INI ADALAH KISAH MUNCULNYA SUPERHERO KITA
ASLI INDONESIA
ASLI INDONESIA
SANG TITISAN GATOTKACA
Ð
Mobil sedan berwarna
hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi
di sela-sela keramaian lalulintas malam Jalan Bungaraya. Kapten Leo yang berada
di belakang kemudi nampak sangat lincah mengendalikan kendaraannya. Dan, tentu
saja, dengan sirine di atapnya membuat ia menjadi lebih mudah mencari tempat
untuk mendahului kendaraan lain, atau bahkan menerobos lampu merah traffic light.
“Mudah-mudahan tidak
terjadi apa-apa pada gadis itu.”
Genta hanya diam saja.
“Tetapi, firasatku
mengatakan lain.”
“Tapi, Kapten,
apakah tidak mungkin justru kejadian ini berkaitan dengan kasus di laboratorium
itu?”
“Oh ya! Itu sebuah
pemikiran yang cemerlang juga, Letnan. Tetapi coba pikirkan polanya, motifnya
....”
“Mungkin itu juga
ada kaitannya dengan sesuatu yang telah dilakukannya, atau mungkin sesuatu yang
telah dilihatnya.”
“Bagus, Letnan.
Tetapi menurutku polanya dasarnya berbeda. Tidak ada bau aksi militer dalam kejadian ini. Kau mengerti maksudku?”
“Memang, Kapten.
Tetapi ..., mungkin saja mereka menggunakan tangan orang lain untuk pekerjaan
ini. Untuk mengaburkan jejak.”
“Itu bisa menjadi
salah satu alternatif, Letnan. Realitas yang ada, aku tidak bisa menghubungi
Nona Gita, dan itu mencemaskanku. Oh ya, coba kauambil satu atau dua anggota
kita untuk berjaga-jaga di dekat Bayu.”
Letnan Genta kemudian menghubungi markasnya dengan radio mobil, dan
minta dikirimkan dua orang anggota ke RS Sepanas guna menjagai Bayu. Dan
selan-jutnya mengabarkan bahwa mereka sekarang sedang menuju ke Tanjung Uma View Garden.
Sampai di lobi
apartemen itu mereka segera menuju counter.
Di belakang meja counter tampak dua
orang resepsionis pria dan wanita, dan seorang satpam. Setelah menjelaskan
bahwa mereka dari kepolisian, Kapten Leo kemudian mene-rangkan dengan cepat
bahwa ada kemungkinan Nona Chaya Gitanjali, penghuni apartemen nomor 809, saat
ini sedang dalam keadaan terancam. Dijelaskan juga bahwa tadi ia sudah mencoba
menghubunginya, tetapi nampaknya teleponnya seperti dalam keadaan sibuk terus.
Karena itu kemudian Kapten Leo minta mereka mengecek-ulang via telepon mereka,
apakah benar teleponnya sedang sibuk atau justru orangnya yang tidak ada di
tempat.
“Kalau orangnya,
kami yakin masih ada.” jawab gadis itu. “Soalnya sekitar setengah jam yang lalu
dia menelepon memesan makanan dari restoran. Dan,” gadis itu menoleh ke
temannya yang lelaki itu untuk mendapatkan dukungan, “tadi baru saja diantar
‘kan?”
“Iya, Pak.” sambut
temannya. “Saya rasa, sekarang sudah sampai di apar-temennya. Mungkin karena
itu dia tidak segera dapat menyambut teleponnya.”
Kapten Leo tersentak,
“Oh ya?”
“Dan, mengenai
telepon itu ..., nampaknya memang sedang digunakan, Pak.”
“Sejak tadi? Sedang
dipakai atau .... Begini, Bapak tolong ikut kami ke atas untuk menyelidikinya.”
kata Kapten Leo pada satpam itu. “Tolong bawa juga masterkey, siapa tahu kita memerlukannya. Sedang Mas, tolong
perintahkan sat-pam-satpam yang lain untuk mengadakan pengawasan lebih ketat,
terutama orang yang keluar-masuk. Oke?”
Mereka bertiga:
Kapten Leo, Letnan Genta, dan satpam apartemen itu kemudian bergegas naik ke
atas. Karena dua buah lift yang ada kebetulan sedang digunakan jauh di atas,
mereka terpaksa naik lewat tangga. Karena itu, tak heran begitu sampai di
lantai 8 mereka sudah nampak kepayahan. Sementara, sambil menaiki tangga tadi,
Kapten Leo menghubungi markasnya untuk meminta satu tim kepolisian lagi untuk
datang ke apartemen ini. Sampai di depan pintu bernomor 809, satpam itu
kemudian memencet bel. Dua kali, tiga kali, tidak ada tanggapan. Lalu kemudian
dilanjutkan dengan menggedor pintu keras-keras, juga tidak ada tanggapan.
Malah, tetangga yang di seberang koridor yang membuka pintu, seorang nyonya
gemuk dengan anjing pudelnya, yang setelah diberi sedikit penjelasan, kemudian
bergegas kembali masuk ke dalam apartemennya. Semen-tara, koridor sangat sepi.
Karena tidak juga
ada tanda-tanda tanggapan dari dalam, satpam itu kemu-dian menggunakan masterkey-nya. Pintu pun terbuka.
Di dalam sepi
sekali, seperti tidak ada siapa pun. Tak jauh dari pintu masuk, berdiri diam
sebuah trolley makanan, yang mungkin
tadi dipesan Gita. Kapten Leo membuka tutup kereta itu, hidangan masih utuh,
dan hangat. Lalu perlahan-lahan mereka
masuk lebih jauh, sambil mencoba memanggil-manggil nama penghuni apartemen itu.
Tapi, tetap masih tak ada jawaban. Berpencar, mereka mencari lebih jauh ke
bagian-bagian ruangan lainnya. Tetap tak ada. Sementara, keadaan ruangan boleh
dikatakan biasa-biasa saja, seperti tidak ada kejadian yang dikhawatirkan telah
terjadi. Segala sesuatu seperti tepat berada di tempatnya. Hanya di meja kerja
saja yang kelihatan sedikit acak-acakan oleh tebaran beberapa berkas dan
lain-lain, tetapi itu juga bukan hal yang patut dicurigai. Letnan Genta
kemudian meraba badan monitor komputer.
“Masih hangat. Ada
kemungkinan ia belum lama meninggalkan ruangan ini.” katanya kemudian.
“Ya, dan ruangan ini
bersih-bersih saja.” ujar satpam itu pula, seperti merasa skeptis dengan apa
yang dikhawatirkan Kapten Leo. Kapten Leo tidak menanggapinya, tetapi dari
garis wajahnya terlihat ia seperti kecewa. Kecewa,
ataukah harus lega? Demikian gumamnya dalam hati. Kalau memang ini hanya
sekadar karena tuan rumahnya sedang pergi ke suatu tempat, seharusnya ia merasa
senang karena tidak terjadi seperti apa yang dikhawatirkannya; walaupun ini
mungkin akan sedikit merusak reputasinya. Dan mengingat keadaan ruangan yang
boleh dikatakan bersih, Kapten Leo
memang cenderung memilih kemungkinan itu. Tetapi dalam perasaannya, seperti ada
sesuatu yang janggal. Rasanya, ruangan ini malah jadi seperti terlalu rapi, terlalu
bersih. Seperti sebuah kamuflase yang
mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya. Tiba-tiba ia mencemaskan sesuatu,
bagaimana kalau semua ini malah sebetulnya menun-jukkan kecanggihan taktik
penjahat itu saja? Ah, tiba-tiba pada saat seperti ini Kapten Leo mengharapkan
tim Labkrim sudah berada di sini dan kemudian membanjirinya dengan semua data
yang tersembunyi yang berhasil mereka bongkar.
Lalu, entah merasa
kesal, Kapten Leo meraih sembarangan beberapa lembar dari kertas-kertas yang
berserakan di meja kerja itu, dan kemudian membaca tulisan hasil cetakan printer itu secara sambil lalu. Dari
situ Kapten Leo menebak bahwa isi tulisan itu sepertinya sebuah ulasan atau
artikel tentang pelacuran anak-anak yang memang mulai merebak secara
sembunyi-sembunyi setahun dua belakangan ini. Kapten Leo seperti terpana
sebentar, gaya tulisan seperti ini seperti berbau jurnalis. Hm, apakah ada sesuatu?; gumamnya. Lalu,
lembaran-lembaran kertas itu diletakkannya kembali, dan tiba-tiba terpandang
olehnya gagang telepon yang letaknya tidak tepat pada dudukannya. Astaga,
kenapa mereka sampai melupakan masalah ini?
“Lihat! Ini, letak
gagang teleponnya memang tidak tepat.”
Kedua orang itu kembali mendekat.
“Ya.” jawab satpam
itu. “Tapi, itu juga belum menunjukkan apa-apa, bukan? Bisa saja karena ia
tergesa-gesa, jadi meletakkannya secara ceroboh.”
“Mungkin juga,
tergesa-gesa ....”
Lalu, Kapten Leo mendorong sedikit gagang telepon itu, hingga
letaknya menjadi tepat. Tetapi, tiba-tiba setelah itu mesin faks di sebelahnya
berbunyi dan kemu-dian mulai menjulurkan sehelai kertas dari dalamnya. Mereka
segera jadi tertarik dengan kejadian yang tak disangka-sangka itu, sampai
beberapa detik kemudian mesin faks itu berhenti, setelah mengeluarkan empat
lembar isinya. Kapten Leo kemudian mengambil lembaran kertas faks itu, dan ... gotcha! Mendadak wajahnya jadi berseri.
“Lihat!” serunya
pada Letnan Genta. “Di sini tercantum empat nama, beserta track-records dan identifikasi lainnya. Aku yakin, ini kemungkinan
besar ada hubungannya dengan kejadian di rusun di Sungaibeduk itu. Lihat, dua
orang ini adalah sama dengan petunjuk yang diberinya, dan ini terutama, Ronie!”
Letnan Genta menerima kertas itu, membacanya sebentar, dan
kemudian,
“Faks ini dikirim
dari Berita Barelang.”
“Suratkabar lokal
itu?”
“Kelihatannya
begitu.”
“Apa hubungannya
dengan kasus ini?”
“Perlu kita
hubungi?”
“Jangan, jangan
dulu. Jangan terlalu tergesa-gesa. Coba kita pikirkan dulu ada apa di balik
ini.” Kapten Leo meraih kertas itu kembali. “Tiga nama di sini sudah kita kenal
dan, setidak-tidaknya, satu nama berhubungan dengan kasus pencurian lukisan dan
benda-benda bersejarah lainnya itu. Jadi, nampaknya kasus ini memang saling
berhubungan.”
“Ya, mungkin benar
apa yang Kapten perkirakan sejak semula. Tetapi, apa hubungannya dengan Berita Barelang?”
“Kurasa, mungkin ini
hanyalah masalah profesi saja. Mungkin Gita ini ada-lah salah seorang wartawati
suratkabar tersebut, dan mungkin mereka juga sedang mencium kasus ini. Lihat,
tulisan pada lembaran ini terdiri atas hasil cetakan printer, dan juga sedikit tulisan tangan, yang agaknya tambahan
informasi yang didapat kemudian. Mungkin yang tulisan tangan inilah yang ingin
disampaikan si pengirim dari Berita
Barelang itu.” Kapten Leo membacanya kembali sejenak. “Pada Dendi ini,
sepertinya ada tambahan dua buah alamat yang ditulis dengan tangan. Yang satu
sudah kita ketahui, sama dengan yang ada di dalam file kita. Sedangkan yang
satu lagi ....” terdiam sebentar. “Aku rasa kita harus segera meneliti alamat
ini. Tapi, aku mau mencoba menghubungi ponsel gadis itu sekali lagi. Siapa tahu
dia ternyata baik-baik saja.”
Kemudian Kapten Leo
mencoba menghubungi Gita dengan ponselnya. Tapi, beberapa saat kemudian mereka
mendengar bunyi dering ponsel di dalam kamar gadis itu. Ternyata, ponsel gadis
itu ada di dalam sebuah tas tangan yang tadi memang tergeletak begitu saja di
atas tempat tidur. Ini, alamat tidak baik. Sementara itu, satpam yang bersama
mereka telah dihubungi rekannya via HT, yang mengabarkan bahwa mereka baru saja menerima
laporan tentang service boy, yang
seharusnya tadi mengantarkan makanan pesanan ke apartemen Gita tiba-tiba
mendapatkan dirinya terjaga dari pingsan di dalam sebuah lift di lantai 22,
dengan trolley makanan itu sudah
tidak berada lagi bersamanya. Kenapa hal itu sampai terjadi? Yang diingatnya
hanyalah ia sebenarnya sudah keluar dari lift di lantai 8 itu, ketika tiba-tiba
ia merasa hidungnya seperti menghirup udara yang dingin, dan setelah itu ia
tidak ingat apa-apa lagi.
“Sial! Nampaknya
mereka sudah berhasil melakukannya.” gerutu Kapten Leo kemudian. “Ayo, kita
coba lacak alamat Dendi yang terbaru ini. Mungkin saja mereka berkumpul di
sana.”
Mereka segera
beranjak hendak pergi, ketika tim yang dipanggil sudah datang. Kapten Leo
kemudian memerintahkan tim Labkrim saja yang tinggal untuk melaksanakan
tugasnya mencari jejak apapun di kamar gadis itu yang mungkin dapat dijadikan
pedoman, sedangkan yang lain ikut bersamanya melacak sebuah alamat di kawasan
Tanjungriau. Tetapi, beberapa waktu kemu-dian mereka terpaksa kembali pulang
dengan kecewa, karena nampaknya rumah itu seperti tidak berpenghuni, dan mereka
tidak menemukan jejak apapun yang dapat membuat penyelidikan mereka menjadi
semakin jelas. Meski demikian, Kapten Leo masih berharap akan mendapatkan
sesuatu pada akhirnya dengan tetap menempatkan dua orang personilnya mengawasi
rumah tersebut, setidaknya sampai 24 jam berikutnya. Meski demikian, Kapten Leo
tidak begitu berharap dengan itu. Kalau pun memang benar rumah itu adalah salah
satu ‘markas’ kelompok itu, mereka kemungkinan besar tidak akan membawa gadis
itu ke rumah itu, karena bangunan rumah itu relatif kecil dan agak terbuka,
serta dikelilingi beberapa rumah tetangga yang cukup padat. Mereka pasti
membawa-nya ke tempat lain, ke suatu tempat entah di mana.
Kemudian, sampai
kembali di kantornya pun Kapten Leo tidak mendapat-kan laporan yang
menggembirakan dari tim Labkrim. Semuanya nihil. Tidak ditemukan jejak apapun,
sidik jari, atau lainnya yang mungkin dapat dicurigai. Tampaknya cara mereka
beroperasi cukup bersih, dan ini semakin menebalkan kecurigaan Kapten Leo bahwa
kedua kasus itu memang saling berhubungan. Tetapi, meski bagaimanapun, ia masih
dapat menghibur diri dengan mendapatkan faks itu. Ada tiga nama yang cocok
dengan yang sudah di tangannya, terutama nama Ronie alias Donnie, dengan segala
track-record dan data lainnya yang
hampir serupa. Ia tinggal perlu mencari data dari file tentang orang yang bernama Edi alias Edi Tanki alias Tanki
saja. Seingatnya ia belum pernah mendengar nama yang seperti itu. Baiklah,
bagaimana pun itu harus segera dicari. Pada mulanya ia ingin meminta bantuan
Letnan Genta untuk mencarikannya, tetapi begitu dilihatnya anak itu tengah
setengah terkantuk-kantuk di atas berkas-berkas yang bertumpuk di atas mejanya,
ia kemudian mengurungkan niat itu. Nampaknya ia harus melakukannya sendiri.
Ð
Ruangan itu kecil
saja, dengan dinding-dinding dari pasangan batubata yang menghitam seperti
bekas terbakar, dengan pada beberapa bagiannya plesterannya sudah mengelupas.
Di tengah-tengah ruangan itu, seorang gadis duduk dalam keadaan terikat pada
sebuah kursi kayu: Gita, dengan celana panjang longgar berwarna hijau lumut dan
kaos ketat berwarna kuning pudar. Ruangan itu relatif gelap, karena hanya ada
sebuah lampu kecil untuk penerangan yang tergantung tak jauh di atas kepalanya.
Di depannya ada sebuah meja kecil dan jelek, yang juga terbuat dari kayu. Di
atas meja itu berserakan beberapa lembar foto yang nampaknya hasil cetakan printer,
dua buah CD, sebuah disket, tustel, dan beberapa berkas lainnya. Sementara,
berdiri di luar cahaya lampu, siluet dua orang lelaki yang berdiri gelisah.
Jarum jam sudah menunjukkan lewat pukul satu dinihari.
“Sial! Mana kedua
anak itu? Kok belum nongol juga?”
ujar Ronie gusar.
“Mungkin sedang di
jalan, Bos.” sahut yang satunya mencoba meredakan kegelisahan Ronie.
“Mustahil. Ini pasti
ada apa-apanya. Masa urusan begitu saja sampai lama sekali.” Diam sebentar.
“Sudah, kita urus saja yang ini dulu.”
Lalu, mereka mulai
mengalihkan perhatian pada gadis itu yang nampak tak berdaya dengan matanya
ditutup kain hitam. Itu mereka lakukan agar dalam perjalanannya tadi gadis itu
tidak dapat mengidentifikasi jalan yang mereka lalui, sehingga ia tidak akan
tahu saat ini berada di mana. Mereka kemudian melepas-kan ikatan kain hitam
itu, dan gadis itu tidak nampak terkejut atau merasa takut, karena ia sudah
tahu siapa orang yang menculiknya, dan kenapa. Yang harus dilakukannya sekarang
adalah mengulur-ulur waktu, mengadakan bargaining,
bersabar dan hati-hati, dan sedapat mungkin mengidentifikasi kira-kira di mana
ia sekarang berada. Mengenai keselamatan dirinya? Entah kenapa ia tiba-tiba
merasa yakin tak perlu mencemaskannya. Meskipun kemudian ia segera terkejut dan
harus menimbang-nimbang kembali kesimpulannya itu, ketika tiba-tiba pipi
kirinya terasa seperti ditempeli benda metal yang dingin sekali. Sebilah belati
di tangan Edi menempel ketat ke pipinya.
“Nona Chaya
Gitanjali. Hm, nama yang indah sekali.” Ronie maju selangkah sehingga wajahnya
terlihat samar. “Seindah orangnya.” Berkata demi-kian Ronie menjulurkan
tangannya mencuil dagu gadis itu. Gita berusaha mengelak dengan memalingkan
wajahnya, tetapi tak berhasil. Panjang
sekali tangan orang ini; gumamnya dalam hati dengan jengkel. “Tapi,
perbuatanmu sungguh tidak indah. Memata-matai orang, mengintip-intip kegiatan
orang lain tanpa izin. Ini,” Ronie meraih beberapa lembar foto dari atas meja
itu, “pintar sekali. Sekarang, coba sebutkan, untuk siapa kamu melakukan ini
semua.”
“Saya wartawan.
Seorang wartawan selalu menyukai kejadian yang aneh-aneh.”
Terdengar tawa datar Ronie.
“Wartawan .... Jadi,
kamu menganggap kami aneh? Kalau kamu bukan perempuan ....”
“Saya memang
wartawan.”
“Bohong! Kamu pasti
bekerja untuk seseorang.”
“Tidak. Saya tidak
bekerja untuk seseorang. Saya bekerja untuk pembaca.”
“Sudahlah, tak ada
gunanya kamu berbohong. Tak mungkin seorang warta-wan punya data dan
perlengkapan secanggih kamu. Tinggal di apartemen yang cukup mewah lagi. Kamu
pasti telah dibiayai oleh seseorang untuk melakukan ini semua.”
“Apa?” Gita tertawa
kecil. “Jangan picik. Jangan mengira wartawan itu miskin semua. Anda sudah
ketinggalan zaman kalau beranggapan begitu.”
Kali ini Ronie hanya diam, mendongakkan wajahnya pada Edi, dan
lelaki itu kemudian lebih menekankan belati itu ke wajah Gita sehingga kepala
gadis itu kian tertekuk miring.
“Sudahlah, jangan
banyak main petak umpet. Kausebutkan saja sebuah nama, dan semuanya akan beres,
dan kau pun akan aman. Kalau tidak, saya tidak menjamin pisau itu masih dapat
tenang di situ.”
“Sudah saya katakan,
saya bekerja hanya untuk pembaca.”
Plak! Tiba-tiba Edi menampar pipi gadis itu dengan cukup keras, sehingga
mem-bekaskan warna merah di pipinya.
“Ups! Maaf, saya
sebenarnya bermaksud menahan gerakan pisau ini, tetapi tiba-tiba berbalik jadi
dia yang mengendalikan saya. Karena itu, tolonglah cepat kausebutkan, karena
kalau semakin lama saya kuatir saya tidak kuat menahannya.”
“Kamu, bajingan!”
umpat Gita perlahan. “Memang betul saya cuma ....”
Plak! Kali ini tamparan itu lebih keras lagi, sehingga Gita sampai
berkaca-kaca matanya menahan rasa perih. Orang
ini; pikir Gita, ternyata lebih sadis
dari yang diperkirakannya.
“Aduh! Maafkan saya
lagi. Apa yang kaukatakan tadi?”
Gita diam.
“Sampai di mana?”
Karena tidak juga mendapatkan tanggapan, lelaki itu kembali
menampar Gita de-ngan tangan kirinya, tetapi kali ini jauh lebih keras sehingga
membuat wajah gadis itu terlempar ke belakang. Sekarang, Gita tidak dapat lagi
menahan rasa sakitnya, dan kemudian mulai menangis terisak-isak.
“Aduh, aduuh ....
Maafkan saya, Neng. ‘Kan sudah saya katakan tadi, cobalah kaubicara, kasih tahu
siapa boskau. Sia-sia saja kau berbohong di sini. Tak ada gunanya. Kami jauh
lebih ahli dalam hal itu. Sekarang,” lelaki itu kembali menempelkan belatinya,
“jawablah dengan jujur, sebelum sampai wajahkau yang cantik dan mulus ini
disayat-sayat oleh pisau ini. Oo, percayalah, pisau ini bisa kejam sekali. Dia
suka mengiris-iris wajah orang, hidung, telinga, bibir, lidah, mencungkil biji
mata, ....” seraya berkata demikian ditempelkannya ujung belati itu pada setiap
organ tubuh yang disebut. “Dia juga bisa menggorok leher, mengiris bukit kembar
ini, ....”
TOK, TOK, TOK; tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk.
“Siapa?!”
“Kami, Bos.”
Ronie mengangguk ke Edi Tanki, dan kemudian mereka keluar. Di luar
mereka melihat Bernard dan Dendi.
“Bagaimana?!”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak.
“Sukses, Bos.”
Tapi, melihat reaksi mereka Ronie malah jadi ragu.
“Kalian yakin?”
“Yakin sekali, Bos.”
“Lalu, kenapa kalian
datang terlambat? Dan,” Ronie menangkap sesuatu yang ganjil di tangan kanan
Dendi, “kenapa itu?”
“Ah, bukan apa-apa,
Bos.” Dendi menjawab agak gugup.
“Maksudmu?”
“Eh, e, memang tadi
ada sedikit trouble, Bos.”
“Maksudmu?”
"Waktu saya sedang
membekap mulutnya tadi, tiba-tiba tangan saya dicengkeramnya kuat-kuat.”
“Apa?” Ronie
terkaget. “Tapi, kalian bilang orang itu dalam keadaan koma. Bagaimana
mungkin?”
“Itulah, Bos.”
“Kalian memang bego.
Urusan yang seperti itu saja tidak becus.”
“Tapi, orang itu
memang koma, Bos.”
“Baik. Coba
jelaskan, bagaimana mungkin dia bisa melakukan perlawanan seperti itu.”
“Saya rasa itu bukan
perlawanan, Bos.”
“Lalu?”
“Mungkin itu semacam
suatu gerakan refleks terakhir saja, Bos. Naluri untuk mempertahankan diri.
Lagi pula hanya itu yang dilakukannya.”
“Ah, banyak omong
kamu. Mungkin juga itu karena dia belum tewas benar.”
“Sudah, Bos. Kami
yakin kalau itu, karena grafik biometrinya sudah datar.”
“Begitu.” terdiam
sebentar. “Jangan terlalu percaya sama alat-alat itu. Kalian harusnya
memastikannya sendiri.”
“Maunya kami begitu,
Bos. Tapi, ya gara-gara kejadian itu kami kaget sehingga timbul keributan.
Jadi, kami terpaksa harus segera pergi.”
“Apa? Cuma karena
tanganmu dipegang saja ....”
“Itulah yang
sebenarnya juga kami herankan, Bos.” kali ini Baron yang berbicara. “Mulanya
memang kami kaget karena orang itu tiba-tiba menyentak. Tapi, yang aneh lagi
Bos, ternyata tangan yang dipegangnya jadi melepuh, seperti bekas terbakar,
seperti bekas kena benda yang panas sekali. Mana cengkeram-annya kuat sekali,
susah payah kami melepaskannya, Bos.”
“Ah, kalian jangan
mengada-ada.”
“Betul, Bos. Itulah
sebabnya kenapa kemudian kami terpaksa lambat kemari karena harus mengobati
tangan dia dulu.”
“Ya, sudahlah kalau
begitu.” Ronie menguap. “Aku capek. Kita istirahat saja dulu, semuanya ke hotel
saja. Aku jadi merasa tidak aman dengan rumah kalian.”
Kemudian Ronie memanggil salah seorang
dari dua penjaga yang ada di situ dan mengatakan mereka harus mengawasi gadis
yang ada di dalam kamar itu. Lalu, keempat orang itu pun segera meninggalkan
gedung bekas pabrik elektronik itu.
Ð
Pulau kecil itu
masih berkabut, namun terasa sejuk segar. Udara masih ber-gerak perlahan, dan
cahaya matahari masih menembus samar-samar ke atas per-mukaan tanah, yang pada
tempat-tempat tertentu masih berupa garis-garis cemer-lang bagaikan kilauan
hujan emas yang jatuh ke Bumi, yang kemudian mengge-nang dan mengalir bersama
heningnya telaga dan jeramnya arus sungai. Sementara, dedaunan hanya melambai
perlahan, bagaikan jemari seorang ibu yang membelai lembut bayinya. Dalam
keheningan, yang hanya sesekali saja dipecahkan oleh suara kicau burung dan
geram harimau, sebagai pemuncak vibrasi jiwa, Bayu menemukan dirinya berada.
Di sini, hari-hari
berlari seperti mimpi. Mimpi indah, yang seperti melayang-layang di batas
antara Bumi dan swargaloka. Dan, setiap saat yang berlalu, membuat Bayu kian
timbul kesadarannya, akan keberadaannya. Keempat lelaki tua, dan seorang
perempuan tua itu, telah membimbingnya dengan penuh kekerasan, dalam naungan
kesabaran dan belas kasih. Penuh kekerasan, karena ia harus berjuang dengan
mengerahkan seluruh kemampuannya, untuk mengenal siapa dirinya, kembali. Itu
harus dilakukannya karena ia telah ribuan tahun berkelana, di rimba-rimba
swargaloka, dan hutan-hutan mayapada. Dalam naungan kesabaran dan belas kasih,
karena labirin waktu seringkali membolak-balik kesadarannya. Kadangkala ia
bersikap seperti seorang bocah, kadangkala bersikap seperti telah dewasa. Kadangkala
ia bergaya jumawa bagaikan seorang dewa, kadangkala bersikap naif seperti hamba
sahaya. Kadangkala berlaku angkara bagaikan raksasa, kadangkala berlaku asih
seperti brahmana. Kadang-kala suka mengenakan seperangkat pakaian kebesarannya,
kadangkala dicam-pakkannya saja entah di mana ....
Apa yang telah
dialaminya beberapa hari ini adalah sungguh merupakan perubahan total akan
pemahamannya tentang dirinya. Dan itu bukanlah sekadar pengalaman batin saja,
tetapi juga tak kurang pengalaman fisik. Apa yang paling pertama kali
diketahuinya ketika timbul kesadarannya – kembali, adalah ia ternyata masih
seorang bayi! Padahal ia tahu bahwa
ia sebenarnya telah tumbuh dewasa, dan tinggal di suatu tempat di sebuah
metropolitan bernama Bandar-barelang. Tetapi, kemudian ia meragukan itu pula,
karena kemudian berpikir bahwa mungkin itu hanyalah masalah kesadarannya saja.
Merasa dirinya sudah besar, tetapi kesadarannya ternyata hanya baru setingkat
bayi yang baru lahir. Karena itu ia kemudian tidak begitu mencemaskannya lagi.
Apalagi ketika kemudian ada lima orang tua yang
merawatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ia kemudian merasa
seperti dimandikan di air yang bening sejuk yang mengalir dengan lembutnya,
sehingga kemudian membuat dirinya serasa bersih dan segar. Dan beberapa saat
kemudian ia pun dimandikan pula di dalam sebuah kolam dengan cairan yang
berwarna jingga kemerahan yang nampak menggelegak hangat membelai kulit, di
sebuah puncak gunung di tengah-tengah pulau itu. Setelah itu, ajaib, ia pun kemudian
dapat keluar sendiri dari dalam kolam itu, yang ternyata adalah sebuah kawah
gunung berapi, terbang dengan riang melintas awan dan sejenak bermain-main
dengan serombongan burung, lalu kembali turun dan berdiri takzim di hadapan
kelima orang tua itu. Waktu itu ia pun segera menyadari bahwa tegaknya ternyata
telah lebih tinggi dari kelima orang tua itu. Lalu, karena masih dalam keadaan
telanjang, ia pun kemudian diberikan seperangkat pakaian oleh mereka. Sehelai
baju tak berlengan yang berwarna biru langit, dengan sebuah gambar bintang
bersudut sembilan berwarna merah menyala di bagian dadanya. Sehelai celana
panjang berwarna biru laut, dan sepasang sepatu yang berwarna hitam. Setelan
pakaian itu nampak sangat liat, dan kemudian seperti melekat ketat ke tubuhnya
setelah dipakainya. Meski demikian ia tetap merasa sejuk dan nyaman, tanpa
merasa gerakannya menjadi terganggu. Kemudian, ia pun diberikan sehelai sarung
pendek berwarna dasar putih dengan garis-garis horisontal berwarna merah, yang
kemudian dikenakannya di pinggang, yang kemudian diikat dengan sebuah sabuk
yang berwarna hitam. Maka, ketika ia telah mengenakan itu semua, ia tahu ia
telah berubah. Dengan tubuh yang tinggi dan kukuh, dengan tonjolan otot-otot
yang nampak liat, dengan wajah yang teguh namun teduh, dan dengan sepasang
telinga yang meruncing seperti mata anak panah, ia merasa telah menjadi seorang
kesatria.
“Kau memang adalah
seorang kesatria, Cucuku. Tak perlu berkhayal untuk itu.” ujar salah seorang di
antara kelima orang tua itu, bagaikan tahu apa yang di-rasakannya. Tetapi, pada
saat yang sama ia juga jadi bertanya-tanya, siapakah
aku sebenarnya? Bukankah aku hanyalah seseorang yang bernama Ananda Bayu?
“Sekarang namamu juga adalah ÐEVA. Sebuah nama yang sudah
ribuan tahun kami nantikan.”
“Deva? Nama siapakah
itu?”
“Namamu, dalam wujud
kau sebagai seorang kesatria ini, Cucuku. Dalam wujud manusia biasa kau
tetaplah bernama Ananda Bayu.”
“Aku tidak mengerti
apa maksudmu.”
“Pengertian, dan
kesadaran, akan timbul secara perlahan-lahan, dan men-dalam, Cucuku.”
“Apa maksudmu
membedakan aku dalam dua wujud?”
“Artinya Cucuku, kau
dapat berada dalam salah satu dari kedua wujud itu pada setiap waktu yang kau
kehendaki. Kau tinggal menginginkannya, memikir-kannya, maka beberapa saat kemudian
terjadilah.”
“Apa maksudnya?”
“Sekarang kau dalam
wujud Deva. Cobalah kau memikirkan dan tunjukkan keinginan untuk menjadi Bayu,
maka ....”
Pet! Seketika Bayu telah kembali ke wujud yang biasa, yang rasanya
sudah amat dikenalnya. Hanya saja ia dalam keadaan telanjang bulat. Karena
terkejut dan malu, cepat ia kembali mengubah diri.
“Bukankah aku adalah
Bayu?”
“Betul. Dan kau juga
adalah Deva, Cucuku.”
“Siapakah dia?”
Kelima orang itu terkejut sejenak.
“Pertanyaan yang
tepat Cucuku, adalah: siapakah aku? Deva bukanlah dia, tetapi aku bagi
dirimu. Aku yang lain. Aku sebagai seorang kesatria perkasa
pem-bela alam semesta dari perbuatan orang-orang atau makhluk-makhluk angkara,
yang ingin menguasainya, atau yang ingin merusaknya. Aku adalah pelindung mayapada.”
“Waw.” Deva
terkagum, sekaligus merasa miris. “Sebegitu beratkah tang-gungjawabku?”
“Tanggungjawab
adalah sama bagi setiap makhluk. Setiap orang, setiap makhluk, dibebani
tanggungjawab itu. Tak ada yang berbeda. Yang berbeda hanyalah keseimbangan
neraca tanggungjawab itu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
masing-masing. Seekor kuda mungkin bertanggungjawab untuk membawa kereta
perang, tetapi seekor keledai mungkin hanya untuk membawa sekarung beban. Meski
demikian, seringan apapun neraca tanggungjawabnya, kalau tidak dilaksanakan ia
tetap akan mendapatkan nilai keburukan yang sama besarnya.”
“Lalu, bagaimana
dengan aku?”
“Tentu tidaklah
berbeda dengan yang lain. Perbedaannya hanyalah karena kau, Cucuku, memiliki
kemampuan yang sangat tinggi, maka neraca tanggungja-wabmu juga sangat besar.
Tetapi, itulah tugas seorang kesatria. Namun kau jangan takut, Cucuku. Semua
yang telah diciptakan Tuhan selalu memiliki perbandingan yang seimbang. Tuhan
tak akan memberikan buah sebesar kelapa untuk batang sebesar padi. Tuhan tak
akan memberikan tubuh sebesar gajah untuk kaki selangsing kijang. Itulah hukum
alam, Cucuku. Dan, kalau kau sekarang memang harus menahan suatu topan badai,
itu karena tegakmu sekukuh gunung. Dan, kalau kau sekarang memang harus
memindahkan sebuah bukit batu, itu karena tubuhmu lebih kuat dari seribu
gajah.” Diam sebentar. “Dan lagi, Cucuku, pada setiap kewajiban, pada setiap
tanggungjawab, ada anugerah.”
“Apakah aku akan
mampu melaksanakan itu semua?”
“Berusaha, adalah
jawabannya. Kemampuan, hanyalah ibarat sebilah pe-dang, yang harus senantiasa
kaulatih kauasah kaurawat. Dan, berdoa pada Tuhan, adalah anak kuncinya.”
“Tetapi,” sambung
yang lain, “tentulah kau memiliki kemampuan-kemam-puan sebagai seorang
kesatria, Cucuku. Kemampuan-kemampuan yang dulu me-mang pernah kaumiliki, untuk
mendukung darmamu. Saat ini kau hanya perlu mengingat-ingat, dan melatihnya
kembali.”
“Kau mampu terbang,
Cucuku, bebas seperti seekor burung di angkasa. Itu, tanpa kausadari, sudah
kaubuktikan tadi, bukan?” ujar yang lain pula. “Kau mampu terbang secepat yang
kau kehendaki, sehingga suara-suara lenyap dan cahaya hanya tinggal pendaran.
Kau mampu terbang setinggi dan sejauh yang kausuka, selama itu di dalam batas
alam semesta. Tubuhmu kuat dan kokoh, bagaikan Gunung Mahameru. Kau mampu
mengangkat bukit batu, menembus karang, dan melumatkan besi. Tubuhmu liat tak
tertembus, oleh senjata pusaka para dewa sekalipun. Dan takkan meleleh,
meskipun direndam dalam lahar panas kawah pusat Bumi.”
“Kau pun memiliki
kemampuan-kemampuan lainnya, Cucuku. Kesaktian-kesaktian, ajian-ajian.” sambung
yang lainnya lagi. “Kau memiliki sebuah busur pusaka, dengan berbagai anak
panahnya. Kau mampu mengeluarkan tenaga penghancur benda apapun dari kedua
telapak tanganmu. Kau juga mampu mengeluarkan hawa panas inti Bumi melalui
bintang bersudut sembilan itu.”
“Dan jangan lupa,”
sahut yang terakhir, “kau juga mampu melihat dan mendengar jauh dengan nyata
dan jelas, Cucuku, bahkan walaupun terhalang oleh dinding besi yang tebal
sekalipun.”
“Tetapi, yang jauh
lebih penting dari itu semua,” ujar orang tua yang pertama tadi, “adalah
kesaktian hatimu: keteguhan dan kesabaran serta kasih sayangmu dalam setiap
menjalankan darma sebagai seorang kesatria. Karena, langit tidak selalu biru,
dan setinggi-tingginya puncak gunung masih ada awan.”
Lalu, sejak itu ia
pun terus digembleng bagaimana agar ia dapat mengenali dan mengendalikan
kekuatan-kekuatan yang dimilikinya. Juga pada saat yang sama ia pun mulai
dilatih kesadarannya antara Bayu dan Deva, antara masa lalu dan masa kini,
serta perannya dalam masing-masing perwujudan.
Hari-hari pun
kemudian berlari dengan cepat, mengalir seperti mimpi, bersama wangi melati
yang setiap pagi seperti terhirup olehnya, tetapi entah berasal dari mana. Dan
setiap hari pula, sebelum memulai seluruh kegiatan hari itu, ia selalu pergi ke
sebuah makam yang terletak di puncak sebuah bukit. Pada makam itu tertulis
sebuah nama: Deasy Anjali Cakra. Ia tahu, bahwa itu adalah nama ibunya, yang
mangkat begitu melahirkannya. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia seperti pernah
mengenal nama itu, pada suatu waktu dan tempat entah di mana.
Sampailah kemudian
ia di penghujung hari ke delapan, ketika kelima orang itu kian menunjukkan
wajah yang lega dan puas, seperti orang yang telah berhasil menyelesaikan
sebuah tugas dan kewajiban dengan sempurna.
“Hari hampir
mencapai akhir, Cucuku.” Tukas salah seorang di antara mereka. “Dan kau pun
sudah menunjukkan keberhasilanmu, dan tugas kami pun hampir selesai.”
Diam sebentar. Kemudian,
“Hanya tinggal satu
hal lagi yang harus kaujalani, tetapi itu yang termudah. Yaitu kungkum, berendam dalam sungai
pemandianmu, mulai tengah malam ini. Kau harus bersemedi, meresapkan kesadaran
dirimu dalam batin secara lebih mendalam, lebih menyatu, sampai kau merasa
ringan dan tidak terbebani apapun.”
Maka, di pemuncak
malam itu ia pun segera pergi ke sungai yang berair jernih bening dan berjeram
deras itu. Mencari tempat yang cukup dalam di tengah-tengah, lalu kemudian
bersemedilah ia sebagaimana yang diperintahkan. Sementara, di langit bulan
tampak bulat bercahaya lembut, dan angin semilir membelai daun-daun pepohonan.
Malam pun kemudian
beranjak menjadi pagi, dan garis cahaya keemasan nampak cemerlang di atas
kepala lelaki itu. Burung-burung pun mulai berkicau riang, sementara ia telah
berada pada tingkat kesadaran yang menyatu, dan me-ngabur, dalam pendaran
cahaya. Dan ia pun tiba-tiba merasa tubuhnya kian ringan, melayang, bagaikan
terserap dalam pendaran. Lalu, ia mendengar suara itu kembali, namun dalam
vibrasi yang kian hilang seperti tertelan ruang dan waktu.
“Cucuku, ada dua hal
yang harus kauingat. Pertama adalah, meskipun tubuhmu mampu mengatasi segala
senjata para dewa, tetapi ada satu yang harus kauhindari, sebuah tombak pendek
bernama KONTA. Senjata ini dapat melum-puhkanmu karena ada bagian dari dirinya
yang berada di dalam dirimu. Namun kau tak perlu khawatir, Cucuku, karena
senjata itu telah kami sembunyikan di suatu tempat. Sedangkan yang kedua
adalah, apabila suatu saat kau merasa rindu kepada ibumu, terbanglah terus ke
arah selatan pada malam hari. Kau akan mene-mukan tempat ini kembali.”
Ð
Pagi ini Kapten Leo
datang lebih lambat dari biasanya. Demikian pula de-ngan Letnan Genta dan
beberapa stafnya yang lain. Kemarin mereka telah bekerja hingga larut malam,
dan baru pulang setelah hari melewati puncak malam. Keja-dian terhadap Bayu,
dan hilangnya Gita, telah cukup memukulnya. Meskipun sebenarnya pada saat yang
sama ia jadi lebih merasa terang akan masalah ini. Sampai sepagi ini setidaknya
ia telah mendapatkan dua petunjuk yang cukup berarti, yaitu: faks data
identitas keempat orang tersebut – yang tampaknya juga berhubungan dengan kasus
lain yang juga tengah diselidikinya, dan informasi dari anggotanya bahwa mereka
telah berhasil menemukan sebuah tanah lapang dengan permukaan seperti yang
diidentifikasikan – dan kelihatannya tinggal hanya satu tanah lapang yang
seperti itu. Tanah lapang yang cukup luas itu berada di perbukitan Muka-kuning,
di mana di atasnya berdiri sebuah kompleks bekas pabrik elektronik yang sudah
ditinggalkan karena terbakar beberapa tahun yang lalu. Maka, setelah mela-por
kepada Mayor Harris, ia pun memerintahkan anggotanya untuk menyelidiki keempat
orang tersangka, sedang dua anggota lainnya diperintahkan untuk mengawasi area
tanah lapang itu, siapa tahu memang ada kegiatan yang patut dicurigai di sana.
Sementara itu ia juga sudah mema-sukkan surat permohonan pada kehakiman untuk
mendapatkan izin guna mela-kukan pemeriksaan
di pabrik T.21.ME.
Menjelang siang hari
Kapten Leo mendapatkan berita baik lainnya. Telepon dari RS Sepanas menyebutkan
bahwa Bayu baru saja siuman dari keadaan koma-nya, dan kini lelaki itu berada
dalam keadaan baik-baik saja. Mendengar itu Kapten Leo kemudian segera bergegas
ke rumah sakit tersebut. Sampai di tempat, dengan ditemani oleh seorang dokter,
ia mendapatkan Bayu sedang duduk di dipannya, sedang membaca sebuah suratkabar.
Mereka kemudian saling ber-kenalan dan bersalaman.
“Saya juga ingin
mengucapkan terimakasih banyak pada Bapak, karena sudah menolong saya.” ujar
Bayu saat bersalaman.
“Itu sudah kewajiban
kami.”
“Jadi, saya sudah
boleh pulang, Pak Kapten?”
“Kalau menurut
keterangan dokter, Saudara sudah berada dalam keadaan sehat walafiat kembali.
Jadi, tidak ada masalah. Tetapi, kami memerlukan beberapa keterangan dari
Saudara. Karena itu saya harap Saudara tidak berkeberatan untuk ikut kami, guna
memberikan beberapa keterangan yang dibutuhkan.”
“Oh, saya senang
sekali. Mudah-mudahan saya bisa membantu.”
Mereka pun kemudian
meninggalkan rumah sakit itu. Tetapi Bayu masih sempat meraih vas bunga yang
mungil berwarna putih, yang berisi serangkaian bunga melati yang tampak mulai
layu itu.
“Boleh saya bawa vas
bunga ini, Dokter? Buat kenang-kenangan ....”
“Oh, boleh. Silahkan.”
Bagi Bayu, hal yang
pertama kali menarik perhatiannya ketika sadar dari komanya tadi adalah vas
bunga itu. Sisa-sisa bau harum yang masih dapat dita-burkan oleh serangkaian
kembang melati yang sudah mulai layu itu, tiba-tiba se-perti mengingatkannya akan
sesuatu. Pada sebuah mimpi, atau mungkin halusinasi, yang sepertinya dialaminya
selama ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Tetapi, be-narkah itu hanya sebuah
mimpi, atau halusinasi? Rasanya ‘waktu tayangnya’ terlalu panjang untuk sebuah
mimpi, atau halusinasi. Apakah ia bisa bermimpi sepanjang sembilan hari itu?
Ataukah itu hanya perasaannya saja, bahwa mimpi itu sede-mikian panjangnya,
padahal pada kenyataannya mungkin ia hanya telah bermimpi beberapa menit saja.
Namun, di balik itu rasanya terlalu nyata apa yang dialaminya jika itu hanya
sekadar sebuah mimpi, apalagi halusinasi. Terlalu nyata, dan sangat meresap ke
dalam jiwanya. Namun, itu juga terlalu aneh rasanya untuk sebuah pengalaman
nyata. Dirinya, Bayu, yang pada kenyataannya hanyalah seorang sopir, ternyata
adalah seorang kesatria? Apakah artinya itu? Terlalu aneh kedengarannya
kata-kata itu pada saat ini. Tak pernah lagi ia mendengarkan kata-kata yang
seperti itu, sejak ia meninggalkan bangku sekolah bertahun yang lalu.
Bayu tiba-tiba
merasa takut; apa yang telah aku alami?
Ia tiba-tiba merasa khawatir, jangan-jangan pikirannya sudah sedikit terganggu
akibat benturan itu. Jangan-jangan letaknya mulai sedikit miring, sehingga
dengan demikian keseim-bangannya jadi terganggu, lalu akibatnya – tanpa dapat
dikendalikannya – sang otak itu berhalusinasi dengan menjadikan dirinya seolah
seorang manusia super, untuk melawan kemiringan tersebut. Tetapi, ah, Bayu
kembali menggelengkan kepalanya; apa pula
yang sudah aku pikirkan? Yang jelas, begitu tadi ia mencoba bercermin di
kaca toilet ia tidak melihat seseorang yang berpakaian serba biru dan merah
itu. Ah, ada-ada saja; gumamnya
kemudian sambil mencibiri dirinya sendiri.
“Saudara suka bunga
itu?” tanya Kapten Leo kemudian ketika mereka turun ke lantai satu.
“Saya? Ya, rasanya
saya suka. Sepertinya ini mengingatkan saya pada sesuatu.”
“Oh ya?” terdiam
sebentar. “Saudara masih ingat kejadian terakhir sebelum Saudara pingsan dan
kemudian koma sekian lama?”
Bayu menatap wajah Kapten Leo beberapa saat. Mereka sudah sampai di
ruang lobi, dan akan segera keluar bangunan itu menuju tempat di mana mobil
sedan Kapten Leo diparkir.
“Pengambilan
keterangan sudah dimulai, Pak?”
“Oh, ya ..., waktu
berjalan sangat cepat. Saudara mungkin akan heran kalau nanti saya ceritakan
perkembangan selama beberapa hari ini.”
“Ya, saya ingat.
Saya melihat seorang perempuan diganggu oleh segerom-bolan orang, lalu saya
datang mencoba menolongnya. Pada mulanya kami berhasil mengalahkan ketiga orang
itu, tetapi kemudian datang seorang lagi – mungkin pemimpin mereka. Saya
kemudian berkelahi dengannya, tetapi ternyata dia sangat menguasai ilmu
beladiri, sehingga saya dapat dikalahkannya. Kalau Bapak tidak datang tepat
pada waktu itu, mungkin ....”
“Wanita yang telah
Saudara tolong itulah yang telah membelikan vas bunga itu, dan kemudian
menggantikan bunganya dengan yang baru setiap pagi.”
Bayu terpana beberapa saat.
“Oh ya? Saya kira
vas ini milik rumah sakit.”
“Tidak.”
“Kenapa ia, maksud
saya gadis itu, melakukannya?”
“Ya ..., saya kira
mungkin semacam ucapan terimakasih.”
“Oo ....” terdiam
sejenak. “Dan itu dilakukannya setiap hari?”
“Setiap pagi hari.”
“Tapi, kenapa hari
ini sepertinya ... tidak diganti? Ah, mungkin kede-ngarannya saya menuntut,
ya?” Bayu tersipu sendiri. “Mungkin dia sudah merasa bosan, capek, atau mungkin
ada kesibukan ....”
“Dia hilang.
Diculik.”
Bayu terkejut.
“Apa? Diculik?”
“Ya.”
“Kenapa? Oleh
siapa?”
“Kami menduga ada
kaitannya dengan kasus yang kalian alami di rusun itu”
“Wah, jadi panjang
seperti ini urusannya?”
“Saudara pun pada
saat yang sama, tadi malam, juga diincar oleh mereka untuk dibunuh. Untung
pihak rumah sakit dapat bertindak sigap sehingga Saudara dapat diselamatkan.”
“Wah ....” Bayu
seperti kehilangan kata-kata. “Kenapa saya juga?”
“Itulah kenapa
keterangan Saudara sangat kami butuhkan.”
Mereka kemudian masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu, yang
kemu-dian segera meluncur laju ke markas
Kapten Leo.
Sampai di gedung
kantor kepolisian itu, Bayu sempat menjadi perhatian beberapa orang. Ini pasti karena aku membawa-bawa vas bunga
ini; pikirnya. Kalau seorang wanita yang membawanya, mungkin malah terkesan
makin cantik. Tapi, ia? Tetapi Bayu tidak peduli, sampai mereka tiba di ruangan
Kapten Leo.
“Oke, kita sudah sampai.” ujar Kapten Leo
kemudian sambil memper-silahkannya duduk. “Mau minum kopi atau ....”
“Kopi saja, Pak
Kapten. Terimakasih.”
Kapten Leo lalu mengambil dua kaleng kecil capuccino, yang kemudian satu diserahkannya kepada Bayu.
“Jangan susah payah
memanggil saya “Pak Kapten’ segala. Panggil ‘Kapten’ saja sudah cukup. Ayo,
silahkan minum.”
“Terimakasih,
Kapten.”
Mereka kemudian minum.
“Oke, mungkin sudah dapat kita mulai dari
kronologis bagaimana Saudara bisa sampai terlibat kasus ini.”
“Baiklah. Saya,
malam itu pulang dari kantor sekitar jam sepuluh malam, diantar oleh seorang
teman. Saya memang tinggal di rumah susun itu. Saat itu suasana sudah sepi
sekali. Ketika saya berjalan di koridor menuju ruang lobi itulah saya mendengar
suara seperti jeritan yang tertahan. Tetapi, saya kemudian menjadi ragu apakah
itu suara jeritan seseorang, karena sampai beberapa waktu kemudian tak
terdengar lagi. Saya pikir, ah itu mungkin hanya suara kucing atau apa. Lalu,
saya pun masuk ke lobi, Nah, ketika masih berada di pintu lobi itulah saya
kemudian mendengar suara itu lagi. Akhirnya saya merasa penasaran, dan kemudian
keluar kembali untuk memastikannya. Memang, dari kejauhan saya melihat sesuatu
yang mencurigakan. Seperti bayangan beberapa orang. Karena itu saya kembali ke
dalam dan meminta pengurus rusun itu untuk segera menghubungi polisi, karena
saya khawatirkan ada tindak kejahatan ....”
“Karena itu kami
kemudian datang. Setelah itu?”
“Pada mulanya orang
tua itu tidak mau. ‘Takut, tidak mau mencampuri urusan orang lain’, katanya.
Tetapi, setelah saya paksa, akhirnya baru ia mau melakukannya. Setelah itu saya
kembali keluar, dan coba mendekati tempat itu dengan mengendap-endap. Setelah
dekat, barulah jelas kelihatan ada tiga orang laki-laki yang tampak tengah
menyeret seorang perempuan ....”
“Setelah dekat baru
kelihatan?”
“Maksud saya, secara
lebih jelas. Waktu masih jauh tadi yang kelihatan baru seperti bayangan hitam
saja. Lampu-lampu di ruangan parkir itu sangat kurang, atau mungkin banyak yang
sudah mati, sehingga suasananya menjadi agak gelap.”
“Saudara katakan
tadi ada tiga orang?”
“Ya.”
“Bukannya empat?”
“Oh. Pada mulanya
memang hanya tiga orang. Yang seorang lagi menyusul kemudian.”
“Begitu.
Selanjutnya, apa yang terjadi?”
“Saya kemudian
keluar dari persembunyian, dan kemudian meminta mereka melepaskan perempuan
itu. Tapi, mereka tidak mau, malahan kemudian melakukan penyerangan kepada
saya. Akhirnya perkelahian pun tak dapat dihindari. Begitu juga dengan
perempuan itu. Sampai kemudian kami berhasil mengalahkan mereka.”
“Lalu?”
“Tiba-tiba yang
seorang lagi – agaknya pemimpin mereka –
muncul dari dalam sebuah mobil van.
Ia kemudian menantang saya untuk berduel dengannya. Mulanya saya tidak mau dan
mengatakan akan kami lupakan saja masalah ini. Tetapi ia tidak mempedulikan,
dan malahan kemudian menyerang saya. Terpak-salah saya kemudian melayaninya.
Tapi ternyata ia menguasai ilmu
beladiri, se-hingga saya kemudian dapat dikalahkannya. Kepala saya sepertinya
terbentur pada sesuatu, lalu setelah itu saya tidak tahu apa-apa lagi.”
“Saudara kenal
mereka?”
“Tidak.”
“Atau barangkali
pernah melihatnya di suatu tempat?”
“Saya rasa belum
pernah.”
“Sebenarnya, mereka
juga tinggal di rusun itu.”
“Oh ya?” Bayu merasa
tertarik. “Tapi rasanya saya belum pernah melihat mereka. Ada cukup banyak
penghuni di rusun itu, yang seringkali pula berganti-ganti orangnya. Eh, tapi,
kalau begitu tidak sulit ‘kan untuk menangkap mereka?”
“Sayangnya mereka
sudah pindah, tidak berada di situ lagi sejak kejadian malam itu. Lagi pula
tempat persembunyian mereka bukan hanya itu.”
“Tempat
persembunyian?”
“Yah .... Begini,
apakah Saudara masih dapat mengingat mereka kalau Saudara bertemu lagi?”
“Ya, bisa.” jawab
Bayu kemudian setelah berpikir beberapa saat. “Saya kira saya masih bisa mengingat-ingat
wajah mereka semuanya.”
Kapten Leo mengambil map berisi empat lembar foto, lalu
menyerahkannya ke Bayu.
“Kita coba dulu
dengan foto-foto ini.”
Bayu kemudian melihat gambar itu satu persatu. Sepintas
siluet-siluet kejadian itu melintas dalam ingatannya, seperti sebuah film lama
yang diputar kembali. Meskipun suasana pada saat itu temaram, tetapi ingatannya
seperti terang sekali.
“Ya, ini mereka
semua. Saya yakin.”
Mulanya Kapten Leo agak heran juga dengan ucapan Bayu ini,
bagaimana mungkin ingatannya bisa seterang itu, padahal katanya suasana waktu
itu samar-samar, dan ia pun saat ini baru saja siuman dari keadaan koma. Belum
lagi kalau dikonfrontasi dengan keterangan yang pernah diberikan oleh Gita,
yang sepertinya banyak ‘tidak tahu’ itu, padahal ia lebih lama dari Bayu dalam
kontak dengan keempat tersangka itu. Tetapi, bagaimanapun Kapten Leo akhirnya
merasa senang juga karena ternyata anak muda itu memang dapat
meng-identifikasinya.
“Selain itu, apa
yang Saudara ketahui?”
“Saya kira ..., tak ada
lagi.”
Beberapa saat
kemudian mereka saling terdiam. Kapten Leo mengambil map berisi foto itu
kembali, dan kemudian menulis sesuatu dalam berkas di map lainnya.
“Ng ... begini,
Saudara Bayu.” akhirnya Kapten Leo berbicara. “Saudara bekerja di Laboratorium
Bandarbarelang Tanra Indonesia, bukan?”
“Iya, benar.” Bayu
tiba-tiba merasa tidak nyaman.
“Kebetulan pada saat
ini biro kami juga sedang ditugaskan menangani kasus sabotase terhadap
laboratorium tersebut.”
Bayu diam saja.
“Dan, berdasarkan
laporan-laporan yang kami terima, nampaknya Saudara harus kami tahan, untuk
pemeriksaan lebih jauh.”
“Apa?” Bayu terkaget, meskipun tidak sampai terlonjak.
“Kenapa?”
“Karena berdasarkan
laporan-laporan tersebut, Saudara dituduh telah – setidak-tidaknya – menyebabkan
satu orang meninggal dan enam orang lainnya hilang.”
“Apa?” Bayu kembali
terkejut, dan kemudian teringat pada Dr. Deasy. Astaga, sudah sembilan hari ini
ia dalam keadaan koma, bagaimana jadinya sekarang keadaan Dr. Deasy? “Dr.
Deasy, apakah ia sudah berhasil ditemukan?” tanyanya kemudian dengan cepat.
Kapten Leo menggeleng perlahan.
“Sayang, kami tidak
dapat menemukannya. Pencarian yang dilakukan cuma berhasil menemukan perahu
karet itu, sebuah tas tangan beserta isinya, sebuah ponsel, dan sepasang
sepatu. Sementara sampai hari ini kami tidak mendapatkan berita tentang
kemungkinan ia telah ditemukan, baik dari pelaut-pelaut maupun nelayan-nelayan
yang sering melalui daerah sekitar ditemukannya perahu itu.”
Bayu mendengarkan
penjelasan itu, tetapi pikirannya pun melayang-layang, seperti berada di batas
mimpi yang tak dipahaminya. Ia tahu, ia masih ingat dengan jelas peristiwa itu,
bagaimana ia berusaha menyelamatkan diri bersama Dr. Deasy dengan perahu karet
itu menelusuri sungai, kemudian ketika akan turun di bawah Jembatan Tembesi
perahu karet dan Dr. Deasy terseret oleh arus deras seperti jeram yang datang
begitu tiba-tiba. yang ternyata terus membawanya hingga sampai ke laut. Tetapi,
pada saat yang sama ia juga tahu bahwa ternyata Dr. Deasy telah sampai di
sebuah pulau yang berkabut, dan kemudian wafat setelah melahir-kannya. Melahirkannya?!
“Saya tahu, Saudara
dekat dengan Dr. Deasy.” kata Kapten Leo kemudian, merasa tidak enak hati
melihat wajah Bayu yang tiba-tiba kusut seperti orang bingung. “Saya harap ia
masih ada di suatu tempat, entah di mana. Pencarian secara resmi memang sudah
dihentikan, tetapi kami masih tetap memantau kalau-kalau ada laporan tentang
keberadaannya.”
Hening beberapa saat.
“Saya tidak tahu.”
ujar Bayu kemudian. “Saya merasa sedih, saya merasa bersalah. Tetapi ....”
“Dengarlah, Saudara
Bayu. Saya percaya ini semua bukan kehendak Sau-dara. Bukan – setidak-tidaknya
– semata-mata kesalahan Saudara. Pada saat kritis seperti itu apa saja memang
dapat terjadi. Saya yakin, pada saat kejadian itu, maksud Saudara sebenarnya
adalah baik. Berusaha menyelamatkan diri, dan kalau mungkin juga orang-orang
yang kita kenal, mungkin juga tidak. Siapa yang tidak akan melakukannya?
Tetapi, kami tidak dapat berbuat lain. Secara resmi memang ada kasus.”
Bayu tiba-tiba teringat sesuatu.
“Tadi, Kapten
mengatakan ada enam orang yang hilang?”
“Ya ..., begitulah
laporannya.”
“Saya waktu itu
hanya bersama Dr. Deasy, seorang wanita yang juga lagi hamil, seorang dokter,
dan seorang perawat yang kemudian meninggal itu. Bagaimana bisa dibilang enam?”
“Yang hamil itu
adalah Miss Angela, dokter itu
bernama Surya Alamsyah, dan perawat itu bernama Nurida. Sedangkan yang tiga
lagi adalah Prof. Mahadi Amir, Dr. Halim Liong, dan Dr. Sulistyo.”
Kening Bayu berkerut.
“Saya bahkan tidak
mengenali nama-nama itu.”
“Itulah yang
dituduhkan pada Saudara.”
“Mereka terlalu
mengada-ada. Tapi begini, Kapten bisa mengecek ke Bang Pohan, satpam kepala di
laboratorium itu. Saya sudah melaporkan seluruh kejadian kepadanya, malam itu
juga.”
“Sayangnya, Bapak
Zainal Pohan sudah diberhentikan.”
“Sudah
diberhentikan? Kenapa?”
“Saya kurang tahu.
Tetapi, dari apa yang saya dengar, ia diberhentikan karena perusahaan
menganggapnya telah lalai dalam melaksanakan tugas.”
“Tetapi, apakah
memang tidak ada laporan sama sekali yang berasal dari Bang Pohan?”
“Memang ada, dan
memang sesuai dengan apa yang Saudara katakan tadi. Tetapi, pihak laboratorium
kemudian menganggap bahwa stafnya yang lain yang juga hilang sebagai
tanggungjawab Saudara. Dua alasan utama yang mereka kemukakan untuk itu adalah,
pertama karena mereka semua bekerja di gedung yang sama dengan Saudara. Dan
yang kedua adalah, tidak ada saksi lain yang dapat menjelaskan ke mana mereka,
atau di mana mereka pada saat kejadian itu.”
“Ah, bagaimana bisa
itu. Mereka terlalu mengada-ada, Kapten.”
“Memang. Terus
terang, bagi kami pun memang sulit untuk menerimanya, karena terutama kami
tidak melihat adanya motif yang kuat yang dapat menghu-bungkan Saudara dengan
hilangnya orang-orang itu. Tetapi, mereka mengatakan bahwa itu terjadi
setidak-tidaknya karena kesalahan yang telah Saudara perbuat juga.
Setidak-tidaknya, ada dua hal yang dapat memberatkan Saudara, menurut mereka.”
“Apa itu?”
“Pertama, adalah
kenyataan bahwa Saudara telah membuka pintu pagar belakang, padahal perbuatan
seperti itu terlarang dan kepemilikan kunci yang ada pada Saudara itu pun
dipertanyakan. Yang kedua, ada keterangan saksi dari Dr. Jimmy Lee yang
mengatakan bahwa memang sebelumnya Saudara telah mencoba untuk mempengaruhi
semua orang agar ikut Saudara lewat pintu belakang tersebut.”
“Dr. Jimmy Lee?”
Bayu ingat pria berkulit putih kapas bertubuh pendek itu.
“Ya. Dan kemudian
didukung oleh keterangan beberapa saksi lainnya, yang juga menyatakan bahwa kalian
saling bertengkar untuk mempertahankan pendapat masing-masing pada saat-saat
kritis seperti itu. Padahal, ini menurut versi mereka, sebagai bawahan
Saudaralah yang seharusnya mengikuti perintah Dr. Jimmy Lee.”
“Astaga ....” Bayu
merasa tak mampu berbicara. Apa yang telah didengar-nya? Kenapa begitu banyak
dusta? Bayu menggeleng-geleng takjub. Ceritera itu begitu nyatanya, terang dan
jelas, seperti sisi bulan yang disinari matahari. Padahal, pada saat yang sama,
ada sisi lain yang amat gelap gulita. Kebohongan itu, sungguh sangat bersih,
tersembunyi dalam ceritera yang sepertinya tanpa cela. “Saya rasa, saya sudah
difitnah, Kapten. Dijadikan kambing hitam.”
“Saya mengerti.
Tetapi, dalam kondisi seperti ini kami tidak dapat berbuat lain. Kami harus
menahan Saudara. Tetapi pahamilah, ini bukan semata meru-pakan sebuah tindakan
pengamanan. Tuduhan-tuduhan yang mereka ajukan, me-mang kurang didukung dengan
bukti-bukti yang kuat ....”
“Kalau begitu ....”
“Tetapi, selama
tidak ada bukti yang dapat menunjukkan kebalikannya, kami khawatir kebebasan
Saudara justru akan dapat menjadi ancaman. Mungkin, ada cerita besar di balik
ini semua. Siapa tahu. Karena itu pulalah, ada baiknya Saudara sementara kami
tahan. Kita nanti bisa sama-sama mencari pemecah-annya. Saya berjanji.”
Tetapi, Bayu diam saja. Ada guratan rasa kecewa dan gusar di
wajahnya.
“Percayalah pada
saya,” kata Kapten Leo kemudian, “sebagaimana juga saya percaya pada Saudara.
Bagaimanapun, perbuatan heroik Saudara dalam menolong Nona Gita dengan tanpa
memikirkan keselamatan diri sendiri itu, sungguh sangat saya hargai.”
Bayu memandang lurus ke Kapten Leo.
“Namanya Gita?”
“Chaya Gitanjali.”
Tiba-tiba terdengar
suara pintu diketuk, dan kemudian muncullah Letnan Genta dari balik daun pintu
itu. Mereka sudah berkenalan tadi ketika Bayu baru sampai di kantor ini.
“Ada berita bagus,
Kapten.” serunya.
“Bagaimana?”
“Barusan orang kita yang mengawasi tanah
lapang itu mengabarkan bahwa nampaknya memang ada kegiatan yang mencurigakan di
bekas pabrik itu. Bebe-rapa menit yang lalu mereka melihat sebuah sedan
berwarna ungu telah masuk ke area dan kemudian menghilang di balik reruntuhan
pabrik itu. Dan, coba tebak, siapa yang sedang mengendarai mobil itu ....”
“Ronie?”
“Tepat!”
“Mereka yakin?”
“Yakin sekali!”
Kapten Leo terdiam sebentar.
“Gimana Kapten, kita sergap?” tanya
Letnan Genta seperti tak sabar.
“Jangan! Jangan
dulu.”
“Lho, kenapa?”
“Masalahnya, kita
belum punya cukup bukti untuk membenamkan mereka ke penjara. Kalau kita tangkap
mereka sekarang, dengan dasar tuduhan pengania-yaan pada Nona Gita dan Saudara
Bayu, atau bahkan kalaupun kemudian kita berhasil menemukan Gita bersama
mereka, paling mereka hanya dapat jatah tiga atau empat tahun. Tentu saja
dengan asumsi kalau Nona Gita masih hidup. Dan, di sisi lain kita belum punya
bukti yang kuat untuk menghubungkan mereka dengan kasus pencurian benda-benda
arkeologi itu.”
“Oh, I see. Tapi, bagaimana kalau justru kita
temukan bukti-buktinya ada di dalam reruntuhan pabrik itu?”
“Jangan
berspekulasi.”
“Tetapi, menurut
saya sayang rasanya kalau mereka sampai lepas. Kita tidak tahu akan sampai
kapan mereka di situ. Padahal ...,” tiba-tiba Letnan Genta teringat sesuatu,
“oh ya, bagaimana dengan rekaman video dari Museum Ganesha itu? Itu ‘kan bukti
yang sangat jelas?”
“Sangat jelas bagi
kita, tetapi tidak bagi hakim, dan malahan dapat menjadi tameng bagi
pengacaranya. Kau ‘kan tahu, video adalah salah satu saksi atau alat bukti yang
lemah, karena ia mudah untuk dimanipulasi. Kita harus sangat berhati-hati dalam
menggunakannya. Benda itu akan menjadi barang yang tak berharga di mata hakim
kalau tidak ditunjang dengan bukti-bukti yang lainnya. Lagi pula, rekaman video
itu bukan menampilkan mereka saat melakukan kejahatan.”
“Tetapi, pada
malamnya .... Bagaimana kalau kita jerat dia dengan alibi? Kita yakin merekalah
pelakunya. Pasti mereka tidak punya alibi yang kuat untuk itu.”
“Letnan, jangan
berspekulasi!”
“Siap, Kapten!”
Letnan Genta mengambil sikap hormat, lalu setelah itu kembali biasa
lagi.
“Kita harus mencari
sesuatu. Kita harus mencari sesuatu.”
Mereka kemudian
saling terdiam beberapa saat. Letnan Genta pun lalu du-duk di kursi di samping
Bayu, sembari tersenyum sedikit kepadanya. Setelah itu ia kembali terbenam
dalam pikirannya. Bayu sendiri merasa kagum juga melihat anak muda ini. Umurnya
pasti barulah awal dua puluhan, tetapi tanda pangkatnya sudah berada di pundak.
“Jadi, kasus Nona
Gita ini ada kaitan dengan yang lainnya?” tanya Bayu, mencoba menarik simpulan
dari percakapan yang didengarnya tadi. Ini mengge-litiknya, terutama saat
mendengar kata-kata Kapten Leo tentang kalau
Nona Gita masih hidup tadi.
“Ya ..., kasusnya
memang jadi cukup berbelit, Saudara Bayu. Seperti yang saya katakan tadi.”
“Kalau boleh saya
tahu, Kapten. ....”
Kapten Leo kemudian menceritakan secara ringkas perkembangan kasus
Gita, dan kemungkinan kaitan-kaitannya dengan beberapa kecurigaan lainnya,
sampai ke perkembangan penyelidikan di reruntuhan bangunan bekas pabrik
elektronik di Bukit Mukakuning itu.
“Kita tidak mendapat
cukup jerat dalam kasus ini.” kata Kapten Leo kemu-dian kepada Genta, namun
bicaranya seperti bergumam sendiri. “Di Museum Senirupa Bandarbarelang kita
hanya punya lempengan titanium, yang masih belum dapat diidentifisir. Begitu
juga dengan Museum Ganesha. Dari Pekanbaru, ataupun Kotopanjang, kita juga
belum mendapatkan data-data yang berarti. Lalu, dari Jakarta dan Yogya pun
belum ada perkembangan. Shit!”
“Tetapi Kapten,”
Bayu menyela, “Kalau semakin lama tidakkah akan makin berbahaya bagi Nona Gita?”
“Iya, tetapi ...,”
Kapten Leo tiba-tiba menjentikkan kedua jarinya, dan seraya menyerahkan
selembar kertas, “coba kauhubungi orang yang mengirim faks ini. Cari tahu siapa
dia, dan apa maksudnya mengirimkan faks ini ke Nona Gita. Cepat!”
“Laksanakan, Kapten!”
Letnan Genta pun kemudian bergegas keluar ruangan.
“Oke, Saudara Bayu. Maafkan saya karena
harus melaksanakan tugas.” Kapten Leo kemudian menekan tombol intercom dan memanggil seseorang. Tak
berapa lama kemudian muncul Sersan Hamid.
“Sersan, tolong bawa
Saudara Bayu ke dalam tahanan sementara. Kita masih memerlukan beberapa
keterangan dari beliau.”
“Tapi Kapten, apakah
tidak ada cara lain?” Sela Bayu.
“Maaf, Saudara Bayu.
Kita sudah membicarakannya.”
“Atau, saya boleh
mengajukan satu permintaan?”
“Apa itu?”
“Kalau boleh saya
ikut Kapten nanti mencari Nona Gita .....”
“Kenapa?”
“Saya tidak tahu.
Emh ..., lagi pula bukankah saya memang sudah terlibat di dalamnya? Saya merasa
ikut bertanggungjawab ....”
“Tidak bisa.” Kapten
Leo menjawab cepat, tetapi kemudian terdiam seben-tar. “Saya mengerti perasaan
Saudara, dan saya juga sangat menghargainya. Tetapi, menyangkut urusan seperti
ini, biarlah kami yang menanganinya. Oke?”
Bayu cuma diam saja.
“Baiklah, Sersan.”
Kapten Leo memandang ke Sersan Hamid.
“Satu lagi, Kapten,
kalau boleh saya mohon.” Bayu berujar cepat.
“Apa?”
“Kapten ‘kan tahu,
saya tidak punya bekal apa-apa. Pakaian yang saya kenakan ini pun pemberian
rumah sakit. Bagaimana kalau saya diizinkan pulang sebentar ....”
“Kami yang akan
menguruskannya, Oke?”
Akhirnya, Bayu cuma bisa mengangkat bahu.
“Padahal, saya
memelihara seekor kucing ....”
Sersan Hamid kemudian mengajak Bayu untuk mengikutinya. Bayu
kemudian berdiri, dengan malas. Dan, sebelum meninggalkan ruangan itu, masih
sempat ia berkata,
“Kalau Kapten ketemu Nona Gita nanti, tolong sampaikan
salam saya.”
“Baik, pasti saya sampaikan.”
Ð
Ruang tahanan
sementara itu terletak di bagian basement
B2 dan B3 bangunan utama. Penjagaannya cukup ketat, dengan setidaknya ada tiga
lapis pintu sebelum mencapai ruang tahanan yang bersangkutan. Tidak ada akses
jalan keluar masuk selain sebuah lift khusus, dan dua buah tangga darurat yang
jarang sekali digunakan. Pintu lapis pertama adalah gerbang yang menghubungkan
aula ruang lift dengan ruang pemeriksaan dan ruang tamu. Pintu lapis kedua
adalah gerbang yang menghubungkan ruang pemeriksaan dengan blok-blok di bagian
mana tahanan akan ditempatkan. Sedangkan yang ketiga adalah pintu ruang tahanan
itu sendiri.
Sersan Hamid muncul
dari lift itu dengan Bayu dalam keadaan tangan ter-borgol. Setelah melewati dua
pintu pemeriksaan, mereka kemudian sampai di de-pan pintu sel yang akan
ditempati Bayu. Setelah pintu dibuka, Bayu disuruh masuk dan kemudian borgolnya
dilepas. Anak muda itu mengusap-usap pergelangan tangannya, yang sedikit
memerah. Seumur-umur baru sekali itu ia merasakan bagaimana tidak enaknya
tangan diborgol.
Setelah Sersan Hamid
menutup pintu itu kembali dan kemudian pergi, baru Bayu melihat-lihat keadaan
sekelilingnya. Sel itu tidaklah terlalu besar, meskipun mungkin masih lebih
luas dari sel untuk tahanan tetap. Paling berukuran 2 x 3 meter persegi.
Seluruh dindingnya bertembok semen, kecuali dinding depan dan daun pintunya
yang berjeruji besi. Sel itu relatif bersih, dengan sebuah dipan di salah satu
sisinya, dan ruangan toilet di sudut lainnya dengan dinding bata setinggi satu
setengah meter. Sementara di atasnya ada sebuah lubang ventilasi dengan
batang-batang jeruji besi sebesar jempol kaki, dipasang tegak dalam jarak yang
cukup rapat. Beruntung Bayu mendapatkan ruangan sel di barisan belakang
bangunan pada lantai B2, karena agaknya hanya pada barisan ini yang terdapat
lubang ventilasi udara dan cahaya. Ini masih dimungkinkan barangkali karena
kondisi permukaan tanah yang menurun ke bagian belakang, di mana terdapat
sebuah anak sungai.
Bayu kemudian
meletakkan vas bunga itu di sebuah meja kayu kecil yang ada di situ. Ia sudah
minta izin tadi untuk membawanya pada saat pemeriksaan dan itu dikabulkan,
kecuali satu-satunya miliknya yang lain, sebuah dompet, yang tetap harus mereka
simpan. Bayu kemudian baru sadar kalau suasana di sekitar relatif sunyi. Apakah
memang begini suasana di penjara? Atau memang kebetulan lagi banyak yang
kosong? Tapi, ia kemudian segera dapat menduga ketika dilihatnya ‘rekanan’ di
sel seberangnya nampak sedang asyik makan di atas dipannya. Ia baru ingat,
sudah saatnya ia mengisi perutnya, yang lalu langsung berontak ketika
diingatkan hal itu. Ah, sial juga;
pikirnya. Kenapa ia telah masuk tahanan di saat yang tidak tepat?
Tetapi, doanya
agaknya cepat terkabul, karena beberapa saat kemudian da-tang seseorang
membawakan makanan untuknya. Makanan itu disediakan dalam rangkaian 3 buah
rantang plastik. Rantang pertama berisi nasi, dengan lauk-pauk beserta sambal
di dalam kantong plastik. Rantang berikutnya berisi sop sayur. Dan rantang yang
terakhir berisi sepotong semangka, buah jeruk, dan dua cangkir plastik air
mineral. Hm, lumayan untuk seorang
tahanan; gumam Bayu yang kemudian segera saja melahapnya. Kejutan-kejutan
peristiwa hari ini agaknya telah membuatnya berkompensasi pada perut. Atau
mungkin justru karena ia telah sembilan hari lamanya tidak mendapatkan makanan
secara alamiah?
Tetapi, pada saat
yang sama ia juga tengah menimbang-nimbang kejadian-kejadian yang seperti
melintas-lintas tanpa ujung pangkal dalam kehidupannya selama beberapa waktu
terakhir ini. Kejadian-kejadian yang mencekam, kegan-jilan-keganjilan, dan
fenomena-fenomena asing lainnya tiba-tiba saling tumpang-tindih dan
belit-membelit. Ia jadi tak tahu lagi, jadi ragu, kejadian manakah yang telah
mendahului kejadian yang mana. Atau yang belakangan yang mana yang muncul dari
yang mendahului yang mana. Semuanya tiba-tiba seperti menggumpal, memedat,
menjadi suatu bentuk bernama ....
DEVA! Apakah itu? Siapakah itu? Bayu tersentak,
dan menghentikan ritual makannya. Meski, itu juga karena memang ia sudah
menghabiskannya.
Ð
Laporan dari Letnan
Genta kemudian menyebutkan bahwa orang yang mengirimkan 4 lembar faks ke
apartemen Gita itu adalah Sonia, pemilik suratkabar Berita Barelang itu. Gadis itu mengaku sebagai teman akrab Gita,
yang kemudian sangat terkejut dan cemas ketika dikabarkan bahwa temannya itu
telah diculik oleh sekelompok orang, yang diduga kuat adalah sama dengan
identitas orang-orang yang terdapat di dalam faks itu. Pada mulanya memang
Sonia tampak defensif, seperti mencoba menghindar ada apa di balik pengiriman
faks itu. Tetapi, setelah mendapat kabar tentang Gita telah hilang diculik itu,
ia kemudian bersifat lebih terbuka, dan kemudian menceritakan seluruh latar
belakang kejadian itu. Tetapi, ia juga kemudian menjelaskan bahwa apa yang
diceritakannya itu pun sebatas yang diketahuinya, karena ia pun baru dua hari
ini diceritakan oleh Gita.
Di samping cerita
tentang latar belakang itu, Kapten Leo pun kemudian mendapatkan selembar foto
hasil print-out komputer. Sebuah foto
yang menun-jukkan wajah Bernard alias Baron secara close-up. Menyadari cerita Sonia bahwa menurut Gita foto itu adalah
hasil pemotretannya ketika kepergok
di rusun Sungai-beduk itu, Kapten Leo kemudian memutuskan untuk kembali ke
apartemen Gita dan mencoba untuk mencari gambar-gambar hasil pemotretannya yang
lain, atau setidak-tidaknya yang masih ada di dalam file komputer. Kapten Leo kemudian membicarakan kepada Sonia
masalah ini dan memintanya untuk ikut membantunya. Sonia setuju, dan mereka
berjanji untuk bertemu di apartemen Gita pukul 17:00 WIB.
Kapten Leo nampaknya
memang harus menaruh kepercayaan pada Sonia. Adanya beberapa informasi penting
tentang kasus ini di tangannya, dan deskripsi tentang sejauh mana kedekatan
hubungannya dengan Gita, membuat Kapten Leo harus mempercayainya. Karena itu,
segera setelah mendapatkan surat perintah dari Mayor Harris ia pun kemudian
bersama dengan Letnan Genta dan Serma Choky, seorang stafnya yang ahli dalam
hal komputer, meluncur ke Tanjung Uma
View Apartement.
Sampai di apartemen
itu mereka melihat Sonia sudah berada di sana, sedang duduk-duduk di kursi tamu
di ruang lobi itu. Mereka kemudian segera menuju ke ruangan apartemen Gita
dengan ditemani oleh satpam yang kemarin, setelah Kapten Leo menunjukkan surat
perintah itu ke manajer apartemen. Sampai di dalam ruangan apartemen Gita itu,
tanpa membuang-buang waktu, Letnan Genta segera mencari sesuatu yang mungkin
berarti di antara tumpukan arsip dan dokumen di meja kerja itu. Sedangkan
Sersan Choky segera menghi-dupkan komputer, dan ....
“Wah, pakai password.”
“Apa bisa dibuka?”
tanya Kapten Leo jadi tak sabar.
“Sebentar, Kapten.
Saya coba pakai password identificator.
Biasanya sih bisa.” Sersan Choky
kemudian membuka casing CPU komputer itu, lalu mengutak-atik beberapa peralatan di dalamnya,
termasuk juga menambahkan sebuah peralatan baru. Setelah selesai, tanpa
terlebih dahulu memasang kembali casingnya,
komputer itu pun kemudian dihidupkan kembali. Di tengah-tengah layar monitor
yang berwarna biru itu lalu muncul sebuah tulisan PASSWORD yang disusul dengan sebuah bidang kosong berwarna putih di
sebelahnya. Pada bidang itu kemudian nampak barisan abjad, angka, dan karakter-karakter
lainnya; berputar bergantiganti dengan cepatnya, seperti barisan angka-angka
meteran di SPBU.
Sersan Choky kemudian membiarkan beberapa saat berlalu. Sekitar hampir
seperempat jam kemudian karakter-karakter di password itu berhenti dalam komposisi tulisan PRADNYAP. Tetapi,
komputer itu masih tetap belum terbuka. Sersan Choky lalu mencoba menekan
tombol enter beberapa kali, tetap
tidak juga terbuka. Padahal seharusnya begitu password berhasil dipecahkan, komputer akan terbuka dengan
sendirinya, seperti pada pengoperasian biasa. Apa yang salah?
“Wah, ini pasti ada
sesuatu.”
“Bagaimana kalau
diulang lagi? Mungkin ada yang keliru.”
“Tidak mungkin.
Semuanya sudah sesuai prosedur. Pasti ada sesuatu.” Ser-san Choky
menggaruk-garuk kepalanya. “Ah, saya rasa mungkin program pass-wordnya sudah dimodifikasi. Lihat, ini karakter P yang
terakhir masih berkedip-kedip. Ini menunjukkan sepertinya password yang didapat belum lengkap. Mungkin program passwordnya sudah dimodifikasinya dengan
menambahkan jumlah karakternya. Karena itu komputer ini belum dapat dibuka
karena pass-wordnya belum lengkap.”
“Tapi, kalau begitu
kenapa programmu tidak menyelesaikannya?”
“Sayangnya program
ini cuma untuk sandi yang sampai delapan karakter. Jumlah standar password.”
“Lalu, bagaimana?”
“Yah, kita terpaksa
harus menemukannya secara lengkap, baru bisa di-buka.” Choky
menggeleng-gelengkan kepala. “Cerdik juga dia.”
“Bagaimana kalau notebookmu saja yang langsung
dihubungkan ke hardisknya?”
“Tidak bisa Kapten,
karena password ini mengunci seluruh
kegiatan fisik komputer ini. Di samping itu setiap program dan file di dalamnya mengacu kepada program password itu. Jadi, misalkan hardisk itu dilepas lalu dipasang ke
komputer lain pun tetap tidak akan dapat dibuka tanpa password yang sesuai.”
“Jadi, buntu?” sela
Letnan Genta sambil bergabung, setelah tadi tidak men-dapatkan apa-apa dari
pencariannya.
“Tidak. Justru kita
sudah separuh jalan.” Kapten Leo membantah, sambil menoleh pada Sonia. “Nona
pernah diberi tahu tentang password komputer
ini?”
“Tidak.” gadis itu
menggeleng.
“Atau mungkin
penggalan kata-kata itu punya arti bagi Nona? Mungkin singkatan nama seseorang,
atau sesuatu, ... apapun.”
Sonia kembali memelototi deretan huruf-huruf itu.
“Sulitnya,” Sersan
Choky menyela, “karakter itu, dalam kenyataannya, tidak selalu berarti
serangkaian huruf yang membentuk suatu kata, Kapten. Bisa saja kebalikannya,
dalam imajinasi pembuatnya. Suatu angka melambangkan huruf, atau sebaliknya,
atau kode tertentu. Jadi ....”
“Sebentar. Sepertinya
..., ah, saya tidak pasti. Tapi, saya ingat Sonia sangat menyukai nama-nama
yang berbau benda-benda purbakala. Prambanan, misalnya. Obelisk, Sphinx, Angkor
Wat, Rorojonggrang, Kalasan, ....”
“Coba
Pradnyaparamitha.”
“Ya! Saya yakin
itu!”
Sersan Choky
kemudian mengetik kata-kata itu, menekan tombol enter, dan: byar! Layar
monitor lalu penuh dengan pernak-pernik cover
WINDOWS
2010 yang menggambarkan siluet planet Saturnus
lengkap dengan cincinnya yang termasyhur itu, beserta beberapa satelitnya, dalam
gerakan yang berputar seperti dilihat dari sebuah pesawat ruang angkasa. Choky
kemudian masuk ke program photocam
dan segera mencari file yang
dimaksud. Untuk mempermudah pencarian, ia menye-leksi file-file yang pernah dioperasikan sembilan hari terakhir. Ternyata
ada lebih dari 200 file. Terpaksalah
dibukanya satu persatu, tetapi beberapa menit kemudian akhirnya sadar bahwa file yang dicari tidak ada. Kapten Leo
kemudian menimang-nimang print-out
foto Baron itu, lalu katanya,
“Kau yakin hasil
cetakan foto ini dari program photocam,
dan bukan yang lainnya? Photoshop 2000,
misalnya. Atau mungkin cammerra.”
“Saya yakin, Kapten.
Lagi pula tidak ada program pengolah foto yang lain di sini selain photocam. Saya cuma curiga kalau-kalau filenya sudah dihapus ....”
“Ah, mungkin juga.”
Kapten Leo mendadak lesu. Teringat pernyataan Letnan Genta tentang masih terasa
hangatnya badan monitor komputer itu, saat pemeriksaan mereka malam tadi.
“Tapi, kalau memang benar, apa masih bisa dilacak kembali?”
“Sekadar dilacak
saja, bisa Kapten. Tapi saya tidak bisa menjamin apa masih bisa direhabilitasi.
Kalau mereka menghapusnya dengan program khusus, atau track bekas file itu
telah diisi oleh file lainnya,
selamat tinggallah ....”
“Coba saja dulu.”
“Pasti.”
Choky kembali
mengutak-atik isi komputer itu, menanggalkan alat yang di-pasangnya tadi, dan
kemudian memasang alat yang lainnya lagi. Komputer kemu-dian dihidupkan lagi,
dan karena password-nya sudah
diketahui maka tidak ada kesulitan untuk membuka komputer itu lagi. Setelah
berada di program photocam, melalui notebook-nya yang berhubungan dengan
komputer itu, Choky lalu mencoba melacak file-file
yang ber-extension FCM yang telah dihapus dalam 24 jam terakhir.
Beberapa saat kemudian ditemukan ada lebih dari 40 file. Dan yang lebih menggembirakan file-file tersebut ternyata hanya dihapus dengan cara yang biasa,
dan juga track-nya belum sempat
ditimpa oleh file yang baru atau file lainnya. Karena itu kemudian tidak
sulit bagi Choky untuk merehabilitasi file-file
itu kembali.
“Kemungkinan
berhasilnya bisa lebih 90 %.” katanya kemudian.
Dan beberapa saat
kemudian 39 file dapat direhabilitasi
dengan sempurna, yang setelah dicek satu persatu oleh Kapten Leo, seluruh file itu tampaknya me-mang berhubungan
dengan hasil pemotretan di rusun Sungaibeduk itu. Hampir seluruh foto itu
nampak agak gelap, karena diambil pada malam hari dalam pen-cahayaan yang
kurang. Akhirnya Kapten Leo hanya mencetak tujuh file. Foto yang pertama dicetaknya adalah foto yang menampilkan close-up peti yang sedang dipindahkan
itu.
“Lihat ini,” tunjuk
Kapten Leo kemudian, setelah foto yang pertama itu selesai di-print, “benda yang kelihatan di balik
celah ini sepertinya jelas bagian dari prasasti Kotopanjang itu.”
“Ya. Pasti.” Letnan
Genta membenarkan.
“Saya akan
melaporkannya pada Mayor Harris.” Kapten Leo kemudian menjauh beberapa langkah,
dan kemudian menghubungi Mayor Harris via ponselnya. Melaporkan beberapa
perkembangan terakhir, termasuk kesaksian satpam RS Sepanas dan Ananda Bayu.
Dengan demikian, dengan perkembangan sampai saat ini setidak-tidaknya ada
beberapa pasal yang dapat dilemparkan kepada mereka. Mulai dari penganiayaan,
penculikan, dan percobaan pembu-nuhan. Dan, dengan sedikit nasib baik, mereka
akan sampai kepada kasus pen-curian benda-benda arkeologis itu. Sementara itu,
keselamatan Gita dalam ke-adaan terancam. Akhirnya, Mayor Harris memerintahkan
mereka untuk bergerak.
Kapten Leo kemudian
mendekat kembali, sementara printer
tersebut sudah menyelesaikan tugas mencetaknya. Kapten Leo kemudian menyerahkan
ponsel-nya ke Letnan Genta.
“Minta seluruh
anggota yang ada segera menuju lokasi, dan sementara lakukan penjagaan ketat.
Selanjutnya tunggu perintah saya.”
“Laksanakan,
Kapten!” Letnan Genta lalu menghubungi markasnya untuk meminta bantuan
tersebut, sementara Choky mematikan dan merapikan kembali seluruh perangkat
komputer tersebut, dan Kapten Leo mengumpulkan foto-foto tersebut ke dalam
sebuah map kosong yang ditemukannya di situ. Setelah semua selesai, mereka
segera bergegas keluar ruangan itu dan turun ke lobi. Kapten Leo kemudian
mengucapkan terimakasih pada satpam dan manajer apartemen atas kerjasama
mereka, dan juga kemudian pada Sonia.
“Nona Sonia, kami
berterimakasih sekali atas seluruh bantuan yang telah Nona berikan. Semuanya
sangat berharga untuk penyelidikan ini. Tapi, kami harus segera menyelesaikan
tugas kami, dan memastikan teman Nona itu dalam keadaan sehat walafiat. Saya
kira kita berpisah di sini saja ....”
“Oh tidak, Kapten.”
“Tidak?” Kapten Leo
terheran, sementara tangannya yang ingin mengajak bersalaman jadi menggantung
begitu saja.
“Kita belum akan
berpisah. Saya akan ikut Kapten.”
“Wah, jangan.”
Kapten Leo agak terkejut. “Berbahaya bagi Nona untuk ber-ada di sana. Masalah
Nona Gita, percayakanlah pada kami. Kami akan berusaha dengan sebaik-baiknya.”
“Saya juga berharap
begitu.” sahut Sonia kemudian. “Tetapi, dengan benda mungil ini saya pasti
diberi izin, bukan?” Sonia menunjukkan selembar kartu identitas pers sambil
tersenyum menggoda. Kapten Leo jadi tersipu.
“Bah, lupanya
aku.”gumamnya. “Ng, tapi ingat, Nona harus tetap bertindak sangat hati-hati,
karena ini bukan saja untuk keselamatan Nona sendiri, tetapi juga menyangkut
yang lainnya. Setuju?”
“Oke.”
“Ingat, Nona, kita
mungkin saja akan memasuki sebuah medan perang.”
“Jangan khawatir,
saya sudah pernah tugas di Kamboja.”
Ð
Malam itu Gita tidak
dapat tertidur. Rasa ketakutan, ketakberdayaan, dalam keadaan terkurung dan
terikat seperti itu, kuat mencengkeram dirinya. Dan akhirnya, ditambah sedikit
rasa penyesalan kenapa selama ini ia tidak menggambarkan saja sedikit lebih
banyak posisinya dalam kasus ini. Kalau itu dilakukannya tentulah Kapten Leo
akan memahami posisinya dan pasti akan mengadakan tindakan pengamanan. Tetapi,
tidak. Karena pada mulanya ia sungguh tidak menyangka bahwa keterlibatannya
ternyata akan sejauh ini, akan seperti ini. Gita selama ini hanya mengira
paling-paling ia hanya harus mencari informasi, menguntit, mengambil beberapa
petik foto, lalu kemudian mungkin kepergok
pandang, dipelototi, atau paling jauh hanya akan dibentak, atau ‘sedikit
disakiti’ karena telah berbuat usil. Tidak pernah terbayangkan olehnya kalau
akhirnya akan jadi seperti ini. Diculik! Sudah seperti dalam adegan film saja.
Sudah seperti ia seorang yang penting saja. Lalu, apa yang akan mereka lakukan
setelah menculiknya? Meminta uang tebusan kepada Negara? Atau kepada Prof.
Gunawan? (Apa mereka tahu?). Yang lalu – kalau tidak dipenuhi – kepalanya
lantas akan dipenggal, dan Istana Negara akan diledakkan? Ih.
Dan karena itu siang
ini, ketika orang-orang itu datang kembali, gadis itu tampak kusut, dengan
kelopak mata yang sangat berat. Beberapa kali ia ditepuk pipinya dengan agak
keras agar terjaga kembali, agar matanya dapat membuka lebih lebar, sampai
pipinya terasa seperti berdengung.
“Bangun! Kalau mau
jadi mata-mata, matamu harus melotot! Ayo, bangun! Bangun!” teriak orang yang
membangunkannya, orang yang sama dengan yang memegang belati malam tadi, Edi
Tanki. Dan, ketika kemudian gadis itu telah dapat melihat sekitarnya dengan
lebih jelas, nampak ramai sekali orang-orang di hadap-annya. Ada 4 orang yang
mengenakan jas dan berkacamata hitam, dengan yang seorang sambil mengisap pipa
cangklong. Ada yang biasa saja. Ada sekitar ... tiga, empat, ... tujuh orang. Astaga,
ia sudah jadi seperti barang tontonan saja! Tiba-tiba ia jadi merasa malu,
jengkel, tetapi juga takut. Siapakah mereka? Kalau yang empat orang itu, ia
sudah tahu ....
“Ini perempuan yang
saya ceritakan itu, Bos.” kata Ronie kemudian pada orang yang mengisap pipa
cangklong itu. Yang dipanggil ‘Bos’ itu hanya diam saja, memandangi Gita dengan
tajam.
“Siapa dia?”
“Namanya Chaya
Gitanjali. Ia sepertinya seorang wartawan.”
“Sepertinya?”
“Uh, ia wartawan Berita Barelang.”
“Jadi, apa
tujuannya? Apa maksudnya? Siapa yang menyuruhnya?”
“Ng, kami belum
tahu, Bos.” Ronie berbisik. “Kami baru ....”
“Apa?” Si Bos
menoleh Ronie dengan jengkel. “Kau memang tak pernah dapat menyelesaikan
pekerjaan dengan cepat, ya? Lalu, pelajaran apa yang kau-dapat dari Jepang
itu?”
Ronie diam saja. Si Bos lalu maju, mendekati meja
di hadapan Gita. Lama memandangi wajah gadis itu, dan kemudian benda-benda yang
berserakan di atas meja itu. Lalu diraihnya selembar foto, diperhatikannya
beberapa saat, dan kemudian dilemparnya kembali. Si Bos kemudian berbalik, dan
berbisik pada Ronie.
“Perempuan ini bisa
berbahaya. Apapun yang kaudapat darinya, setelah itu segera habisi. Mengerti?”
Ronie mengangguk.
“Mereka akan datang
jam delapan malam nanti. Aku tak mau ini sampai gagal. Mengerti?”
Kembali Ronie mengangguk.
“Bagus. Sekarang,
tinggal mengambil prasasti yang terakhir, yang disimpan di vila di Rempang.
Segera kalian ke sana, dan setelah itu segera selesaikan urusan dengan
perempuan ini, mengerti?”
“Mengerti, Bos.”
“Bagus.”
Lalu mereka semua meninggalkan ruangan itu.
Ð
DRAGONMAN
BANDARBARELANG,
Mukakuning, 29 - 12 - 2012, pukul 18:48 WIB.
Tiga buah mobil
sedan nampak sedang melaju di jalan tepian Mukakuning Reservoir, menuju ke arah
Bukit Mukakuning. Di depan sekali sebuah sedan berwarna hitam pekat, lalu
sebuah jip, dan terakhir sebuah sedan berwarna biru tua. Hari telah mulai
beranjak gelap, ketika mereka sampai di lereng bukit itu, dan kemudian
meninggalkan jalan beraspal, belok kiri masuk ke jalan tanah yang lebih sempit.
Daerah di sekitar masih relatif kosong, hanya satu dua rumah penduduk
kelihatan, di tengah-tengah belukar yang sudah terbuka lebar. Beberapa waktu
kemudian, jalan kian mendaki, dan – tiba-tiba sebuah tanah lapang yang cukup
luas terbentang di hadapan mereka, di balik pagar kawat setinggi dua meter
lebih. Mereka berhenti di situ.
Ð
Hari telah beranjak
gelap, dan sebagian besar lampu-lampu penerangan di lantai B2 itu sudah
dihidupkan. Sersan Hamid dan Bayu baru saja melewati pintu blok selnya, dan
kini mereka sedang berjalan di koridor menuju sel tempatnya ditahan. Bayu baru
saja selesai diambil keterangannya secara lebih detail oleh seorang Sersan
Mayor selama lebih dari empat jam, sehubungan dengan kejadian di laboratorium
itu. Lebih dari empat jam, sejumlah waktu yang sekarang membuatnya kian merasa capek, dan ingin
cepat merebahkan tubuhnya.
“Anda baik-baik
saja?” tanya Sersan Hamid, setelah memperhatikan Bayu yang sepertinya nampak
kian lesu.
“Ah, baik. Baik.
Saya mungkin cuma kecapekan saja.”
“Yah, yang namanya
pemeriksaan memang begitu. Saya harap Anda bisa mengerti. Anda tahu, tak jarang
ada yang sampai sehari penuh, atau bahkan ber-hari-hari; meskipun tentu saja
dengan diselingi waktu istirahat.”
“Ya.”
“Oh ya, Anda masih
ingat Nona Gita?”
“Nona Gita?”
“Gadis yang telah
Anda tolong itu?”
“Ya. Tapi, Bapak
tahu dari mana?”
“Saya?” Sersan Hamid
tersenyum. “‘Kan saya yang bersama Kapten Leo malam itu. Anda tidak ingat? Ah,
pasti tidak ya, karena Anda sudah pingsan.”
“Oh ya? Jadi, Bapak
yang telah menolong saya malam itu? Ah, kalau begitu saya harus mengucapkan
terimakasih pada Bapak.”
“Ah, tidak juga.”
Sersan Hamid seperti tersipu, namun diterimanya juga jabat salam Bayu. “Kapten
Leo yang lebih banyak berperan malam itu.”
“Ah, sama saja, Pak.
Saya tetap merasa berterimakasih.”
“Jadi, Anda masih
ingat Nona itu?”
“Iya. Kenapa?”
“Dia ‘kan diculik?!”
“Oh ya?” Bayu
pura-pura terkejut, sekadar untuk menyenangkan lelaki se-tengah baya itu.
“Siapa yang menculiknya?”
“Kabarnya oleh orang
yang bentrok dengan kalian malam itu.”
“Oh ya? Terus,
bagaimana? Sudah berhasil ditemukan?” Tanya Bayu sekadarnya.
“Kapten Leo
nampaknya sudah menemukannya. Mereka akan menyerbunya malam ini.” Sersan Hamid
melirik jamnya. “Ya, kira-kira sekarang ini.”
“Oh ya?” kali ini
Bayu nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba ia merasa seperti harus melakukan
sesuatu. “Sekarang?”
“Iya. Kenapa?”
“Eh, tidak. Ehm,
mudah-mudahan mereka berhasil, ya. Saya mengkha-watirkan sekali keselamatan
gadis itu.”
“Anda kenal
dengannya?”
“Sebenarnya, tidak.
Ya, bertemunya waktu kejadian itu saja.”
“Oh.”
Mereka telah sampai di depan pintu sel itu, dan Sersan Hamid
kemudian mem-bukanya.
“Silahkan.”
Bayu masuk ke dalam, dan kemudian borgolnya dilepas. Sersan Hamid
kemudian mengunci pintu itu kembali.
“Ng ..., Pak
Sersan.”
“Ya?”
“Orang yang di depan
itu ke mana?” tanya Bayu begitu menyadari sel yang berada di seberangnya sudah
kosong.
“Oh, itu? Sudah
dipindahkan ke LP. Kenapa?”
“Ah, tidak. Cuma
tanya saja.”
“Baiklah, Anda saya
tinggal. Silahkan mandi, dan selamat beristirahat.”
“Terimakasih.”
Sersan Hamid kemudian meninggalkan ruangan itu.
Ditinggal sendiri,
Bayu tidak berpikir untuk segera membersihkan diri, terapi malah tiba-tiba jadi
merasa gelisah. Apa yang akan dilakukannya? Apa
yang harus aku lakukan? Kenapa? Kenapa aku harus memperhatikan hal itu? Ada
apa? Apa yang telah terjadi? Bayu tiba-tiba seperti jadi bingung, berbagai
pikiran berloncatan di dalam benaknya, atau bahkan mungkin di dalam
perasa-annya. Tiba-tiba seperti ada yang mendesaknya untuk melakukan sesuatu,
atas apa yang telah diketahuinya. Ia tahu
ada seseorang yang sekarang sedang dalam keadaan terancam. Tapi, apa yang harus
ia lakukan? Apakah ia harus menye-lamatkan gadis itu? Kenapa? Apakah karena ia
telah mengenalnya? Ah, sebenar-nya juga tidak, ia toh belum benar-benar mengenalnya. Mereka baru berinteraksi hanya beberapa menit, itu
pun dalam situasi yang riskan. Lalu, apa? Kenapa jadi buah pikiran baginya?
Kenapa ia tiba-tiba jadi merasa harus? Apa yang telah mendorongnya? Dan,
bagaimana ia harus melakukannya?
Tiba-tiba terpandang
olehnya jendela berjeruji itu. Gelap di luar. Ah, gila; pikirnya. Aku harus
keluar? Kenapa? Lewat jeruji besi sebesar jempol kaki itu? Memangnya kau siapa?
Deva. Apa? Kembali terpandang olehnya sel
yang sudah kosong di seberang. Lega. Tetapi,
apa urusannya? Kau harus menjaga
kebenar-an, kau harus membela yang lemah.
Bagaimana? Bagaimana? Kau ‘kan Deva!
Siapa itu? Astaga!
Bayu tiba-tiba
berlari ke pintu, ingin berteriak memanggil penjaga, supaya dapat dipanggilkan
Sersan Hamid. Ia ingin minta agar dapat diizinkan keluar untuk .... Ah, pikiran bodoh apa itu. Lalu, bagaimana? Kau tinggal memotong jeruji jendela itu .... Memotong? Kaupikir aku
siapa? Tukang besi? Sudahlah,
jangan banyak berdebat. Kau panjat saja tembok pembatas toilet ....
Bayu sekali lagi
melihat ke koridor. Sepi. Kemudian berbalik, dan mulai memanjati tembok itu.
Dengan cepat ia sudah berdiri di atas tembok itu – aneh, sepertinya ia sudah
tidak merasa kecapekan lagi. Tetapi, ia masih belum dapat menjangkau jendela
berjeruji itu, karena terhalang jarak antara dinding pembatas toilet itu dengan
dinding di mana jendela itu berada. Ia sudah mencoba memi-ringkan tubuh ke
dinding itu, dan kemudian menjinjitkan kakinya, tetapi tetap tak sampai; masih
beberapa sentimeter lagi dari ambang bawah jendela. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Lompat. Ha? Lompat, dan berpegangan
pada jeruji jendela. Apa?
Apa aku sudah gila? Apa yang akan aku dapat dengan bergelan-tungan seperti itu?
Pokoknya lakukan saja. Kau
nanti juga akan tahu. Ah.
Bayu akan melompat, ketika tiba-tiba ia mendengar suara langkah sepatu.
Cepat-cepat ia turun dari tembok itu, dan duduk di tepi dipan. Seorang petugas
muncul di depan selnya, sambil membawa serangkaian rantang.
“Silahkan makan.”
kata petugas itu kemudian, setelah masuk ke dalam dan meletakkan rantang itu di
atas meja. Petugas itu pun kemudian meninggalkan ruang sel itu kembali, setelah
mengambil rantang yang siang tadi.
Bayu lalu
cepat-cepat berdiri, kemudian menata dipannya sedemikian rupa, sehingga
seolah-olah seseorang tengah tertidur lelap di atasnya. Setelah merasa puas, ia
kemudian kembali memanjati tembok pembatas toilet itu, dan lalu tanpa
berpikir-pikir lagi ia terus melompat mencoba menggapai dua batang jeruji untuk
tempatnya bergantung. Berhasil, walaupun dengan tubuh yang sedikit terhempas ke
dinding belakang itu. Lalu, bagaimana?
Panjat. Ha? Panjat. Kau harus
mema-njatnya, agar tanganmu sampai ke bagian atas jeruji. Buat apa? Aku toh tetap
tidak akan bisa keluar. Jarak antara jeruji itu sangat sempit. Karena itu kau harus melebarkannya. Ayo, panjat. Ya, ya. Bayu kemudian
mencoba memanjati dinding itu, seraya menggeser pegangan tangannya kian ke
bagian atas jeruji. Setelah dengan susah payah, ia akhirnya berhasil juga. Lalu? Lalu, kau tinggal mengacungkan jari telunjukmu, dan potong
besi itu. Apa
maksudmu? Lakukan saja. Yakinlah.
Bayangkan saja seperti kau sedang memotong besi dengan las. Aku belum pernah
melakukannya, bagaimana bisa tahu? Tapi kau pernah melihat seseorang melakukannya, bukan? Iya, sih .... Kalau begitu
.... Baik, baik. Bayu kemudian
menempelkan telunjuknya ke bagian paling atas salah satu jeruji, dengan lebih
susah payah karena sekarang ia harus menahan berat badannya dengan satu tangan.
Dan, ujung jeruji itu kemudian memerah, lalu putus. Wah, bagaimana mungkin? Lakukan saja terus. Tak usah kaupikirkan. Kau tidak ingin terjatuh,
bukan? Iya ‘lah.
Nah, tiga jeruji lagi, dan kau
sudah bisa keluar. Baiklah.
Bayu kemudian melakukan hal yang sama pada tiga jeruji lainnya. Selesai. Bagus. Sekarang, tekuk keempat besi itu. Tekuk? Tapi sekarang
tanpa menunggu jawaban lagi, Bayu menekuk keempat jeruji besi sebesar jempol
kaki itu. Tidak terlalu sulit, sehingga tak lama kemudian ia sudah berada di
luar. Dan karena dari luar jendela itu tidak sampai dua meter ketinggiannya
dari muka tanah, dengan mudah ia meluruskan keempat jeruji besi itu kembali.
Sampai di jalan,
Bayu segera menyetop sebuah taksi yang lewat, dan minta diantarkan ke rusun di
Sungaibeduk. Sampai di tujuan ia meminta taksi itu me-nunggu sebentar, dan
kemudian segera menuju ke kamarnya setelah meminjam kunci cadangan dari
pengurus rusun itu, dengan alasan kuncinya hilang waktu kebakaran di
laboratorium tempatnya bekerja. Setelah mengambil sejumlah uang dari dalam
lemari, Bayu kemudian telah kembali berada di dalam mobil taksi itu, dan
memintanya segera ke Bukit Mukakuning.
Ð
Tanah lapang di mana
bekas pabrik elektronik itu berada cukup luas, dengan sebagian besar
permukaannya masih hanya dilapisi dengan campuran bauksit muda dan tanah merah.
Bangunan bekas pabrik elektronik itu sendiri cukup luas, terdiri dari beberapa
unit gedung bertingkat maupun tidak, dengan sebuah di antaranya jauh lebih
besar. Tetapi, bangunan-bangunan itu sekarang telah porak-poranda, sebagaimana
biasanya pada bangunan-bangunan yang hangus terbakar. Meski demikian, masih
banyak kerangka-kerangka dan dinding bangunan yang masih berdiri, meskipun
sudah menghitam, dan mungkin rapuh.
Dari gerbang ini
sekeliling bangunan itu tampak gelap saja, sunyi, seperti tidak ada kegiatan
apapun. Jarak antara keduanya ada sekitar lima puluhan meter. Di sekitar
gerbang itu sekarang tampak beberapa buah mobil sedan berwarna hitam – dengan
dua di antaranya terdapat tulisan POLISI, sebuah jip, dan sebuah sedan lainnya yang berwarna biru tua.
Sepintas mobil-mobil tersebut tidak akan kelihatan di kegelapan malam itu
karena juga tersembunyi di antara semak belukar. Sementara itu beberapa orang
di antaranya berada di luar kendaraannya, merapat ke gerbang. Mereka adalah Kapten
Leo, Letnan Genta, Sonia, dan dua petugas lainnya. Letnan Genta, dan seorang
petugas lainnya, nampak tengah asyik mengamati kejauhan melalui teropong
inframerahnya, baik ke arah bangunan-bangunan itu maupun ke arah gerbang utama
yang tampak dalam keadaan terbuka. Jarak antara ke-dua gerbang itu ada sekitar
seratusan meter. Gerbang di mana tempat mereka berada sekarang ini adalah
merupakan gerbang lama, yang ditinggalkan ketika kegiatan lalulintas keluar
masuk saat pabrik ini masih aktif dipindahkan ke gerbang utama ketika Dinas PU
menyelesaikan sebuah ruas jalan yang beraspal mulus dan lebar di mana lokasinya
lebih dekat ke lahan mereka. Gerbang ini kemudian tak pernah dipergunakan lagi,
bahkan pintunya digembok-rantai pada tiga tempat; di mana beberapa saat yang
lalu sudah terpotong, agar mereka dapat segera menerobos masuk pada saatnya
nanti. Sementara itu Sonia tampak asyik pula dengan kameranya, membidik ke sana
ke mari.
Tiba-tiba radio di
salah satu kendaraan itu berbunyi.
“Perhatian! Ada
sebuah taksi mendekat ke arah lokasi Apa yang harus dila-kukan?” Itu berasal
dari rombongan petugas yang mereka tempatkan di persim-pangan jalan ke gerbang
utama.
“Diterima!
Sebentar.” Petugas yang berada di dalam mobil itu kemudian mengeluarkan
kepalanya dan berteriak tertahan ke arah Kapten Leo. “Kapten. Ada sebuah taksi
mendekati lokasi. Apa yang harus dilakukan?”
“Tetap waspada,
tetapi jangan melakukan tindakan apapun.” Kapten Leo melirik ke arah jam
tangannya, pukul 19:19. “Beberapa menit lagi mereka sampai.”
“Siap!”
Kemudian petugas yang berada di dalam mobil itu menghubungi
rekannya kem-bali, dan menyampaikan apa yang dikatakan Kapten Leo. Sementara,
Kapten Leo sendiri kemudian mengeluarkan ponsel dan lalu memencet serangkaian
nomor, menghubungi petugasnya yang secara bergantian ditugaskan membuntuti
Ronie cs saat ke Rempang, yang
kemudian diperkirakan akan kembali ke sini.
“Kosong Dua, posisi
di mana?”
“Kosong Dua di sini.
Kami masih di Jalan A. Yani, Kapten. Sedang melewati Mukakuning Reservoir.
Sementara saat ini Kosong Satu yang berada di belakang mereka. Kelihatannya
memang tepat dugaan Kapten bahwa mereka akan kembali ke lokasi.
“Baik. Nanti
kauhubungi lagi aku.”
“Siap, Kapten!”
Kapten Leo kemudian menyimpan ponselnya kembali.
Beberapa saat
kemudian Letnan Genta tiba-tiba berseru, “Lihat! Ada seseorang mendekati lokasi
dari arah gerbang utama. Siapa dia?”
“Dengan kendaraan
taksi?” tanya Kapten Leo.
“Tidak, cuma jalan
kaki.”
Seorang petugas yang juga memegang teropong kemudian juga
membidikkan pandangannya ke arah gerbang yang dimaksud.
“Sepertinya penduduk
sini.”
“Penduduk sini? Apa
tujuannya?”
Petugas tadi mengangkat kedua bahunya.
“Mungkin, cuma
iseng, Letnan.”
“Kalau begitu, taksi
tadi ke mana? Coba lihat.” Kapten Leo meraih teropong yang ada pada Letnan
Genta dan kemudian mulai mengarahkan pandangannya ke gerbang. Melalui alat itu
Kapten Leo kemudian melihat siluet seseorang yang sedang berjalan dalam
kegelapan, melewati pintu gerbang, tampaknya dengan sangat berhati-hati. Bahkan
terkesan seperti mengendap-endap. Sayangnya, dengan alat sekecil itu Kapten Leo
tidak dapat melihat secara lebih fokus lagi, agar dapat mengidentifikasi objek,
yang barangkali saja dikenal.
“Siapa orang ini?
Tapi, sepertinya ....”
“Kapten,” petugas
yang di mobil tadi kembali berteriak tertahan, “taksi tadi terlihat lagi, tapi
sekarang posisinya menjauhi lokasi.”
“Ya, sudah.”
“Siap!”
“Kapten,” celetuk
Sonia tiba-tiba, “mungkin orang itu yang naik taksi tadi.” sambil mengarahkan
kameranya pada objek yang sedang mereka bicarakan.
“Oh ya, saya rasa
juga begitu.”
“Mau ngapain dia?”
“Gerak-geriknya
sepertinya mencurigakan. Lihat, perilakunya seperti sese-orang yang akan
menyusup ke tempat lawan. Saya rasa ia bukan bagian dari mereka. Ini di luar
rencana.”
“Bagaimana, Kapten.
Kita amankan saja dia dulu?”
“Aku rasa, kita
tidak dapat berbuat banyak, Letnan. Kita tidak punya cukup waktu. Mereka
sebentar lagi sampai.”
“Jadi, dibiarkan
saja?”
“Apa boleh buat.”
Kapten Leo mengangkat kedua bahunya. “Siapa tahu dia juga bagian dari sasaran
kita.”
Ð
Dengan berhati-hati
Bayu melewati gerbang. Suasana sekeliling tampak seperti sepi sekali, seperti
tidak ada siapa pun. Di mana mereka?;
gumamnya. Di mana Kapten Leo? Bayu
kemudian berlari kecil mendekati tumpukan drum yang sudah karatan. Tapi, ah, sebaiknya aku memang tidak perlu
sampai bertemu de-ngannya; gumamnya lagi. Apa katanya nanti kalau sampai melihat aku ada di sini, padahal
seharusnya aku berada di dalam tahanannya. Apa yang akan aku jawab? Bayu
kemudian sudah sampai di sisi bangunan yang terdekat. Di mana gadis itu? Sambil merapat ke dinding, Bayu mencoba
menelusuri lewat bagian belakang bangunan itu. Banyak besi-besi buruk
berserakan di situ, tetapi selebihnya sepi. Apa
memang betul di sini tempatnya? Kok
sepi-sepi saja? Bayu kemudian sampai di sisi bangunan yang lebih besar.
Tetapi tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil lewat, dan kemudian menghilang di
depan bangunan besar itu. Ah, mungkin itu
mereka. Mungkin di sini tempatnya.
Bayu kemudian masuk
ke dalam bangunan itu. Bayu kemudian melihat tangga turun ke basement, dan lalu tergerak untuk
menelusurinya. Tetapi baru beberapa langkah menuruni anak tangga itu, ia
tiba-tiba menangkap sorotan cahaya yang bergerak. Sebuah mobil! Bayu cepat
menyembunyikan diri, dan kemudian meli-hat beberapa orang yang nampak sibuk di
sekitar mobil van berwarna merah itu.
Apa yang mereka lakukan? Bayu pun
lalu perlahan-lahan turun, mengendap-endap lebih dekat, dan kemudian
bersembunyi di balik sebuah tiang yang cukup besar.
Tiba-tiba ia
mendengar bunyi deruman yang cukup keras mendekat ke arah mereka: sebuah forklift. Kendaraan itu lalu mengangkat
sesuatu dari dalam mobil itu, dan kemudian terus membawanya ke dalam. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
“Berdiri!”
Tiba-tiba Bayu mendengar suara keras itu di belakangnya. Cepat ia
berbalik, dan sekarang moncong sebuah senapan otomatik tepat berada di antara
kedua mata-nya. Astaga! Bayu terkaget, dan hampir saja ia terjengkang
karenanya.
“Berdiri! Ayo!”
Orang yang berbadan besar itu kembali menghardiknya. Bayu tidak
dapat berbuat lain. Dengan agak gemetar ia kemudian berusaha berdiri. Mati aku; pikirnya. Apa yang telah aku lakukan? Sial!
“Siapa kau?”
“Saya ....”
“Kau mata-mata, ya?!
Jalan!”
Bayu tertegun. Cepat sekali
orang ini mengambil kesimpulan; gumamnya.
“Ayo, jalan!” Orang
itu tiba-tiba menghantamkan popor senapannya dengan keras ke perut Bayu,
sehingga membuat anak muda itu terhenyak dan kemudian melipat perutnya, menahan
nyeri. Sontoloyo! Garang betul ini orang.
“Jalan!”
Dengan sambil masih menahan nyerinya, Bayu kemudian terpaksa
mengikuti perintah orang itu. Aduh,
sebaiknya apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan terjadi?; gumamnya
setengah cemas. Huh, jangankan ingin
menyelamatkan gadis itu, aku sendiri malah ketangkap.
Bayu kemudian
digiring ke tempat yang lebih terang, di mana di situ dili-hatnya ada beberapa
orang yang berjas rapi dan berkacamata hitam – seorang di antaranya menghisap
tembakau dari pipa cangklong, dan .... Astaga, baru ia sadar sudah berada di
sarang mereka.
“Bos, lihat ....”
Semua mata sekarang memandang ke arahnya. Seperti hening beberapa
saat, lalu seorang di antaranya tiba-tiba berteriak,
“Hei! Bukankah dia
....”
“Betul, Bos.” seru
Baron pula tiba-tiba. “Orang inilah yang mengganggu kita di Sungaibeduk malam
itu.”
“Tapi ...,” Ronie
seperti tertawa jengkel, “kalian bilang dia sudah mampus!” Baron dan Dendi
tampak mengkerut. “Sekarang, apa yang kita lihat ini: arwahnya? Hantunya?”
“Sorry, Bos. Kami tak menyangka ....”
“Bego!”
“Hei, hei, hei ....”
orang yang menghisap pipa cangklong itu tiba-tiba mengenengahi. “Ada apa ini
Ronie? Apa artinya ini? Siapa orang itu?”
“Ugh ... anu, Bos.”
Ronie menjawab gugup. “Ini orang yang satunya lagi.”
“Maksudkau?”
“Orang yang bertemu
dengan kami di Sungaibeduk ....”
“Oh, kau berhasil
menangkapnya? Bagus, bagus. Tapi, katakau dia sudah kaubereskan. Lalu, ini apa?
Hantunya?”
“Maaf.” tiba-tiba
Bayu menyela. Mereka semua jadi terdiam, menatap anak muda itu dengan
keheranan: kok berani-beraninya orang
ini berbicara tanpa diminta. “Saya tahu kita pernah bentrok,” Bayu mengarahkan
pembicaraannya pada Ronie, “tetapi saya datang ke sini tidak untuk urusan itu
lagi. Itu sudah saya anggap selesai. Saya cuma mau minta agar gadis itu
dibebaskan.”
“Apa?” Ronie tertawa
terpatah-patah – mungkin juga karena dibebani oleh perasaan jengkel. “Wah, Anda
memang benar-benar seorang pangeran kesatria, ya?” Tertawa jengkel lagi.
“Pantang menyerah, demi menyelamatkan seorang putri. Ha ha ha ....”
“Saya bisa bertemu
dengannya?”
“Jangan bodoh!”
Ronie melengking. Tetapi, beberapa saat kemudian ia me-nurunkan vibrasi
suaranya kembali. “Ya, ya, ya .... Tapi, segera setelah itu kalian akan menjadi
pangeran dan putri di kerajaan neraka. Ha ha ha ....”
“Bos!” tiba-tiba
seseorang yang baru datang menyela. “Mereka sudah sampai.”
“Apa? Kau yakin?”
seru orang yang menghisap pipa cangklong itu.
“Yakin, Bos.”
“Kenapa mereka lebih
cepat seperempat jam?” menoleh ke jam tangannya. “Pasti ada sesuatu. Kita harus
berhati-hati.”
“Jadi, gimana Bos?”
“Mereka ada berapa
orang?”
“Sorry, Bos. Tidak begitu jelas. Tapi,
mereka datang dengan sebuah sedan dan trailer
besar. Mungkin sekitar enam atau tujuh orang.”
“Baik, memang sesuai
dengan perjanjian, kalau trailer itu
kosong. Tapi, kalian harus lebih berhati-hati, sepertinya mereka merencanakan
sesuatu. Mereka sudah turun dari kendaraannya?”
“Belum, Bos.”
“Baik. Ronie, anak
ini kauamankan saja dulu. Urusan begitu saja tidak becus. Setelah itu cepat
kautemui aku.”
“Oke, Bos.”
Bayu kemudian mereka
jebloskan ke dalam ruangan di mana Gita berada, dalam keadaan erat terikat
tangan dan kaki.
Ð
Novel ini sebagian pernah dimuat secara bersambung
dalam Riau Pos 1999~2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar