Sayap
Terbang Tak Berbadan
Ketika senja memancarkan cahaya
jingga semata dari kakilangit sana,
orang-orang pun berkerumunlah di pantai berbatu itu. Mereka semua menanti
munculnya sebuah pemandangan yang luar biasa: sepasang sayap terbang tak
berbadan. Mula-mula, pancaran cahaya jingga itu akan menyilaukan pandangan
mereka. Perih terasa menusuk mata. Satu dua ada juga yang sampai berlinangan –
bukan karena menangis; tentu.
Meski demikian mereka semua tetap juga berusaha senantiasa menatap jingga senja
itu, tak ingin hilang barang sedetik pun momen itu. Di samping itu mereka juga
tahu masa yang bagaikan penyiksaan seperti itu tidaklah akan berlangsung lama,
paling hanya sekitar tujuh menit. Lalu kemudian, dari dalam kesilauan, tampak menyembul
perlahan-lahan, bagai menembus tirai cahaya senja jingga semata, sepasang sayap
tak berbadan itu berkelepak muncul menampakkan wujudnya, melayang-layang
mendekat, sembari membawa berkas-berkas siluet cahaya, yang bagai memancar dari
sebuah proyektor tua.
Tetapi tak sedikit pula yang mampu
menikmati suasana – sebelum sepasang sayap tak berbadan itu muncul. Cahaya
jingga senja yang menyilaukan dan memerihkan mata itu; biarlah. Masih ada riak dan
ombak laut biru tempat mengalihkan pandang sejenak. Garis-garis putih
memanjang, bagai jelujuran rukuk
dalam saf orang-orang yang shalat, berarak mendekat, lalu bersujud di pantai
landai, sebelum menggapai barisan bebatuan sebesar kerbau dan gajah. Dan juga,
angin laut yang semilir, kadang nakal menyibak rambut, sejuk dan basah. Atau
burung-burung camar yang melayah pantai, yang kadang-kadang mendekat dan
terbang dengan ribut bagai hendak bergurau dengan reramai. Atau sedikit menjauh,
bermain-main bersama beberapa lumba-lumba yang girang berenang, yang sesekali
melejitkan badannya ke atas permukaan laut, lalu kemudian terhempas kembali sembari
menghamburkan air, menciptakan akrobatik tarian air muncrat. Tetapi meski
demikian, sudut mata tetap tak lepas jua dari pancaran cahaya jingga di
kakilangit sana,
menanti kalau-kalau telah muncul sepasang sayap tak berbadan yang berkelepak
terbang melayang-layang mendekat.
“Sepasang sayap tak berbadan?”
itulah pertanyaan awal yang muncul di antara kami ketika fenomena itu bermula,
atau orang-orang yang baru tahu kemudian.
“Ya.”
“Apa maksudnya?”
“Ya, yang terbang melayang-layang
itu hanya sepasang sayap saja, tidak ada badannya.”
“Tidak ada badannya? Hanya sayap
saja? Bagaimana mungkin.”
Yang
mencoba menerangkan selalu hanya akan menjungkitkan bahu.
“Mungkinkah hanya salah lihat?
Mungkin itu hanya sebuah pesawat terbang layang, glider, atau mungkin orang yang sedang terbang paralayang.”
“Bung, orang-orang yang pernah
melihatnya semua tahu itu bukan benda yang seperti Bung katakan tadi. Benda itu
tidak lain dari sepasang sayap semata.
Sepasang sayap alami, bukan benda buatan manusia. Jadi tak usahlah Bung mencoba
mencari-cari pembenaran ilmiah atau semacam itu.”
Lantas, biasanya orang yang bertanya itu pun akan terdiam
sejenak, lalu melanjutkan dengan pertanyaan lagi,
“Kalau begitu, seperti apa bentuk
sayap itu?”
“Ya, seperti sayap biasa, ‘gitu. Gimana, sih.”
“Tidak. Maksud saya, sayap itu ‘kan juga ada
bermacam-macam bentuknya. Apakah ia berbentuk seperti sayap burung, atau
seperti sayap kelelawar, atau sayap kupu-kupu, atau sayap belalang, atau
kumbang, atau mungkin bahkan seperti sayap capung atau ikan terbang.”
“Mm, sepertinya lebih mirip sayap
burung, yang bisa membentang menjadi sangat lebar, hingga bahkan seperti dapat
menangkup rentang garis kakilangit. Tapi, kadang ada juga miripnya dengan sayap
kupu-kupu, karena ia begitu berwarna-warni, indah sekali, seperti tempat asal
di mana pelangi lahir, atau tempat di mana kupu-kupu berenang sebelum keluar
dari kepompongnya. Namun, kadangkala ia juga tampak seperti sayap capung, yang
terbang menggeletar, hingga bagai muncul beribu-ribu lapis,
hingga bagai akan menyungkup langit. Ah, entahlah.”
“Keterangan Anda begitu
membingungkan. Lagi pula, seperti akan menyungkup langit? Tidakkah itu terlalu
berlebih-lebihan?”
“Eh, Bung, kalau Bung tidak percaya
sebaiknya Bung lihat sendiri.”
Dan ketika orang itu berhasil
melihatnya, ia pun jadi ikut takjub pula, dan ia pun kemudian akan menceritakan
dengan cara yang sama kepada setiap orang lainnya yang baru datang dan bertanya
kepadanya.
Maka makin ramailah pantai itu,
terutama ketika senja berwarna jingga semata. Dan seperti kebiasaan di
mana-mana, mulailah ada beberapa orang menggelar dagangannya. Ada minuman, ada makanan, ada penganan, ada
mainan, ada peralatan. Ada
pula yang mulai menyewakan tenda, agar orang-orang yang menyewa tidak lagi
perlu berdesak-desakan bertengger di atas batu. Ada yang sekadar menyewakan tikar, dan tak
lupa para pemuda yang mengelola parkiran. Sementara itu sepasang sayap itu
seperti tak peduli, terus saja muncul bagai terbang menembus tirai cahaya
jingga semata, lalu meliuk gemulai di atas samudra, atau kadangkala menggeletar
hingga bagai menjadi seribu pasang sayap yang mampu menyungkup langit, atau
melayah permukaan laut hingga menyemburkan tinggi airnya muncrat hingga ke
awan, atau bahkan terbang di atas kerumunan, berkitar-kitar bagai seekor elang
raksasa yang sedang mencari mangsanya, hingga banyak di antara mereka yang
berhamburan.
“Sayap apakah itu sebenarnya?”
pertanyaan ini kemudian muncul di banyak benak. “Apakah ia semacam spesies
hewan baru, yang belum dikenal, atau belum dicatat?”
“Atau barangkali bagian badannya
begitu kecilnya dibanding sayapnya, hingga mengelabui pandangan kita? Ingat, banyak
laba-laba yang bertungkai begitu panjangnya, sedangkan bagian badannya begitu
kecilnya ….”
“Tapi, itu tidak mungkin.” bantah
seseorang segera. “Saya telah merekamnya dalam handycam ini kemarin. Lihat,” ia menunjukkan layar handycam-nya, “ini momen yang saya zoom, lihat, tidak ada sesuatu yang menyerupai
badan – dalam pengertian semata badan, bahkan tidak juga kepala dan kaki.”
“Layar handycam ini terlalu kecil.”
“Baiklah, mari kita lihat melalui
layar laptop.” Lalu beberapa orang
bergegas mengikuti orang yang memegang handycam
itu menuju ke sebuah mobil van yang
bertenda, masuk ke dalamnya, dan mulai memerhatikan layar laptop 14,1 inci itu. “Saya sudah mengamatinya berulang-ulang malam
tadi, dan semua bisa lihat: tidak ada.”
“Ya, saya juga memang sudah yakin
begitu. Saya sudah mengamatinya melalui teropong ini.”
“Saya juga, pakai teleskop lagi.”
“Jadi?”
“Jadi?” Semua orang tiba-tiba
seperti berusaha berpikir keras. “Kalau ia bukan suatu makhluk sebagaimana yang
kita kenal, jadi apa?”
“Tapi, tunggu dulu.” seseorang
menyambar. “Harus diluruskan dulu kata-kata ‘makhluk sebagaimana yang kita
kenal’ itu. Apakah setiap makhluk harus punya struktur dasar tubuh seperti kita
atau seperti banyak makhluk lainnya? Harus ada kepala dengan segala mata
telinga dan lain-lainnya itu, harus ada badan, tangan, dan kaki? Kita
barangkali lupa, bahkan makhluk yang kita kenal pun banyak yang tidak memiliki
struktur dasar tubuh seperti itu. Ular, cacing, ikan, teripang, ubur-ubur, timun
laut, dan masih sangat banyak lagi.”
“Iya, tetapi tidak ada burung yang
hanya sayapnya doang!”
“Siapa bilang itu burung?”
“Lah,
ada sayapnya, ‘gitu.”
“Tidak semua yang bersayap itu
burung.”
“Hei, Bung, jangan omong yang
berbelit-belit begitu! Tidak usah berpikir seperti itu saja sudah pusing!”
“Tapi, saya hanya mencoba memberi analisa
….”
“Ee, sudah! Diam!”
Dan semuanya kemudian terdiam,
berkecamuk dengan pikirannya masing-masing, atau bahkan kemudian berkumpul main
kartu, ada juga domino, catur, atau bahkan mengelilingi sebuah api unggun dan
bergitar-gitar. Malam di pantai itu lama-lama
jadi seperti suasana kemping anak remaja ….
“Atau, jangan-jangan itu sayapnya
bidadari.” Keesokan harinya muncul isu baru.
“Atau peri.”
“Atau gergasi.”
“Hush! Gergasi mana punya sayap!”
“Siapa bilang. Pterosaurus? Hayo ….”
“Itu ‘kan golongan dinosaurus juga, bego!”
“Atau malaikat?”
Mendengar yang terakhir, semuanya
mendadak terdiam. Berbagai pikiran dan perasaan mendadak berkecamuk di dalam
diri. Membayangkan itu sayap bidadari atau peri saja, kalau kedua jenis makhluk
itu memang ada, sudah sedemikian menyesakkan. Apatah lagi sayap malaikat?
“Anda yakin?”
“Apa?”
“Malaikat?”
“Eh, saya ‘kan cuma ikut menduga ….”
“Kalau dugaan Anda benar,
bagaimana?”
“Kalau benar?” orang itu tiba-tiba
bingung. “Iya, bagaimana?”
“Lho,
Anda yang menduga ….”
“Tapi … Eh, bukankah itu bagus?”
“Bagus bagaimana?”
“Ya, malaikat ‘kan biasanya baik. Barangkali saja itu
Malaikat Mikail, yang akan membagi-bagikan rezeki kepada kita. Maksud saya:
kita semua, bangsa kita, bangsa yang tak putus dirundung malang ini.”
“Wah, iya ya.” Mendadak semua
tersenyum cerah, membayangkan barangkali tidak lama lagi sepasang sayap itu segera
menurunkan hujan duit, atau setidak-tidaknya hujan sembako. Namun mendadak wajahnya menjadi muram. “Tapi, kalau
Malaikat Izrail, bagaimana?”
“Eh, iya, bagaimana? Siapa yang tahu
ya itu malaikat apa?”
“Apalagi kalau itu Israfil.”
“Bakal kiamat!”
“Kalau Malik?”
“Berarti, dunia kita ini neraka, dong!”
Mendengar itu, segera saja terjadi
keributan kecil. Beberapa orang tampak seperti ketakutan, ingin berlari
kian-kemari. Tapi, kalau dunia ini betul-betul mau kiamat, atau bahkan sudah
benar-benar jadi neraka, mau lari kemana lagi? Menyadari kebodohan itu, mereka
kemudian malu sendiri, dan mulai bertenang diri mengelup bagai kura-kura yang dikejut.
“Lagi pula, apa betul malaikat itu
bersayap.”
“Dalam banyak lukisan dan cerita
lama, memang begitu.”
“Seringkali lukisan dan cerita itu
hanya merupakan metafora belaka.”
“Tetapi, dalam berbagai kitab suci
juga ada. Apa ada yang mau membantah?”
“Kadang-kadang kitab-kitab suci juga
menggunakan bahasa kiasan, tamsil, alegoris, ….”
“Lantas, kalau bukan malaikat, lalu
apa.”
“Bisa peri, atau bidadari tadi.”
“Bung percaya kedua jenis makhluk
itu ada?”
“Sesuatu yang tidak pernah
berinteraksi dengan kita bukan berarti tidak ada.”
“Baiklah. Lalu, apa penjelasan Bung
kalau sepasang sayap itu ternyata sayap peri atau sayap bidadari?”
“Penjelasan? Maksud Anda apa?”
“Ya ….” Ragu sendiri, baru menyadari
kenapa Si Bung itu yang harus memberikan penjelasan; bukankah yang memiliki
sepasang sayap itu sendirilah yang harus memberikan penjelasan tentang
keberadaannya yang fenomenal ini? Tetapi, “Maksud saya, barangkali Bung punya
suatu pemikiran tentang kejadian ini.”
Tapi, Si Bung itu tidak menjawab
lagi. Barangkali dia sama bingungnya dengan yang lainnya; pikirnya akhirnya.
“Atau,” seseorang yang lain
tiba-tiba menyela, “sepasang sayap itu sesungguhnya memang bukan milik
siapa-siapa.”
Orang banyak jadi tersentak dengan
pernyataan itu.
“Maksud kamu?”
“Ya, maksud saya sepasang sayap itu
memang bukan milik siapa-siapa. Bukan milik peri, atau bidadari, atau gergasi,
maupun malaikat. Sepasang sayap itu memang tak berbadan, tak bertubuh. Karena
itulah ia selalu muncul, selalu keluar di sela setiap senja jingga. Terbang
melayang-layang kian-kemari. Ia ingin mencari badan untuk ditubuhinya.”
“Mencari badan?”
Astaga, keruan saja pemikiran yang terakhir
itu menarik minat banyak orang. Sangat banyak orang. Bahkan mungkin semua
orang. Membayangkan suatu ketika sepasang sayap itu terbang mendekatinya dan
kemudian hinggap dan menyatu di punggungnya, bukankah itu adalah khayalan yang
sungguh menyenangkan? Siapa yang tidak menginginkan sepasang sayap di tubuhnya?
Sejak awal sejarahnya umat manusia bahkan sudah merindukannya. Membayangkan apa
yang dapat dilakukan dengan sepasang sayap, rasanya jadi seperti tak terbatas.
Apatah lagi dengan sepasang sayap ajaib seperti ini, yang selalu muncul dari
balik ufuk senja jingga semata ….
Menyadari bahwa pemikiran itu masuk
akal, dan membayangkan segala hal yang menyenangkan itu, maka beramai-ramai
kerumunan orang itu berubah perilakunya. Bila tadinya banyak yang takut dan
bersembunyi manakala sepasang sayap tak berbadan itu terbang melayah di atas
mereka, atau hanya sekadar ternganga takjub; kali ini berubah menjadi berani
menampakkan dirinya masing-masing, bahkan ada yang berteriak-teriak mencoba
mendapatkan perhatian, dengan harapan sepasang sayap tak berbadan itu akan
tertarik dan hinggap di punggungnya. Bahkan yang lebih gilanya lagi, ketika
hari-hari kian berlanjut, banyak yang mulai membuka bajunya manakala sepasang
sayap tak berbadan itu muncul, menunjuk-nunjukkan punggung mereka, atau sambil
membungkuk-bungkukkan badan dengan punggung yang berkilat-kilat kejinggaan
dengan anggapan hal itu akan mempermudah sepasang sayap itu hinggap; atau
bahkan ada yang sampai telanjang bulat! Tak laki-laki, tak perempuan.
Tetapi, sepasang sayap tak berbadan
itu, dari hari ke hari tetap saja seperti biasa, seperti tak ada apa-apa,
seperti tak peduli dengan semua suasana di kerumunan itu. Perlahan-lahan, bagai
menembus tirai cahaya senja jingga semata, berkelepak muncul menampakkan
wujudnya, melayang-layang mendekat, sembari mengirimkan berkas-berkas siluet
cahaya. Meliuk gemulai di atas samudra, atau kadangkala menggeletar hingga
bagai menjadi seribu pasang sayap yang mampu menyungkup langit, atau melayah
permukaan laut hingga menyemburkan airnya tinggi muncrat ke awan, atau bahkan
terbang di atas kerumunan, berbega bagai elang raksasa yang sedang mencari mangsanya,
meski tak juga ia hinggap di salah satu punggung itu.
Biarlah begitu! Aku tak begitu
peduli. Toh aku masih punya 599
pasang sayap lagi.
Payungsekaki, 241105.