Minggu, 30 Juli 2023

 [BERTAHUN YANG LALU SAYA MULAI MENULIS NOVEL INI, BERHARAP IA MENJADI NOVEL SILAT PERTAMA SAYA. NAMUN ENTAH KENAPA, SETELAH BEBERAPA PULUH HALAMAN MENDADAK MANDEK. SEKARANG NOVEL YANG BELUM SELESAI ITU SAYA MUAT DI SINI, SIAPA TAHU BISA JADI PEMICU UNTUK MELANJUTKAN KEMBALI. SELAMAT MENIKMATI]


SETIAP ORANG PUNYA PENDAMPING DARI ALAM GAIB, TAPI HANYA SEDIKIT SEKALI YANG MENGETAHUINYA, DAN LEBIH SEDIKIT LAGI YANG DAPAT BERINTERAKSI DENGANNYA. OLEH YANG TERAKHIR ITU KAMI DISEBUT SEBAGAI :

 

 

 

Akuan

SEBUAH NOVEL

by  lazuardi el yojana

 

 

Jakarta, pkl. 16:17 WIB.

Sebuah rumah di kawasan Gudang Peluru, Tebet.

Rumah itu terlihat sepi. Pintu pagar dari besi yang sebagian sudah berkarat tertutup rapat. Rumpun- rumpun perdu bebungaan di halaman yang sempit itu terlihat kurang terawat. Seperti jenggot abah bertahun-tahun yang lalu. Anyelir, bakung, dahlia, dan entah apa lagi. Baik yang di atas tanah maupun yang di dalam pot. Udara memang terasa panas beberapa hari ini, tapi pasti bukan sekadar karena itu. Tanaman-tanaman itu seperti sudah berbulan-bulan tidak pernah mendapatkan sentuhan perawatan. Mungkin penghuni rumah itu terlalu sibuk, atau memang sudah tidak peduli lagi.

Di sudut halaman dekat arah pintu pagar itu terpancang sebuah plank yang tidak terlalu besar, bertuliskan: “Perguruan Silat Pangean”. Lalu di bawahnya dengan ukuran yang jauh lebih kecil terdapat tiga baris yang bertuliskan alamat dan semacam nomor registrasi. Plank nama itu juga terlihat seperti bebungaan itu. Tak terurus. Tepat di hadapannyalah, dengan hanya berbataskan pagar besi setinggi dada, aku berdiri ragu sejak tadi.

Aku tersenyum melihat plank nama itu. Meskipun di beberapa bagian sudah terlihat cat yang mengelupas, tapi perasaanku tetap berbungah. Ada sepercik rasa bangga, silat pangean ternyata ada juga di Jakarta! Setelah beberapa kali mengunjungi ibukota ini, baru sekarang aku mengetahuinya. Guruku sendiri yang mengatakannya, Pendekar Malin Merah, jauh di Koto Tinggi Pangean sana. Sebagai seorang wartawan, meskipun masih junior, aku jadi malu juga.

Tapi ini bukanlah kunjungan biasa. Aku harus mengingatkan diriku sendiri. Orang yang kucari ini bukanlah orang biasa. Dia bergelar Datuk Rimau Sati, abang seperguruan guruku sendiri. Meskipun dengan begitu kami sebenarnya masih ada hubungan, tapi urusanku dengannya tidak akan menjadi lebih mudah. Mungkin justru akan menjadi jauh lebih sulit. Guruku sudah mengingatkannya dengan jelas. Aku harus berhati-hati.

“Ada urusan yang belum selesai, antara abangku itu dengan kami di sini.” begitu kata guruku, dengan wajah yang terlihat seperti sedang menanggung beban berat. “Tapi itu bukan memang urusan kau.”

Kata beliau lagi, “Meskipun begitu, itu pasti akan berpengaruh juga bagi kau. Kau mungkin akan kesulitan karena itu, walaupun itu tidak ada hubungannya secara langsung dengan kau.”

“Saya mengerti, Pendekar Guru.” aku menyahut takzim.

“Satu hal lagi, dan ini justru paling penting,” guruku menarik napas yang lebih panjang, “kalian berdua sepertinya tidak akan cocok.”

“Kenapa Guru?” aku terheran.

“Nanti, saat akan berangkat aku kasih tahu. Tapi sekarang keputusannya sudah jelas. Kami bertiga sudah memutuskan, untuk mengatasi masalah kau ini, kau memang harus menemui beliau. Tidak ada jalan lain.”

 

Dan jadilah aku di sini sekarang, di hadapan plank ini. Sekarang aku harus menguatkan hati. Meskipun dalam beberapa jam terakhir ini aku membayangkan wajah bulat merah dengan kumis yang panjang melintang kaku macam batang-batang lidi, aku toh sepertinya memang tidak ada pilihan lain, dan lagi tentu tak akan berani menentang keputusan guru-guruku. Bisa durhaka aku nanti.

Sebuah mobil lewat dengan klakson panjang ketika aku sudah menguatkan hati. Aku kemudian memencet saklar bel yang terdapat di tembok pintu pagar. Dua tiga kali, baru kemudian keluar seorang lelaki yang kelihatannya hanya beberapa tahun lebih tua daripadaku. Pintu pagar pun terbuka sebagian.

“Ya? Ada apa?” tanyanya datar.

“Bapak ada?”

“Bapak siapa?”

Aduh, aku berlagak sok tahu, dia berlagak sok tidak tahu.

“Ee, Bapak Datuk Rimau Sati?”

“Siapa?”

Aku mengulang nama itu, dan orang itu menjawab yang bernama itu tidak ada di sini. Aku jadi bingung. Apakah aku telah salah alamat? Rasanya tidak, dan sejak tadi sudah kuperiksa berulang-ulang. Dan yang lebih menyakinkan lagi adalah adanya plank nama itu. Oh ya, plank itu. Aku menunjuk.

“Di sini Perguruan Silat Pangean, kan?”

“Iya, betul.”

“Ah, saya ingin bertemu dengan bapak pemilik perguruan itu. Beliau ada, kan?”

Orang itu memandangku dengan wajah setengah detektif.

“Bapak ini siapa?”

“Saya …,” agak bingung juga menjawabnya, tapi kemudian begitu saja bintang bersinar tiba-tiba, “saya Genta, wartawan Harian Tamaddun dari Riau. Saya ingin sekali bertemu beliau. Ada hal yang penting.”

Kutunjukkan kartu pers yang kurogoh dari saku jaket dengan cepat.

“Mas sudah bikin janji dengan beliau?” tanyanya lagi, setelah beberapa detik tadi memelototi kartu persku.

“Sayangnya belum. Tapi, karena saya sudah terlanjur di Jakarta, saya langsung saja ke sini. Tolonglah, ini penting sekali.” Entah kenapa, aku jadi seperti setengah berbohong.

Setelah diam sejenak dengan wajah yang terlihat seperti menimbang-nimbang dengan berat, orang itu pun masuk dan menutup pintunya setelah menyuruhku untuk menunggu. Beberapa menit kemudian, wajah yang mengesalkan itu nongol kembali.

“Beliau tidak berkenan.”

“Tapi …, tapi ….”

“Maaf Mas, pintu mau saya tutup.”

“Tapi …,” lalu begitu saja aku menyebutkan, “tolong katakan saya diutus oleh Pendekar Malin Merah! Ini penting! Kalau beliau memang orang yang saya cari, beliau pasti mengerti!”

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti berasal dari jauh di belakang tapi begitu tajam menusuk telinga.

“Eman!”

Orang yang di hadapanku itu seketika pucat wajahnya, lalu menjawab dengan melengkingkan suara sekuat-kuatnya, sembari bergerak hendak masuk kembali.

“Siap, Guru!”

“Suruh orang itu masuk!”

Agak membelalak terheran, tapi kemudian dijawabnya juga kembali,

“Siap, Guru!”

 

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam. Aku pikir aku akan dibawa ke ruang tamu di depan, tetapi justru dibawa melewati lorong sempit di samping antara garasi dan tembok pagar samping, lalu mungkin dapur dan kamar mandi, sampai kemudian terlihatlah sebidang tanah yang cukup lapang di bagian belakang bangunan. Aku kemudian dipersilahkan duduk dan menunggu di antara beberapa kursi panjang yang terbuat dari kayu di selasar belakang bangunan itu. Lelaki yang bernama Eman itu pun kemudian menghilang.

Lalu senyap. Pemandangan yang kulihat hanyalah lagi-lagi kerimbunan beberapa kelompok perdu bebungaan yang kurang terawat, beberapa bagian dari belakang rumah, beberapa alat olahraga yang tergeletak di sana-sini, serta tentu saja tanah lapang itu. Setelah melihat lebih teliti – karena sepertinya belum ada apapun yang harus aku lakukan – material tanah lapang yang berwarna kemerahan itu bukan sekadar tanah dasar biasa, melainkan merupakan semacam campuran antara tanah liat ditambah pasir dan serbuk batubata. Mirip seperti lintasan atletik di stadion-stadion olahraga, tapi tidak semulus itu. Aku kemudian menyadari, di sinilah mungkin tempat mereka berlatih, atau tempat Datuk mengajarkan silatnya, dan bukan di dalam ruangan seperti yang kubayangkan semula, seperti di banyak film-film. Hm, hebat juga Datuk ini; pikirku. Meski sudah bertahun-tahun di Jakarta, dia tidak menghilangkan kebiasaan dan cara berlatih di kampung. Kami menyebutnya laman silek.

Aku pikir aku sedang tersenyum ketika sesosok tubuh tinggi besar tanpa sadar telah berdiri di dekatku. Aku seketika terlonjak berdiri, dan sempat melihat kerutan heran mengeriting di keningnya. Tapi jelas aku tidak melihat wajah yang bulat merah dengan kumis melintang sekaku lidi. Wajahnya justru terlihat cukup halus untuk orang seumur beliau – bahkan kurasa lebih halus dibanding wajah guruku sendiri yang selama ini selalu kubayangkan sebagai wajah orang yang paling bijak bestari. Bedanya, wajah yang halus ini sepertinya tidak mengenal senyum.

“Siapa kamu?” begitu saja dia bertanya.

Meski sudah hilang bayangan wajah mengerikan itu, aku masih juga tak mampu menghilangkan kegugupanku seluruhnya. Sambil menunduk takzim dan mengacungkan tangan untuk bersalaman, yang rasanya agak lama kemudian baru disambutnya, aku mengenalkan diriku,

“Saya Genta, Datuk Guru. Saya datang kemari diutus oleh ….”

Tapi kami berdua seketika terkejut. Begitu ujung telapak tangan kami saling bersentuhan, seperti ada aliran listrik ribuan watt menjalar memercikkan api. Kami berdua terpana, tapi lebih mengerikan lagi melihat wajah bertubuh besar itu, yang tiba-tiba seketika memerah dan menghitam seperti baru saja disapu kuas lukisan. Dia mundur selangkah, sementara tanganku masih terasa gemetaran seperti dikerubuti jutaan semut api.

“Kamu …!”

Tapi, aku tahu aku harus cepat menyebut kembali nama bertuah ini.

“Saya diutus oleh Pendekar Malin Merah, Datuk Guru!”

Entah kenapa, nama itu seperti menunjukkan tuahnya lagi. Perlahan-lahan wajah tegang dan bengis lelaki itu mereda, tapi sekarang dengan sikap kewaspadaan yang jauh lebih tinggi. Aku jelas dapat merasakan itu.

“Apa hubungan kamu dengan nama itu?” tanyanya agak lama kemudian.

“Saya salah seorang murid beliau, Datuk Guru.”

Dia mengangguk-angguk, memperhatikan diriku dengan seksama, terkesan seperti kurang begitu percaya. Lalu bibirnya membentuk lekukan yang terkesan mengejek.

“Oo. Sudah berapa lama kamu berguru?”

“Sejak saya berumur tiga belas, Datuk Guru.”

Mendengar itu, dia diam sejenak. Mungkin sedang berhitung, lalu berkesimpulan sendiri, wah mungkin sudah lebih sepuluh tahun bocah ini berguru. Pasti ilmunya sudah nyaris setinggi gurunya. Ha ha, kau kecele, Pak Tua! Aku hanya berguru sampai tamat SMA. Begitu menghilang kuliah dan bekerja, aku nyaris tak pernah belajar silat lagi, kecuali sekali-sekali saat pulang dan mengikuti latihan silat bersama di laman silat di malam-malam Bulan Ramadhan, sebagaimana kebiasaan kami di kampung.

“Pasti kamu sudah hebat, ya?” katanya kemudian. Benar, kan? Kesimpulanku tidak salah. Tapi aku diam saja, bahkan seperti setengah merasa bangga. Setidak-tidaknya aku pikir dengan mencoba keakraban begini mungkin urusanku yang lebih penting nanti akan menjadi lebih mudah. Tapi, aku salah perhitungan.

“Tapi, aku tidak percaya kamu dari Pangean dan berguru pada Si Penari itu. Kamu harus membuktikannya!”

Aku jadi bingung.

“Membuktikannya? Tapi, bagaimana …?”

Aku rasa tentu bukan dengan KTP, bukan? Dengan kartu anggota? Mana ada laman silek di kampung-kampung menggunakan benda semacam itu?

“Kalau kamu tidak bisa membuktikannya, akan aku patahkan tangan kamu karena sudah lancang mengaku-ngaku!”

Ancaman Datuk Guru segera seperti membuat otakku terpacu laju. Melihat kembali kebengisan wajahnya, aku yakin ancamannya bukanlah main-main. Siapa pun pasti dapat memahami kelogisan alasannya. Seketika aku melihat jalan keluarnya!

 BERSAMBUNG