emosi aruk yang merupakan pembalasan
dengan tidak lagi menghormati pemimpin itu. Tahap ini pun ditengarai sudah
muncul gejala-gejalanya, setidaknya di “belakang-belakang”. Puncaknya dari
paparan UUH adalah amuk, yang merupakan reaksi paling tinggi yang dapat timbul
bila segala tata nilai, terutama agama dan adat, dilanggar terang-terangan oleh
seseorang yang zalim. Amuk merupakan penampilan emosi yang garang menghadapi
pedang terhunus yang zalim. Portugis pada suatu masa berabad lalu pernah
merasakannya di Malaka, dan istilah itu pun kemudian diserap dalam Bahasa
Inggris menjadi amok.
Akhirulkalam, Penulis hanya berharap,
pada akhirnya nanti, atas semua yang terjadi di negeri ini, mereka tidak meninggalkan
“luka-luka “ di bumi kita seperti yang terjadi di Singkep dan Lingga, Bintan,
Bangka dan Belitung, atau Pegunungan Grasberg Papua; serta luka-luka yang lebih
menganga di dalam hati, jiwa, dan raga masyarakat Riau. Amin.
Publikasi #1: Riau Pos, 27-04-14.