Senin, 01 Juni 2015

CERPEN "Mencuri Melayu"

Gedung Idrus Tintin Tak Berkepala !





Mencuri Melayu
Cerpen   gde agung lontar

            Berita  menggemparkan di negeri kami kian menjadi-jadi. Belum lama berselang beredar kabar Candi Sintong lesap tak berasap. Media massa yang bertambun itu pun hiruk-pikuk, belum lagi ditambah kicau dan racau di laman maya. Berbagai komentar dan tanggapan berhamburan, berlusin-lusin analisa dan praduga mengemuka, tak kurang-kurang pula rasa percaya tak percaya. Bagaimana mungkin bangunan candi yang masif dan pastilah beratnya berton-ton itu bisa menghilang dengan tiba-tiba?
            “Kalau dicuri jelas tak mungkin.” bantah petugas penjaga situs. “Tak ada bekas jejak mencurigakan apa pun di sekitar situs. Segala batu dan bata itu kan beratnya ratusan ton. Berapa truk harus disediakan. Membongkarnya juga pastilah lama sekali. Tak mungkin, kan? Lagi pula saya selalu mengawasinya. Tak mungkin, lah.”
            “Habis, apa yang terjadi?”
            Tak ada jawaban yang pasti. Ada yang bilang, jangan-jangan jin yang sudah melakukannya. Atau alien dari luar angkasa. Atau lindap ke dalam bumi begitu saja. Ada pula yang bercuriga itu sekadar hasil konspirasi petugas sendiri. Maklum, mereka konon gajinya kecil-kecil.
            Sudah cukup lama sebelum itu sebetulnya negeri kami sudah dihumbalangkan dengan berbagai berita dan isu yang mengharu-biru serupa itu. Kalau tak salah ingat agaknya dimulai dengan lenyapnya Tugu Satu Milyar Barel di Duri, yang tak lama kemudian disusul dengan saudaranya yang dua milyar barel. Perusahaan minyak itu pun sempat heboh, menuduh kesana-kemari, tapi kemudian segera senyap. Agak lama berselang, tiba-tiba tersiar pula kabar Musium Sang Nila Utama kemalingan. Segala benda dan artefak yang memanglah tak seberapa itu melayang dalam semalam. Akibatnya, tiga hari kemudian kepala musium itu dipecat. Tapi berita heboh segera bersambung ketika dari pelosok-pelosok daerah perusahaan-perusahaan tambang batubara mengabarkan bahwa deposit-deposit batubara mereka yang sudah ditumpuk menggunung dan siap dijual itu tiba-tiba juga ikut melayap entah kemana. Perlu puluhan ribu dumptruck untuk melakukannya dalam semalam; dan itu jelas tak mungkin dilakukan manusia.
            Maka, sejak itu segala petinggi negeri pun rapat rapat dan rapat. Karena bukan itu saja, yang kecil-kecil pun bersepah terjadi di sana-sini. Laporan-laporan aneh dan membingungkan (bahkan kadang-kadang mengesalkan) dari masyarakat mulai bertimbun. Dari laporan tentang hilangnya tiba-tiba tulisan Arab-Melayu di berbagai plank nama jalan dan kantor-kantor pemerintahan tanpa ada jejak bekas hapusan, lesapnya ornamen relief kearifan Melayu di Gedung Perpustakaan Soeman HS, melayangnya atap bumbung panjang Gedung Anjungan Idrus Tintin hingga ternampak macam orang tak berkepala, gaibnya seluruh teluk belanga serta songket dan batik tabir dari lemari-lemari pakaian sampai ke pasar-pasar dan butik-butik, sampai kepada menguapnya buku-buku yang berisi apa saja hal tentang Melayu. Itu dimulai dari buku pelajaran di sekolah, yang setiap ada yang menerakan hal tentang Melayu, konon perlahan-lahan memudar sampai menjadi kertas putih belaka hanya dalam 33 detik! Juga menghilangnya buku-buku Gurindam 12 Raja Ali Haji, sampai kepada buku-buku tunjuk-ajar Tennas Effendi yang terbaru sekali pun.
Para petinggi negeri pun sebenarnya juga tak kalah runsingnya, karena sejak kejadian-kejadian itu, mereka tiba-tiba tidak lagi dapat berpantun, baik di awal maupun di akhir pidato. Kalau pantun itu ada di naskah, dia lenyap begitu akan dibaca. Kalau si petinggi kebetulan hafal, dia lemau di ujung lidah. Apa tak malu, tu.
            Sebelum lagi para petinggi itu menemukan solusi, peristiwa kian menjadi-jadi. Kemudian lenyaplah pula segala panglong yang tersisa – lagi-lagi dengan tiba-tiba. Sudahlah tak ada lagi kayu hutan untuk dipelasah, tempat untuk mengolah pun ikut pula musnah. Di lain pihak, berjuta-juta tandan buah elaeis macam dicuri ribuan ninja sawit dalam semalam. Lalu dari Taluk muncul pula kabar bahwa tapak Kerajaan Kandis yang diduga situs pemukiman eksodus eks Kemaharajaan Atlantis itu pun telah sirna pula. Dan berita-berita pun kian meledak dengan laporan perusahaan minyak tentang hilangnya satu per satu pompa-pompa angguk mereka.
            Petinggi negeri kemudian akhirnya mengudang para pemuka masyarakat; tokoh-tokoh agama, para tokoh adat, dan kaum cerdik-pandai. Tersadar masalah rupanya tak lagi dapat mereka selesaikan sendiri, tak juga dapat sekadar diselipkan di bawah tikar. Di ballroom hotel bintang lima itu mereka berkumpul, tapi sekali ini ada yang ganjil. Tak macam biasanya, tak satu pun di antara orang-orang patut itu yang terlihat menggunakan pakaian adat semacam teluk belanga dan songket batik tabir. Macam mana tidak, kan semua sudah hilang entah dicuri!
Maka, pertemuan pun dimulai. Malu tak lagi dapat berpantun apalagi pepatah-petitih, acara pun segera saja masuk ke inti persoalan.
            “Jadi, dari sebentangan masalah mustahil yang sudah disampaikan tadi, apa yang dapat kita lakukan? Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Bagaimana kita dapat mengatasinya? Bagaimana kita mencegahnya?”

* * *

            Tapi aku tak tahu lagi bagaimana kesudahannya perundingan para peneraju negeri itu. Lagi pula aku tak begitu peduli. Sejak hilangnya berbagai artefak, benda-benda, dan segala harta-kekayaan negeri kami baik yang berbentuk maupun tidak itu; memang telah menjadi pembicaraan pula di antara aku dan kawan-kawanku. Apa yang sudah terjadi? Siapakah yang mencurinya? Siapa yang telah merampas kekayaan Melayu kita?
            “Tak mungkin jin dan mambang.” bantah Leman Tonjang pula. “Itu sudah menjadi masa lalu.”
            “Juga tak mungkin alien.” tambah Kadir Tonggeng tak mau kalah. “Itu masih di masa depan nanti.”
            “Habis siapa?” tanya Wan Deraman yang memang selalu bertanya.
            “Lindap tenggelam tak mungkin juga.” lenguh Awang Teleng heran. “Tak mungkin bumi memilih-milih. Kita pun bisa tenggelam, kan?”
            “Siapa lagi lah kalau bukan orang.” kataku tiba-tiba.
            “Orang mana?” tanya mereka serempak.
            “Orang luar lah. Siapa lagi?”
Terdengar suara gumaman ramai.
            “Ah, tak mungkin lah tu.” bantah suara ragu.
            “Tak mungkin macam mana.”
            “Kan tak ada jejak apa pun yang menjadi bukti kalau itu perbuatan manusia.”
            “Memanglah tak perlu jejak apa pun. Itu hanya untuk orang bodoh. Dengan teknologi masa kini semua menjadi mungkin.” aku berkata pasti.
Kembali suara gumaman ramai.
            “Sekarang begini,” kataku kemudian, “semua harta kekayaan kita telah dicuri oleh orang luar. Tak banyak yang tersisa lagi. Apa yang harus kita lakukan?”
            “Kita tangkap mereka!”
            “Ya! Kita tangkap dan penjarakan mereka!”
            “Kita suruh mereka mengembalikan lagi semuanya!”
Suara ramai memekakkan telinga, seolah-olah ingin menjadi pahlawan kesiangan semua. Aku tertawa-tawa.
            “Tak perlulah itu. Payah orang macam kita ni untuk melakukannya.”
            “Habis?”
            “Kita ikut mencuri saja!”
            “Apa?”
            “Ya, daripada semua habis dicuri oleh orang-orang luar itu, sementara kita hanya memandang-mandang saja sampai liur terburai-burai, baguslah kita ikut juga mencuri di sini. Paling tidak kita pun masih bisa ikut menikmatinya.”
            Itu pembicaraan aku dan kawan-kawanku beberapa minggu yang lalu. Hasilnya, Candi Sintong itulah – yang sekarang telah berganti menjadi lembaran-lembaran rupiah di tangan. Kami pun tertawa-tawa, bergembira-ria, berpesta-pora, berfoya-foya; membayar segala kemelaratan dan ketertindasan kami selama ini.
            Esok satu lagi tapak yang sangat purba dan sangat mahal akan menjadi sasaran kami: Candi Muara Takus.
Payungsekaki, 041114.
: AT.
[Publikasi #1: Riau Pos, 01 Maret 2015]

ALINEA "Dari Pada Daripada"




Dari Pada Daripada
Oleh  gde agung lontar

            Ada satu [atau barangkali dua] kata yang konon menjadi salah satu ciri khas dalam berbahasa Indonesia sepanjang masa Orde Baru, yang kian menjadi kontroversi yang bertelingkah dengan dunia politik di penghujung masa-masa itu, dan di awal “Orde Reformasi”. Bahkan kata itu pun kian melambung popularitasnya (atau justru barangkali sebaliknya) ketika monologis (atau monologwan?; untuk penyebutan orang yang melakukan pementasan monolog, belum ada di KBBI) Butet Kertaradjasa berkali-kali mementaskannya dengan artikulasi dan intonasi yang begitu kental mengingatkan kita pada sosok Soeharto, satu-satunya presiden Indonesia di masa Orde Baru. Penulis juga sempat terpesona dengan fenomena itu, sehingga juga sempat menggunakannya secara melebih-lebihkan atau juga ironik (bukan “ironis”; sebangun dengan “kritik” atau “praktik”) dalam beberapa cerpen atau novel. Belakangan baru Penulis sadari bahwa sudah ikut terbawa arus yang keliru. Lupa pada “tradisi” di lingkungan sendiri. Itulah kata depan atau proposisi daripada.
            Ya, hanya sebuah preposisi komparatif daripada.
            Namun ternyata tidaklah sesederhana kelihatannya, karena pada praktiknya preposisi ini penggunaannya berkelindan dengan preposisi dari, daripada, dan yang nampaknya terlewatkan oleh para linguis gabungan kata dari pada. Kelindan [dalam resam Melayu dapat juga bermakna “benang kusut”] ini terjadi antara bahasa lisan dan tulisan, pengetahuan berbahasa para penuturnya, dan tumbuh-kembang bahasa itu sendiri [termasuk persoalan kebakuan] yang dalam hal ini adalah Bahasa Melayu-Indonesia.
            Nampaknya dari[pada] mendapatkan perhatian yang cukup istimewa dari para linguis, sekaligus agaknya juga memeningkan kepala. Ada beberapa bahasan khusus datang dari mereka soal ini, bahkan sejak masa ilmu linguistik bermula lagi. Namun nampaknya mereka semua terjebak hanya pada dua soal saja, yaitu persoalan kekacauan penggunaan bentuk dari dan daripada, dan persoalan ragam lisan dan ragam tulisan. John Verhaar menulis cukup panjang-lebar soal ini yang dimuat dalam Kajian Serba Linguistik, namun inilah di antaranya yang akan kita coba bahas.
            John Verhaar memulai tulisannya dengan mengatakan bahwa “Bahasa Indonesia modern memperlihatkan adanya perubahan yang tengah berlangsung pada pemakaian preposisi dari dan bentuk yang lebih lama daripada”. Pernyataan ini saja sudah menunjukkan Verhaar sepertinya sudah langsung menghakimi bahwa penggunaan kata dari adalah [semata-mata] merupakan penyederhanaan dari bentuk lama daripada; dan ini mengakibatkan ia membatasi dirinya sendiri secara tidak perlu. Dia juga selanjutnya menyatakan bahwa dari(pada [bertugas] memarkahi konstituen komplemen apa saja yang lazim untuk keposesifan, asosiasi, jarak, asal, pemisahan, penggantian ... dst; yang kesemuanya dapat tercakup hanya dalam lema dari dalam KBBI 2002. KBBI itu sendiri hanya menampilkan lema daripada sebagai partikel preposisi menandai perbandingan.
            Soedjarwo pula (1994:102-104) menunjukkan ada beberapa kesalahan penggunaan daripada yang sering kita jumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia. Hal ejaannya yang ditulis terpisah (dari pada) yang seharusnya serangkai (daripada), tanpa beliau menganalisis kemungkinan ada perbedaan makna atau maksud yang dikandungnya; serta beberapa kesalahan lainnya yang pada umumnya dalam konteks tekstual.
            Tergoda dengan Verhaar yang menganalisis beberapa teks klasik [dalam kaitan tesisnya di atas] dalam hal pemakaian kata dari dan daripada dengan beberapa kategori linguistik yang tentulah rumit bagi awam semacam Penulis, maka Penulis juga bermaksud melakukan hal yang sama, hanya saja secara lebih sederhana dan hanya dalam konteks tulisan ini.
            Dalam teks Hikayat Hang Tuah (HHT) (1978: 51-90) Penulis mendapatkan kata dari untuk [penggunaan preposisi] komparatif frekuensi pemakaiannya adalah 0 (nol), sebagai [preposisi pemarkah] muncul 17 kali; sementara untuk kata daripada sebagai komparatif 4, dan pemarkah 26. Menariknya muncul juga bentuk dari pada sebagai pemarkah 2. Dalam teks Sulalatus Salatin (SS) (1986: 1-66 dari 312 hal.) didapatkan frekuensi penggunaan kata dari sebagai komparatif adalah 0 (nol), sebagai pemarkah 43; sedangkan daripada sebagai komparatif 5, sebagai pemarkah 50; tidak ditemukan penggunaan bentuk dari pada. Dalam teks Tata Bahasa Melayu (TBM) (1985: 1-90 dari 210 hal.) penggunaan dari sebagai komparatif 4, sebagai pemarkah 108; sedangkan daripada sebagai komparatif 9, sebagai pemarkah 5; juga tidak ditemukan penggunaan dari pada. Dari suratkabar Warta Malaya (WM) 24 Mei 1934 (h: 5) hanya ditemukan penggunaan daripada sebagai pemarkah 5 kali. Dari Editorial suratkabar Saudara (SA) 27 Juli 1935 (h: 6) ditemukan penggunaan daripada sebagai komparatif 1, dan sebagai pemarkah 10. Terakhir, dari Majalah Guru (MG) edisi Januari 1935 (h: 17-18) hanya ditemukan daripada sebagai komparatif 1, dan sebagai pemarkah 4.
            Apa yang dapat dimaknai dari data-data kuantitatif di atas? Yang begitu menonjol adalah begitu tingginya penggunaan “preposisi” daripada sebagai pemarkah, yang jelas menyalahi kaidah bahasa terkini. Namun ini barangkali bisa dimaafkan karena yang dikaji adalah teks-teks klasik, mengikuti [tesis] Verhaar. Tetapi kadang-kadang yang terlihat bukanlah yang sebenarnya. Setelah ada permasalahan antara ragam lisan dan tulisan, ada persoalan ragam tulisan yang bagaimana, sampai kepada persoalan yang “kecil dan remeh-temeh serta teknis” semacam proses penyuntingan, layout, cetak, hingga sekadar kebiasaan.
            Kalau data kuantitatif di atas disusun dalam bentuk tabel, dengan menggunakan kaidah berbahasa terkini, maka dapat ditetapkan garis diagonal kesalahan pada matriks dari sebagai komparatif dan daripada sebagai pemarkah, analisisnya menjadi: HHT 26/21 (salah/benar), SS 50/48, TBM 9/117, WM 5/0, SA 10/1, dan MG 4/1. Dari analisis ini terlihatlah selain TBM, tingkat kesalahan dalam konteks kaidah terkini sangat menonjol; bahkan juga bila ingin dibandingkan dengan teks-teks [yang setara] terkini. Namun persoalan ini bila ingin lebih jelas, tentu harus dikaji secara lebih mendalam lagi.
            Semisal, teks HHT dan SS pada awalnya, atau naskah aslinya, ditulis dalam bentuk tulisan Arab-Melayu/Jawi. Kemudian terjadi proses transliterasi ke abjad Latin, yang pada masa itu juga masih berkelindan dengan pengembangan tulisan Jawi (tinjau A Samad Ahmad & van Wijk) dan pembakuan/konsensus proses transliterasi. Dalam abjad Latin yang ditulis daripada kemungkinan besar menjadi prolema bila ditinjau kembali ke naskah Jawi-nya. Maka, oleh si pengalih-aksara, mungkin menjadi tidak jelas benar konteksnya sebagai komparatif ataukah pemarkah. Lalu, terbitan-terbitan cetak ulang, edisi revisi, atau bahkan edisi yang “lebih baru dan lebih komprehensif” semacam SS ini, jelas-jelas tak bisa dinafikan akan terjadi “kontaminasi” atau bahkan yang dimaksudkan sebagai “pembetulan”.
            Di antara teks klasik yang dikaji di atas, menariknya (atau mungkin tidak), TBM yang memiliki tingkat kesalahan paling kecil. Ini mungkin sudah seharusnya karena ia adalah sebuah buku tata bahasa (bahkan keterlaluan kalau masih ada kesalahan!; kata si perfeksionis). Artinya, meskipun buku ini terbit pertama kali tahun 1909, van Wijk tidak terpengaruh sama sekali dengan “hiruk-pikuk kesalah-kaprahan di sekelilingnya”. Ini di samping yang telah disebutkan, juga barangkali ada kaitannya dengan tingkat pendidikan dan lingkungan kondusif penulisnya, serta dicetak di Batavia.
            Mari kita sedikit mengulas tentang “kesalahan” TBM itu. Preposisi dari sebagai komparatif keseluruhannya ditemukan di halaman 75. Satu contoh adalah: “... misalnya membaiki, lebih banyak dipakai dari membaikkan ....” Sedangkan daripada sebagai pemarkah satu contohnya adalah: “... – kedua, bahwa orang Melayu, biarpun pada pokoknya ia taat kepada ketentuan tersebut, namun menyimpang daripadanya secara sembarangan ....” (h: 28). Namun, di TBM juga kita menemukan preposisi daripada digunakan sebagai komplemen pemarkah lain (Verhaar dalam KSL h: 400), seperti contoh: “Memang huruf [Jawi], pada saat ketiga-tiganya bertugas sebagai konsonan, tidak lain daripada wakil bagi bunyi a, oe dan i ....” (19).
Meskipun buku yang dikaji ini adalah cetakan tahun 1985, namun kita boleh lega kemungkinan campur-tangan karena penerjemahnya sudah mengatakan bahwa “Sudah sewajarnyalah bahwa dalam menerjemahkan karya tersebut kami telah berusaha sebanyak mungkin untuk menyampaikan isi aslinya kepada para pembaca di Indonesia” (h: XIII).

Dari Pada
            Menariknya, dari teks-teks yang dikaji di atas, HHT adalah satu-satunya yang menggunakan gabungan kata dari pada dalam penggunaan sebagai pemarkah – menyimpang dari “tren” masa itu; meskipun dari 39 halaman yang dikaji itu hanya ditemukan dua kali, dan diikuti dengan 26 kali “kesalahan” penggunaan daripada sebagai pemarkah. Apakah itu hanya sekadar kebetulan, “salah edit, atau cetak”? Agaknya patut diduga demikian. Meski demikian, mari kita coba lihat kedua contoh baik yang tampaknya tak sengaja itu. Di hal 66 “... maka dirajakan oleh Mamak Bendahara pada negeri Bintan, kemudian dari pada itu, maka kita pun kerajaan pula di Melaka ini, ....”; dan di hal 84 ”Hai Saudaraku, keris ini keris aku, dianugerahkan oleh Batara Majapahit, sebab itulah maka kuambil pula dari padamu.”
            Persoalan daripada yang muncul sebagai preposisi pemarkah dalam teks, sehingga mengganggu posisi daripada yang nampaknya sudah “pakem” sebagai preposisi komparatif, adalah barangkali sekadar masalah konsensus dalam bentuk ragam tulisan. Mungkin juga perlu diingat bahwa bentuk dari[pada] sebagai pemarkah nyaris hanya muncul [pada mulanya] dalam ragam lisan; termasuk HHT. Ia biasanya muncul sebagai “pemarkah kepemilikan” atau juga “pemarkah jeda”.
            Verhaar sendiri sebenarnya sempat menyinggung fenomena ini. Katanya: “Mereka juga sering memakai dari(pada) sebagai alat pemerpanjang waktu untuk menemukan N2 dan dengan demikian pemakaian dari(pada) itu mirip dengan ‘eh...’.” (h: 398). [Penulis lebih cenderung mirip dengan “e....”-nya Moerdiono]. Lanjutnya lagi: “Saya yakin bahwa dapat diterima keberatan dari sudut gaya bahasa terhadap pemakaian dari(pada) yang memang redundan dan/atau berfungsi sebagai jeda karena belum jelas N2-nya itu.” (h: 398); yang kemudian diulangnya lagi di halaman 419. Demikian juga dengan Prof. Soedjarwo yang mengatakan: “Dalam pemakaian bahasa Indonesia secara lisan daripada sebagai penanda hubungan milik sering sekali digunakan .... Tujuan penggunaan kata perangkai tersebut ialah untuk mengulur-ulur waktu sambil memikirkan kata-kata lain untuk melanjutkan pengungkapan gagasannya.” (h: 104).
            Maka menurut Penulis, barangkali kita dapat mengambil jalan tengah sebagai konsensus di mana ditahbiskannya sebuah gabungan kata dari pada dalam ragam tulisan untuk dari[pada] sebagai preposisi pemarkah, yang lebih spesifiknya, sebagai “pemarkah kepemilikan” atau juga “pemarkah jeda”. Namun ini digunakan hanya untuk kutipan langsung percakapan (bagaimana pun kita tidak bisa membakukan gaya bicara, kecakapan, aksen atau logat orang bukan?). Sedangkan untuk narasi, hal demikian adalah “haram”.
            Dengan demikian, sebagai contoh di dalam HHT teks dialog/ucapan yang lebih tepat adalah “Hai Si Jebat durhaka, jika engkau berani turunlah engkau dari pada istana Tuanku ini, supaya aku penggal lehermu!” (58). Sedangkan pada narasi “Maka destar dari emas yang bepermata itu pun dipakainya.” (58). Menariknya, Verhaar justru memberikan penyelesaian yang menurut Penulis masih bermasalah. Ia memberi contoh untuk hanya menggunakan dari sebagai pemarkah pemilik (yang diakuinya sendiri kebanyakan akan berkasus redundan/berlebih-lebihan) yaitu: “Seorang anggota Polri juga seorang ayah (dari) anak-anaknya, dan suami (dari) istrinya.” (h: 418). Kiranya apabila ini merupakan ucapan, dapat diterima dalam bentuk “Seorang anggota Polri juga seorang ayah dari pada anak-anaknya, dan suami dari pada istrinya.”; atau apabila narasi mungkin lebih elok ditulis “Seorang anggota Polri juga seorang ayah oleh anak-anaknya, dan suami oleh istrinya.” Sedangkan apabila tanpa preposisi sama sekali, kalimat itu akan menjadi seperti ular yang tak jelas mana ekor mana kepalanya.
            Nah, ternyata hanya satu kata ini saja sudah bikin pusing, bukan?

Payungsekaki, 230415.


BAHAN BACAAN :

Ahmad, A Samad. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. keempat, 1986.
Editorial suratkabar Saudara edisi 27 Juli 1935 (h: 6); diunduh dari internet.
Hikayat Hang Tuah. Jakarta: Departemen P&K, 1978. Diterbitkan seizin PN Balai Pustaka, disalin dari naskah tulisan tangan huruf Arab kepunyaan Koninklijk Bataviaasch Genootschap.
Huma. “Wayang Bangsawan Melayu” dalam Warta Malaya edisi 24 Mei 1934 (h: 5); diunduh dari internet.
KBBI edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Meja Kelang. “Adakah Orang Melayu Maju?” dalam Majalah Guru edisi Januari 1935 (h: 17-18); diunduh dari internet.
Soedjarwo. Beginilah Menggunakan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, edisi revisi 1994.
Verhaar, John. “Preposisi Dari: Sebagai Pemarkah Keatributifan?”. Kajian Serba Linguistik: untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Gunung Mulia dalam kerjasama dengan Universitas Katolik Atma Jaya, 2000.
Wijk, D Gerth van. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan, 1985. Diterjemahkan oleh TW Kamil dari edisi cetakan ke-3, 1909.


Publikasi #1 Riau Pos, 03 Mei 2015, h: 28.
Tulisan ini adalah versi lengkap.