Selasa, 31 Juli 2012

Sayap Terbang Tak Berbadan [cerpen]



(kurukurukuru-kyuchihachan.blogspot.com)





Sayap Terbang Tak Berbadan

            Ketika senja memancarkan cahaya jingga semata dari kakilangit sana, orang-orang pun berkerumunlah di pantai berbatu itu. Mereka semua menanti munculnya sebuah pemandangan yang luar biasa: sepasang sayap terbang tak berbadan. Mula-mula, pancaran cahaya jingga itu akan menyilaukan pandangan mereka. Perih terasa menusuk mata. Satu dua ada juga yang sampai berlinangan – bukan karena menangis; tentu. Meski demikian mereka semua tetap juga berusaha senantiasa menatap jingga senja itu, tak ingin hilang barang sedetik pun momen itu. Di samping itu mereka juga tahu masa yang bagaikan penyiksaan seperti itu tidaklah akan berlangsung lama, paling hanya sekitar tujuh menit. Lalu kemudian, dari dalam kesilauan, tampak menyembul perlahan-lahan, bagai menembus tirai cahaya senja jingga semata, sepasang sayap tak berbadan itu berkelepak muncul menampakkan wujudnya, melayang-layang mendekat, sembari membawa berkas-berkas siluet cahaya, yang bagai memancar dari sebuah proyektor tua.
            Tetapi tak sedikit pula yang mampu menikmati suasana – sebelum sepasang sayap tak berbadan itu muncul. Cahaya jingga senja yang menyilaukan dan memerihkan mata itu; biarlah. Masih ada riak dan ombak laut biru tempat mengalihkan pandang sejenak. Garis-garis putih memanjang, bagai jelujuran rukuk dalam saf orang-orang yang shalat, berarak mendekat, lalu bersujud di pantai landai, sebelum menggapai barisan bebatuan sebesar kerbau dan gajah. Dan juga, angin laut yang semilir, kadang nakal menyibak rambut, sejuk dan basah. Atau burung-burung camar yang melayah pantai, yang kadang-kadang mendekat dan terbang dengan ribut bagai hendak bergurau dengan reramai. Atau sedikit menjauh, bermain-main bersama beberapa lumba-lumba yang girang berenang, yang sesekali melejitkan badannya ke atas permukaan laut, lalu kemudian terhempas kembali sembari menghamburkan air, menciptakan akrobatik tarian air muncrat. Tetapi meski demikian, sudut mata tetap tak lepas jua dari pancaran cahaya jingga di kakilangit sana, menanti kalau-kalau telah muncul sepasang sayap tak berbadan yang berkelepak terbang melayang-layang mendekat.

            “Sepasang sayap tak berbadan?” itulah pertanyaan awal yang muncul di antara kami ketika fenomena itu bermula, atau orang-orang yang baru tahu kemudian.
            “Ya.”
            “Apa maksudnya?”
            “Ya, yang terbang melayang-layang itu hanya sepasang sayap saja, tidak ada badannya.”
            “Tidak ada badannya? Hanya sayap saja? Bagaimana mungkin.”
Yang mencoba menerangkan selalu hanya akan menjungkitkan bahu.
            “Mungkinkah hanya salah lihat? Mungkin itu hanya sebuah pesawat terbang layang, glider, atau mungkin orang yang sedang terbang paralayang.”
            “Bung, orang-orang yang pernah melihatnya semua tahu itu bukan benda yang seperti Bung katakan tadi. Benda itu tidak lain dari sepasang sayap semata. Sepasang sayap alami, bukan benda buatan manusia. Jadi tak usahlah Bung mencoba mencari-cari pembenaran ilmiah atau semacam itu.”
Lantas, biasanya orang yang bertanya itu pun akan terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan pertanyaan lagi,
            “Kalau begitu, seperti apa bentuk sayap itu?”
            “Ya, seperti sayap biasa, ‘gitu. Gimana, sih.”
            “Tidak. Maksud saya, sayap itu ‘kan juga ada bermacam-macam bentuknya. Apakah ia berbentuk seperti sayap burung, atau seperti sayap kelelawar, atau sayap kupu-kupu, atau sayap belalang, atau kumbang, atau mungkin bahkan seperti sayap capung atau ikan terbang.”
            “Mm, sepertinya lebih mirip sayap burung, yang bisa membentang menjadi sangat lebar, hingga bahkan seperti dapat menangkup rentang garis kakilangit. Tapi, kadang ada juga miripnya dengan sayap kupu-kupu, karena ia begitu berwarna-warni, indah sekali, seperti tempat asal di mana pelangi lahir, atau tempat di mana kupu-kupu berenang sebelum keluar dari kepompongnya. Namun, kadangkala ia juga tampak seperti sayap capung, yang terbang menggeletar, hingga bagai muncul beribu-ribu lapis, hingga bagai akan menyungkup langit. Ah, entahlah.”
            “Keterangan Anda begitu membingungkan. Lagi pula, seperti akan menyungkup langit? Tidakkah itu terlalu berlebih-lebihan?”
            “Eh, Bung, kalau Bung tidak percaya sebaiknya Bung lihat sendiri.”
            Dan ketika orang itu berhasil melihatnya, ia pun jadi ikut takjub pula, dan ia pun kemudian akan menceritakan dengan cara yang sama kepada setiap orang lainnya yang baru datang dan bertanya kepadanya.
            Maka makin ramailah pantai itu, terutama ketika senja berwarna jingga semata. Dan seperti kebiasaan di mana-mana, mulailah ada beberapa orang menggelar dagangannya. Ada minuman, ada makanan, ada penganan, ada mainan, ada peralatan. Ada pula yang mulai menyewakan tenda, agar orang-orang yang menyewa tidak lagi perlu berdesak-desakan bertengger di atas batu. Ada yang sekadar menyewakan tikar, dan tak lupa para pemuda yang mengelola parkiran. Sementara itu sepasang sayap itu seperti tak peduli, terus saja muncul bagai terbang menembus tirai cahaya jingga semata, lalu meliuk gemulai di atas samudra, atau kadangkala menggeletar hingga bagai menjadi seribu pasang sayap yang mampu menyungkup langit, atau melayah permukaan laut hingga menyemburkan tinggi airnya muncrat hingga ke awan, atau bahkan terbang di atas kerumunan, berkitar-kitar bagai seekor elang raksasa yang sedang mencari mangsanya, hingga banyak di antara mereka yang berhamburan.

            “Sayap apakah itu sebenarnya?” pertanyaan ini kemudian muncul di banyak benak. “Apakah ia semacam spesies hewan baru, yang belum dikenal, atau belum dicatat?”
            “Atau barangkali bagian badannya begitu kecilnya dibanding sayapnya, hingga mengelabui pandangan kita? Ingat, banyak laba-laba yang bertungkai begitu panjangnya, sedangkan bagian badannya begitu kecilnya ….”
            “Tapi, itu tidak mungkin.” bantah seseorang segera. “Saya telah merekamnya dalam handycam ini kemarin. Lihat,” ia menunjukkan layar handycam-nya, “ini momen yang saya zoom, lihat, tidak ada sesuatu yang menyerupai badan – dalam pengertian semata badan, bahkan tidak juga kepala dan kaki.”
            “Layar handycam ini terlalu kecil.”
            “Baiklah, mari kita lihat melalui layar laptop.” Lalu beberapa orang bergegas mengikuti orang yang memegang handycam itu menuju ke sebuah mobil van yang bertenda, masuk ke dalamnya, dan mulai memerhatikan layar laptop 14,1 inci itu. “Saya sudah mengamatinya berulang-ulang malam tadi, dan semua bisa lihat: tidak ada.”
            “Ya, saya juga memang sudah yakin begitu. Saya sudah mengamatinya melalui teropong ini.”
            “Saya juga, pakai teleskop lagi.”
            “Jadi?”
            “Jadi?” Semua orang tiba-tiba seperti berusaha berpikir keras. “Kalau ia bukan suatu makhluk sebagaimana yang kita kenal, jadi apa?”
            “Tapi, tunggu dulu.” seseorang menyambar. “Harus diluruskan dulu kata-kata ‘makhluk sebagaimana yang kita kenal’ itu. Apakah setiap makhluk harus punya struktur dasar tubuh seperti kita atau seperti banyak makhluk lainnya? Harus ada kepala dengan segala mata telinga dan lain-lainnya itu, harus ada badan, tangan, dan kaki? Kita barangkali lupa, bahkan makhluk yang kita kenal pun banyak yang tidak memiliki struktur dasar tubuh seperti itu. Ular, cacing, ikan, teripang, ubur-ubur, timun laut, dan masih sangat banyak lagi.”
            “Iya, tetapi tidak ada burung yang hanya sayapnya doang!”
            “Siapa bilang itu burung?”
            Lah, ada sayapnya, ‘gitu.”
            “Tidak semua yang bersayap itu burung.”
            “Hei, Bung, jangan omong yang berbelit-belit begitu! Tidak usah berpikir seperti itu saja sudah pusing!”
            “Tapi, saya hanya mencoba memberi analisa ….”
            “Ee, sudah! Diam!”
            Dan semuanya kemudian terdiam, berkecamuk dengan pikirannya masing-masing, atau bahkan kemudian berkumpul main kartu, ada juga domino, catur, atau bahkan mengelilingi sebuah api unggun dan bergitar-gitar. Malam di pantai itu lama-lama jadi seperti suasana kemping anak remaja ….

            “Atau, jangan-jangan itu sayapnya bidadari.” Keesokan harinya muncul isu baru.
            “Atau peri.”
            “Atau gergasi.”
            “Hush! Gergasi mana punya sayap!”
            “Siapa bilang. Pterosaurus? Hayo ….”
            “Itu ‘kan golongan dinosaurus juga, bego!”
            “Atau malaikat?”
            Mendengar yang terakhir, semuanya mendadak terdiam. Berbagai pikiran dan perasaan mendadak berkecamuk di dalam diri. Membayangkan itu sayap bidadari atau peri saja, kalau kedua jenis makhluk itu memang ada, sudah sedemikian menyesakkan. Apatah lagi sayap malaikat?
            “Anda yakin?”
            “Apa?”
            “Malaikat?”
            “Eh, saya ‘kan cuma ikut menduga ….”
            “Kalau dugaan Anda benar, bagaimana?”
            “Kalau benar?” orang itu tiba-tiba bingung. “Iya, bagaimana?”
            Lho, Anda yang menduga ….”
            “Tapi … Eh, bukankah itu bagus?”
            “Bagus bagaimana?”
            “Ya, malaikat ‘kan biasanya baik. Barangkali saja itu Malaikat Mikail, yang akan membagi-bagikan rezeki kepada kita. Maksud saya: kita semua, bangsa kita, bangsa yang tak putus dirundung malang ini.”
            “Wah, iya ya.” Mendadak semua tersenyum cerah, membayangkan barangkali tidak lama lagi sepasang sayap itu segera menurunkan hujan duit, atau setidak-tidaknya hujan sembako. Namun mendadak wajahnya menjadi muram. “Tapi, kalau Malaikat Izrail, bagaimana?”
            “Eh, iya, bagaimana? Siapa yang tahu ya itu malaikat apa?”
            “Apalagi kalau itu Israfil.”
            “Bakal kiamat!”
            “Kalau Malik?”
            “Berarti, dunia kita ini neraka, dong!”
            Mendengar itu, segera saja terjadi keributan kecil. Beberapa orang tampak seperti ketakutan, ingin berlari kian-kemari. Tapi, kalau dunia ini betul-betul mau kiamat, atau bahkan sudah benar-benar jadi neraka, mau lari kemana lagi? Menyadari kebodohan itu, mereka kemudian malu sendiri, dan mulai bertenang diri mengelup bagai kura-kura yang dikejut.
            “Lagi pula, apa betul malaikat itu bersayap.”
            “Dalam banyak lukisan dan cerita lama, memang begitu.”
            “Seringkali lukisan dan cerita itu hanya merupakan metafora belaka.”
            “Tetapi, dalam berbagai kitab suci juga ada. Apa ada yang mau membantah?”
            “Kadang-kadang kitab-kitab suci juga menggunakan bahasa kiasan, tamsil, alegoris, ….”
            “Lantas, kalau bukan malaikat, lalu apa.”
            “Bisa peri, atau bidadari tadi.”
            “Bung percaya kedua jenis makhluk itu ada?”
            “Sesuatu yang tidak pernah berinteraksi dengan kita bukan berarti tidak ada.”
            “Baiklah. Lalu, apa penjelasan Bung kalau sepasang sayap itu ternyata sayap peri atau sayap bidadari?”
            “Penjelasan? Maksud Anda apa?”
            “Ya ….” Ragu sendiri, baru menyadari kenapa Si Bung itu yang harus memberikan penjelasan; bukankah yang memiliki sepasang sayap itu sendirilah yang harus memberikan penjelasan tentang keberadaannya yang fenomenal ini? Tetapi, “Maksud saya, barangkali Bung punya suatu pemikiran tentang kejadian ini.”
            Tapi, Si Bung itu tidak menjawab lagi. Barangkali dia sama bingungnya dengan yang lainnya; pikirnya akhirnya.
            “Atau,” seseorang yang lain tiba-tiba menyela, “sepasang sayap itu sesungguhnya memang bukan milik siapa-siapa.”
            Orang banyak jadi tersentak dengan pernyataan itu.
            “Maksud kamu?”
            “Ya, maksud saya sepasang sayap itu memang bukan milik siapa-siapa. Bukan milik peri, atau bidadari, atau gergasi, maupun malaikat. Sepasang sayap itu memang tak berbadan, tak bertubuh. Karena itulah ia selalu muncul, selalu keluar di sela setiap senja jingga. Terbang melayang-layang kian-kemari. Ia ingin mencari badan untuk ditubuhinya.”
            “Mencari badan?”
            Astaga, keruan saja pemikiran yang terakhir itu menarik minat banyak orang. Sangat banyak orang. Bahkan mungkin semua orang. Membayangkan suatu ketika sepasang sayap itu terbang mendekatinya dan kemudian hinggap dan menyatu di punggungnya, bukankah itu adalah khayalan yang sungguh menyenangkan? Siapa yang tidak menginginkan sepasang sayap di tubuhnya? Sejak awal sejarahnya umat manusia bahkan sudah merindukannya. Membayangkan apa yang dapat dilakukan dengan sepasang sayap, rasanya jadi seperti tak terbatas. Apatah lagi dengan sepasang sayap ajaib seperti ini, yang selalu muncul dari balik ufuk senja jingga semata ….
            Menyadari bahwa pemikiran itu masuk akal, dan membayangkan segala hal yang menyenangkan itu, maka beramai-ramai kerumunan orang itu berubah perilakunya. Bila tadinya banyak yang takut dan bersembunyi manakala sepasang sayap tak berbadan itu terbang melayah di atas mereka, atau hanya sekadar ternganga takjub; kali ini berubah menjadi berani menampakkan dirinya masing-masing, bahkan ada yang berteriak-teriak mencoba mendapatkan perhatian, dengan harapan sepasang sayap tak berbadan itu akan tertarik dan hinggap di punggungnya. Bahkan yang lebih gilanya lagi, ketika hari-hari kian berlanjut, banyak yang mulai membuka bajunya manakala sepasang sayap tak berbadan itu muncul, menunjuk-nunjukkan punggung mereka, atau sambil membungkuk-bungkukkan badan dengan punggung yang berkilat-kilat kejinggaan dengan anggapan hal itu akan mempermudah sepasang sayap itu hinggap; atau bahkan ada yang sampai telanjang bulat! Tak laki-laki, tak perempuan.
            Tetapi, sepasang sayap tak berbadan itu, dari hari ke hari tetap saja seperti biasa, seperti tak ada apa-apa, seperti tak peduli dengan semua suasana di kerumunan itu. Perlahan-lahan, bagai menembus tirai cahaya senja jingga semata, berkelepak muncul menampakkan wujudnya, melayang-layang mendekat, sembari mengirimkan berkas-berkas siluet cahaya. Meliuk gemulai di atas samudra, atau kadangkala menggeletar hingga bagai menjadi seribu pasang sayap yang mampu menyungkup langit, atau melayah permukaan laut hingga menyemburkan airnya tinggi muncrat ke awan, atau bahkan terbang di atas kerumunan, berbega bagai elang raksasa yang sedang mencari mangsanya, meski tak juga ia hinggap di salah satu punggung itu.
            Biarlah begitu! Aku tak begitu peduli. Toh aku masih punya 599 pasang sayap lagi.
Payungsekaki, 241105.