DEVA

INI ADALAH KISAH MUNCULNYA SUPERHERO KITA
ASLI INDONESIA
SANG TITISAN GATOTKACA



Ð

          Mobil sedan berwarna hitam itu  melaju dengan kecepatan tinggi di sela-sela keramaian lalulintas malam Jalan Bungaraya. Kapten Leo yang berada di belakang kemudi nampak sangat lincah mengendalikan kendaraannya. Dan, tentu saja, dengan sirine di atapnya membuat ia menjadi lebih mudah mencari tempat untuk mendahului kendaraan lain, atau bahkan menerobos lampu merah traffic light.
          “Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada gadis itu.”
Genta hanya diam saja.
          “Tetapi, firasatku mengatakan lain.”
          “Tapi, Kapten, apakah tidak mungkin justru kejadian ini berkaitan dengan kasus di laboratorium itu?”
          “Oh ya! Itu sebuah pemikiran yang cemerlang juga, Letnan. Tetapi coba pikirkan polanya, motifnya ....”
          “Mungkin itu juga ada kaitannya dengan sesuatu yang telah dilakukannya, atau mungkin sesuatu yang telah dilihatnya.”
          “Bagus, Letnan. Tetapi menurutku polanya dasarnya berbeda. Tidak ada bau aksi militer dalam kejadian ini. Kau mengerti maksudku?”
          “Memang, Kapten. Tetapi ..., mungkin saja mereka menggunakan tangan orang lain untuk pekerjaan ini. Untuk mengaburkan jejak.”
          “Itu bisa menjadi salah satu alternatif, Letnan. Realitas yang ada, aku tidak bisa menghubungi Nona Gita, dan itu mencemaskanku. Oh ya, coba kauambil satu atau dua anggota kita untuk berjaga-jaga di dekat Bayu.”
Letnan Genta kemudian menghubungi markasnya dengan radio mobil, dan minta dikirimkan dua orang anggota ke RS Sepanas guna menjagai Bayu. Dan selan-jutnya mengabarkan bahwa mereka sekarang sedang menuju ke Tanjung Uma View Garden.
          Sampai di lobi apartemen itu mereka segera menuju counter. Di belakang meja counter tampak dua orang resepsionis pria dan wanita, dan seorang satpam. Setelah menjelaskan bahwa mereka dari kepolisian, Kapten Leo kemudian mene-rangkan dengan cepat bahwa ada kemungkinan Nona Chaya Gitanjali, penghuni apartemen nomor 809, saat ini sedang dalam keadaan terancam. Dijelaskan juga bahwa tadi ia sudah mencoba menghubunginya, tetapi nampaknya teleponnya seperti dalam keadaan sibuk terus. Karena itu kemudian Kapten Leo minta mereka mengecek-ulang via telepon mereka, apakah benar teleponnya sedang sibuk atau justru orangnya yang tidak ada di tempat.
          “Kalau orangnya, kami yakin masih ada.” jawab gadis itu. “Soalnya sekitar setengah jam yang lalu dia menelepon memesan makanan dari restoran. Dan,” gadis itu menoleh ke temannya yang lelaki itu untuk mendapatkan dukungan, “tadi baru saja diantar ‘kan?”
          “Iya, Pak.” sambut temannya. “Saya rasa, sekarang sudah sampai di apar-temennya. Mungkin karena itu dia tidak segera dapat menyambut teleponnya.”
Kapten Leo tersentak,
          “Oh ya?”
          “Dan, mengenai telepon itu ..., nampaknya memang sedang digunakan, Pak.”
          “Sejak tadi? Sedang dipakai atau .... Begini, Bapak tolong ikut kami ke atas untuk menyelidikinya.” kata Kapten Leo pada satpam itu. “Tolong bawa juga masterkey, siapa tahu kita memerlukannya. Sedang Mas, tolong perintahkan sat-pam-satpam yang lain untuk mengadakan pengawasan lebih ketat, terutama orang yang keluar-masuk. Oke?”
          Mereka bertiga: Kapten Leo, Letnan Genta, dan satpam apartemen itu kemudian bergegas naik ke atas. Karena dua buah lift yang ada kebetulan sedang digunakan jauh di atas, mereka terpaksa naik lewat tangga. Karena itu, tak heran begitu sampai di lantai 8 mereka sudah nampak kepayahan. Sementara, sambil menaiki tangga tadi, Kapten Leo menghubungi markasnya untuk meminta satu tim kepolisian lagi untuk datang ke apartemen ini. Sampai di depan pintu bernomor 809, satpam itu kemudian memencet bel. Dua kali, tiga kali, tidak ada tanggapan. Lalu kemudian dilanjutkan dengan menggedor pintu keras-keras, juga tidak ada tanggapan. Malah, tetangga yang di seberang koridor yang membuka pintu, seorang nyonya gemuk dengan anjing pudelnya, yang setelah diberi sedikit penjelasan, kemudian bergegas kembali masuk ke dalam apartemennya. Semen-tara, koridor sangat sepi.
          Karena tidak juga ada tanda-tanda tanggapan dari dalam, satpam itu kemu-dian menggunakan masterkey-nya. Pintu pun terbuka.
          Di dalam sepi sekali, seperti tidak ada siapa pun. Tak jauh dari pintu masuk, berdiri diam sebuah trolley makanan, yang mungkin tadi dipesan Gita. Kapten Leo membuka tutup kereta itu, hidangan masih utuh, dan hangat.  Lalu perlahan-lahan mereka masuk lebih jauh, sambil mencoba memanggil-manggil nama penghuni apartemen itu. Tapi, tetap masih tak ada jawaban. Berpencar, mereka mencari lebih jauh ke bagian-bagian ruangan lainnya. Tetap tak ada. Sementara, keadaan ruangan boleh dikatakan biasa-biasa saja, seperti tidak ada kejadian yang dikhawatirkan telah terjadi. Segala sesuatu seperti tepat berada di tempatnya. Hanya di meja kerja saja yang kelihatan sedikit acak-acakan oleh tebaran beberapa berkas dan lain-lain, tetapi itu juga bukan hal yang patut dicurigai. Letnan Genta kemudian meraba badan monitor komputer.
          “Masih hangat. Ada kemungkinan ia belum lama meninggalkan ruangan ini.” katanya kemudian.
          “Ya, dan ruangan ini bersih-bersih saja.” ujar satpam itu pula, seperti merasa skeptis dengan apa yang dikhawatirkan Kapten Leo. Kapten Leo tidak menanggapinya, tetapi dari garis wajahnya terlihat ia seperti kecewa. Kecewa, ataukah harus lega? Demikian gumamnya dalam hati. Kalau memang ini hanya sekadar karena tuan rumahnya sedang pergi ke suatu tempat, seharusnya ia merasa senang karena tidak terjadi seperti apa yang dikhawatirkannya; walaupun ini mungkin akan sedikit merusak reputasinya. Dan mengingat keadaan ruangan yang boleh dikatakan bersih, Kapten Leo memang cenderung memilih kemungkinan itu. Tetapi dalam perasaannya, seperti ada sesuatu yang janggal. Rasanya, ruangan ini malah jadi seperti terlalu rapi, terlalu bersih. Seperti sebuah kamuflase yang mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya. Tiba-tiba ia mencemaskan sesuatu, bagaimana kalau semua ini malah sebetulnya menun-jukkan kecanggihan taktik penjahat itu saja? Ah, tiba-tiba pada saat seperti ini Kapten Leo mengharapkan tim Labkrim sudah berada di sini dan kemudian membanjirinya dengan semua data yang tersembunyi yang berhasil mereka bongkar.
          Lalu, entah merasa kesal, Kapten Leo meraih sembarangan beberapa lembar dari kertas-kertas yang berserakan di meja kerja itu, dan kemudian membaca tulisan hasil cetakan printer itu secara sambil lalu. Dari situ Kapten Leo menebak bahwa isi tulisan itu sepertinya sebuah ulasan atau artikel tentang pelacuran anak-anak yang memang mulai merebak secara sembunyi-sembunyi setahun dua belakangan ini. Kapten Leo seperti terpana sebentar, gaya tulisan seperti ini seperti berbau jurnalis. Hm, apakah ada sesuatu?; gumamnya. Lalu, lembaran-lembaran kertas itu diletakkannya kembali, dan tiba-tiba terpandang olehnya gagang telepon yang letaknya tidak tepat pada dudukannya. Astaga, kenapa mereka sampai melupakan masalah ini?
          “Lihat! Ini, letak gagang teleponnya memang tidak tepat.”
Kedua orang itu kembali mendekat.
          “Ya.” jawab satpam itu. “Tapi, itu juga belum menunjukkan apa-apa, bukan? Bisa saja karena ia tergesa-gesa, jadi meletakkannya secara ceroboh.”
          “Mungkin juga, tergesa-gesa ....”
Lalu, Kapten Leo mendorong sedikit gagang telepon itu, hingga letaknya menjadi tepat. Tetapi, tiba-tiba setelah itu mesin faks di sebelahnya berbunyi dan kemu-dian mulai menjulurkan sehelai kertas dari dalamnya. Mereka segera jadi tertarik dengan kejadian yang tak disangka-sangka itu, sampai beberapa detik kemudian mesin faks itu berhenti, setelah mengeluarkan empat lembar isinya. Kapten Leo kemudian mengambil lembaran kertas faks itu, dan ... gotcha! Mendadak wajahnya jadi berseri.
          “Lihat!” serunya pada Letnan Genta. “Di sini tercantum empat nama, beserta track-records dan identifikasi lainnya. Aku yakin, ini kemungkinan besar ada hubungannya dengan kejadian di rusun di Sungaibeduk itu. Lihat, dua orang ini adalah sama dengan petunjuk yang diberinya, dan ini terutama, Ronie!”
Letnan Genta menerima kertas itu, membacanya sebentar, dan kemudian,
          “Faks ini dikirim dari Berita Barelang.”
          “Suratkabar lokal itu?”
          “Kelihatannya begitu.”
          “Apa hubungannya dengan kasus ini?”
          “Perlu kita hubungi?”
          “Jangan, jangan dulu. Jangan terlalu tergesa-gesa. Coba kita pikirkan dulu ada apa di balik ini.” Kapten Leo meraih kertas itu kembali. “Tiga nama di sini sudah kita kenal dan, setidak-tidaknya, satu nama berhubungan dengan kasus pencurian lukisan dan benda-benda bersejarah lainnya itu. Jadi, nampaknya kasus ini memang saling berhubungan.”
          “Ya, mungkin benar apa yang Kapten perkirakan sejak semula. Tetapi, apa hubungannya dengan Berita Barelang?”
          “Kurasa, mungkin ini hanyalah masalah profesi saja. Mungkin Gita ini ada-lah salah seorang wartawati suratkabar tersebut, dan mungkin mereka juga sedang mencium kasus ini. Lihat, tulisan pada lembaran ini terdiri atas hasil cetakan printer, dan juga sedikit tulisan tangan, yang agaknya tambahan informasi yang didapat kemudian. Mungkin yang tulisan tangan inilah yang ingin disampaikan si pengirim dari Berita Barelang itu.” Kapten Leo membacanya kembali sejenak. “Pada Dendi ini, sepertinya ada tambahan dua buah alamat yang ditulis dengan tangan. Yang satu sudah kita ketahui, sama dengan yang ada di dalam file kita. Sedangkan yang satu lagi ....” terdiam sebentar. “Aku rasa kita harus segera meneliti alamat ini. Tapi, aku mau mencoba menghubungi ponsel gadis itu sekali lagi. Siapa tahu dia ternyata baik-baik saja.”
          Kemudian Kapten Leo mencoba menghubungi Gita dengan ponselnya. Tapi, beberapa saat kemudian mereka mendengar bunyi dering ponsel di dalam kamar gadis itu. Ternyata, ponsel gadis itu ada di dalam sebuah tas tangan yang tadi memang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Ini, alamat tidak baik. Sementara itu, satpam yang bersama mereka telah dihubungi rekannya via HT, yang mengabarkan bahwa mereka baru saja menerima laporan tentang service boy, yang seharusnya tadi mengantarkan makanan pesanan ke apartemen Gita tiba-tiba mendapatkan dirinya terjaga dari pingsan di dalam sebuah lift di lantai 22, dengan trolley makanan itu sudah tidak berada lagi bersamanya. Kenapa hal itu sampai terjadi? Yang diingatnya hanyalah ia sebenarnya sudah keluar dari lift di lantai 8 itu, ketika tiba-tiba ia merasa hidungnya seperti menghirup udara yang dingin, dan setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi.
          “Sial! Nampaknya mereka sudah berhasil melakukannya.” gerutu Kapten Leo kemudian. “Ayo, kita coba lacak alamat Dendi yang terbaru ini. Mungkin saja mereka berkumpul di sana.”
          Mereka segera beranjak hendak pergi, ketika tim yang dipanggil sudah datang. Kapten Leo kemudian memerintahkan tim Labkrim saja yang tinggal untuk melaksanakan tugasnya mencari jejak apapun di kamar gadis itu yang mungkin dapat dijadikan pedoman, sedangkan yang lain ikut bersamanya melacak sebuah alamat di kawasan Tanjungriau. Tetapi, beberapa waktu kemu-dian mereka terpaksa kembali pulang dengan kecewa, karena nampaknya rumah itu seperti tidak berpenghuni, dan mereka tidak menemukan jejak apapun yang dapat membuat penyelidikan mereka menjadi semakin jelas. Meski demikian, Kapten Leo masih berharap akan mendapatkan sesuatu pada akhirnya dengan tetap menempatkan dua orang personilnya mengawasi rumah tersebut, setidaknya sampai 24 jam berikutnya. Meski demikian, Kapten Leo tidak begitu berharap dengan itu. Kalau pun memang benar rumah itu adalah salah satu ‘markas’ kelompok itu, mereka kemungkinan besar tidak akan membawa gadis itu ke rumah itu, karena bangunan rumah itu relatif kecil dan agak terbuka, serta dikelilingi beberapa rumah tetangga yang cukup padat. Mereka pasti membawa-nya ke tempat lain, ke suatu tempat entah di mana.
          Kemudian, sampai kembali di kantornya pun Kapten Leo tidak mendapat-kan laporan yang menggembirakan dari tim Labkrim. Semuanya nihil. Tidak ditemukan jejak apapun, sidik jari, atau lainnya yang mungkin dapat dicurigai. Tampaknya cara mereka beroperasi cukup bersih, dan ini semakin menebalkan kecurigaan Kapten Leo bahwa kedua kasus itu memang saling berhubungan. Tetapi, meski bagaimanapun, ia masih dapat menghibur diri dengan mendapatkan faks itu. Ada tiga nama yang cocok dengan yang sudah di tangannya, terutama nama Ronie alias Donnie, dengan segala track-record dan data lainnya yang hampir serupa. Ia tinggal perlu mencari data dari file tentang orang yang bernama Edi alias Edi Tanki alias Tanki saja. Seingatnya ia belum pernah mendengar nama yang seperti itu. Baiklah, bagaimana pun itu harus segera dicari. Pada mulanya ia ingin meminta bantuan Letnan Genta untuk mencarikannya, tetapi begitu dilihatnya anak itu tengah setengah terkantuk-kantuk di atas berkas-berkas yang bertumpuk di atas mejanya, ia kemudian mengurungkan niat itu. Nampaknya ia harus melakukannya sendiri.

Ð

          Ruangan itu kecil saja, dengan dinding-dinding dari pasangan batubata yang menghitam seperti bekas terbakar, dengan pada beberapa bagiannya plesterannya sudah mengelupas. Di tengah-tengah ruangan itu, seorang gadis duduk dalam keadaan terikat pada sebuah kursi kayu: Gita, dengan celana panjang longgar berwarna hijau lumut dan kaos ketat berwarna kuning pudar. Ruangan itu relatif gelap, karena hanya ada sebuah lampu kecil untuk penerangan yang tergantung tak jauh di atas kepalanya. Di depannya ada sebuah meja kecil dan jelek, yang juga terbuat dari kayu. Di atas meja itu berserakan beberapa lembar foto yang nampaknya hasil cetakan printer,  dua buah CD, sebuah disket, tustel, dan beberapa berkas lainnya. Sementara, berdiri di luar cahaya lampu, siluet dua orang lelaki yang berdiri gelisah. Jarum jam sudah menunjukkan lewat pukul satu dinihari.
          “Sial! Mana kedua anak itu? Kok belum nongol juga?” ujar Ronie gusar.
          “Mungkin sedang di jalan, Bos.” sahut yang satunya mencoba meredakan kegelisahan Ronie.
          “Mustahil. Ini pasti ada apa-apanya. Masa urusan begitu saja sampai lama sekali.” Diam sebentar. “Sudah, kita urus saja yang ini dulu.”
          Lalu, mereka mulai mengalihkan perhatian pada gadis itu yang nampak tak berdaya dengan matanya ditutup kain hitam. Itu mereka lakukan agar dalam perjalanannya tadi gadis itu tidak dapat mengidentifikasi jalan yang mereka lalui, sehingga ia tidak akan tahu saat ini berada di mana. Mereka kemudian melepas-kan ikatan kain hitam itu, dan gadis itu tidak nampak terkejut atau merasa takut, karena ia sudah tahu siapa orang yang menculiknya, dan kenapa. Yang harus dilakukannya sekarang adalah mengulur-ulur waktu, mengadakan bargaining, bersabar dan hati-hati, dan sedapat mungkin mengidentifikasi kira-kira di mana ia sekarang berada. Mengenai keselamatan dirinya? Entah kenapa ia tiba-tiba merasa yakin tak perlu mencemaskannya. Meskipun kemudian ia segera terkejut dan harus menimbang-nimbang kembali kesimpulannya itu, ketika tiba-tiba pipi kirinya terasa seperti ditempeli benda metal yang dingin sekali. Sebilah belati di tangan Edi menempel ketat ke pipinya.
          “Nona Chaya Gitanjali. Hm, nama yang indah sekali.” Ronie maju selangkah sehingga wajahnya terlihat samar. “Seindah orangnya.” Berkata demi-kian Ronie menjulurkan tangannya mencuil dagu gadis itu. Gita berusaha mengelak dengan memalingkan wajahnya, tetapi tak berhasil. Panjang sekali tangan orang ini; gumamnya dalam hati dengan jengkel. “Tapi, perbuatanmu sungguh tidak indah. Memata-matai orang, mengintip-intip kegiatan orang lain tanpa izin. Ini,” Ronie meraih beberapa lembar foto dari atas meja itu, “pintar sekali. Sekarang, coba sebutkan, untuk siapa kamu melakukan ini semua.”
          “Saya wartawan. Seorang wartawan selalu menyukai kejadian yang aneh-aneh.”
Terdengar tawa datar Ronie.
          “Wartawan .... Jadi, kamu menganggap kami aneh? Kalau kamu bukan perempuan ....”
          “Saya memang wartawan.”
          “Bohong! Kamu pasti bekerja untuk seseorang.”
          “Tidak. Saya tidak bekerja untuk seseorang. Saya bekerja untuk pembaca.”
          “Sudahlah, tak ada gunanya kamu berbohong. Tak mungkin seorang warta-wan punya data dan perlengkapan secanggih kamu. Tinggal di apartemen yang cukup mewah lagi. Kamu pasti telah dibiayai oleh seseorang untuk melakukan ini semua.”
          “Apa?” Gita tertawa kecil. “Jangan picik. Jangan mengira wartawan itu miskin semua. Anda sudah ketinggalan zaman kalau beranggapan begitu.”
Kali ini Ronie hanya diam, mendongakkan wajahnya pada Edi, dan lelaki itu kemudian lebih menekankan belati itu ke wajah Gita sehingga kepala gadis itu kian tertekuk miring.
          “Sudahlah, jangan banyak main petak umpet. Kausebutkan saja sebuah nama, dan semuanya akan beres, dan kau pun akan aman. Kalau tidak, saya tidak menjamin pisau itu masih dapat tenang di situ.”
          “Sudah saya katakan, saya bekerja hanya untuk pembaca.”
Plak! Tiba-tiba Edi menampar pipi gadis itu dengan cukup keras, sehingga mem-bekaskan warna merah di pipinya.
          “Ups! Maaf, saya sebenarnya bermaksud menahan gerakan pisau ini, tetapi tiba-tiba berbalik jadi dia yang mengendalikan saya. Karena itu, tolonglah cepat kausebutkan, karena kalau semakin lama saya kuatir saya tidak kuat menahannya.”
          “Kamu, bajingan!” umpat Gita perlahan. “Memang betul saya cuma ....”
Plak! Kali ini tamparan itu lebih keras lagi, sehingga Gita sampai berkaca-kaca matanya menahan rasa perih. Orang ini; pikir Gita, ternyata lebih sadis dari yang diperkirakannya.
          “Aduh! Maafkan saya lagi. Apa yang kaukatakan tadi?”
Gita diam.
          “Sampai di mana?”
Karena tidak juga mendapatkan tanggapan, lelaki itu kembali menampar Gita de-ngan tangan kirinya, tetapi kali ini jauh lebih keras sehingga membuat wajah gadis itu terlempar ke belakang. Sekarang, Gita tidak dapat lagi menahan rasa sakitnya, dan kemudian mulai menangis terisak-isak.
          “Aduh, aduuh .... Maafkan saya, Neng. ‘Kan sudah saya katakan tadi, cobalah kaubicara, kasih tahu siapa boskau. Sia-sia saja kau berbohong di sini. Tak ada gunanya. Kami jauh lebih ahli dalam hal itu. Sekarang,” lelaki itu kembali menempelkan belatinya, “jawablah dengan jujur, sebelum sampai wajahkau yang cantik dan mulus ini disayat-sayat oleh pisau ini. Oo, percayalah, pisau ini bisa kejam sekali. Dia suka mengiris-iris wajah orang, hidung, telinga, bibir, lidah, mencungkil biji mata, ....” seraya berkata demikian ditempelkannya ujung belati itu pada setiap organ tubuh yang disebut. “Dia juga bisa menggorok leher, mengiris bukit kembar ini, ....”

          TOK, TOK, TOK; tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
          “Siapa?!”
          “Kami, Bos.”
Ronie mengangguk ke Edi Tanki, dan kemudian mereka keluar. Di luar mereka melihat Bernard dan Dendi.
          “Bagaimana?!”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak.
          “Sukses, Bos.”
Tapi, melihat reaksi mereka Ronie malah jadi ragu.
          “Kalian yakin?”
          “Yakin sekali, Bos.”
          “Lalu, kenapa kalian datang terlambat? Dan,” Ronie menangkap sesuatu yang ganjil di tangan kanan Dendi, “kenapa itu?”
          “Ah, bukan apa-apa, Bos.” Dendi menjawab agak gugup.
          “Maksudmu?”
          “Eh, e, memang tadi ada sedikit trouble, Bos.”
          “Maksudmu?”
    "Waktu saya sedang membekap mulutnya tadi, tiba-tiba tangan saya dicengkeramnya kuat-kuat.”
          “Apa?” Ronie terkaget. “Tapi, kalian bilang orang itu dalam keadaan koma. Bagaimana mungkin?”
          “Itulah, Bos.”
          “Kalian memang bego. Urusan yang seperti itu saja tidak becus.”
          “Tapi, orang itu memang koma, Bos.”
          “Baik. Coba jelaskan, bagaimana mungkin dia bisa melakukan perlawanan seperti itu.”
          “Saya rasa itu bukan perlawanan, Bos.”
          “Lalu?”
          “Mungkin itu semacam suatu gerakan refleks terakhir saja, Bos. Naluri untuk mempertahankan diri. Lagi pula hanya itu yang dilakukannya.”
          “Ah, banyak omong kamu. Mungkin juga itu karena dia belum tewas benar.”
          “Sudah, Bos. Kami yakin kalau itu, karena grafik biometrinya sudah datar.”
          “Begitu.” terdiam sebentar. “Jangan terlalu percaya sama alat-alat itu. Kalian harusnya memastikannya sendiri.”
          “Maunya kami begitu, Bos. Tapi, ya gara-gara kejadian itu kami kaget sehingga timbul keributan. Jadi, kami terpaksa harus segera pergi.”
          “Apa? Cuma karena tanganmu dipegang saja ....”
          “Itulah yang sebenarnya juga kami herankan, Bos.” kali ini Baron yang berbicara. “Mulanya memang kami kaget karena orang itu tiba-tiba menyentak. Tapi, yang aneh lagi Bos, ternyata tangan yang dipegangnya jadi melepuh, seperti bekas terbakar, seperti bekas kena benda yang panas sekali. Mana cengkeram-annya kuat sekali, susah payah kami melepaskannya, Bos.”
          “Ah, kalian jangan mengada-ada.”
          “Betul, Bos. Itulah sebabnya kenapa kemudian kami terpaksa lambat kemari karena harus mengobati tangan dia dulu.”
          “Ya, sudahlah kalau begitu.” Ronie menguap. “Aku capek. Kita istirahat saja dulu, semuanya ke hotel saja. Aku jadi merasa tidak aman dengan rumah kalian.”
          Kemudian Ronie memanggil salah seorang dari dua penjaga yang ada di situ dan mengatakan mereka harus mengawasi gadis yang ada di dalam kamar itu. Lalu, keempat orang itu pun segera meninggalkan gedung bekas pabrik elektronik itu.


 
Ð

          Pulau kecil itu masih berkabut, namun terasa sejuk segar. Udara masih ber-gerak perlahan, dan cahaya matahari masih menembus samar-samar ke atas per-mukaan tanah, yang pada tempat-tempat tertentu masih berupa garis-garis cemer-lang bagaikan kilauan hujan emas yang jatuh ke Bumi, yang kemudian mengge-nang dan mengalir bersama heningnya telaga dan jeramnya arus sungai. Sementara, dedaunan hanya melambai perlahan, bagaikan jemari seorang ibu yang membelai lembut bayinya. Dalam keheningan, yang hanya sesekali saja dipecahkan oleh suara kicau burung dan geram harimau, sebagai pemuncak vibrasi jiwa, Bayu menemukan dirinya berada.
          Di sini, hari-hari berlari seperti mimpi. Mimpi indah, yang seperti melayang-layang di batas antara Bumi dan swargaloka. Dan, setiap saat yang berlalu, membuat Bayu kian timbul kesadarannya, akan keberadaannya. Keempat lelaki tua, dan seorang perempuan tua itu, telah membimbingnya dengan penuh kekerasan, dalam naungan kesabaran dan belas kasih. Penuh kekerasan, karena ia harus berjuang dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, untuk mengenal siapa dirinya, kembali. Itu harus dilakukannya karena ia telah ribuan tahun berkelana, di rimba-rimba swargaloka, dan hutan-hutan mayapada. Dalam naungan kesabaran dan belas kasih, karena labirin waktu seringkali membolak-balik kesadarannya. Kadangkala ia bersikap seperti seorang bocah, kadangkala bersikap seperti telah dewasa. Kadangkala ia bergaya jumawa bagaikan seorang dewa, kadangkala bersikap naif seperti hamba sahaya. Kadangkala berlaku angkara bagaikan raksasa, kadangkala berlaku asih seperti brahmana. Kadang-kala suka mengenakan seperangkat pakaian kebesarannya, kadangkala dicam-pakkannya saja entah di mana ....
          Apa yang telah dialaminya beberapa hari ini adalah sungguh merupakan perubahan total akan pemahamannya tentang dirinya. Dan itu bukanlah sekadar pengalaman batin saja, tetapi juga tak kurang pengalaman fisik. Apa yang paling pertama kali diketahuinya ketika timbul kesadarannya – kembali, adalah ia ternyata masih seorang bayi! Padahal ia tahu bahwa ia sebenarnya telah tumbuh dewasa, dan tinggal di suatu tempat di sebuah metropolitan bernama Bandar-barelang. Tetapi, kemudian ia meragukan itu pula, karena kemudian berpikir bahwa mungkin itu hanyalah masalah kesadarannya saja. Merasa dirinya sudah besar, tetapi kesadarannya ternyata hanya baru setingkat bayi yang baru lahir. Karena itu ia kemudian tidak begitu mencemaskannya lagi. Apalagi ketika kemudian ada lima orang tua yang  merawatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ia kemudian merasa seperti dimandikan di air yang bening sejuk yang mengalir dengan lembutnya, sehingga kemudian membuat dirinya serasa bersih dan segar. Dan beberapa saat kemudian ia pun dimandikan pula di dalam sebuah kolam dengan cairan yang berwarna jingga kemerahan yang nampak menggelegak hangat membelai kulit, di sebuah puncak gunung di tengah-tengah pulau itu. Setelah itu, ajaib, ia pun kemudian dapat keluar sendiri dari dalam kolam itu, yang ternyata adalah sebuah kawah gunung berapi, terbang dengan riang melintas awan dan sejenak bermain-main dengan serombongan burung, lalu kembali turun dan berdiri takzim di hadapan kelima orang tua itu. Waktu itu ia pun segera menyadari bahwa tegaknya ternyata telah lebih tinggi dari kelima orang tua itu. Lalu, karena masih dalam keadaan telanjang, ia pun kemudian diberikan seperangkat pakaian oleh mereka. Sehelai baju tak berlengan yang berwarna biru langit, dengan sebuah gambar bintang bersudut sembilan berwarna merah menyala di bagian dadanya. Sehelai celana panjang berwarna biru laut, dan sepasang sepatu yang berwarna hitam. Setelan pakaian itu nampak sangat liat, dan kemudian seperti melekat ketat ke tubuhnya setelah dipakainya. Meski demikian ia tetap merasa sejuk dan nyaman, tanpa merasa gerakannya menjadi terganggu. Kemudian, ia pun diberikan sehelai sarung pendek berwarna dasar putih dengan garis-garis horisontal berwarna merah, yang kemudian dikenakannya di pinggang, yang kemudian diikat dengan sebuah sabuk yang berwarna hitam. Maka, ketika ia telah mengenakan itu semua, ia tahu ia telah berubah. Dengan tubuh yang tinggi dan kukuh, dengan tonjolan otot-otot yang nampak liat, dengan wajah yang teguh namun teduh, dan dengan sepasang telinga yang meruncing seperti mata anak panah, ia merasa telah menjadi seorang kesatria.
          “Kau memang adalah seorang kesatria, Cucuku. Tak perlu berkhayal untuk itu.” ujar salah seorang di antara kelima orang tua itu, bagaikan tahu apa yang di-rasakannya. Tetapi, pada saat yang sama ia juga jadi bertanya-tanya, siapakah aku sebenarnya? Bukankah aku hanyalah seseorang yang bernama Ananda Bayu?
          “Sekarang namamu juga adalah ÐEVA. Sebuah nama yang sudah ribuan tahun kami nantikan.”
          “Deva? Nama siapakah itu?”
          “Namamu, dalam wujud kau sebagai seorang kesatria ini, Cucuku. Dalam wujud manusia biasa kau tetaplah bernama Ananda Bayu.”
          “Aku tidak mengerti apa maksudmu.”
          “Pengertian, dan kesadaran, akan timbul secara perlahan-lahan, dan men-dalam, Cucuku.”
          “Apa maksudmu membedakan aku dalam dua wujud?”
          “Artinya Cucuku, kau dapat berada dalam salah satu dari kedua wujud itu pada setiap waktu yang kau kehendaki. Kau tinggal menginginkannya, memikir-kannya, maka beberapa saat kemudian terjadilah.”
          “Apa maksudnya?”
          “Sekarang kau dalam wujud Deva. Cobalah kau memikirkan dan tunjukkan keinginan untuk menjadi Bayu, maka ....”
Pet! Seketika Bayu telah kembali ke wujud yang biasa, yang rasanya sudah amat dikenalnya. Hanya saja ia dalam keadaan telanjang bulat. Karena terkejut dan malu, cepat ia kembali mengubah diri.
          “Bukankah aku adalah Bayu?”
          “Betul. Dan kau juga adalah Deva, Cucuku.”
          “Siapakah dia?”
Kelima orang itu terkejut sejenak.
          “Pertanyaan yang tepat Cucuku, adalah: siapakah aku? Deva bukanlah dia, tetapi aku bagi dirimu. Aku yang lain. Aku sebagai seorang kesatria perkasa pem-bela alam semesta dari perbuatan orang-orang atau makhluk-makhluk angkara, yang ingin menguasainya, atau yang ingin merusaknya. Aku adalah pelindung mayapada.”
          “Waw.” Deva terkagum, sekaligus merasa miris. “Sebegitu beratkah tang-gungjawabku?”
          “Tanggungjawab adalah sama bagi setiap makhluk. Setiap orang, setiap makhluk, dibebani tanggungjawab itu. Tak ada yang berbeda. Yang berbeda hanyalah keseimbangan neraca tanggungjawab itu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya masing-masing. Seekor kuda mungkin bertanggungjawab untuk membawa kereta perang, tetapi seekor keledai mungkin hanya untuk membawa sekarung beban. Meski demikian, seringan apapun neraca tanggungjawabnya, kalau tidak dilaksanakan ia tetap akan mendapatkan nilai keburukan yang sama besarnya.”
          “Lalu, bagaimana dengan aku?”
          “Tentu tidaklah berbeda dengan yang lain. Perbedaannya hanyalah karena kau, Cucuku, memiliki kemampuan yang sangat tinggi, maka neraca tanggungja-wabmu juga sangat besar. Tetapi, itulah tugas seorang kesatria. Namun kau jangan takut, Cucuku. Semua yang telah diciptakan Tuhan selalu memiliki perbandingan yang seimbang. Tuhan tak akan memberikan buah sebesar kelapa untuk batang sebesar padi. Tuhan tak akan memberikan tubuh sebesar gajah untuk kaki selangsing kijang. Itulah hukum alam, Cucuku. Dan, kalau kau sekarang memang harus menahan suatu topan badai, itu karena tegakmu sekukuh gunung. Dan, kalau kau sekarang memang harus memindahkan sebuah bukit batu, itu karena tubuhmu lebih kuat dari seribu gajah.” Diam sebentar. “Dan lagi, Cucuku, pada setiap kewajiban, pada setiap tanggungjawab, ada anugerah.”
          “Apakah aku akan mampu melaksanakan itu semua?”
          “Berusaha, adalah jawabannya. Kemampuan, hanyalah ibarat sebilah pe-dang, yang harus senantiasa kaulatih kauasah kaurawat. Dan, berdoa pada Tuhan, adalah anak kuncinya.”
          “Tetapi,” sambung yang lain, “tentulah kau memiliki kemampuan-kemam-puan sebagai seorang kesatria, Cucuku. Kemampuan-kemampuan yang dulu me-mang pernah kaumiliki, untuk mendukung darmamu. Saat ini kau hanya perlu mengingat-ingat, dan melatihnya kembali.”
          “Kau mampu terbang, Cucuku, bebas seperti seekor burung di angkasa. Itu, tanpa kausadari, sudah kaubuktikan tadi, bukan?” ujar yang lain pula. “Kau mampu terbang secepat yang kau kehendaki, sehingga suara-suara lenyap dan cahaya hanya tinggal pendaran. Kau mampu terbang setinggi dan sejauh yang kausuka, selama itu di dalam batas alam semesta. Tubuhmu kuat dan kokoh, bagaikan Gunung Mahameru. Kau mampu mengangkat bukit batu, menembus karang, dan melumatkan besi. Tubuhmu liat tak tertembus, oleh senjata pusaka para dewa sekalipun. Dan takkan meleleh, meskipun direndam dalam lahar panas kawah pusat Bumi.”
          “Kau pun memiliki kemampuan-kemampuan lainnya, Cucuku. Kesaktian-kesaktian, ajian-ajian.” sambung yang lainnya lagi. “Kau memiliki sebuah busur pusaka, dengan berbagai anak panahnya. Kau mampu mengeluarkan tenaga penghancur benda apapun dari kedua telapak tanganmu. Kau juga mampu mengeluarkan hawa panas inti Bumi melalui bintang bersudut sembilan itu.”
          “Dan jangan lupa,” sahut yang terakhir, “kau juga mampu melihat dan mendengar jauh dengan nyata dan jelas, Cucuku, bahkan walaupun terhalang oleh dinding besi yang tebal sekalipun.”
          “Tetapi, yang jauh lebih penting dari itu semua,” ujar orang tua yang pertama tadi, “adalah kesaktian hatimu: keteguhan dan kesabaran serta kasih sayangmu dalam setiap menjalankan darma sebagai seorang kesatria. Karena, langit tidak selalu biru, dan setinggi-tingginya puncak gunung masih ada awan.”
          Lalu, sejak itu ia pun terus digembleng bagaimana agar ia dapat mengenali dan mengendalikan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya. Juga pada saat yang sama ia pun mulai dilatih kesadarannya antara Bayu dan Deva, antara masa lalu dan masa kini, serta perannya dalam masing-masing perwujudan.
          Hari-hari pun kemudian berlari dengan cepat, mengalir seperti mimpi, bersama wangi melati yang setiap pagi seperti terhirup olehnya, tetapi entah berasal dari mana. Dan setiap hari pula, sebelum memulai seluruh kegiatan hari itu, ia selalu pergi ke sebuah makam yang terletak di puncak sebuah bukit. Pada makam itu tertulis sebuah nama: Deasy Anjali Cakra. Ia tahu, bahwa itu adalah nama ibunya, yang mangkat begitu melahirkannya. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia seperti pernah mengenal nama itu, pada suatu waktu dan tempat entah di mana.
          Sampailah kemudian ia di penghujung hari ke delapan, ketika kelima orang itu kian menunjukkan wajah yang lega dan puas, seperti orang yang telah berhasil menyelesaikan sebuah tugas dan kewajiban dengan sempurna.
          “Hari hampir mencapai akhir, Cucuku.” Tukas salah seorang di antara mereka. “Dan kau pun sudah menunjukkan keberhasilanmu, dan tugas kami pun hampir selesai.”
Diam sebentar. Kemudian,
          “Hanya tinggal satu hal lagi yang harus kaujalani, tetapi itu yang termudah. Yaitu kungkum, berendam dalam sungai pemandianmu, mulai tengah malam ini. Kau harus bersemedi, meresapkan kesadaran dirimu dalam batin secara lebih mendalam, lebih menyatu, sampai kau merasa ringan dan tidak terbebani apapun.”
          Maka, di pemuncak malam itu ia pun segera pergi ke sungai yang berair jernih bening dan berjeram deras itu. Mencari tempat yang cukup dalam di tengah-tengah, lalu kemudian bersemedilah ia sebagaimana yang diperintahkan. Sementara, di langit bulan tampak bulat bercahaya lembut, dan angin semilir membelai daun-daun pepohonan.
          Malam pun kemudian beranjak menjadi pagi, dan garis cahaya keemasan nampak cemerlang di atas kepala lelaki itu. Burung-burung pun mulai berkicau riang, sementara ia telah berada pada tingkat kesadaran yang menyatu, dan me-ngabur, dalam pendaran cahaya. Dan ia pun tiba-tiba merasa tubuhnya kian ringan, melayang, bagaikan terserap dalam pendaran. Lalu, ia mendengar suara itu kembali, namun dalam vibrasi yang kian hilang seperti tertelan ruang dan waktu.
          “Cucuku, ada dua hal yang harus kauingat. Pertama adalah, meskipun tubuhmu mampu mengatasi segala senjata para dewa, tetapi ada satu yang harus kauhindari, sebuah tombak pendek bernama KONTA. Senjata ini dapat melum-puhkanmu karena ada bagian dari dirinya yang berada di dalam dirimu. Namun kau tak perlu khawatir, Cucuku, karena senjata itu telah kami sembunyikan di suatu tempat. Sedangkan yang kedua adalah, apabila suatu saat kau merasa rindu kepada ibumu, terbanglah terus ke arah selatan pada malam hari. Kau akan mene-mukan tempat ini kembali.”

Ð

          Pagi ini Kapten Leo datang lebih lambat dari biasanya. Demikian pula de-ngan Letnan Genta dan beberapa stafnya yang lain. Kemarin mereka telah bekerja hingga larut malam, dan baru pulang setelah hari melewati puncak malam. Keja-dian terhadap Bayu, dan hilangnya Gita, telah cukup memukulnya. Meskipun sebenarnya pada saat yang sama ia jadi lebih merasa terang akan masalah ini. Sampai sepagi ini setidaknya ia telah mendapatkan dua petunjuk yang cukup berarti, yaitu: faks data identitas keempat orang tersebut – yang tampaknya juga berhubungan dengan kasus lain yang juga tengah diselidikinya, dan informasi dari anggotanya bahwa mereka telah berhasil menemukan sebuah tanah lapang dengan permukaan seperti yang diidentifikasikan – dan kelihatannya tinggal hanya satu tanah lapang yang seperti itu. Tanah lapang yang cukup luas itu berada di perbukitan Muka-kuning, di mana di atasnya berdiri sebuah kompleks bekas pabrik elektronik yang sudah ditinggalkan karena terbakar beberapa tahun yang lalu. Maka, setelah mela-por kepada Mayor Harris, ia pun memerintahkan anggotanya untuk menyelidiki keempat orang tersangka, sedang dua anggota lainnya diperintahkan untuk mengawasi area tanah lapang itu, siapa tahu memang ada kegiatan yang patut dicurigai di sana. Sementara itu ia juga sudah mema-sukkan surat permohonan pada kehakiman untuk mendapatkan izin guna mela-kukan pemeriksaan  di pabrik T.21.ME.
          Menjelang siang hari Kapten Leo mendapatkan berita baik lainnya. Telepon dari RS Sepanas menyebutkan bahwa Bayu baru saja siuman dari keadaan koma-nya, dan kini lelaki itu berada dalam keadaan baik-baik saja. Mendengar itu Kapten Leo kemudian segera bergegas ke rumah sakit tersebut. Sampai di tempat, dengan ditemani oleh seorang dokter, ia mendapatkan Bayu sedang duduk di dipannya, sedang membaca sebuah suratkabar. Mereka kemudian saling ber-kenalan dan bersalaman.
          “Saya juga ingin mengucapkan terimakasih banyak pada Bapak, karena sudah menolong saya.” ujar Bayu saat bersalaman.
          “Itu sudah kewajiban kami.”
          “Jadi, saya sudah boleh pulang, Pak Kapten?”
          “Kalau menurut keterangan dokter, Saudara sudah berada dalam keadaan sehat walafiat kembali. Jadi, tidak ada masalah. Tetapi, kami memerlukan beberapa keterangan dari Saudara. Karena itu saya harap Saudara tidak berkeberatan untuk ikut kami, guna memberikan beberapa keterangan yang dibutuhkan.”
          “Oh, saya senang sekali. Mudah-mudahan saya bisa membantu.”
          Mereka pun kemudian meninggalkan rumah sakit itu. Tetapi Bayu masih sempat meraih vas bunga yang mungil berwarna putih, yang berisi serangkaian bunga melati yang tampak mulai layu itu.
          “Boleh saya bawa vas bunga ini, Dokter? Buat kenang-kenangan ....”
          “Oh, boleh. Silahkan.”
          Bagi Bayu, hal yang pertama kali menarik perhatiannya ketika sadar dari komanya tadi adalah vas bunga itu. Sisa-sisa bau harum yang masih dapat dita-burkan oleh serangkaian kembang melati yang sudah mulai layu itu, tiba-tiba se-perti mengingatkannya akan sesuatu. Pada sebuah mimpi, atau mungkin halusinasi, yang sepertinya dialaminya selama ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Tetapi, be-narkah itu hanya sebuah mimpi, atau halusinasi? Rasanya ‘waktu tayangnya’ terlalu panjang untuk sebuah mimpi, atau halusinasi. Apakah ia bisa bermimpi sepanjang sembilan hari itu? Ataukah itu hanya perasaannya saja, bahwa mimpi itu sede-mikian panjangnya, padahal pada kenyataannya mungkin ia hanya telah bermimpi beberapa menit saja. Namun, di balik itu rasanya terlalu nyata apa yang dialaminya jika itu hanya sekadar sebuah mimpi, apalagi halusinasi. Terlalu nyata, dan sangat meresap ke dalam jiwanya. Namun, itu juga terlalu aneh rasanya untuk sebuah pengalaman nyata. Dirinya, Bayu, yang pada kenyataannya hanyalah seorang sopir, ternyata adalah seorang kesatria? Apakah artinya itu? Terlalu aneh kedengarannya kata-kata itu pada saat ini. Tak pernah lagi ia mendengarkan kata-kata yang seperti itu, sejak ia meninggalkan bangku sekolah bertahun yang lalu.
          Bayu tiba-tiba merasa takut; apa yang telah aku alami? Ia tiba-tiba merasa khawatir, jangan-jangan pikirannya sudah sedikit terganggu akibat benturan itu. Jangan-jangan letaknya mulai sedikit miring, sehingga dengan demikian keseim-bangannya jadi terganggu, lalu akibatnya – tanpa dapat dikendalikannya – sang otak itu berhalusinasi dengan menjadikan dirinya seolah seorang manusia super, untuk melawan kemiringan tersebut. Tetapi, ah, Bayu kembali menggelengkan kepalanya; apa pula yang sudah aku pikirkan? Yang jelas, begitu tadi ia mencoba bercermin di kaca toilet ia tidak melihat seseorang yang berpakaian serba biru dan merah itu. Ah, ada-ada saja; gumamnya kemudian sambil mencibiri dirinya sendiri.
          “Saudara suka bunga itu?” tanya Kapten Leo kemudian ketika mereka turun ke lantai satu.
          “Saya? Ya, rasanya saya suka. Sepertinya ini mengingatkan saya pada sesuatu.”
          “Oh ya?” terdiam sebentar. “Saudara masih ingat kejadian terakhir sebelum Saudara pingsan dan kemudian koma sekian lama?”
Bayu menatap wajah Kapten Leo beberapa saat. Mereka sudah sampai di ruang lobi, dan akan segera keluar bangunan itu menuju tempat di mana mobil sedan Kapten Leo diparkir.
          “Pengambilan keterangan sudah dimulai, Pak?”
          “Oh, ya ..., waktu berjalan sangat cepat. Saudara mungkin akan heran kalau nanti saya ceritakan perkembangan selama beberapa hari ini.”
          “Ya, saya ingat. Saya melihat seorang perempuan diganggu oleh segerom-bolan orang, lalu saya datang mencoba menolongnya. Pada mulanya kami berhasil mengalahkan ketiga orang itu, tetapi kemudian datang seorang lagi – mungkin pemimpin mereka. Saya kemudian berkelahi dengannya, tetapi ternyata dia sangat menguasai ilmu beladiri, sehingga saya dapat dikalahkannya. Kalau Bapak tidak datang tepat pada waktu itu, mungkin ....”
          “Wanita yang telah Saudara tolong itulah yang telah membelikan vas bunga itu, dan kemudian menggantikan bunganya dengan yang baru setiap pagi.”
Bayu terpana beberapa saat.
          “Oh ya? Saya kira vas ini milik rumah sakit.”
          “Tidak.”
          “Kenapa ia, maksud saya gadis itu, melakukannya?”
          “Ya ..., saya kira mungkin semacam ucapan terimakasih.”
          “Oo ....” terdiam sejenak. “Dan itu dilakukannya setiap hari?”
          “Setiap pagi hari.”
          “Tapi, kenapa hari ini sepertinya ... tidak diganti? Ah, mungkin kede-ngarannya saya menuntut, ya?” Bayu tersipu sendiri. “Mungkin dia sudah merasa bosan, capek, atau mungkin ada kesibukan ....”
          “Dia hilang. Diculik.”
Bayu terkejut.
          “Apa? Diculik?”
          “Ya.”
          “Kenapa? Oleh siapa?”
          “Kami menduga ada kaitannya dengan kasus yang kalian alami di rusun itu”
          “Wah, jadi panjang seperti ini urusannya?”
          “Saudara pun pada saat yang sama, tadi malam, juga diincar oleh mereka untuk dibunuh. Untung pihak rumah sakit dapat bertindak sigap sehingga Saudara dapat diselamatkan.”
          “Wah ....” Bayu seperti kehilangan kata-kata. “Kenapa saya juga?”
          “Itulah kenapa keterangan Saudara sangat kami butuhkan.”
Mereka kemudian masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu, yang kemu-dian segera  meluncur laju ke markas Kapten Leo.
          Sampai di gedung kantor kepolisian itu, Bayu sempat menjadi perhatian beberapa orang. Ini pasti karena aku membawa-bawa vas bunga ini; pikirnya. Kalau seorang wanita yang membawanya, mungkin malah terkesan makin cantik. Tapi, ia? Tetapi Bayu tidak peduli, sampai mereka tiba di ruangan Kapten Leo.
          Oke, kita sudah sampai.” ujar Kapten Leo kemudian sambil memper-silahkannya duduk. “Mau minum kopi atau ....”
          “Kopi saja, Pak Kapten. Terimakasih.”
Kapten Leo lalu mengambil dua kaleng kecil capuccino, yang kemudian satu diserahkannya kepada Bayu.
          “Jangan susah payah memanggil saya “Pak Kapten’ segala. Panggil ‘Kapten’ saja sudah cukup. Ayo, silahkan minum.”
          “Terimakasih, Kapten.”
Mereka kemudian minum.
          Oke, mungkin sudah dapat kita mulai dari kronologis bagaimana Saudara bisa sampai terlibat kasus ini.”
          “Baiklah. Saya, malam itu pulang dari kantor sekitar jam sepuluh malam, diantar oleh seorang teman. Saya memang tinggal di rumah susun itu. Saat itu suasana sudah sepi sekali. Ketika saya berjalan di koridor menuju ruang lobi itulah saya mendengar suara seperti jeritan yang tertahan. Tetapi, saya kemudian menjadi ragu apakah itu suara jeritan seseorang, karena sampai beberapa waktu kemudian tak terdengar lagi. Saya pikir, ah itu mungkin hanya suara kucing atau apa. Lalu, saya pun masuk ke lobi, Nah, ketika masih berada di pintu lobi itulah saya kemudian mendengar suara itu lagi. Akhirnya saya merasa penasaran, dan kemudian keluar kembali untuk memastikannya. Memang, dari kejauhan saya melihat sesuatu yang mencurigakan. Seperti bayangan beberapa orang. Karena itu saya kembali ke dalam dan meminta pengurus rusun itu untuk segera menghubungi polisi, karena saya khawatirkan ada tindak kejahatan ....”
          “Karena itu kami kemudian datang. Setelah itu?”
          “Pada mulanya orang tua itu tidak mau. ‘Takut, tidak mau mencampuri urusan orang lain’, katanya. Tetapi, setelah saya paksa, akhirnya baru ia mau melakukannya. Setelah itu saya kembali keluar, dan coba mendekati tempat itu dengan mengendap-endap. Setelah dekat, barulah jelas kelihatan ada tiga orang laki-laki yang tampak tengah menyeret seorang perempuan ....”
          “Setelah dekat baru kelihatan?”
          “Maksud saya, secara lebih jelas. Waktu masih jauh tadi yang kelihatan baru seperti bayangan hitam saja. Lampu-lampu di ruangan parkir itu sangat kurang, atau mungkin banyak yang sudah mati, sehingga suasananya menjadi agak gelap.”
          “Saudara katakan tadi ada tiga orang?”
          “Ya.”
          “Bukannya empat?”
          “Oh. Pada mulanya memang hanya tiga orang. Yang seorang lagi menyusul kemudian.”
          “Begitu. Selanjutnya, apa yang terjadi?”
          “Saya kemudian keluar dari persembunyian, dan kemudian meminta mereka melepaskan perempuan itu. Tapi, mereka tidak mau, malahan kemudian melakukan penyerangan kepada saya. Akhirnya perkelahian pun tak dapat dihindari. Begitu juga dengan perempuan itu. Sampai kemudian kami berhasil mengalahkan mereka.”
          “Lalu?”
          “Tiba-tiba yang seorang lagi – agaknya pemimpin mereka –  muncul dari dalam sebuah mobil van. Ia kemudian menantang saya untuk berduel dengannya. Mulanya saya tidak mau dan mengatakan akan kami lupakan saja masalah ini. Tetapi ia tidak mempedulikan, dan malahan kemudian menyerang saya. Terpak-salah saya kemudian melayaninya. Tapi ternyata ia  menguasai ilmu beladiri, se-hingga saya kemudian dapat dikalahkannya. Kepala saya sepertinya terbentur pada sesuatu, lalu setelah itu saya tidak tahu apa-apa lagi.”
          “Saudara kenal mereka?”
          “Tidak.”
          “Atau barangkali pernah melihatnya di suatu tempat?”
          “Saya rasa belum pernah.”
          “Sebenarnya, mereka juga tinggal di rusun itu.”
          “Oh ya?” Bayu merasa tertarik. “Tapi rasanya saya belum pernah melihat mereka. Ada cukup banyak penghuni di rusun itu, yang seringkali pula berganti-ganti orangnya. Eh, tapi, kalau begitu tidak sulit ‘kan untuk menangkap mereka?”
          “Sayangnya mereka sudah pindah, tidak berada di situ lagi sejak kejadian malam itu. Lagi pula tempat persembunyian mereka bukan hanya itu.”
          “Tempat persembunyian?”
          “Yah .... Begini, apakah Saudara masih dapat mengingat mereka kalau Saudara bertemu lagi?”
          “Ya, bisa.” jawab Bayu kemudian setelah berpikir beberapa saat. “Saya kira saya masih bisa mengingat-ingat wajah mereka semuanya.”
Kapten Leo mengambil map berisi empat lembar foto, lalu menyerahkannya ke Bayu.
          “Kita coba dulu dengan foto-foto ini.”
Bayu kemudian melihat gambar itu satu persatu. Sepintas siluet-siluet kejadian itu melintas dalam ingatannya, seperti sebuah film lama yang diputar kembali. Meskipun suasana pada saat itu temaram, tetapi ingatannya seperti terang sekali.
          “Ya, ini mereka semua. Saya yakin.”
Mulanya Kapten Leo agak heran juga dengan ucapan Bayu ini, bagaimana mungkin ingatannya bisa seterang itu, padahal katanya suasana waktu itu samar-samar, dan ia pun saat ini baru saja siuman dari keadaan koma. Belum lagi kalau dikonfrontasi dengan keterangan yang pernah diberikan oleh Gita, yang sepertinya banyak ‘tidak tahu’ itu, padahal ia lebih lama dari Bayu dalam kontak dengan keempat tersangka itu. Tetapi, bagaimanapun Kapten Leo akhirnya merasa senang juga karena ternyata anak muda itu memang dapat meng-identifikasinya.
          “Selain itu, apa yang Saudara ketahui?”
          “Saya kira ..., tak ada lagi.”
          Beberapa saat kemudian mereka saling terdiam. Kapten Leo mengambil map berisi foto itu kembali, dan kemudian menulis sesuatu dalam berkas di map lainnya.
          “Ng ... begini, Saudara Bayu.” akhirnya Kapten Leo berbicara. “Saudara bekerja di Laboratorium Bandarbarelang Tanra Indonesia, bukan?”
          “Iya, benar.” Bayu tiba-tiba merasa tidak nyaman.
          “Kebetulan pada saat ini biro kami juga sedang ditugaskan menangani kasus sabotase terhadap laboratorium tersebut.”
Bayu diam saja.
          “Dan, berdasarkan laporan-laporan yang kami terima, nampaknya Saudara harus kami tahan, untuk pemeriksaan lebih jauh.”
          “Apa?” Bayu  terkaget, meskipun tidak sampai terlonjak. “Kenapa?”
          “Karena berdasarkan laporan-laporan tersebut, Saudara dituduh telah – setidak-tidaknya – menyebabkan satu orang meninggal dan enam orang lainnya hilang.”
          “Apa?” Bayu kembali terkejut, dan kemudian teringat pada Dr. Deasy. Astaga, sudah sembilan hari ini ia dalam keadaan koma, bagaimana jadinya sekarang keadaan Dr. Deasy? “Dr. Deasy, apakah ia sudah berhasil ditemukan?” tanyanya kemudian dengan cepat.
Kapten Leo menggeleng perlahan.
          “Sayang, kami tidak dapat menemukannya. Pencarian yang dilakukan cuma berhasil menemukan perahu karet itu, sebuah tas tangan beserta isinya, sebuah ponsel, dan sepasang sepatu. Sementara sampai hari ini kami tidak mendapatkan berita tentang kemungkinan ia telah ditemukan, baik dari pelaut-pelaut maupun nelayan-nelayan yang sering melalui daerah sekitar ditemukannya perahu itu.”
          Bayu mendengarkan penjelasan itu, tetapi pikirannya pun melayang-layang, seperti berada di batas mimpi yang tak dipahaminya. Ia tahu, ia masih ingat dengan jelas peristiwa itu, bagaimana ia berusaha menyelamatkan diri bersama Dr. Deasy dengan perahu karet itu menelusuri sungai, kemudian ketika akan turun di bawah Jembatan Tembesi perahu karet dan Dr. Deasy terseret oleh arus deras seperti jeram yang datang begitu tiba-tiba. yang ternyata terus membawanya hingga sampai ke laut. Tetapi, pada saat yang sama ia juga tahu bahwa ternyata Dr. Deasy telah sampai di sebuah pulau yang berkabut, dan kemudian wafat setelah melahir-kannya. Melahirkannya?!
          “Saya tahu, Saudara dekat dengan Dr. Deasy.” kata Kapten Leo kemudian, merasa tidak enak hati melihat wajah Bayu yang tiba-tiba kusut seperti orang bingung. “Saya harap ia masih ada di suatu tempat, entah di mana. Pencarian secara resmi memang sudah dihentikan, tetapi kami masih tetap memantau kalau-kalau ada laporan tentang keberadaannya.”
Hening beberapa saat.
          “Saya tidak tahu.” ujar Bayu kemudian. “Saya merasa sedih, saya merasa bersalah. Tetapi ....”
          “Dengarlah, Saudara Bayu. Saya percaya ini semua bukan kehendak Sau-dara. Bukan – setidak-tidaknya – semata-mata kesalahan Saudara. Pada saat kritis seperti itu apa saja memang dapat terjadi. Saya yakin, pada saat kejadian itu, maksud Saudara sebenarnya adalah baik. Berusaha menyelamatkan diri, dan kalau mungkin juga orang-orang yang kita kenal, mungkin juga tidak. Siapa yang tidak akan melakukannya? Tetapi, kami tidak dapat berbuat lain. Secara resmi memang ada kasus.”
Bayu tiba-tiba teringat sesuatu.
          “Tadi, Kapten mengatakan ada enam orang yang hilang?”
          “Ya ..., begitulah laporannya.”
          “Saya waktu itu hanya bersama Dr. Deasy, seorang wanita yang juga lagi hamil, seorang dokter, dan seorang perawat yang kemudian meninggal itu. Bagaimana bisa dibilang enam?”
          “Yang hamil itu adalah Miss Angela, dokter itu bernama Surya Alamsyah, dan perawat itu bernama Nurida. Sedangkan yang tiga lagi adalah Prof. Mahadi Amir, Dr. Halim Liong, dan Dr. Sulistyo.”
Kening Bayu berkerut.
          “Saya bahkan tidak mengenali nama-nama itu.”
          “Itulah yang dituduhkan pada Saudara.”
          “Mereka terlalu mengada-ada. Tapi begini, Kapten bisa mengecek ke Bang Pohan, satpam kepala di laboratorium itu. Saya sudah melaporkan seluruh kejadian kepadanya, malam itu juga.”
          “Sayangnya, Bapak Zainal Pohan sudah diberhentikan.”
          “Sudah diberhentikan? Kenapa?”
          “Saya kurang tahu. Tetapi, dari apa yang saya dengar, ia diberhentikan karena perusahaan menganggapnya telah lalai dalam melaksanakan tugas.”
          “Tetapi, apakah memang tidak ada laporan sama sekali yang berasal dari Bang Pohan?”
          “Memang ada, dan memang sesuai dengan apa yang Saudara katakan tadi. Tetapi, pihak laboratorium kemudian menganggap bahwa stafnya yang lain yang juga hilang sebagai tanggungjawab Saudara. Dua alasan utama yang mereka kemukakan untuk itu adalah, pertama karena mereka semua bekerja di gedung yang sama dengan Saudara. Dan yang kedua adalah, tidak ada saksi lain yang dapat menjelaskan ke mana mereka, atau di mana mereka pada saat kejadian itu.”
          “Ah, bagaimana bisa itu. Mereka terlalu mengada-ada, Kapten.”
          “Memang. Terus terang, bagi kami pun memang sulit untuk menerimanya, karena terutama kami tidak melihat adanya motif yang kuat yang dapat menghu-bungkan Saudara dengan hilangnya orang-orang itu. Tetapi, mereka mengatakan bahwa itu terjadi setidak-tidaknya karena kesalahan yang telah Saudara perbuat juga. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang dapat memberatkan Saudara, menurut mereka.”
          “Apa itu?”
          “Pertama, adalah kenyataan bahwa Saudara telah membuka pintu pagar belakang, padahal perbuatan seperti itu terlarang dan kepemilikan kunci yang ada pada Saudara itu pun dipertanyakan. Yang kedua, ada keterangan saksi dari Dr. Jimmy Lee yang mengatakan bahwa memang sebelumnya Saudara telah mencoba untuk mempengaruhi semua orang agar ikut Saudara lewat pintu belakang tersebut.”
          “Dr. Jimmy Lee?”
Bayu ingat pria berkulit putih kapas bertubuh pendek itu.
          “Ya. Dan kemudian didukung oleh keterangan beberapa saksi lainnya, yang juga menyatakan bahwa kalian saling bertengkar untuk mempertahankan pendapat masing-masing pada saat-saat kritis seperti itu. Padahal, ini menurut versi mereka, sebagai bawahan Saudaralah yang seharusnya mengikuti perintah Dr. Jimmy Lee.”
          “Astaga ....” Bayu merasa tak mampu berbicara. Apa yang telah didengar-nya? Kenapa begitu banyak dusta? Bayu menggeleng-geleng takjub. Ceritera itu begitu nyatanya, terang dan jelas, seperti sisi bulan yang disinari matahari. Padahal, pada saat yang sama, ada sisi lain yang amat gelap gulita. Kebohongan itu, sungguh sangat bersih, tersembunyi dalam ceritera yang sepertinya tanpa cela. “Saya rasa, saya sudah difitnah, Kapten. Dijadikan kambing hitam.”
          “Saya mengerti. Tetapi, dalam kondisi seperti ini kami tidak dapat berbuat lain. Kami harus menahan Saudara. Tetapi pahamilah, ini bukan semata meru-pakan sebuah tindakan pengamanan. Tuduhan-tuduhan yang mereka ajukan, me-mang kurang didukung dengan bukti-bukti yang kuat ....”
          “Kalau begitu ....”
          “Tetapi, selama tidak ada bukti yang dapat menunjukkan kebalikannya, kami khawatir kebebasan Saudara justru akan dapat menjadi ancaman. Mungkin, ada cerita besar di balik ini semua. Siapa tahu. Karena itu pulalah, ada baiknya Saudara sementara kami tahan. Kita nanti bisa sama-sama mencari pemecah-annya. Saya berjanji.”
Tetapi, Bayu diam saja. Ada guratan rasa kecewa dan gusar di wajahnya.
          “Percayalah pada saya,” kata Kapten Leo kemudian, “sebagaimana juga saya percaya pada Saudara. Bagaimanapun, perbuatan heroik Saudara dalam menolong Nona Gita dengan tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri itu, sungguh sangat saya hargai.”
Bayu memandang lurus ke Kapten Leo.
          “Namanya Gita?”
          “Chaya Gitanjali.”
          Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, dan kemudian muncullah Letnan Genta dari balik daun pintu itu. Mereka sudah berkenalan tadi ketika Bayu baru sampai di kantor ini.
          “Ada berita bagus, Kapten.” serunya.
          “Bagaimana?”
          Barusan orang kita yang mengawasi tanah lapang itu mengabarkan bahwa nampaknya memang ada kegiatan yang mencurigakan di bekas pabrik itu. Bebe-rapa menit yang lalu mereka melihat sebuah sedan berwarna ungu telah masuk ke area dan kemudian menghilang di balik reruntuhan pabrik itu. Dan, coba tebak, siapa yang sedang mengendarai mobil itu ....”
          “Ronie?”
          “Tepat!”
          “Mereka yakin?”
          “Yakin sekali!”
Kapten Leo terdiam sebentar.
          Gimana Kapten, kita sergap?” tanya Letnan Genta seperti tak sabar.
          “Jangan! Jangan dulu.”
          Lho, kenapa?”
          “Masalahnya, kita belum punya cukup bukti untuk membenamkan mereka ke penjara. Kalau kita tangkap mereka sekarang, dengan dasar tuduhan pengania-yaan pada Nona Gita dan Saudara Bayu, atau bahkan kalaupun kemudian kita berhasil menemukan Gita bersama mereka, paling mereka hanya dapat jatah tiga atau empat tahun. Tentu saja dengan asumsi kalau Nona Gita masih hidup. Dan, di sisi lain kita belum punya bukti yang kuat untuk menghubungkan mereka dengan kasus pencurian benda-benda arkeologi itu.”
          “Oh, I see. Tapi, bagaimana kalau justru kita temukan bukti-buktinya ada di dalam reruntuhan pabrik itu?”
          “Jangan berspekulasi.”
          “Tetapi, menurut saya sayang rasanya kalau mereka sampai lepas. Kita tidak tahu akan sampai kapan mereka di situ. Padahal ...,” tiba-tiba Letnan Genta teringat sesuatu, “oh ya, bagaimana dengan rekaman video dari Museum Ganesha itu? Itu ‘kan bukti yang sangat jelas?”
          “Sangat jelas bagi kita, tetapi tidak bagi hakim, dan malahan dapat menjadi tameng bagi pengacaranya. Kau ‘kan tahu, video adalah salah satu saksi atau alat bukti yang lemah, karena ia mudah untuk dimanipulasi. Kita harus sangat berhati-hati dalam menggunakannya. Benda itu akan menjadi barang yang tak berharga di mata hakim kalau tidak ditunjang dengan bukti-bukti yang lainnya. Lagi pula, rekaman video itu bukan menampilkan mereka saat melakukan kejahatan.”
          “Tetapi, pada malamnya .... Bagaimana kalau kita jerat dia dengan alibi? Kita yakin merekalah pelakunya. Pasti mereka tidak punya alibi yang kuat untuk itu.”
          “Letnan, jangan berspekulasi!”
          “Siap, Kapten!”
Letnan Genta mengambil sikap hormat, lalu setelah itu kembali biasa lagi.
          “Kita harus mencari sesuatu. Kita harus mencari sesuatu.”
          Mereka kemudian saling terdiam beberapa saat. Letnan Genta pun lalu du-duk di kursi di samping Bayu, sembari tersenyum sedikit kepadanya. Setelah itu ia kembali terbenam dalam pikirannya. Bayu sendiri merasa kagum juga melihat anak muda ini. Umurnya pasti barulah awal dua puluhan, tetapi tanda pangkatnya sudah berada di pundak.
          “Jadi, kasus Nona Gita ini ada kaitan dengan yang lainnya?” tanya Bayu, mencoba menarik simpulan dari percakapan yang didengarnya tadi. Ini mengge-litiknya, terutama saat mendengar kata-kata Kapten Leo tentang kalau Nona Gita masih hidup tadi.
          “Ya ..., kasusnya memang jadi cukup berbelit, Saudara Bayu. Seperti yang saya katakan tadi.”
          “Kalau boleh saya tahu, Kapten. ....”
Kapten Leo kemudian menceritakan secara ringkas perkembangan kasus Gita, dan kemungkinan kaitan-kaitannya dengan beberapa kecurigaan lainnya, sampai ke perkembangan penyelidikan di reruntuhan bangunan bekas pabrik elektronik di Bukit Mukakuning itu.

          “Kita tidak mendapat cukup jerat dalam kasus ini.” kata Kapten Leo kemu-dian kepada Genta, namun bicaranya seperti bergumam sendiri. “Di Museum Senirupa Bandarbarelang kita hanya punya lempengan titanium, yang masih belum dapat diidentifisir. Begitu juga dengan Museum Ganesha. Dari Pekanbaru, ataupun Kotopanjang, kita juga belum mendapatkan data-data yang berarti. Lalu, dari Jakarta dan Yogya pun belum ada perkembangan. Shit!”
          “Tetapi Kapten,” Bayu menyela, “Kalau semakin lama tidakkah akan makin berbahaya bagi Nona Gita?”
          “Iya, tetapi ...,” Kapten Leo tiba-tiba menjentikkan kedua jarinya, dan seraya menyerahkan selembar kertas, “coba kauhubungi orang yang mengirim faks ini. Cari tahu siapa dia, dan apa maksudnya mengirimkan faks ini ke Nona Gita. Cepat!”
          “Laksanakan, Kapten!”
Letnan Genta pun kemudian bergegas keluar ruangan.
          Oke, Saudara Bayu. Maafkan saya karena harus melaksanakan tugas.” Kapten Leo kemudian menekan tombol intercom dan memanggil seseorang. Tak berapa lama kemudian muncul Sersan Hamid.
          “Sersan, tolong bawa Saudara Bayu ke dalam tahanan sementara. Kita masih memerlukan beberapa keterangan dari beliau.”
          “Tapi Kapten, apakah tidak ada cara lain?” Sela Bayu.
          “Maaf, Saudara Bayu. Kita sudah membicarakannya.”
          “Atau, saya boleh mengajukan satu permintaan?”
          “Apa itu?”
          “Kalau boleh saya ikut Kapten nanti mencari Nona Gita .....”
          “Kenapa?”
          “Saya tidak tahu. Emh ..., lagi pula bukankah saya memang sudah terlibat di dalamnya? Saya merasa ikut bertanggungjawab ....”
          “Tidak bisa.” Kapten Leo menjawab cepat, tetapi kemudian terdiam seben-tar. “Saya mengerti perasaan Saudara, dan saya juga sangat menghargainya. Tetapi, menyangkut urusan seperti ini, biarlah kami yang menanganinya. Oke?”
Bayu cuma diam saja.
          “Baiklah, Sersan.” Kapten Leo memandang ke Sersan Hamid.
          “Satu lagi, Kapten, kalau boleh saya mohon.” Bayu berujar cepat.
          “Apa?”
          “Kapten ‘kan tahu, saya tidak punya bekal apa-apa. Pakaian yang saya kenakan ini pun pemberian rumah sakit. Bagaimana kalau saya diizinkan pulang sebentar ....”
          “Kami yang akan menguruskannya, Oke?”
Akhirnya, Bayu cuma bisa mengangkat bahu.
          “Padahal, saya memelihara seekor kucing ....”
Sersan Hamid kemudian mengajak Bayu untuk mengikutinya. Bayu kemudian berdiri, dengan malas. Dan, sebelum meninggalkan ruangan itu, masih sempat ia berkata,
          “Kalau Kapten ketemu Nona Gita nanti, tolong sampaikan salam saya.”
          “Baik, pasti saya sampaikan.”


Ð

          Ruang tahanan sementara itu terletak di bagian basement B2 dan B3 bangunan utama. Penjagaannya cukup ketat, dengan setidaknya ada tiga lapis pintu sebelum mencapai ruang tahanan yang bersangkutan. Tidak ada akses jalan keluar masuk selain sebuah lift khusus, dan dua buah tangga darurat yang jarang sekali digunakan. Pintu lapis pertama adalah gerbang yang menghubungkan aula ruang lift dengan ruang pemeriksaan dan ruang tamu. Pintu lapis kedua adalah gerbang yang menghubungkan ruang pemeriksaan dengan blok-blok di bagian mana tahanan akan ditempatkan. Sedangkan yang ketiga adalah pintu ruang tahanan itu sendiri.
          Sersan Hamid muncul dari lift itu dengan Bayu dalam keadaan tangan ter-borgol. Setelah melewati dua pintu pemeriksaan, mereka kemudian sampai di de-pan pintu sel yang akan ditempati Bayu. Setelah pintu dibuka, Bayu disuruh masuk dan kemudian borgolnya dilepas. Anak muda itu mengusap-usap pergelangan tangannya, yang sedikit memerah. Seumur-umur baru sekali itu ia merasakan bagaimana tidak enaknya tangan diborgol.
          Setelah Sersan Hamid menutup pintu itu kembali dan kemudian pergi, baru Bayu melihat-lihat keadaan sekelilingnya. Sel itu tidaklah terlalu besar, meskipun mungkin masih lebih luas dari sel untuk tahanan tetap. Paling berukuran 2 x 3 meter persegi. Seluruh dindingnya bertembok semen, kecuali dinding depan dan daun pintunya yang berjeruji besi. Sel itu relatif bersih, dengan sebuah dipan di salah satu sisinya, dan ruangan toilet di sudut lainnya dengan dinding bata setinggi satu setengah meter. Sementara di atasnya ada sebuah lubang ventilasi dengan batang-batang jeruji besi sebesar jempol kaki, dipasang tegak dalam jarak yang cukup rapat. Beruntung Bayu mendapatkan ruangan sel di barisan belakang bangunan pada lantai B2, karena agaknya hanya pada barisan ini yang terdapat lubang ventilasi udara dan cahaya. Ini masih dimungkinkan barangkali karena kondisi permukaan tanah yang menurun ke bagian belakang, di mana terdapat sebuah anak sungai.
          Bayu kemudian meletakkan vas bunga itu di sebuah meja kayu kecil yang ada di situ. Ia sudah minta izin tadi untuk membawanya pada saat pemeriksaan dan itu dikabulkan, kecuali satu-satunya miliknya yang lain, sebuah dompet, yang tetap harus mereka simpan. Bayu kemudian baru sadar kalau suasana di sekitar relatif sunyi. Apakah memang begini suasana di penjara? Atau memang kebetulan lagi banyak yang kosong? Tapi, ia kemudian segera dapat menduga ketika dilihatnya ‘rekanan’ di sel seberangnya nampak sedang asyik makan di atas dipannya. Ia baru ingat, sudah saatnya ia mengisi perutnya, yang lalu langsung berontak ketika diingatkan hal itu. Ah, sial juga; pikirnya. Kenapa ia telah masuk tahanan di saat yang tidak tepat?
          Tetapi, doanya agaknya cepat terkabul, karena beberapa saat kemudian da-tang seseorang membawakan makanan untuknya. Makanan itu disediakan dalam rangkaian 3 buah rantang plastik. Rantang pertama berisi nasi, dengan lauk-pauk beserta sambal di dalam kantong plastik. Rantang berikutnya berisi sop sayur. Dan rantang yang terakhir berisi sepotong semangka, buah jeruk, dan dua cangkir plastik air mineral. Hm, lumayan untuk seorang tahanan; gumam Bayu yang kemudian segera saja melahapnya. Kejutan-kejutan peristiwa hari ini agaknya telah membuatnya berkompensasi pada perut. Atau mungkin justru karena ia telah sembilan hari lamanya tidak mendapatkan makanan secara alamiah?
          Tetapi, pada saat yang sama ia juga tengah menimbang-nimbang kejadian-kejadian yang seperti melintas-lintas tanpa ujung pangkal dalam kehidupannya selama beberapa waktu terakhir ini. Kejadian-kejadian yang mencekam, kegan-jilan-keganjilan, dan fenomena-fenomena asing lainnya tiba-tiba saling tumpang-tindih dan belit-membelit. Ia jadi tak tahu lagi, jadi ragu, kejadian manakah yang telah mendahului kejadian yang mana. Atau yang belakangan yang mana yang muncul dari yang mendahului yang mana. Semuanya tiba-tiba seperti menggumpal, memedat, menjadi suatu bentuk bernama ....
          DEVA! Apakah itu? Siapakah itu? Bayu tersentak, dan menghentikan ritual makannya. Meski, itu juga karena memang ia sudah menghabiskannya.

Ð

          Laporan dari Letnan Genta kemudian menyebutkan bahwa orang yang mengirimkan 4 lembar faks ke apartemen Gita itu adalah Sonia, pemilik suratkabar Berita Barelang itu. Gadis itu mengaku sebagai teman akrab Gita, yang kemudian sangat terkejut dan cemas ketika dikabarkan bahwa temannya itu telah diculik oleh sekelompok orang, yang diduga kuat adalah sama dengan identitas orang-orang yang terdapat di dalam faks itu. Pada mulanya memang Sonia tampak defensif, seperti mencoba menghindar ada apa di balik pengiriman faks itu. Tetapi, setelah mendapat kabar tentang Gita telah hilang diculik itu, ia kemudian bersifat lebih terbuka, dan kemudian menceritakan seluruh latar belakang kejadian itu. Tetapi, ia juga kemudian menjelaskan bahwa apa yang diceritakannya itu pun sebatas yang diketahuinya, karena ia pun baru dua hari ini diceritakan oleh Gita.
          Di samping cerita tentang latar belakang itu, Kapten Leo pun kemudian mendapatkan selembar foto hasil print-out komputer. Sebuah foto yang menun-jukkan wajah Bernard alias Baron secara close-up. Menyadari cerita Sonia bahwa menurut Gita foto itu adalah hasil pemotretannya ketika kepergok di rusun Sungai-beduk itu, Kapten Leo kemudian memutuskan untuk kembali ke apartemen Gita dan mencoba untuk mencari gambar-gambar hasil pemotretannya yang lain, atau setidak-tidaknya yang masih ada di dalam file komputer. Kapten Leo kemudian membicarakan kepada Sonia masalah ini dan memintanya untuk ikut membantunya. Sonia setuju, dan mereka berjanji untuk bertemu di apartemen Gita pukul 17:00 WIB.
          Kapten Leo nampaknya memang harus menaruh kepercayaan pada Sonia. Adanya beberapa informasi penting tentang kasus ini di tangannya, dan deskripsi tentang sejauh mana kedekatan hubungannya dengan Gita, membuat Kapten Leo harus mempercayainya. Karena itu, segera setelah mendapatkan surat perintah dari Mayor Harris ia pun kemudian bersama dengan Letnan Genta dan Serma Choky, seorang stafnya yang ahli dalam hal komputer, meluncur ke Tanjung Uma View Apartement.
          Sampai di apartemen itu mereka melihat Sonia sudah berada di sana, sedang duduk-duduk di kursi tamu di ruang lobi itu. Mereka kemudian segera menuju ke ruangan apartemen Gita dengan ditemani oleh satpam yang kemarin, setelah Kapten Leo menunjukkan surat perintah itu ke manajer apartemen. Sampai di dalam ruangan apartemen Gita itu, tanpa membuang-buang waktu, Letnan Genta segera mencari sesuatu yang mungkin berarti di antara tumpukan arsip dan dokumen di meja kerja itu. Sedangkan Sersan Choky segera menghi-dupkan komputer, dan ....
          “Wah, pakai password.”
          “Apa bisa dibuka?” tanya Kapten Leo jadi tak sabar.
          “Sebentar, Kapten. Saya coba pakai password identificator. Biasanya sih bisa.” Sersan Choky kemudian membuka casing CPU komputer itu, lalu mengutak-atik beberapa peralatan di dalamnya, termasuk juga menambahkan sebuah peralatan baru. Setelah selesai, tanpa terlebih dahulu memasang kembali casingnya, komputer itu pun kemudian dihidupkan kembali. Di tengah-tengah layar monitor yang berwarna biru itu lalu muncul sebuah tulisan PASSWORD yang disusul dengan sebuah bidang kosong berwarna putih di sebelahnya. Pada bidang itu kemudian nampak barisan abjad, angka, dan karakter-karakter lainnya; berputar bergantiganti dengan cepatnya, seperti barisan angka-angka meteran di SPBU. Sersan Choky kemudian membiarkan beberapa saat berlalu. Sekitar hampir seperempat jam kemudian karakter-karakter di password itu berhenti dalam komposisi tulisan PRADNYAP. Tetapi, komputer itu masih tetap belum terbuka. Sersan Choky lalu mencoba menekan tombol enter beberapa kali, tetap tidak juga terbuka. Padahal seharusnya begitu password berhasil dipecahkan, komputer akan terbuka dengan sendirinya, seperti pada pengoperasian biasa. Apa yang salah?
          “Wah, ini pasti ada sesuatu.”
          “Bagaimana kalau diulang lagi? Mungkin ada yang keliru.”
          “Tidak mungkin. Semuanya sudah sesuai prosedur. Pasti ada sesuatu.” Ser-san Choky menggaruk-garuk kepalanya. “Ah, saya rasa mungkin program pass-wordnya sudah dimodifikasi. Lihat, ini karakter P yang terakhir masih berkedip-kedip. Ini menunjukkan sepertinya password yang didapat belum lengkap. Mungkin program passwordnya sudah dimodifikasinya dengan menambahkan jumlah karakternya. Karena itu komputer ini belum dapat dibuka karena pass-wordnya belum lengkap.”
          “Tapi, kalau begitu kenapa programmu tidak menyelesaikannya?”
          “Sayangnya program ini cuma untuk sandi yang sampai delapan karakter. Jumlah standar password.”
          “Lalu, bagaimana?”
          “Yah, kita terpaksa harus menemukannya secara lengkap, baru bisa di-buka.” Choky menggeleng-gelengkan kepala. “Cerdik juga dia.”
          “Bagaimana kalau notebookmu saja yang langsung dihubungkan ke hardisknya?”
          “Tidak bisa Kapten, karena password ini mengunci seluruh kegiatan fisik komputer ini. Di samping itu setiap program dan file di dalamnya mengacu kepada program password itu. Jadi, misalkan hardisk itu dilepas lalu dipasang ke komputer lain pun tetap tidak akan dapat dibuka tanpa password yang sesuai.”
          “Jadi, buntu?” sela Letnan Genta sambil bergabung, setelah tadi tidak men-dapatkan apa-apa dari pencariannya.
          “Tidak. Justru kita sudah separuh jalan.” Kapten Leo membantah, sambil menoleh pada Sonia. “Nona pernah diberi tahu tentang password komputer ini?”
          “Tidak.” gadis itu menggeleng.
          “Atau mungkin penggalan kata-kata itu punya arti bagi Nona? Mungkin singkatan nama seseorang, atau sesuatu, ... apapun.”
Sonia kembali memelototi deretan huruf-huruf itu.
          “Sulitnya,” Sersan Choky menyela, “karakter itu, dalam kenyataannya, tidak selalu berarti serangkaian huruf yang membentuk suatu kata, Kapten. Bisa saja kebalikannya, dalam imajinasi pembuatnya. Suatu angka melambangkan huruf, atau sebaliknya, atau kode tertentu. Jadi ....”
          “Sebentar. Sepertinya ..., ah, saya tidak pasti. Tapi, saya ingat Sonia sangat menyukai nama-nama yang berbau benda-benda purbakala. Prambanan, misalnya. Obelisk, Sphinx, Angkor Wat, Rorojonggrang, Kalasan, ....”
          “Coba Pradnyaparamitha.”
          “Ya! Saya yakin itu!”
          Sersan Choky kemudian mengetik kata-kata itu, menekan tombol enter, dan: byar! Layar monitor lalu penuh dengan pernak-pernik cover WINDOWS 2010 yang menggambarkan siluet planet Saturnus lengkap dengan cincinnya yang termasyhur itu, beserta beberapa satelitnya, dalam gerakan yang berputar seperti dilihat dari sebuah pesawat ruang angkasa. Choky kemudian masuk ke program photocam dan segera mencari file yang dimaksud. Untuk mempermudah pencarian, ia menye-leksi file-file yang pernah dioperasikan sembilan hari terakhir. Ternyata ada lebih dari 200 file. Terpaksalah dibukanya satu persatu, tetapi beberapa menit kemudian akhirnya sadar bahwa file yang dicari tidak ada. Kapten Leo kemudian menimang-nimang print-out foto Baron itu, lalu katanya,
          “Kau yakin hasil cetakan foto ini dari program photocam, dan bukan yang lainnya? Photoshop 2000, misalnya. Atau mungkin cammerra.”
          “Saya yakin, Kapten. Lagi pula tidak ada program pengolah foto yang lain di sini selain photocam. Saya cuma curiga kalau-kalau filenya sudah dihapus ....”
          “Ah, mungkin juga.” Kapten Leo mendadak lesu. Teringat pernyataan Letnan Genta tentang masih terasa hangatnya badan monitor komputer itu, saat pemeriksaan mereka malam tadi. “Tapi, kalau memang benar, apa masih bisa dilacak kembali?”
          “Sekadar dilacak saja, bisa Kapten. Tapi saya tidak bisa menjamin apa masih bisa direhabilitasi. Kalau mereka menghapusnya dengan program khusus, atau track bekas file itu telah diisi oleh file lainnya, selamat tinggallah ....”
          “Coba saja dulu.”
          “Pasti.”

          Choky kembali mengutak-atik isi komputer itu, menanggalkan alat yang di-pasangnya tadi, dan kemudian memasang alat yang lainnya lagi. Komputer kemu-dian dihidupkan lagi, dan karena password-nya sudah diketahui maka tidak ada kesulitan untuk membuka komputer itu lagi. Setelah berada di program photocam, melalui notebook-nya yang berhubungan dengan komputer itu, Choky lalu mencoba melacak file-file yang ber-extension FCM yang telah dihapus dalam 24 jam terakhir. Beberapa saat kemudian ditemukan ada lebih dari 40 file. Dan yang lebih menggembirakan file-file tersebut ternyata hanya dihapus dengan cara yang biasa, dan juga track-nya belum sempat ditimpa oleh file yang baru atau file lainnya. Karena itu kemudian tidak sulit bagi Choky untuk merehabilitasi file-file itu kembali.
          “Kemungkinan berhasilnya bisa lebih 90 %.” katanya kemudian.

          Dan beberapa saat kemudian 39 file dapat direhabilitasi dengan sempurna, yang setelah dicek satu persatu oleh Kapten Leo, seluruh file itu tampaknya me-mang berhubungan dengan hasil pemotretan di rusun Sungaibeduk itu. Hampir seluruh foto itu nampak agak gelap, karena diambil pada malam hari dalam pen-cahayaan yang kurang. Akhirnya Kapten Leo hanya mencetak tujuh file. Foto yang pertama dicetaknya adalah foto yang menampilkan close-up peti yang sedang dipindahkan itu.
          “Lihat ini,” tunjuk Kapten Leo kemudian, setelah foto yang pertama itu selesai di-print, “benda yang kelihatan di balik celah ini sepertinya jelas bagian dari prasasti Kotopanjang itu.”
          “Ya. Pasti.” Letnan Genta membenarkan.
          “Saya akan melaporkannya pada Mayor Harris.” Kapten Leo kemudian menjauh beberapa langkah, dan kemudian menghubungi Mayor Harris via ponselnya. Melaporkan beberapa perkembangan terakhir, termasuk kesaksian satpam RS Sepanas dan Ananda Bayu. Dengan demikian, dengan perkembangan sampai saat ini setidak-tidaknya ada beberapa pasal yang dapat dilemparkan kepada mereka. Mulai dari penganiayaan, penculikan, dan percobaan pembu-nuhan. Dan, dengan sedikit nasib baik, mereka akan sampai kepada kasus pen-curian benda-benda arkeologis itu. Sementara itu, keselamatan Gita dalam ke-adaan terancam. Akhirnya, Mayor Harris memerintahkan mereka untuk bergerak.

          Kapten Leo kemudian mendekat kembali, sementara printer tersebut sudah menyelesaikan tugas mencetaknya. Kapten Leo kemudian menyerahkan ponsel-nya ke Letnan Genta.
          “Minta seluruh anggota yang ada segera menuju lokasi, dan sementara lakukan penjagaan ketat. Selanjutnya tunggu perintah saya.”
          “Laksanakan, Kapten!” Letnan Genta lalu menghubungi markasnya untuk meminta bantuan tersebut, sementara Choky mematikan dan merapikan kembali seluruh perangkat komputer tersebut, dan Kapten Leo mengumpulkan foto-foto tersebut ke dalam sebuah map kosong yang ditemukannya di situ. Setelah semua selesai, mereka segera bergegas keluar ruangan itu dan turun ke lobi. Kapten Leo kemudian mengucapkan terimakasih pada satpam dan manajer apartemen atas kerjasama mereka, dan juga kemudian pada Sonia.
          “Nona Sonia, kami berterimakasih sekali atas seluruh bantuan yang telah Nona berikan. Semuanya sangat berharga untuk penyelidikan ini. Tapi, kami harus segera menyelesaikan tugas kami, dan memastikan teman Nona itu dalam keadaan sehat walafiat. Saya kira kita berpisah di sini saja ....”
          “Oh tidak, Kapten.”
          “Tidak?” Kapten Leo terheran, sementara tangannya yang ingin mengajak bersalaman jadi menggantung begitu saja.
          “Kita belum akan berpisah. Saya akan ikut Kapten.”
          “Wah, jangan.” Kapten Leo agak terkejut. “Berbahaya bagi Nona untuk ber-ada di sana. Masalah Nona Gita, percayakanlah pada kami. Kami akan berusaha dengan sebaik-baiknya.”
          “Saya juga berharap begitu.” sahut Sonia kemudian. “Tetapi, dengan benda mungil ini saya pasti diberi izin, bukan?” Sonia menunjukkan selembar kartu identitas pers sambil tersenyum menggoda. Kapten Leo jadi tersipu.
          “Bah, lupanya aku.”gumamnya. “Ng, tapi ingat, Nona harus tetap bertindak sangat hati-hati, karena ini bukan saja untuk keselamatan Nona sendiri, tetapi juga menyangkut yang lainnya. Setuju?”
          Oke.”
          “Ingat, Nona, kita mungkin saja akan memasuki sebuah medan perang.”
          “Jangan khawatir, saya sudah pernah tugas di Kamboja.”

Ð

          Malam itu Gita tidak dapat tertidur. Rasa ketakutan, ketakberdayaan, dalam keadaan terkurung dan terikat seperti itu, kuat mencengkeram dirinya. Dan akhirnya, ditambah sedikit rasa penyesalan kenapa selama ini ia tidak menggambarkan saja sedikit lebih banyak posisinya dalam kasus ini. Kalau itu dilakukannya tentulah Kapten Leo akan memahami posisinya dan pasti akan mengadakan tindakan pengamanan. Tetapi, tidak. Karena pada mulanya ia sungguh tidak menyangka bahwa keterlibatannya ternyata akan sejauh ini, akan seperti ini. Gita selama ini hanya mengira paling-paling ia hanya harus mencari informasi, menguntit, mengambil beberapa petik foto, lalu kemudian mungkin kepergok pandang, dipelototi, atau paling jauh hanya akan dibentak, atau ‘sedikit disakiti’ karena telah berbuat usil. Tidak pernah terbayangkan olehnya kalau akhirnya akan jadi seperti ini. Diculik! Sudah seperti dalam adegan film saja. Sudah seperti ia seorang yang penting saja. Lalu, apa yang akan mereka lakukan setelah menculiknya? Meminta uang tebusan kepada Negara? Atau kepada Prof. Gunawan? (Apa mereka tahu?). Yang lalu – kalau tidak dipenuhi – kepalanya lantas akan dipenggal, dan Istana Negara akan diledakkan? Ih.
          Dan karena itu siang ini, ketika orang-orang itu datang kembali, gadis itu tampak kusut, dengan kelopak mata yang sangat berat. Beberapa kali ia ditepuk pipinya dengan agak keras agar terjaga kembali, agar matanya dapat membuka lebih lebar, sampai pipinya terasa seperti berdengung.
          “Bangun! Kalau mau jadi mata-mata, matamu harus melotot! Ayo, bangun! Bangun!” teriak orang yang membangunkannya, orang yang sama dengan yang memegang belati malam tadi, Edi Tanki. Dan, ketika kemudian gadis itu telah dapat melihat sekitarnya dengan lebih jelas, nampak ramai sekali orang-orang di hadap-annya. Ada 4 orang yang mengenakan jas dan berkacamata hitam, dengan yang seorang sambil mengisap pipa cangklong. Ada yang biasa saja. Ada sekitar ... tiga, empat, ... tujuh orang. Astaga, ia sudah jadi seperti barang tontonan saja! Tiba-tiba ia jadi merasa malu, jengkel, tetapi juga takut. Siapakah mereka? Kalau yang empat orang itu, ia sudah tahu ....
          “Ini perempuan yang saya ceritakan itu, Bos.” kata Ronie kemudian pada orang yang mengisap pipa cangklong itu. Yang dipanggil ‘Bos’ itu hanya diam saja, memandangi Gita dengan tajam.
          “Siapa dia?”
          “Namanya Chaya Gitanjali. Ia sepertinya seorang wartawan.”
          “Sepertinya?”
          “Uh, ia wartawan Berita Barelang.”
          “Jadi, apa tujuannya? Apa maksudnya? Siapa yang menyuruhnya?”
          “Ng, kami belum tahu, Bos.” Ronie berbisik. “Kami baru ....”
          “Apa?” Si Bos menoleh Ronie dengan jengkel. “Kau memang tak pernah dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, ya? Lalu, pelajaran apa yang kau-dapat dari Jepang itu?”

Ronie diam saja. Si Bos lalu maju, mendekati meja di hadapan Gita. Lama memandangi wajah gadis itu, dan kemudian benda-benda yang berserakan di atas meja itu. Lalu diraihnya selembar foto, diperhatikannya beberapa saat, dan kemudian dilemparnya kembali. Si Bos kemudian berbalik, dan berbisik pada Ronie.
          “Perempuan ini bisa berbahaya. Apapun yang kaudapat darinya, setelah itu segera habisi. Mengerti?”
Ronie mengangguk.
          “Mereka akan datang jam delapan malam nanti. Aku tak mau ini sampai gagal. Mengerti?”
Kembali Ronie mengangguk.
          “Bagus. Sekarang, tinggal mengambil prasasti yang terakhir, yang disimpan di vila di Rempang. Segera kalian ke sana, dan setelah itu segera selesaikan urusan dengan perempuan ini, mengerti?”
          “Mengerti, Bos.”
          “Bagus.”
Lalu mereka semua meninggalkan ruangan itu.

Ð

DRAGONMAN


          BANDARBARELANG, Mukakuning,  29 - 12 - 2012, pukul 18:48 WIB.
          Tiga buah mobil sedan nampak sedang melaju di jalan tepian Mukakuning Reservoir, menuju ke arah Bukit Mukakuning. Di depan sekali sebuah sedan berwarna hitam pekat, lalu sebuah jip, dan terakhir sebuah sedan berwarna biru tua. Hari telah mulai beranjak gelap, ketika mereka sampai di lereng bukit itu, dan kemudian meninggalkan jalan beraspal, belok kiri masuk ke jalan tanah yang lebih sempit. Daerah di sekitar masih relatif kosong, hanya satu dua rumah penduduk kelihatan, di tengah-tengah belukar yang sudah terbuka lebar. Beberapa waktu kemudian, jalan kian mendaki, dan – tiba-tiba sebuah tanah lapang yang cukup luas terbentang di hadapan mereka, di balik pagar kawat setinggi dua meter lebih. Mereka berhenti di situ.

Ð

          Hari telah beranjak gelap, dan sebagian besar lampu-lampu penerangan di lantai B2 itu sudah dihidupkan. Sersan Hamid dan Bayu baru saja melewati pintu blok selnya, dan kini mereka sedang berjalan di koridor menuju sel tempatnya ditahan. Bayu baru saja selesai diambil keterangannya secara lebih detail oleh seorang Sersan Mayor selama lebih dari empat jam, sehubungan dengan kejadian di laboratorium itu. Lebih dari empat jam, sejumlah waktu yang sekarang  membuatnya kian merasa capek, dan ingin cepat merebahkan tubuhnya.
          “Anda baik-baik saja?” tanya Sersan Hamid, setelah memperhatikan Bayu yang sepertinya nampak kian lesu.
          “Ah, baik. Baik. Saya mungkin cuma kecapekan saja.”
          “Yah, yang namanya pemeriksaan memang begitu. Saya harap Anda bisa mengerti. Anda tahu, tak jarang ada yang sampai sehari penuh, atau bahkan ber-hari-hari; meskipun tentu saja dengan diselingi waktu istirahat.”
          “Ya.”
          “Oh ya, Anda masih ingat Nona Gita?”
          “Nona Gita?”
          “Gadis yang telah Anda tolong itu?”
          “Ya. Tapi, Bapak tahu dari mana?”
          “Saya?” Sersan Hamid tersenyum. “‘Kan saya yang bersama Kapten Leo malam itu. Anda tidak ingat? Ah, pasti tidak ya, karena Anda sudah pingsan.”
          “Oh ya? Jadi, Bapak yang telah menolong saya malam itu? Ah, kalau begitu saya harus mengucapkan terimakasih pada Bapak.”
          “Ah, tidak juga.” Sersan Hamid seperti tersipu, namun diterimanya juga jabat salam Bayu. “Kapten Leo yang lebih banyak berperan malam itu.”
          “Ah, sama saja, Pak. Saya tetap merasa berterimakasih.”
          “Jadi, Anda masih ingat Nona itu?”
          “Iya. Kenapa?”
          “Dia ‘kan diculik?!”
          “Oh ya?” Bayu pura-pura terkejut, sekadar untuk menyenangkan lelaki se-tengah baya itu. “Siapa yang menculiknya?”
          “Kabarnya oleh orang yang bentrok dengan kalian malam itu.”
          “Oh ya? Terus, bagaimana? Sudah berhasil ditemukan?” Tanya Bayu sekadarnya.
          “Kapten Leo nampaknya sudah menemukannya. Mereka akan menyerbunya malam ini.” Sersan Hamid melirik jamnya. “Ya, kira-kira sekarang ini.”
          “Oh ya?” kali ini Bayu nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba ia merasa seperti harus melakukan sesuatu. “Sekarang?”
          “Iya. Kenapa?”
          “Eh, tidak. Ehm, mudah-mudahan mereka berhasil, ya. Saya mengkha-watirkan sekali keselamatan gadis itu.”
          “Anda kenal dengannya?”
          “Sebenarnya, tidak. Ya, bertemunya waktu kejadian itu saja.”
          “Oh.”
Mereka telah sampai di depan pintu sel itu, dan Sersan Hamid kemudian mem-bukanya.
          “Silahkan.”
Bayu masuk ke dalam, dan kemudian borgolnya dilepas. Sersan Hamid kemudian mengunci pintu itu kembali.
          “Ng ..., Pak Sersan.”
          “Ya?”
          “Orang yang di depan itu ke mana?” tanya Bayu begitu menyadari sel yang berada di seberangnya sudah kosong.
          “Oh, itu? Sudah dipindahkan ke LP. Kenapa?”
          “Ah, tidak. Cuma tanya saja.”
          “Baiklah, Anda saya tinggal. Silahkan mandi, dan selamat beristirahat.”
          “Terimakasih.”
Sersan Hamid kemudian meninggalkan ruangan itu.
          Ditinggal sendiri, Bayu tidak berpikir untuk segera membersihkan diri, terapi malah tiba-tiba jadi merasa gelisah. Apa yang akan dilakukannya? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa? Kenapa aku harus memperhatikan hal itu? Ada apa? Apa yang telah terjadi? Bayu tiba-tiba seperti jadi bingung, berbagai pikiran berloncatan di dalam benaknya, atau bahkan mungkin di dalam perasa-annya. Tiba-tiba seperti ada yang mendesaknya untuk melakukan sesuatu, atas apa yang telah diketahuinya. Ia tahu ada seseorang yang sekarang sedang dalam keadaan terancam. Tapi, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus menye-lamatkan gadis itu? Kenapa? Apakah karena ia telah mengenalnya? Ah, sebenar-nya juga tidak, ia toh belum benar-benar mengenalnya. Mereka  baru berinteraksi hanya beberapa menit, itu pun dalam situasi yang riskan. Lalu, apa? Kenapa jadi buah pikiran baginya? Kenapa ia tiba-tiba jadi merasa harus? Apa yang telah mendorongnya? Dan, bagaimana ia harus melakukannya?
          Tiba-tiba terpandang olehnya jendela berjeruji itu. Gelap di luar. Ah, gila; pikirnya. Aku harus keluar? Kenapa? Lewat jeruji besi sebesar jempol kaki itu? Memangnya kau siapa? Deva. Apa? Kembali terpandang olehnya sel yang sudah kosong di seberang. Lega. Tetapi, apa urusannya? Kau harus menjaga kebenar-an, kau harus membela yang lemah. Bagaimana? Bagaimana? Kau ‘kan Deva! Siapa itu? Astaga!
          Bayu tiba-tiba berlari ke pintu, ingin berteriak memanggil penjaga, supaya dapat dipanggilkan Sersan Hamid. Ia ingin minta agar dapat diizinkan keluar untuk .... Ah, pikiran bodoh apa itu. Lalu, bagaimana? Kau tinggal memotong jeruji jendela itu .... Memotong? Kaupikir aku siapa? Tukang besi? Sudahlah, jangan banyak berdebat. Kau panjat saja tembok pembatas toilet ....
          Bayu sekali lagi melihat ke koridor. Sepi. Kemudian berbalik, dan mulai memanjati tembok itu. Dengan cepat ia sudah berdiri di atas tembok itu – aneh, sepertinya ia sudah tidak merasa kecapekan lagi. Tetapi, ia masih belum dapat menjangkau jendela berjeruji itu, karena terhalang jarak antara dinding pembatas toilet itu dengan dinding di mana jendela itu berada. Ia sudah mencoba memi-ringkan tubuh ke dinding itu, dan kemudian menjinjitkan kakinya, tetapi tetap tak sampai; masih beberapa sentimeter lagi dari ambang bawah jendela. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Lompat. Ha? Lompat, dan berpegangan pada jeruji jendela. Apa? Apa aku sudah gila? Apa yang akan aku dapat dengan bergelan-tungan seperti itu? Pokoknya lakukan saja. Kau nanti juga akan tahu. Ah. Bayu akan melompat, ketika tiba-tiba ia mendengar suara langkah sepatu. Cepat-cepat ia turun dari tembok itu, dan duduk di tepi dipan. Seorang petugas muncul di depan selnya, sambil membawa serangkaian rantang.
          “Silahkan makan.” kata petugas itu kemudian, setelah masuk ke dalam dan meletakkan rantang itu di atas meja. Petugas itu pun kemudian meninggalkan ruang sel itu kembali, setelah mengambil rantang yang siang tadi.
          Bayu lalu cepat-cepat berdiri, kemudian menata dipannya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah seseorang tengah tertidur lelap di atasnya. Setelah merasa puas, ia kemudian kembali memanjati tembok pembatas toilet itu, dan lalu tanpa berpikir-pikir lagi ia terus melompat mencoba menggapai dua batang jeruji untuk tempatnya bergantung. Berhasil, walaupun dengan tubuh yang sedikit terhempas ke dinding belakang itu. Lalu, bagaimana? Panjat. Ha? Panjat. Kau harus mema-njatnya, agar tanganmu sampai ke bagian atas jeruji. Buat apa? Aku toh tetap tidak akan bisa keluar. Jarak antara jeruji itu sangat sempit. Karena itu kau harus melebarkannya. Ayo, panjat. Ya, ya. Bayu kemudian mencoba memanjati dinding itu, seraya menggeser pegangan tangannya kian ke bagian atas jeruji. Setelah dengan susah payah, ia akhirnya berhasil juga. Lalu? Lalu, kau tinggal mengacungkan jari telunjukmu, dan potong besi itu. Apa maksudmu? Lakukan saja. Yakinlah. Bayangkan saja seperti kau sedang memotong besi dengan las. Aku belum pernah melakukannya, bagaimana bisa tahu? Tapi kau pernah melihat seseorang melakukannya, bukan? Iya, sih .... Kalau begitu .... Baik, baik. Bayu kemudian menempelkan telunjuknya ke bagian paling atas salah satu jeruji, dengan lebih susah payah karena sekarang ia harus menahan berat badannya dengan satu tangan. Dan, ujung jeruji itu kemudian memerah, lalu putus. Wah, bagaimana mungkin? Lakukan saja terus. Tak usah kaupikirkan. Kau tidak ingin terjatuh, bukan? Iya ‘lah. Nah, tiga jeruji lagi, dan kau sudah bisa keluar. Baiklah. Bayu kemudian melakukan hal yang sama pada tiga jeruji lainnya. Selesai. Bagus. Sekarang, tekuk keempat besi itu. Tekuk? Tapi sekarang tanpa menunggu jawaban lagi, Bayu menekuk keempat jeruji besi sebesar jempol kaki itu. Tidak terlalu sulit, sehingga tak lama kemudian ia sudah berada di luar. Dan karena dari luar jendela itu tidak sampai dua meter ketinggiannya dari muka tanah, dengan mudah ia meluruskan keempat jeruji besi itu kembali.
          Sampai di jalan, Bayu segera menyetop sebuah taksi yang lewat, dan minta diantarkan ke rusun di Sungaibeduk. Sampai di tujuan ia meminta taksi itu me-nunggu sebentar, dan kemudian segera menuju ke kamarnya setelah meminjam kunci cadangan dari pengurus rusun itu, dengan alasan kuncinya hilang waktu kebakaran di laboratorium tempatnya bekerja. Setelah mengambil sejumlah uang dari dalam lemari, Bayu kemudian telah kembali berada di dalam mobil taksi itu, dan memintanya segera ke Bukit Mukakuning.

Ð

          Tanah lapang di mana bekas pabrik elektronik itu berada cukup luas, dengan sebagian besar permukaannya masih hanya dilapisi dengan campuran bauksit muda dan tanah merah. Bangunan bekas pabrik elektronik itu sendiri cukup luas, terdiri dari beberapa unit gedung bertingkat maupun tidak, dengan sebuah di antaranya jauh lebih besar. Tetapi, bangunan-bangunan itu sekarang telah porak-poranda, sebagaimana biasanya pada bangunan-bangunan yang hangus terbakar. Meski demikian, masih banyak kerangka-kerangka dan dinding bangunan yang masih berdiri, meskipun sudah menghitam, dan mungkin rapuh.
          Dari gerbang ini sekeliling bangunan itu tampak gelap saja, sunyi, seperti tidak ada kegiatan apapun. Jarak antara keduanya ada sekitar lima puluhan meter. Di sekitar gerbang itu sekarang tampak beberapa buah mobil sedan berwarna hitam – dengan dua di antaranya terdapat tulisan POLISI, sebuah jip, dan sebuah sedan lainnya yang berwarna biru tua. Sepintas mobil-mobil tersebut tidak akan kelihatan di kegelapan malam itu karena juga tersembunyi di antara semak belukar. Sementara itu beberapa orang di antaranya berada di luar kendaraannya, merapat ke gerbang. Mereka adalah Kapten Leo, Letnan Genta, Sonia, dan dua petugas lainnya. Letnan Genta, dan seorang petugas lainnya, nampak tengah asyik mengamati kejauhan melalui teropong inframerahnya, baik ke arah bangunan-bangunan itu maupun ke arah gerbang utama yang tampak dalam keadaan terbuka. Jarak antara ke-dua gerbang itu ada sekitar seratusan meter. Gerbang di mana tempat mereka berada sekarang ini adalah merupakan gerbang lama, yang ditinggalkan ketika kegiatan lalulintas keluar masuk saat pabrik ini masih aktif dipindahkan ke gerbang utama ketika Dinas PU menyelesaikan sebuah ruas jalan yang beraspal mulus dan lebar di mana lokasinya lebih dekat ke lahan mereka. Gerbang ini kemudian tak pernah dipergunakan lagi, bahkan pintunya digembok-rantai pada tiga tempat; di mana beberapa saat yang lalu sudah terpotong, agar mereka dapat segera menerobos masuk pada saatnya nanti. Sementara itu Sonia tampak asyik pula dengan kameranya, membidik ke sana ke mari.

          Tiba-tiba radio di salah satu kendaraan itu berbunyi.
          “Perhatian! Ada sebuah taksi mendekat ke arah lokasi Apa yang harus dila-kukan?” Itu berasal dari rombongan petugas yang mereka tempatkan di persim-pangan jalan ke gerbang utama.
          “Diterima! Sebentar.” Petugas yang berada di dalam mobil itu kemudian mengeluarkan kepalanya dan berteriak tertahan ke arah Kapten Leo. “Kapten. Ada sebuah taksi mendekati lokasi. Apa yang harus dilakukan?”
          “Tetap waspada, tetapi jangan melakukan tindakan apapun.” Kapten Leo melirik ke arah jam tangannya, pukul 19:19. “Beberapa menit lagi mereka sampai.”
          “Siap!”
Kemudian petugas yang berada di dalam mobil itu menghubungi rekannya kem-bali, dan menyampaikan apa yang dikatakan Kapten Leo. Sementara, Kapten Leo sendiri kemudian mengeluarkan ponsel dan lalu memencet serangkaian nomor, menghubungi petugasnya yang secara bergantian ditugaskan membuntuti Ronie cs saat ke Rempang, yang kemudian diperkirakan akan kembali ke sini.
          “Kosong Dua, posisi di mana?”
          “Kosong Dua di sini. Kami masih di Jalan A. Yani, Kapten. Sedang melewati Mukakuning Reservoir. Sementara saat ini Kosong Satu yang berada di belakang mereka. Kelihatannya memang tepat dugaan Kapten bahwa mereka akan kembali ke lokasi.
          “Baik. Nanti kauhubungi lagi aku.”
          “Siap, Kapten!”
Kapten Leo kemudian menyimpan ponselnya kembali.

          Beberapa saat kemudian Letnan Genta tiba-tiba berseru, “Lihat! Ada seseorang mendekati lokasi dari arah gerbang utama. Siapa dia?”
          “Dengan kendaraan taksi?” tanya Kapten Leo.
          “Tidak, cuma jalan kaki.”
Seorang petugas yang juga memegang teropong kemudian juga membidikkan pandangannya ke arah gerbang yang dimaksud.
          “Sepertinya penduduk sini.”
          “Penduduk sini? Apa tujuannya?”
Petugas tadi mengangkat kedua bahunya.
          “Mungkin, cuma iseng, Letnan.”
          “Kalau begitu, taksi tadi ke mana? Coba lihat.” Kapten Leo meraih teropong yang ada pada Letnan Genta dan kemudian mulai mengarahkan pandangannya ke gerbang. Melalui alat itu Kapten Leo kemudian melihat siluet seseorang yang sedang berjalan dalam kegelapan, melewati pintu gerbang, tampaknya dengan sangat berhati-hati. Bahkan terkesan seperti mengendap-endap. Sayangnya, dengan alat sekecil itu Kapten Leo tidak dapat melihat secara lebih fokus lagi, agar dapat mengidentifikasi objek, yang barangkali saja dikenal.
          “Siapa orang ini? Tapi, sepertinya ....”
          “Kapten,” petugas yang di mobil tadi kembali berteriak tertahan, “taksi tadi terlihat lagi, tapi sekarang posisinya menjauhi lokasi.”
          “Ya, sudah.”
          “Siap!”
          “Kapten,” celetuk Sonia tiba-tiba, “mungkin orang itu yang naik taksi tadi.” sambil mengarahkan kameranya pada objek yang sedang mereka bicarakan.
          “Oh ya, saya rasa juga begitu.”
          “Mau ngapain dia?”
          “Gerak-geriknya sepertinya mencurigakan. Lihat, perilakunya seperti sese-orang yang akan menyusup ke tempat lawan. Saya rasa ia bukan bagian dari mereka. Ini di luar rencana.”
          “Bagaimana, Kapten. Kita amankan saja dia dulu?”
          “Aku rasa, kita tidak dapat berbuat banyak, Letnan. Kita tidak punya cukup waktu. Mereka sebentar lagi sampai.”
          “Jadi, dibiarkan saja?”
          “Apa boleh buat.” Kapten Leo mengangkat kedua bahunya. “Siapa tahu dia juga bagian dari sasaran kita.”

Ð

          Dengan berhati-hati Bayu melewati gerbang. Suasana sekeliling tampak seperti sepi sekali, seperti tidak ada siapa pun. Di mana mereka?; gumamnya. Di mana Kapten Leo? Bayu kemudian berlari kecil mendekati tumpukan drum yang sudah karatan. Tapi, ah, sebaiknya aku memang tidak perlu sampai bertemu de-ngannya; gumamnya lagi. Apa katanya nanti kalau sampai melihat aku ada di sini, padahal seharusnya aku berada di dalam tahanannya. Apa yang akan aku jawab? Bayu kemudian sudah sampai di sisi bangunan yang terdekat. Di mana gadis itu? Sambil merapat ke dinding, Bayu mencoba menelusuri lewat bagian belakang bangunan itu. Banyak besi-besi buruk berserakan di situ, tetapi selebihnya sepi. Apa memang betul di sini tempatnya? Kok sepi-sepi saja? Bayu kemudian sampai di sisi bangunan yang lebih besar. Tetapi tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil lewat, dan kemudian menghilang di depan bangunan besar itu. Ah, mungkin itu mereka. Mungkin di sini  tempatnya.
          Bayu kemudian masuk ke dalam bangunan itu. Bayu kemudian melihat tangga turun ke basement, dan lalu tergerak untuk menelusurinya. Tetapi baru beberapa langkah menuruni anak tangga itu, ia tiba-tiba menangkap sorotan cahaya yang bergerak. Sebuah mobil! Bayu cepat menyembunyikan diri, dan kemudian meli-hat beberapa orang yang nampak sibuk di sekitar mobil van berwarna merah itu. Apa yang mereka lakukan? Bayu pun lalu perlahan-lahan turun, mengendap-endap lebih dekat, dan kemudian bersembunyi di balik sebuah tiang yang cukup besar.
          Tiba-tiba ia mendengar bunyi deruman yang cukup keras mendekat ke arah mereka: sebuah forklift. Kendaraan itu lalu mengangkat sesuatu dari dalam mobil itu, dan kemudian terus membawanya ke dalam. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
          “Berdiri!”
Tiba-tiba Bayu mendengar suara keras itu di belakangnya. Cepat ia berbalik, dan sekarang moncong sebuah senapan otomatik tepat berada di antara kedua mata-nya. Astaga! Bayu terkaget, dan hampir saja ia terjengkang karenanya.
          “Berdiri! Ayo!”
Orang yang berbadan besar itu kembali menghardiknya. Bayu tidak dapat berbuat lain. Dengan agak gemetar ia kemudian berusaha berdiri. Mati aku; pikirnya. Apa yang telah aku lakukan? Sial!
          “Siapa kau?”
          “Saya ....”
          “Kau mata-mata, ya?! Jalan!”
Bayu tertegun. Cepat sekali orang ini mengambil kesimpulan; gumamnya.
          “Ayo, jalan!” Orang itu tiba-tiba menghantamkan popor senapannya dengan keras ke perut Bayu, sehingga membuat anak muda itu terhenyak dan kemudian melipat perutnya, menahan nyeri. Sontoloyo! Garang betul ini orang.
          “Jalan!”
Dengan sambil masih menahan nyerinya, Bayu kemudian terpaksa mengikuti perintah orang itu. Aduh, sebaiknya apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan terjadi?; gumamnya setengah cemas. Huh, jangankan ingin menyelamatkan gadis itu, aku sendiri malah ketangkap.
          Bayu kemudian digiring ke tempat yang lebih terang, di mana di situ dili-hatnya ada beberapa orang yang berjas rapi dan berkacamata hitam – seorang di antaranya menghisap tembakau dari pipa cangklong, dan .... Astaga, baru ia sadar sudah berada di sarang mereka.
          “Bos, lihat ....”
Semua mata sekarang memandang ke arahnya. Seperti hening beberapa saat, lalu seorang di antaranya tiba-tiba berteriak,
          “Hei! Bukankah dia ....”
          “Betul, Bos.” seru Baron pula tiba-tiba. “Orang inilah yang mengganggu kita di Sungaibeduk malam itu.”
          “Tapi ...,” Ronie seperti tertawa jengkel, “kalian bilang dia sudah mampus!” Baron dan Dendi tampak mengkerut. “Sekarang, apa yang kita lihat ini: arwahnya? Hantunya?”
          Sorry, Bos. Kami tak menyangka ....”
          “Bego!”
          “Hei, hei, hei ....” orang yang menghisap pipa cangklong itu tiba-tiba mengenengahi. “Ada apa ini Ronie? Apa artinya ini? Siapa orang itu?”
          “Ugh ... anu, Bos.” Ronie menjawab gugup. “Ini orang yang satunya lagi.”
          “Maksudkau?”
          “Orang yang bertemu dengan kami di Sungaibeduk ....”
          “Oh, kau berhasil menangkapnya? Bagus, bagus. Tapi, katakau dia sudah kaubereskan. Lalu, ini apa? Hantunya?”
          “Maaf.” tiba-tiba Bayu menyela. Mereka semua jadi terdiam, menatap anak muda itu dengan keheranan: kok berani-beraninya orang ini berbicara tanpa diminta. “Saya tahu kita pernah bentrok,” Bayu mengarahkan pembicaraannya pada Ronie, “tetapi saya datang ke sini tidak untuk urusan itu lagi. Itu sudah saya anggap selesai. Saya cuma mau minta agar gadis itu dibebaskan.”
          “Apa?” Ronie tertawa terpatah-patah – mungkin juga karena dibebani oleh perasaan jengkel. “Wah, Anda memang benar-benar seorang pangeran kesatria, ya?” Tertawa jengkel lagi. “Pantang menyerah, demi menyelamatkan seorang putri. Ha ha ha ....”
          “Saya bisa bertemu dengannya?”
          “Jangan bodoh!” Ronie melengking. Tetapi, beberapa saat kemudian ia me-nurunkan vibrasi suaranya kembali. “Ya, ya, ya .... Tapi, segera setelah itu kalian akan menjadi pangeran dan putri di kerajaan neraka. Ha ha ha ....”
          “Bos!” tiba-tiba seseorang yang baru datang menyela. “Mereka sudah sampai.”
          “Apa? Kau yakin?” seru orang yang menghisap pipa cangklong itu.
          “Yakin, Bos.”
          “Kenapa mereka lebih cepat seperempat jam?” menoleh ke jam tangannya. “Pasti ada sesuatu. Kita harus berhati-hati.”
          “Jadi, gimana Bos?”
          “Mereka ada berapa orang?”
          Sorry, Bos. Tidak begitu jelas. Tapi, mereka datang dengan sebuah sedan dan trailer besar. Mungkin sekitar enam atau tujuh orang.”
          “Baik, memang sesuai dengan perjanjian, kalau trailer itu kosong. Tapi, kalian harus lebih berhati-hati, sepertinya mereka merencanakan sesuatu. Mereka sudah turun dari kendaraannya?”
          “Belum, Bos.”
          “Baik. Ronie, anak ini kauamankan saja dulu. Urusan begitu saja tidak becus. Setelah itu cepat kautemui aku.”
          Oke, Bos.”
          Bayu kemudian mereka jebloskan ke dalam ruangan di mana Gita berada, dalam keadaan erat terikat tangan dan kaki.

Ð



Novel ini sebagian pernah dimuat secara bersambung
dalam Riau Pos 1999~2000. 

Tidak ada komentar: