Sabtu, 05 September 2015

OPINI/ESAI BUDAYA



OLEH : gde agung lontar

Jerebu Riau

www.kadkahwin.weebly.com

            Ketika naskah ini mulai diketik, titik api (hot-spot) yang terpantau di wilayah Provinsi Riau mulai beranak-pinak lagi. Malam tadi running text sebuah stasiun tv menyebutkan sudah ada 20 titik. Sementara itu sudah beberapa minggu ini pula hawa panas melelayang di permukaan bumi Riau, membuat banyak orang yang tak berada di ruangan berpendingin menjadi gerah dan gelisah; meskipun kadangkala matahari tak tampak bersinar terik. Laporan dari BMKG pula, sekali-sekala terdengar soal anomali cuaca, atau cuaca ekstrim. Apakah jerebu akan kembali mengelabu[i]?
            Beberapa waktu lalu ketika kabut asap lama menyelimuti bumi Andalas dan negara tetangga, Penulis berniat membuat opini berjudul “Langit tak Lagi Biru”, merujuk pada cerpen Penulis dengan judul yang sama, yang dimuat di Riau Pos, 20-11-1994). Namun itu urung dilaksanakan begitu tersiar kabar SBY akan datang ke Riau. Tetapi sekarang, tulisan ini adalah dalam konteks yang lebih luas.
            Nampaknya istilah “jerebu” sendiri kurang begitu dikenal dalam kosakata Bahasa Indonesia. Menurut H Syafruddin Saleh Sai Gergaji (Riau Pos, 16032014) kata “jerebu” dalam Bahasa Melayu mencakup “pembakaran hutan atau rimba yang marak uap apinya sehingga merebak ke segenap ceruk ....” Sementara itu, menurut Kamus Dewan sendiri, jerebu yang sudah menyibukkan Upin & Ipin ini bermakna “kabut bercampur debu yang terapung-apung di udara membuat alam sekitar kabur dan kotor”. Bagi Penulis sendiri, kata itu tertanam samar dalam minda masa kecil di Pulau Kundur, bahwa jerebu adalah partikel-partikel kasar dan ringan yang melelayang ke udara hasil dari pembakaran (misalnya serbuk-serbuk hitam bakaran kertas, dedaun kering, dsj). Namun sekarang, menurut saya “jerebu” sesungguhnya adalah residu hasil pertelingkahan dan perkelindanan antara penguasa, pengusaha, dan masyarakat [Riau] yang tak berdaya. Atau dalam bahasa kanda Yusmar Yusuf (Riau Pos, 160314), “dia hasil dari sebuah endapan perilaku yang menabrak prinsip-prinsip penghuni, penjaga, dan perawat itu”.
            Dan 21 April lalu (Riau Pos, 23042014)  LAMR telah pun mengeluarkan warkah amaran tentang karhutla yang telah menjadi bencana nasional beberapa waktu yang lalu. Ada lima butir amaran di dalam surat itu, yang memuat aspek-aspek struktural, hukum, agraria, ekosistem, dan adat/budaya Melayu. Dalam tulisan ini, perkenankanlah Penulis barangkali untuk sedikit menambah atau menegaskan beberapa hal, yaitu berupa satu detil kecil dan dua hal yang besar dan penting. Detil kecil [tetapi dapat berdampak besar] itu adalah objek yang disebut sebagai “oknum pengusaha” di dalam butir kedua, menurut Penulis harusnya bukan sekadar oknum saja, namun juga korporasi. Bagaimana pun korporasi di mana [sebagian] lahannya mengalami kebakaran (dibakar/terbakar) dan peristiwa itu menyebabkan bencana, menurut UU harus bertanggungjawab. Tak ada alasan bagi mereka bahwa hutan itu terbakar, atau begitu luasnya lahan yang mereka kuasai sehingga tidak terpantau, atau sulitnya medan, atau ulah oknum karyawannya sendiri, apalagi sekadar menjawab tidak tahu. Itu semua adalah jawaban ecek-ecek; dan mereka semua yang mengamini jawaban itu pastilah tergolong cek’e-cek’e.
Maka korporasi itu juga harus bertanggungjawab.
            Sebagai sekadar perbandingan, Malaysia sendiri perkembangan perkebunan kelapa sawitnya melesat sejak 1990-an dari 2 juta ha menjadi sekitar 5 juta ha; 2,7 juta ha di antaranya berada di semenanjung, namun kita tidak pernah mengalami atau mendapatkan pemberitaan soal jerebu akibat [pem/ke]bakaran hutan untuk pembukaan lahan selama periode itu.
            Dua hal penting pula adalah berkenaan dengan adat dan [ke]budaya[an]; yang jelas merupakan intisari dan tanggungjawab dari LAMR. Dalam warkat amaran itu memang sudah tercantum dalam butir 4 dan 5, tetapi di sini izinkanlah Penulis mengelaborasi dan mengembangkannya lebih jauh.
            Nampaknya [kekuatan] adat dan [ke]budaya[an] di Riau ini telah terdegradasi menjelang ke titik nadir; terutama dalam konteks Melayu Riau. Dalam bincang-bincang ringan dengan kanda Al-azhar dan [secara terpisah] ayahanda Tennas Effendi ketika Penulis berkunjung ke LAMR beberapa waktu lalu, secara implisit tergambar keprihatinan yang mendalam perihal adat dan [ke]budaya[an] Melayu ini. Bagaimana lemahnya dalam tataran amir (pemerintahan), nyaris ketidak-pedulian mereka pada peran adat dan budaya selain dalam tataran seremonial dan artifisial belaka, masyarakat yang telah cuai kepada resam adat dan budaya; sampai kepada bagaimana eksistensi adat, [ke]budaya[an], dan kedudukan [ke]Melayu[an] Riau saat ini bukan lagi sekadar dikepung dari seluruh penjuru, bahkan telah diinfiltrasi secara masif dengan pola-pola yang ilegal, bahkan condong ke kolonial. Maka sejak puluhan tahun yang lalu kita pun menyaksikan keterpinggiran masyarakat tempatan, dan kian menjadi-jadi beberapa tahun belakangan sehingga menjadi ketersingkiran.
            Maka dalam konteks ini kita pun bisa melihat fakta-fakta [yang membanggakan atau merisaukan?] berikut. Sampai saat ini ada sekitar 233 konsesi lahan perkebunan sawit di Riau, berkembang dari 556 ribu ha pada 1996; menjadi 1,3 juta ha pada 2002; 1,78 juta ha 2011; dan 2,2 juta ha 2013 (25 % dari luas kebun sawit secara nasional). Di samping sudah merambah ke kawasan gambut secara ekosistem, perkebunan sawit seluas ini juga dikhawatirkan akan menjadi kawasan monokultur, yang dapat saja memicu bencana ekologi dan vegetasi. Sementara itu dalam laporan panjang Riau Pos 20042014 h:37-37 terhampar betapa peristiwa deforestrasi berlangsung sangat memprihatinkan, bahkan merambah ke hutan konservasi. Sejak 1982 – 2012 terjadi deforestrasi di Riau seluas 11,4 juta ha. Hutan konservasi dari luasan asli 582.228 ha (dari 9 kawasan) menjadi hanya 428.438 ha pada 2012 dengan 3 kawasan hilang lenyap dalam realitas di lapangan. Sementara itu berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Provinsi Riau 2012 ada 8,6 juta hektar hutan Riau. Bila dirinci menurut fungsinya: seluas 228.793,82 hektar (2,66 persen) merupakan hutan lindung, kemudian  1.605.762,78 hektar (18,67 persen) adalah hutan produksi tetap,  1.815.949,74 hektar (21,12 persen) adalah hutan produksi terbatas dan 531.852,65 hektar (6,19 persen) adalah hutan suaka alam dan seluas 4.277.964,39 hektar (49,75) merupakan hutan produksi konversi.
            Data semacam di atas dapat saja kita tambahkan jauh lebih panjang lagi, lebih panjang daripada tali beruk kata orang-orang tua, dengan resiko makin sulit memahami konteks dan korelasinya satu sama lain, baik dalam hal angka-angka, waktu, istilah dan defenisinya, maupun sumbernya. Hal semacam ini sudah harap maklum di birokrasi kita. Namun terlepas dari data-data di atas, dari pesawat udara atau citra satelit, kita memang mendapatkan kenyataan bahwa tutupan hutan sebenarnya di Riau sepertinya tinggal kenangan belaka ....
            Kita di sini bukan bermaksud mengatakan bahwa kebun sawit itu buruk atau menebang kayu di hutan itu tak baik atau pula mengambil lahan untuk hunian itu jahat. Keberhasilan pembangunan perkebunan kelapa sawit, eksploitasi hutan, apalagi eksploitasi kandungan mineral dan migas; semuanya sudah terbukti memberikan dampak ekonomi yang masif bagi negeri ini (ingat, suatu masa lalu Riau pernah menyumbang hampir separuh kebutuhan APBN). Namun tidak ada yang tidak terbatas, dan tidak pula layak dilakukan dengan cara-cara yang bersimaharajalela. Kejadian kabut asap yang seringkali memunculkan komentar tentang pembakaran yang dilakukan penduduk tempatan, sesungguhnya melukai perasaan kami. Orang Melayu tidak mungkin merusak hutan dan lingkungannya sendiri karena semua makhluk hidup mendapat tempat untuk hidup secara wajar dalam tata ruang masyarakat adat Melayu (UUH, h:91), sebagaimana juga dilansir dengan nada kesal oleh ayahanda Tennas dalam pembicaraan ringan itu.
            Namun persoalannya bukan semata itu; ada yang lebih mencemaskan lagi terutama dalam konteks “duduk-tegaknya” masyarakat [Melayu} Riau. Itu sebenarnya sudah terhampar cukup jelas dalam butir butir 4 dan 5 warkat amaran LAMR itu, yaitu dalam hal keseimbangan dan keadilan agraria, termasuk hutan/wilayah adat. Ini sebetulnya cerita lama dan terjadi hampir di semerata tempat di Indonesia (ingat di antaranya kasus Mahato dan Mesuji), namun paling tidak di Riau kisah ini semakin masif terjadi beberapa tahun belakangan, secara ilegal dan/atau dengan pola kolonialisme, dengan dukungan “kekuatan luar” yang membenamkan daya tahan masyarakat [Melayu] Riau. Ini bukanlah isu SARA, namun ini adalah persoalan keadilan sosial (amanat Konstitusi), hukum, kebudayaan, dan kemauan politik.
            Masalah agraria sendiri sebenarnya merupakan masalah nasional yang “tak sudah-sudah”. Beberapa kali rencana mereformasi UU Agraria warisan Holland, lenyap dalam senyap. Belum lagi bertahun-tahun muncul ketidakselarasan antara UU Agraria, UU Kehutanan, dan UU Perkebunan terutama dalam hal lahan, wilayah, dan tata ruang/wilayah, di mana UU Kehutanan terkesan lebih superior dibanding lainnya. Maka di lapangan kita pun melihat berbagai akibat yang memedihkan, dengan sad-ending orang kecil yang selalu menjadi korban. Menurut Gunawan (“Reforma Agraria Pasca SBY”. Kompas, 11042014, h:6), seharusnya RUU Pertanahan (kelak; gal) mengatur prioritas penerima tanah obyek reforma agraria, yang paling prioritas tentunya mereka yang bersedia menggarap tanah, yaitu petani yang tak punya tanah, sehingga berkorelasi dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Juga rakyat yang tanahnya di bawah batas minimum kepemilikan.

Gerakan Kebudayaan [?]
            Konon kalau tak salah ingat, terciptanya novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH (1990) yang kemudian memenangkan SEA Write Award 1993 adalah karena rasa prihatin pengarangnya selepas perjalanan dari Riau, yang berkelindan dengan kasus korupsi di Pertamina masa sebelumnya. Sementara itu, Dikalahkan Sang Sapurba, novel pemenang sayembara DKJ 1998 karya Ediruslan Pe Amanriza, agaknya adalah salah satu imaji yang paling dekat (lokal) tentang persoalan yang telah dipaparkan di atas. Hal yang serupa juga dapat kita temukan pada novel-novel Hary B Kori’un, Hang Kafrawi, atau Olyrinson misalnya; atau dalam bentuk lain Laskar Pelangi Andrea Hirata. (Inilah sesungguhnya salah satu contoh kepedulian dan pengabdian pengarang di jalan yang sunyi, bagi masyarakat dan lingkungannya.)
            Tetapi apa yang ingin diungkapkan di sini sesungguhnya lebih dari itu. Apa yang telah disampaikan di atas barulah sebagian dari gunung es persoalan yang menghimpit kita. Persoalan-persoalan yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab para amir (pemerintah) kita. Sayangnya, nampaknya mereka bukan menjadi problem solver, melainkan malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Padahal dalam Jagad Melayu (UU Hamidy: 2004) dijelaskan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum (adat), dan kerajaan (penguasa; gal.) itu adalah alat untuk melindungi yang lemah daripada penindasan oleh yang kuat (h:10). Orang Melayu menghendaki pemimpinnya di samping tajam dalam berpikir atau bijaksana, tapi juga seorang yang taat melaksanakan ajaran Islam (h:11).
            Persoalan besarnya, adalah sebagaimana yang telah ditengarai YY dalam kolomnya di RP (ibid), tentang kisah kevakuman, tentang budaya yang diisi dengan gaya monolitik, tentang Budaya Melayu yang diagung-agungkan pada satu sisi, namun di sisi lain dia mengalami perlemahan yang luar biasa pula.
            Memang, jagad sekarang bukan lagi dalam konteks “kerajaan Melayu” atau Melayu tradisional sebagaiman dalam buku UUH di atas; pemerintah [daerah] ini adalah dalam konteks representasi Republik Indonesia. Tapi hal itu tentu bukan menjadi halangan untuk tetap menerapkan kearifan dan kebijaksanaan lokal dalam pelaksanaan pemerintahan di wilayah tersebut. Kita tahu Aceh, Sumatera Barat, Jogjakarta, dan banyak daerah lainnya bahkan begitu menonjolkan “ketradisionalan” mereka; dan kita melihat betapa solidnya mereka. Jadi, persoalan “tradisional” atau kuno dalam hal adat dan budaya lebih kepada bagaimana kita memelihara, menggunakan, dan mengembangkannya.
            Maka agaknya sudah waktunya kita melakukan semacam Gerakan Kebudayaan di negeri ini. Yaitu gerakan yang meliputi keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung aspek-aspek pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat; setidaknya menurut defenisi EB Taylor. Yaitu gerakan yang mengedepankan akal-budi dan daya-cipta; gerakan yang berbingkai moralitas, hukum, dan adat-istiadat.
            Menurut Penulis, ada dua pola dari gerakan kebudayaan ini yaitu: gerakan penyadaran tentang pentingnya berkebudayaan [Melayu], dan gerakan kebudayaan sebagai sebuah gerakan “politik” yang berlandaskan kebudayaan.
            Gerakan penyadaran tentang pentingnya berkebudayaan [Melayu] adalah gerakan yang diharapkan dapat merevitalisasi, menghidupkan, dan memperkuat kembali aspek-aspek dan sendi-sendi kebudayaan [Melayu] di dalam masyarakat dan pemerintahan, sehingga dapat dan menjadi kebutuhan serta teraju untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan penyadaran ini mulai dari konsep sistem nilai dalam kebudayaan [Melayu] sampai kepada hal-hal yang bersifat praktis.
UUH dalam bukunya itu menjelaskan ada 3 sistem nilai yang mendasar dalam  kehidupan orang Melayu di Riau, yaitu: resam, adat, dan agama Islam (h:17). Nilai-nilai agama Islam dipandang sebagai barometer terhadap nilai-nilai yang lain seperti adat dan tradisi/resam (h:49). Sedangkan sistem nilai adat memberikan keselarasan antara manusia dengan manusia, serta membuat pola-pola keselarasan antar masyarakat dengan penguasa (51). Sistem nilai tradisi pula mencoba membuat keharmonisan antara manusia dengan alam. (51).
Agar gerakan penyadaran ini dapat sampai ke khalayak luas maka tentulah diperlukan kerja-kerja pengenalan [kembali], pengajaran, pendidikan, memberikan pemahaman, serta suri-tauladan. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam konteks pendidikan formal (sebagai bagian dari muatan lokal), atau dapat juga dilakukan dalam kegiatan ekstra-kurikuler, acara-acara seremonial kebudayaan, seminar dan diskusi, kegiatan Ibu-ibu PKK/Posyandu, gelanggang remaja, media-media sosial [elektronik/digital], dst. Melihat keadaan saat ini, memang agaknya kegiatan ini harus dilaksanakan secara cukup masif, agar dapat dicapai penetrasi yang kuat dan segera (sebelum semuanya benar-benar menjadi terlambat).
Gerakan kebudayaan sebagai sebuah gerakan politik yang berlandaskan kebudayaan [Melayu] adalah merupakan sebuah gerakan aksi untuk memberi penyadaran dan daya tekan terutama pada para stakeholder negeri seperti peneraju pemerintahan, baik pemerintahan daerah maupun pusat, dan juga korporasi-korporasi yang ada di Riau; serta penguatan pada para pemangku adat dan penjaga tradisi itu sendiri. Ini sejalan dengan yang disampaikan UUH dalam bukunya tsb bahwa ada 4 kelompok dalam tradisi kepemimpinan puak Melayu yaitu: pembimbing kehidupan beragama, teraju kerajaan, pemangku adat, dan penjaga tradisi.
Memberikan penyadaran dan daya tekan bahwa penting untuk menerapkan kaidah-kaidah yang berlandaskan pada [ke]budaya[an] Melayu dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan serta perilaku di Negeri Alam Melayu ini. Serta memberikan penguatan pada para pemangku adat dan penjaga tradisi untuk dapat menyatukan tekad, semangat, dan segala sumber daya adat dan tradisi agar dapat dilaksanakannya Gerakan Kebudayaan ini secara masif dan terorganisir. Memasygulkan hati memang kala Penulis pernah mendengar cerita seorang teman pencipta lagu bagaimana dalam sebuah perhelatan adat di sebuah kabupaten mereka tidak mengundang lembaga adat yang lebih tinggi entah karena apa. Padahal kita tahu, dalam bingkai lembaga adat seharusnya berlakulah azas berjenjang naik bertangga turun. Atau beberapa peristiwa lainnya yang mirip, seperti di lingkungan pemerintahan.
UUH membagi tingkat emosi puak Melayu atas: malu, menghindar dan merajuk, latah, aruk, dan amuk. (h:15). Menurut beliau, malu merupakan pakaian yang utama dalam tingkah laku puak Melayu. Kalau menghadapi silang-sengketa, merajuk pula menjadi teknik menahan diri, sehingga pertikaian tidak sampai berakhir dengan fatal (berkorelasi dengan budaya malu tadi). Kala menghadapi tekanan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat, dan tradisi yang baik, puak Melayu sering memberi reaksi latah, di mana perintah dari pemimpin yang zalim hanya diiyakan tetapi tidak dilaksanakan. Tahap inilah agaknya yang tengah kita saksikan di dalam pemerintahan bertahun belakangan ini, di mana sering tersiar kabar [terbuka maupun tertutup] bagaimana sebuah keputusan tidak dijalankan, atau penolakan penugasan, ogah-ogahan, dst; belum lagi faktor sistem birokrasi yang nampaknya masih penuh sengkarut. Kemudian, bila pemegang teraju kekuasaan berlaku lancang dan tidak lagi tampil sebagai orang arif, timbullah emosi aruk yang merupakan pembalasan dengan tidak lagi menghormati pemimpin itu. Tahap ini pun ditengarai sudah muncul gejala-gejalanya, setidaknya di “belakang-belakang”. Puncaknya dari paparan UUH adalah amuk, yang merupakan reaksi paling tinggi yang dapat timbul bila segala tata nilai, terutama agama dan adat, dilanggar terang-terangan oleh seseorang yang zalim. Amuk merupakan penampilan emosi yang garang menghadapi pedang terhunus yang zalim. Portugis pada suatu masa berabad lalu pernah merasakannya di Malaka, dan istilah itu pun kemudian diserap dalam Bahasa Inggris menjadi amok.
            Akhirulkalam, Penulis hanya berharap, pada akhirnya nanti, atas semua yang terjadi di negeri ini, mereka tidak meninggalkan “luka-luka “ di bumi kita seperti yang terjadi di Singkep dan Lingga, Bintan, Bangka dan Belitung, atau Pegunungan Grasberg Papua; serta luka-luka yang lebih menganga di dalam hati, jiwa, dan raga masyarakat Riau. Amin.

Payungsekaki, 250414.
Publikasi #1: Riau Pos, 27-04-14.