Sabtu, 12 Desember 2015

ESAI BUDAYA




MANUSIA MELAYU DALAM 3 NOVEL :
Selayang Pandang

OLEH : gde agung lontar

(dari tokopedia)
 
Mari Mengada sampai Mati!1)

Pendahuluan
            Sebuah novel adalah dunia fiksi, dunia imajinasi. Namun seringkali imajinasi itu berkelindan dengan realita yang dapat berasal dari pengalaman pribadi pengarangnya sendiri, berita yang sampai, dan atau cerita yang tersadai.
            Makalah ini mencoba mencukil-cuil apa yang dikatakan sebagai “Manusia Melayu” dalam 3 novel yang ditulis oleh – menurut pengetahuan Penulis – tiga pengarang Melayu [Riau]. Topik yang diangkat makalah ini barangkali terkesan cukup megah, namun Penulis harus mengingatkan bahwa makalah ini belum disusun berdasarkan penelitian dan pengkajian yang mendalam, apalagi dalam bentuk naskah akademik yang ketat dan sistematis. Karena itulah Penulis menyertakan anak judul “Selayang Pandang”. Maka makalah ini tidak lebih semacam bentangan pendahuluan belaka. Penulis berharap, topik semacam ini (dan bukan hanya terhadap novel saja, barangkali juga roman, novelet, cerpen; atau bahkan fabel, dsj.) cukup menarik untuk ditelaah lebih jauh dan mendalam, yang mudah-mudahan juga dapat dilanjutkan oleh rekan-rekan lainnya.
            Tulisan ini berangkat dari hipotesis relasi antara pengarang Melayu, novel yang dikarangnya, dan realitas Dunia Melayu terkini; serta apakah ada hubungan timbal-balik di antaranya. Prognosa umum memperlihatkan fakta yang cukup unik [namun dalam sudut pandang lain barangkali justru memprihatinkan] bahwa para pengarang [fiksi, terutama novel] Melayu hampir selalu mengangkat unsur-unsur kemelayuan dalam buah karyanya, atau lebih tegas lagi: “manusia dan dunia Melayu”. Dari sudut pandang kritis ini seolah-olah menunjukkan semacam fakta bahwa banyak pengarang Melayu yang belum mampu keluar dari tempurung kura-kuranya; seolah-olah takut dengan “dunia luar” sana, masih sentiasa rindu dan nyaman dengan tempurungnya yang sesungguhnya berat itu, seolah diseret-seret dengan lenggang “serampang dua belas”, dalam gerakan maju dan mundur serta ke kiri dan ke kanan tiada henti. Di samping itu sedikit sekali novel yang berhasil dilahirkan.
            Tapi makalah ini tidak bermaksud mengulas hal itu. Justru melalui tiga di antara novel-novel itu makalah ini mencoba mencari barangkali ada hubungan yang logis antara pengarang-novel-realita Melayu, yang barangkali dengan itu kita sebagai Manusia Melayu dalam Dunia Melayu terkini dapat menemukan dan meletakkan eksistensi yang tepat dalam Realita Dunia terkini. Tak usah pusingkan kalimat hiperbola ini, anggap saja sudah mengerti dengan sendirinya.
            Mari kita menari-nari.

Manusia Melayu
            Siapakah Manusia Melayu itu?
            Ini sesungguhnya pertanyaan yang sama “berat-berat-ringannya” dengan pertanyaan siapakah Manusia Jawa itu, atau siapakah Manusia Filipina itu, apalagi siapakah Manusia Amerika itu. Pandangan-pandangan berdasarkan antropologi, etnologi, etnografi, antropologi budaya, linguistik, atau bahkan kajian DNA dapat memenuhi ruang diskusi kita ini, melayang-layang kian kemari hingga membikin kepala kita semua pening.
            Kadang (atau sering?) kita [seolah] tahu belaka [kadang dengan begitu mudahnya] siapa di antara kita ini yang orang Melayu, Jawa, Filipina, atau Amerika. Aneh, bukan?
            Mahathir Mohamad (MM) sendiri dalam The Malay Dilemma tidak pernah mendefenisikan secara tegas siapa itu Manusia Melayu yang menjadi sorotannya. Dia hanya sempat menguraikan dengan cukup panjang-lebar dalam konteks antropologi, dan terutama dari sisi antropologi budaya; serta sedikit melalui kajian etnologi dan etnografi. Oleh karena makalah ini menyangkut hubungan manusia dan kesusastraan, maka rasanya lebih tepat [paling tidak untuk sementara ini] mengedepankan pendekatan dari sisi antropologi budaya tentang siapakah Manusia Melayu itu. Bila ingin melakukan pendekatan lain, bahkan melalui kajian genetika atau arkeologi misalnya, kita [Manusia Melayu] bahkan barangkali bisa bermegah-megah dengan mengatakan bahwa kitalah pewaris utama peradaban Atlantis yang melegenda itu, bila menyimak Stephen Oppenheimer (Eden in The East, 1998) dan Arysio Santos (Atlantis: The Lost Continent Finally Found, 1997).
            Dalam buku yang terbit pertama kali tahun 1970 itu, MM menulis bahwa orang Melayu itu “bersifat sopan-santun dan tidak suka menonjolkan diri ... lebih suka mengalah dan memberi hormat .... Sudah menjadi kebiasaan orang Melayu untuk undur ke tepi dan memberi jalan untuk orang lain lalu ... orang Melayu bersedia memaafkan [terhadap tamu/orang asing – Pen.] .... Memalukan tetamu adalah suatu perbuatan yang buruk ....” (referensi 1982: 139); suka merendah diri (140); dan memendam perasaan tidak puas hati (142).
            MM juga menulis bahwa “hidup semata-mata untuk keseronokan tidak mempunyai tempat di dalam etika hidup orang-orang Melayu. Keseronokan baik fizikal maupun mental adalah dipandang rendah. Sesuatu kerja ... ialah untuk mendapatkan keredaan Tuhan dan kebaikan di mata manusia”. (182)
            UU Hamidy (UUH) pula dalam Jagad Melayu Riau terlebih dahulu membedakan antara istilah manusia dengan orang. Menurut UUH (2004: 4) manusia lebih kepada pengertian “tipe atau bentuk makhluk”, sedangkan orang dalam hal “penampilan budaya”; sembari memberikan contoh turunan dari kata-kata tersebut. Namun menurut Penulis, bagaimana pula bila kata manusia yang diturunkan menjadi kemanusiaan yang memiliki pengertian yang mendalam dan bukan sekadar fisikal itu? KBBI  sendiri menjelaskan lema manusia sebagai makhluk yang berakal budi (2002: 714). Oleh karena kecenderungan itu, maka Penulis lebih suka menjudulkan makalah ini dengan “Manusia Melayu”, namun juga bukan vis a vis terhadap “Orang Melayu”.
            Sedikit ulasan berdasarkan kajian antropologi dan etnologi juga ditampilkan UUH dalam bukunya itu dengan menjelaskan tentang adanya penggolongan Melayu Tua (proto Melayu) dan Melayu Muda (deutro Melayu), yang sesungguhnya masih berkelindan dengan ras Austronesia dan berbagai istilah lainnya, apalagi bila dikaitkan dengan kajian lingustik. Dalam pandangan umum, kita – Melayu masa kini – agaknya adalah kelindan antara proto dan deutro itu.
             Namun itu adalah penggal pertama tentang pengertian Orang Melayu menurut istilah UUH. Penggal kedua adalah “pihak yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu tua maupun Melayu muda” (8). Sedang penggal ketiga, “dalam rentang yang lebih panjang, mungkin saja seseorang atau sesuatu keluarga menyebut dirinya orang Melayu karena telah begitu lama menetap ... [dan] dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dan budaya Melayu ....” (9). Untuk kategori ini UUH menyontohkan Lebai Wahid (ayah Soeman Hs); sementara Penulis sendiri bolehlah agaknya menyontohkan keluarga istri Penulis yang berasal dari Bali itu.
            Menurut UUH: resam, adat, dan agama Islam telah merupakan 3 sistem nilai yang mendasar dalam kehidupan orang Melayu di Riau. UUH menyebut antara lain ada 14 orientasi nilai tradisional yang penting, seperti: sederhana dalam penampilan hidup, martabat atau harga diri berada di atas nilai kebendaan, harta itu yang utama berkahnya bukan jumlahnya, jujur, dan seterusnya (17-20); yang nampaknya sejalan dengan hasil pengamatan MM di atas. Sistem nilai sendiri adalah “semacam jaringan yang terdiri dari sejumlah norma-norma atau kaidah-kaidah maupun seperangkat kelaziman yang melingkupi kehidupan suatu masyarakat” (48). Dalam sistem nilai itu, oleh orang Melayu nilai-nilai agama Islam dipandang sebagai barometer terhadap nilai-nilai yang lain, seperti adat dan tradisi (49). Sistem nilai adat bersempena keselarasan antar-manusia, sistem nilai tradisi pula bersempena keharmonisan antara manusia dengan alam (51).
            Uraian UUH di atas jelas sejalan dengan Ediruslan Pe Amanriza2) yang menyebutkan “ada 3 sistem nilai yang penting dalam budaya Melayu. Pertama, sistem nilai agama (Islam) .... Kedua, sistem nilai adat .... Ketiga, adalah tradisi”.
            Tabrani Rab (TR) pula dalam “Kepribadian Melayu”3) menjelaskan yang dimaksudkan dengan pribadi Melayu adalah pribadi (Penulis kira dalam bentuk kata sifat, yang anehnya tidak tertera dalam KBBI 2002) orang Melayu yang dibentuk oleh sistem budayanya (453). Uraian ini menimbulkan sedikit kekaburan menurut Penulis, yang memberikan residu pengertian bahwa ada orang Melayu (dalam konteks genetika, lingustik, dll.) yang tidak dibentuk oleh sistem budayanya [yaitu Melayu]. Bagaimana menjelas-kannya?
Budaya Melayu menurut TR menitikberatkan [perilaku bagi orang Melayu – Pen.] timbang rasa sebagai supra sistem dan titik berat sosialisasi dalam adat-istiadat adalah untuk menjaga keharmonisan. Orang Melayu yang baik selalu merendahkan diri dan tidak menonjolkan diri, tidak mau memaksakan kemauannya, serta bersedia kompromi (467). Penjelasan ini nampaknya sejalan dengan narasumber-narasumber di atas.
Namun menurut pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed., 2007) ada beberapa persoalan di sini; yang mudah-mudahan dapat kita kaji – setidak-tidaknya sebagai komparasi – dalam halaman-halaman selanjutnya.

3 Novel
            Dalam perasaan agak megalomania bolehlah pula kita bersetuju dengan Harry Aveling4) yang mengatakan bahwa “Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu yang digunakan oleh warganegara RI. Sastra Indonesia adalah salah satu cabang sastra Melayu”; sejalan dengan yang didaku-daku oleh kebanyakan penulis Melayu [Riau]; namun bisa bikin mendelik mata kawan-kawan lainnya. Bila dilihat dari sudut pandang historiolinguistik atau bahkan paleo-linguistik agaknya memang demikianlah adanya; tapi tentu bisa lain bila disorot dari sudut politik atau lainnya.
            Frasa warna lokal atau lokalitas atau local content sempat tenar di awal-awal era Reformasi, tak terkecuali dalam bidang sastra, sebagaimana terlihat di antaranya dalam tema yang diusung Kongres Cerpen Indonesia 2005. Tak cukup mudah sesungguhnya mendefenisikan apa itu lokalitas dalam konteks kesusastraan. Subagio Sastrowardoyo (SS) (1999: 81) menulis bahwa “yang memberi warna lokal bukan hanya pemakaian bahasa (kata dan ungkapan) setempat saja, tetapi juga cara berpakaian, adat-istiadat, tingkah laku, cara berpikir ....” dan seterusnya. SS membedakan antara local color writing (tulisan warna lokal) dengan regionalism (sastra kedaerahan; yang berbeda dari sastra daerah yang ditulis [sepenuhnya – Pen.] dalam bahasa daerah.
            Menurut SS (81-82), “sastra kedaerahan dalam mempergunakan warna lokal hendak melukiskan secara tepat bagian geografi tertentu dengan menguraikan kebiasaan, bahasa, adat-istiadat, sejarah, cerita rakyat, dan kepercayaannya”. Yang juga tidak kalah penting dalam konteks ini menurut SS adalah bahwa pengisahan itu tidak dapat dengan semena-mena dipindahkan begitu saja wilayah geografisnya tanpa merusak ceritanya. Jadi ada semacam relasi yang begitu kuat dan niscaya antara pengisahan dengan unsur-unsur geografis. SS kemudian memberikan semacam simpulan bahwa “Nilai sastra pada karya-karya berwarna lokal harus dicari pada sastra kedaerahan itu, bukan pada tulisan warna lokal yang sekadar dikarang demi keganjilan warna lokal itu belaka”.
            Namun dari makalah-makalah yang disampaikan dalam Kongres Cerpen itu kita dapat melihat beragam pandangan berkaitan dengan persoalan lokalitas itu, mulai dari: “menjadi lokal, tidak lain tidak bukan menjadi pribumi bagi tema-tema sastra yang diangkat” (Agus R Sarjono, “Estetika Lokal dan Lokalitas Cerpen Indonesia”), Maman S Mahayana (“Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia”) yang memaparkan lokalitas dalam beberapa konsep serta kisah panjang lokalitas dalam cerpen-cerpen Indonesia, Nirwan Dewanto yang membahas lebih dalam problematika [istilah] lokalitas (“Problem Lokalitas”), hingga Gus tf Sakai yang justru mempertanyakan eksistensi lokalitas itu (“Lokalitas Minangkabau”); dan banyak lagi pemakalah lainnya.
            Tetapi kita tidak akan membahas persoalan lokalitas itu lebih jauh lagi. Hal ini sekilas diangkat hanyalah sebagai prolog bagi pembahasan ketiga novel berikut, yang dalam banyak segi mengandung unsur-unsur kedaerahan yang cukup [atau bahkan begitu] kental; paling tidak sebagaimana yang dipaparkan SS di atas.
            Ketiga novel yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: Dikalahkan Sang Sapurba (DSS) karya Ediruslan Pe Amanriza (EPA), Gelombang Sunyi (GS) karya Taufik Ikram Jamil (TIJ), dan Tun Amoy (TA) karya Marhalim Zaini (MZ). Dalam konteks pengarangnya, pemilihan ini agaknya dapat mewakili 3 generasi yang berbeda, barangkali juga gaya, dan fokus perhatiannya. Namun, yang harus diingat adalah bahwa pembahasan ketiga novel tersebut dalam makalah ini tidak ada sama sekali kait-mengait dengan hal kualitas kesusastraan yang disandangnya. Makalah ini hanyalah semata bermaksud menelisik unsur-unsur kemelayuan yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah dijelaskan di muka, berikut konteksnya dalam realitas kemelayuan terkini – yang semoga saja ada faedahnya.
           
          Dikalahkan Sang Sapurba
          Sinopsis ringkas novel ini kira-kira dapat dinarasikan sebagai berikut. Ada sebuah desa bernama Mahato di [Kab.] Rokan Hulu, Riau. Suatu masa dulu kawasan di lingkungan Desa Mahato ini terkenal dengan hasil hutannya, terutama kayu meranti pada masa HPH dan HPHH. Berakhir kejayaan kayu, tak lama kemudian mun-cul pula era ikan kahyangan atau arwana dalam kegiatan ekonomi karena di dalam sungai tasik dan danaunya ikan-ikan arwana yang mahal itu beranak-pinak. Tak lama tumpas pula era arwana, sampailah kemudian menjelang datang rayuan kebun kelapa sawit.
          Adalah Tri Gondo, seorang pengusaha yang bertulang punggung penguasa [daerah] bermaksud mendirikan perkebunan kelapa sawit sebagai ekspansi usahanya. Oleh karena tanah Riau sudah dikapling-kapling dengan spidol berwarna-warni hampir di semerata tempat, Tri Gondo akhirnya terpaksa mencari tanah tersisa di celah-celah yang ada. Pilihan kemudian jatuh ke wilayah hutan di lingkungan Desa Mahato itu.
          Tri Gondo kemudian bermain mata dengan Datuk Bandar (Wali Desa Mahato) dan Aris untuk mengusahakan perolehan tanah penduduk, dengan rayuan dibangunkan kebun kelapa sawit sehingga kelak dapat menyejahterakan mereka; sebagaimana yang konon telah terjadi di berbagai wilayah di sekitar desa mereka. Beberapa penduduk berminat, sebagian lainnya tidak; sehingga luasan lahan yang dapat dikelola tidak memuaskan Tri Gondo yang bahkan kemudian mengklaim merasa telah dirugikan.
          Konflik pun muncul ketika Tri Gondo yang merasa tidak puas kemudian mendesak Datuk Bandar dan Aris untuk segera dengan berbagai cara mendesak penduduk yang tersisa agar mendapatkan tambahan luas lahan, namun para datuk dan penduduk itu bergeming – tetap pada pendirian mereka. Konflik pun kian memuncak ketika Tri Gondo mengintervensi dengan menda-tangkan  ratusan orang entah dari mana untuk membuka lahan secara paksa, dan bahkan dengan menggusur lahan penduduk. Maka keributan antara penduduk Desa Mahato dan para pekerja Tri Gondo pun tak terelakkan, hingga bahkan terjadi kebakaran kampung. Di tengah-tengah itu disisip pula kelindan kisah percintaan antara Aisyah dan Ahmad yang guru ngaji di desa transmigran Meranti Kabung (di lain bab tertukar Meranti Kudung), perjodohan Aris dan Aisyah, “perjodohan” Aris dengan Rohani (anak Datuk Bandar).
DSS (pemenang kedua Sayembara Roman DKJ 1997) adalah sebuah novel yang sarat dengan warna lokal sebagaimana menurut SS di atas, dipadu pula dengan hikayat Sang Sapurba sebagaimana disampaikan tukang koba Wak Kadih. Maka aroma Manusia Melayu pun membuncah dengan kental di sepanjang pengisahan novel ini.
Orang Melayu [tradisional] yang percaya akan tahayul cukup menyebar di dalam novel ini, seperti tentang mitos Sang Sapurba, atau pertanda-pertanda alam sehubungan dengan kejadian yang akan atau telah berlaku (3). Kepercayaan tahayul ini sebenarnya adalah sisa-sisa peninggalan masa animisme, dan sekarang nampaknya sudah mulai terkikis habis, sebagaimana juga dilansir EPA dalam novelnya ini.
Belitan persoalan ekonomi yang berkelindan dengan nilai-nilai tradisional juga dibentangkan dengan cukup luas. Pernyataan UUH tentang pandangan tradisional puak Melayu terhadap harta benda / ekonomi bahwa “yang utama ialah berkahnya, bukan jumlahnya” (2004: 12) dan “pakailah sekadarnya, agar tahan lama, sehingga sampai kepada anak-cucu” (2004: 13) agaknya mendapat pembenaran yang sepadan di dalam novel ini; ketika EPA menulis: “Tapi wilayah perladangan dan pertanian yang dibuka warga transmigran di seberang tak pernah mendorong penduduk Mahato untuk berladang dan bertani secara sungguh-sungguh” (17), atau “..., tapi apa gunanya taraf hidup duniawi yang meningkat, kalau semuanya dikerjakan dengan cara melanggar nilai-nilai adat yang selama ini mereka pegang teguh.” (119).
Namun pada saat yang sama, pernyataan UUH itu, dan juga klaim MM yang mengatakan bahwa “Keseronokan baik fizikal atau mental adalah dipandang rendah. Sesuatu kerja ... hanyalah kesopanan dan tanggungjawab yang menggerakkannya ... ialah untuk mendapatkan keredaan Tuhan ....” (1982: 186) mendapatkan tantangan pula dari EPA ketika ia menulis “... pola hidup masyarakat pun ikut menjadi terpesong arahnya kepada nafsu serakah ingin mengambil kesempatan untuk menjadi kaya.” (39), atau ketika ia menampilkan tentang keserakahan Orang Kaya Gemang (36, 40), atau Datuk Bandar dan Aris (yang di akhir kisah mendapatkan jatah kebun sawit masing-masing 10 ha).
Pandangan tradisional puak Melayu terhadap kerajaan (pemimpin – Pen.) menurut UUH yang menyebutkan bahwa kerajaan itu adalah alat untuk melindungi yang lemah dari penindasan yang kuat (2004: 10) serta menghendaki pemimpin yang tajam berpikir, bijaksana, serta orang yang taat melaksanakan ajaran Islam (2004: 11) mendapat tantangan pula di dalam novel ini. Datuk Bandar sebagai Wali Desa jelas tidak memainkan peran sebagai pemimpin [Melayu] yang diharapkan. Tergoda oleh kebendaan, Datuk Bandar – bersama Aris (sebagai representasi pemimpin muda) – memperdayai penduduknya sendiri untuk memenuhi nafsu Tri Gondo menguasai lahan; meskipun boleh saja dia berlindung dengan kilah dalam rangka meningkatkan perekonomian warganya. Di akhir kisah, Orang Kaya Gemang bahkan mencurigai orang-orang Datuk Bandar dan Aris-lah yang sebenarnya telah membakar habis desa mereka.
Perilaku Datuk Bandar ini pun kemudian diperburuk dengan tingkahnya yang terlihat plin-plan macam baling-baling di atas bukit (152), serta ancamannya untuk Orang Kaya Gemang (116). Karena itulah lalu muncul pendapat warga tentang Datuk Bandar ini: “.... Mengapa pula sebagai orang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, dia ikut melonggarkan sendi-sendi adat dan tradisi yang berlaku di sini.” (120).
Namun di satu sisi, EPA masih memberi ruang dan harapan pada kekuatan adat dan tradisi untuk mengelola Alam Melayu ketika menulis: “Bagaimana pun berkuasanya Wali Desa dari segi pemerin-tahan, namun rencana atau program apa pun, baru bisa dijalankan kalau para pucuk suku sudah mengangguk sebagai tanda persetujuan mereka.” (131)
Sifat Manusia Melayu yang sopan-santun, suka menyam-paikan sesuatu dengan cara tidak langsung, misal melalui kias-kias, pantun-pantun, perumpamaan-perumpamaan (HSAP, 2007) cukup bertebaran luas di dalam novel ini. Bersifat sentimentil dan introver dapat ditemukan pada diri Aisyah dan Orang Kaya Gemang.
EPA di dalam novel ini agaknya juga sempat menyanggah MM dengan mengatakan bahwa tradisi minum kopi yang sudah berlangsung ratusan tahun dalam masyarakat Melayu itu bukanlah merupakan kebiasaan hidup berleha-leha seperti kebanyakan anggapan orang, melainkan karena kedai kopi adalah semacam pusat informasi, untuk mendapatkan dan memberi kabar tentang berbagai macam hal, naik-turunnya harga getah, dst. (162). Namun ini tentu berlaku pada masa teknologi komunikasi dan informasi belum secanggih seperti sekarang ini.
Terakhir, yang cukup menonjol adalah paparan UUH tentang proses tingkat emosi orang Melayu (2004: 15) yang terentang dari menghindar/rajuk hingga amuk yang rupanya cukup terelaborasi di dalam novel ini dalam takaran yang cukup sublim. Hal yang sesungguhnya sekarang ini sudah sangat jarang ditemukan untuk sampai ke level merah itu.

          Gelombang Sunyi
Tidak sebagaimana Dikalahkan Sang Sapurba yang kental nuansa realisme, dalam Gelombang Sunyi unsur-unsur yang dapat mendukung tesis tentang Manusia Melayu itu terasa samar kehadirannya, atau mungkin begitu sublim. Pembaca akan cukup sulit untuk menemukan narasi-narasi dan atau dialog-dialog yang dapat secara nyata dibentangkan dalam konteks itu.
Sinopsis ringkas novel yang terkesan muram dalam bentuk [menyerupai] cerita berbingkai ini kira-kira dapat dinarasikan sebagai berikut. Ada dua cerita utama sebenarnya yang dikisahkan oleh pengarangnya, yang saling berkelindan – terutama dalam minda. Yang satu adalah pengisahan tokoh aku yang berprofesi sebagai seorang wartawan; yang lainnya – menurut pengetahuan Penulis – mengisahkan tentang masa-masa akhir Kerajaan Riau-Lingga (1911) dengan kisah eksodus besar-besaran dari Penyengat ke Singapura dan Malaka. Penulis menduga agaknya novel ini oleh pengarangnya (TIJ) diniatkan menjadi semacam sequel dari novelnya terdahulu, Hempasan Gelombang.
Novel dibuka dengan suasana muram – bahkan gelap [dalam arti yang sesungguhnya maupun metafor] – yang nyaris menyelimuti seluruh pengisahan, di mana diceritakan tokoh aku berada di dalam penahanan entah siapa, dalam kondisi fisik yang luluh-lantak. Keadaan ini dialami tokoh aku karena sebagai seorang wartawan ia sebelumnya telah meliput berita yang berkaitan dengan perampasan lahan/tanah penduduk oleh pengusaha/penguasa [yang  sudah berkali-kali dilakukannya dalam banyak kesempatan]. Dalam pengi-sahan nampaknya beberapa [oknum] tentara telah menciduknya dan kemudian menginterogasi, mengintimidasi, dan menyiksanya untuk memperoleh informasi atau pengakuan tertentu.
Dalam pada itu tokoh aku teringat/terbayang/termimpikan/ terasuki oleh kisah pendudukan Belanda di Penyengat yang akhirnya berujung pada tamatnya riwayat Kerajaan Riau-Lingga itu. Sultan [Abdul Rahman II Muadzam Syah - ?] tidak bersedia menanda-tangani perjanjian penyerahan yang disodorkan Belanda demi menjaga marwah, dan ia beserta keluarganya kemudian mening-galkan Penyengat. Peristiwa ini kemudian disusul dengan eksodus besar-besaran penduduk Penyengat, terutama ke Singapura.
Meskipun berbeda latar waktu dan peristiwa, TIJ agaknya meregangkan seutas benang merah di antara keduanya. Yaitu perampasan lahan/tanah/wilayah oleh yang tidak berhak; yang kebetulan lebih berkuasa/kuat. Di akhir kisah, seperti kita tahu, Kerajaan Riau-Lingga berakhir; sementara tokoh aku kemudian dilepaskan – namun dengan beban intimidasi.
Persoalan tahayul/mitos yang “melilit” Manusia Melayu tradisional – yang oleh MM disebut salah satu penghalang kemajuan – juga dapat ditemukan dalam beberapa tempat di dalam novel ini, seperti: peristiwa hamilnya Imah (15), tentang hantu Kupik yang begitu menakutkan di masa kecil tokoh aku (16), atau tentang burung cicilak (73).
Orang Melayu yang dikatakan sentimentil, introvert, dan bercakap dengan kiasan atau bahkan sindiran nampaknya dapat ditemukan dalam perkataan tokoh aku ketika berada dalam tekanan berikut: “Lantaklah, cecuplah darahku, isaplah darahku ....” (57); atau “Siapakah orang yang budiman baik hati sepenuh bola bumi, sehingga sudi menampar saya, tolong jelaskan mengapa saya diorangkan, diperlakukan dengan santun?” (19) – meskipun kemu-dian dengan cepat beralih dan berbalik menjadi kemarahan dan per-lawanan [dalam gelap], yang nampaknya menunjukkan suatu proses dari rajuk ke amuk menurut UUH itu, hingga sampai keluar kata-kata: “Hanjing5) .... Berani menampar orang dalam gelap ....” (21).
Kisah perampasan tanah penduduk [Melayu] dalam novel ini terlihat sejajar dengan DSS, seperti terlihat dalam “... perampasan tanah yang dilakukan perusahaan besar nasional terhadap tanah-tanah milik Kahar dan kawan-kawan ..., terjadi huru-hara di kampung tersebut. Orang-orang kampung dituduh menyerang perusahaan ....” (113). Atau dalam “... tapi mengapa kebun rakyat dan hutan ulayat yang dibabat? Mengapa tidak cari hutan lain saja?” (57); yang terselip pula sedikit kearifan budaya tentang pelestarian hutan seperti urai UUH. Sementara dalam cakupan wilayah yang lebih luas, tergambar pula dalam pernyataan Sultan Riau-Lingga [dalam mimpi/tidur anak sang tokoh aku] berikut, “Kafir-kafir itu tidak akan dapat memaksa kita menyerahkan kerajaan.” (29).
Hal ini pula nampaknya muncul sumir dalam dialog “.... Pikiran lokal dianggap sebagai hantu jembalang, ....” (93), dan “Dalam contoh konkretnya, seperti yang aku hadapi, pendatang baru haruslah tunduk dengan tatanan yang ada pada wilayah yang didatanginya ....” (93).
Kesejajaran kisah perampasan dalam kedua novel itu ternyata bersanding juga dengan nuansa pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu suka terpesona kepada orang/pemimpin [dari] luar yang selalu dianggap lebih hebat, lebih sakti, lebih pintar; yang di dalam novel ini dapat ditemukan dalam dialog – yang justru disampaikan oleh Residen Bruinkops yang Belanda itu [meskipun tentu dengan tujuan tertentu] kepada Abu Muhammad Adnan (salah satu petinggi Kerajaan?), yaitu: “... bahwa seharusnya Riau tidak menaruh harapan terlalu besar kepada Jepun. Masalahnya, Jepun juga adalah bangsa asing yang senantiasa berhitung untung-rugi suatu perkara ....” (145); sehubungan dengan rencana para petinggi Riau-Lingga untuk meminta bantuan Jepun dalam upaya menghadapi Belanda.
Menurut Penulis, yang nampaknya luput dari perhatian MM adalah kenyataan secara tradisional Manusia Melayu selalu memiliki marwah diri yang tinggi, meskipun secara kontradiksi seringkali berlaku merendahkan diri serta tidak suka menonjolkan diri sendiri. Dalam novel ini, marwah diri ini muncul dalam pernyataan Sultan: “Kafir-kafir itu tidak akan dapat memaksa kita menyerahkan kerajaan. Anak-anak cucu kita kelak akan tahu bahwa walau kalah, kita tidak pernah menyerahkan marwah bangsa.” (29). Namun, di lain pihak muncul pula semacam “pengkhianatan” dari para petinggi Melayu, dalam dialog Yam tentang mengapa Kria (suaminya) sampai beriya-iya merasa dirinya seorang pejuang, “... padahal banyak datuk-datuk dan para amir justru menghadap Belanda di Tanjungpinang setelah Sultan menghilang. Mereka bahkan membuat pernyataan setia kepada Hindia Belanda, kemudian bergambar bersama dengan senyuman mengembang.”6) (128). Meskipun kemudian ada semacam “penjelasan” tentang hal ini.
Kedua pengisahan utama dalam novel ini tokoh-tokoh utamanya mengalami kekalahan. Namun kekalahan yang bermarwah seperti yang disampaikan Sultan di atas, sembari tetap “.... Perjuangan membela kemuliaan manusia akan terus dilakukan. Ini tak bisa ditekan, tak bisa diredam ....” (114).

Tun Amoy
Dibanding DSS dan GS, membaca Tun Amoy entah kenapa Penulis merasa seperti berada di antara keduanya. TA juga mengusung “aliran” realisme7), meskipun tak sekental DSS8); pada saat yang sama TA juga terasa menyuruk kesan-kesan impresionisme sebagaimana GS, terutama di bagian-bagian awal yang mengalir secara liris, serta kelindan cerita utama dengan pengisahan mitos/sejarah Hang Nadim. Dalam TA juga kita dapat menemukan limpahan muatan-muatan kultural, baik yang bersifat kebendaan maupun non-kebendaan, sehingga nyaris terasa sesak-mampat. Andai saja novel ini sedikit lebih panjang.
Ada satu hal lagi yang menarik. Di dalam novel ini nampaknya tidak ada satu pun di antara tokoh-tokoh utama yang berdarah “murni” Melayu!
Sinopsis ringkas novel TA lebih kurang dapat dibentangkan sebagai berikut. Tun Amoy adalah nama tokoh utama, seorang gadis (!) yang bernama asli Tunjiana. Tun Amoy sesungguhnya adalah anak biologis Tuk Daeng (Bugis?) dan Yoko (Jepang), namun Tun Amoy sendiri tidak mengetahuinya hingga akhir kisah, demikian juga dengan Yoko. Ketika masih kecil (saat Yoko ke Surabaya), oleh Tuk Daeng, Tunjiana diserahkan kepada Wak Dogok dan istrinya untuk dijadikan anak angkat – hal yang baru diketahui Tun Amoy di akhir kisah.
Wak Dogok adalah orang Melayu dari Suku Asli (proto Melayu), dan ia dikenal sebagai seorang dukun, sebagaimana juga Wak Akik (Jawa), dan Tuk Daeng sendiri.
Konflik pengisahan berkelindan antara hamil di luar-nikahnya Tun Amoy dan sengketa nelayan jaring batu vs jaring rawai yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun – dengan sedikit penyisipan kisah Hang Nadim dan Tun Teja “dalam minda” Tun Amoy.9) Hamilnya Tun Amoy adalah akibat perbuatan bejat Wak Dogok, yang baru terungkap di akhir kisah. Untuk menutup perbuatan mesumnya, Wak Dogok berusaha menikahkan Tun Amoy dengan pemuda bernama Kantan – sementara Tun Amoy sendiri tengah mengharapkan pulangnya Nadim dari rantau, seorang pemuda yang telah menjadi “kekasihnya”.
Pengisahan berakhir tragis ketika Tun Amoy sadar dari pingsannya mendapatkan dirinya dalam keadaan terikat, sementara di dekatnya pemuda Kantan seperti berada dalam keadaan kerasukan. Tuk Daeng dan Yoko sendiri tak begitu jelas, apakah meninggal setelah terjadi badai, atau menghilang.
Persoalan tahayul/mitos juga muncul di dalam TA pada beberapa tempat, seperti: “..., kalau tak hendak kampung porak-poranda oleh badai topan dari Selat Malaka, jangan sembarangan menyebut kata ‘Lancang Kuning’ (41), atau “Wak Dogok tetap percaya bahwa laut, tanah, pohon, burung, tanjung, ikan, dan binatang-binatang liar dikawal oleh makhluk halus ....” (78), atau “Kata orang-orang tua, kalau sehabis nengok orang mati harus segera mandi dan membersihkan diri, supaya tak kesawan” (226).
Oleh karena tokoh-tokoh utama dalam TA bukanlah orang “murni” berdarah Melayu, maka menarik untuk menyimak pendapat mereka tentang orang Melayu. Tun Amoy: “Agaknya ini bedanya dengan orang asli macam kami,10) yang lebih suka berbelanja dari pada menabung, atau mengelolanya jadi usaha. Prinsip kami, kais pagi makan pagi, kais petang makan petang, pasti tak berlaku untuk orang Cina.” (10). Wak Akik: “Sikap orang Melayu yang terkesan keras dan suka mengamuk ini, menurut salah seorang pemuka adatnya, merupakan ciri khas yang telah bersebati dalam sikap mental orang Melayu.” (32). Wak Dogok: “Nampaknya hasrat membeli orang kampung ini memang lebih tinggi dibanding dengan hasrat menjual.” (92).
Sementara itu, beberapa di antara tokoh-tokoh itu percaya bahwa dirinya sudah “menjadi” Melayu, sebagaimana pernyataan mereka berikut. Tun Amoy (di samping pernyataan di atas): “Malah, rasanya lebih senang berkunjung ke rumah orang Cina [saat perayaan GongXi Fa Choi – Pen.] dari pada ke rumah kami-kami orang Melayu.” (7-8). Wak Akik: “Karena aku memang memulai hidup baru di sini. Punya kampung halaman di sini. Hampir segala-galanya dalam hidupku seperti telah menjadi bagian dari orang Melayu.” (32). Toke Ojol: “Betul itu, Wak. Aku ini memanglah orang Tionghoa. Tapi aku ini pun orang Melayu. Tengoklah, anak aku ada juga yang masuk Islam, dia kawin sama orang kampung ....” (153). Tok Daeng: “Ia [menggumamkan dirinya sendiri – Pen.] memang Melayu, karena telah lahir dari rahim seorang Melayu, di tanah Melayu,11) setiap waktu berjuang untuk mempertahankan negeri Melayu.” (165).
Pernyataan-pernyataan di atas adalah semacam klaim masing-masing tokoh tentang posisi “sosio-antropologis” mereka di tengah-tengah Alam Melayu. Meski demikian, pernyataan itu nampaknya sejajar dan dapat dibenarkan menurut UUH yang melansir beberapa golongan/kriteria etnis bukan Melayu untuk “menjadi” Melayu; sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Di lain pihak, ada pula tanggapan orang-orang kampung (Melayu) terhadap pendatang-pendatang itu,12) yang muncul dalam pernyataan demikian: “.... Dan kalian ini. Orang-orang pendatang macam kalian inilah yang sebetulnya yang jadi punca dari berlarut-larutnya masalah ini. Kalianlah sebenarnya yang nak memecah orang-orang Melayu di pulau ini!” (152).
Sifat introver dan tahu diri orang Melayu muncul pula dalam kalimat, “..., lagi pun orang miskin macam kita ini harus tahu dirilah.” (17). Sementara kearifan soal pelestarian alam muncul dalam, “Masalahnya, [jaring batu – Pen.] akan merusak habitat dasar laut seperti terumbu, ....” (33); meskipun dalam konteks pengisahan pernyataan ini didorong kepentingan tertentu.
Namun, ada satu “problem besar” yang cukup krusial sebenarnya diangkat MZ dalam TA ini, dalam hal relasi Melayu dan agama Islam,13) yang dapat kita temukan dalam monolog Tuk Daeng berikut: “.... Tapi apakah Melayu itu agama, sehingga Tuhan bertahta di sana? Apakah kalau tak beragama, atau beragama selain Islam lalu ia menjadi tak Melayu?” (165).
Wacana arus utama menyebutkan bahwa ada relasi yang tak terpisahkan antara Melayu dan Islam (MM, TR, UUH, EPA dalam referensi makalah ini). Bahkan UUH menyebutkan seorang etnis Cina yang tinggal di Alam Melayu dan sudah memeluk agama Islam, dapat menjadi Melayu (sebagaimana dapat kita temukan dalam suntingan TA di atas). Namun menurut Penulis, barangkali setidaknya ada perbedaan antara Melayu dalam konteks politis dan antropologis. Ini akan menjadi/memerlukan kajian yang sangat mendalam, yang dapat kita percayakan pada para pakar yang berkompeten.14)

Novel dan Realitas
            Adakah hubungan antara fiksi – atau dalam hal ini novel – dengan realitas? Adakah maknanya? Adakah relevansinya? Adakah pengaruhnya? Atau, apakah harus?
            Pemikiran tentang hal ini sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama, sehingga menimbulkan dua ekstrim pendapat yang secara sederhana dapat disebut di satu ekstrim dengan semboyan “seni untuk seni” dan di ekstrim lainnya “sastra yang terlibat”. Di Indonesia, dua perbedaan ini sempat mengkristal pada era pergantian dua Orde: Lama dan Baru.
            Dalam “’T’ dari Tanggung Jawab”, Iwan Simatupang (2004: 332) menyatakan bahwa “tiap seni adalah organisme mutlak sejak dari mula sekali”. Dengan demikian, sastrawan eksistensialis15) ini ingin menyatakan bahwa tiap seni adalah mandiri, dan bila dikembangkan simbol konsep biologi itu, maka seni itu akan bertumbuh, berkembang, atau bahkan mati dalam/mengikuti suatu rentang waktu. Ini sejalan dengan yang dikatakannya kemudian bahwa, “Pengarang cerpen16) hanyalah memberi arah saja .... Pembaca diminta mengambil bagian mutlak dalam kehidupan (dari dan dalam) cerpen.” (2004: 333-334).
            Akan tetapi, SS agaknya secara realistis terlihat pesimis, apakah ada interaksi yang bermakna antara karya sastra dan masyarakat (realitas). Dalam “Relevansi Nilai-nilai Sastra bagi Masyarakat Modern” (1999: 72-73) SS menulis: “Orang rupanya merasa terganggu oleh pemikiran yang terlalu dalam tentang kehidupan yang terkandung dalam karya sastra dan karena itu penerbitan buku-buku sastra secara komersial tidak menguntungkan.” Lima belas tahun kemudian, kebenaran itu agaknya dapat kita lihat semakin nyata17) manakala masyarakat [awam] terlihat semakin menggandrungi sinetron18) dan atau produk-produk budaya pop19) lainnya, yang disokong penuh oleh kekuatan [neo]-kapitalisme.
            Gregory V Plekhanov20) meyakini bahwa sastra dan seni adalah wadah yang menampung mentalitas sosial suatu masyarakat. Semua seni ataupun sastra pasti muncul dari sebuah konsepsi ideologis tentang dunia, dan semua karya sastra berisi ideologi tertentu. Keyakinan Plekhanov ini tentu berimplikasi pada simpulan bahwa ada relasi yang bermakna antara fiksi dan realitas.
            Sementara itu, dalam konteks novel, Goldman21) berkesimpulan bahwa novel adalah sebuah genre sastra yang ciri utamanya adalah adanya relasi yang tak terdamaikan antara hero atau tokoh dengan dunianya. Situasi yang tidak terdamaikan menunjukkan hilangnya nilai-nilai otentik serta dunia yang terdegradasi dan hero yang problematik.22) Pernyataan ini agaknya terlihat sejalan bila kita lihat dalam ketiga novel di atas, terutama pada GS dan TA.
            Milan Kundera23) sendiri memandang tugas seorang sastrawan sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang nyata adalah untuk menemukan dunia itu. Karya sastra harus menghindarkan diri dari penggambaran realitas yang hanya merupakan penampakan.24) Karya sastra harus menjelaskan posisi dunia yang sebenarnya, terutama situasi eksistensial manusia di tengah dunianya.
            Namun, belakangan muncul pertanyaan yang lebih menghentak dalam hal ini, apakah fiksi dan realitas itu? Adakah sungguh perbedaan di antara keduanya? Serta apakah ada relasi yang bermakna yang dapat kita tangkap – bukan sekadar “tangkap dan lepas”-nya Amir Hamzah? Pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengarah ke ranah filsafat ini muncul dalam apa yang disebut sebagai alam simulakrum, hiper-realitas, pasca-realis, dan para-fisika oleh Baudrillard25); yang telah membawa, sastra sebagai sebuah model fiksi, masuk ke dalam kesejajaran realitas dunia. Realitas sastra menjadi sejajar secara objektif dan material dengan realitas sosial, dengan bahasa dan sistem tanda yang dimainkan dalam sastra secara sosial menjadi sama; demikian juga dengan fakta-fakta imaji dalam sastra dan fakta-fakta individual dalam realitas sosial. Sehingga memunculkan semacam kesimpulan bagi Baudrillard bahwa perdebatan antara fiksi-nonfiksi secara sosiologis menjadi sejajar dan sekaligus menjadi tak penting sama sekali.
            Dalam konteks ketiga novel di atas, makalah ini tidak akan membahas apakah novel-novel tersebut (masing-masing sebagai satu kesatuan entitas fiksi) memiliki relasi – atau relevansi – yang bermakna dengan realitas, melainkan – sebagaimana tujuan awal – adalah untuk [sekadar] menelisik apakah ada hubungan yang logis antara pengarang-novel-realita Melayu, yang dihubungkan melalui kutipan-kutipan dan bahasan-bahasan [singkat] di atas.
HSAP sebagai editor, dalam pengantarnya, menyimpulkan ada 2 perspektif atau paradigma yang digunakan [oleh para penulis di dalam buku dimaksud – Pen.] dalam menampilkan pemahaman mereka tentang satu atau beberapa unsur budaya Melayu. Disebutnya sebagai paradigma esensialis dan paradigma kontekstualis. (2007: xl)
            Paradigma esensialis terdiri atas kemelayuan dalam: wilayah, kepribadian, adat-istiadat, sejarah sistem politik, bahasa, naskah dan sastra, kesenian, teknologi, dan perangkat simbol. Sementara dalam paradigma kontekstualis, adalah kemelayuan dalam konteks: relasi historis, fungsional, dan struktural.
Untuk keperluan makalah ini, Penulis hanya akan mengutip dalam konteks kepribadian dan adat-istiadat.
Hal kemelayuan dalam kepribadian, HSAP (2007: xlv) mengantarnya dengan pernyataan bahwa: “Kesamaan-kesamaan pada pola perilaku dan tindakan inilah yang memungkinkan seorang peneliti kemudian membuat sebuah abstraksi mengenai pola-pola perilaku warga suatu kebudayaan, yang dalam antropologi seringkali disebut sebagai ‘pola kebudayaan’”. Hal kepribadian orang Melayu ini kemudian dirangkumnya berupa:
-         “merajuk” untuk menghindari konflik ketidaknyamanan dalam interaksi sosial;
-         lebih suka menyampaikan sesuatu dengan cara tidak langsung melalui kias-kias, perumpamaan, pantun-pantun;
-         lebih suka menahan diri dalam banyak hal, “tahu diri”, suka “merendah”, “sadar diri”;
-         bersifat sentimentil;
-         berkesan memiliki kepribadian introver;
-         “tolak-angsur”, suka damai dan toleran, relatif terbuka terhadap suku bangsa lain; dan
-         amuk.
Terhadap bentangan di atas, HSAP lebih cenderung berpendapat bahwa ciri-ciri kepribadian tersebut merupakan [atau lebih dominan] untuk (dapat ditemukan) pada pria-pria Melayu (2007: xliv-xlix).

Dalam konteks adat-istiadat, HSAP merangkumnya dalam:
-         saling menghormati, yang diwujudkan dalam sopan-santun dalam bertutur, berpakaian, bergaul;
-         saling memberi, yang diwujudkan dalam aktivitas kebaikan berupa: menanam budi, menerima budi, dan membalas budi.

Namun, “simpulan” di atas mendapat tantangan pula dari HSAP (2007: xlix-liii), apakah benar ciri-ciri itu semua merupakan tanda-tanda eksklusif Manusia Melayu? Menurutnya, perilaku saling memberi yang merupakan sebuah pertukaran sosial (antropologi: social exchange) juga merupakan fenomena yang dapat ditemui pada setiap suku-bangsa di dunia. Maka, bisakah ciri-ciri yang ditemukan di atas [dinayatakan] sebagai ciri khas Melayu? Tampaknya tidak, karena di kalangan suku-suku bangsa yang lain juga dapat ditemukan bahkan kadang-kadang terlihat lebih menonjol daripada di kalangan orang Melayu.26)
Bagaimana pula dengan realitas Manusia Melayu terkini? Apakah ada relasi yang bermakna dengan ketiga novel di atas sehingga karya sastra itu relevan terhadap realitas Manusia Melayu terkini? DSS tampaknya paling dekat dengan realitas Manusia Melayu terkini, barangkali oleh karena ia berangkat dari sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi – kalau di film-film Hollywood biasa dilabeli “inspired by true story”. Klimaks cerita yang mengangkat kekalahan orang Melayu juga tampaknya sejajar dengan kondisi kemelayuan saat ini.27) Namun, setelah 15 tahun lebih, apakah sudah memiliki dampak yang bermakna bagi Manusia Melayu?
GS pula, yang topiknya memiliki kesejajaran dengan DSS, juga nampaknya berklimaks dengan kekalahan orang Melayu – yang bahkan dapat dilihat dalam dua pengisahan yang diceritakan. GS bahkan lebih muram, di mana sang tokoh wartawan – di dalam penahanan/penculikan – mengalami distorsi-distorsi pemikian, atau paling tidak intrusi yang mengalahkan. Daniel Goleman (1996: 110) mengatakan bahwa “... perasaan telah keluar jalur dan mengarah menjadi penyakit adalah bila perasaan begitu kuatnya sehingga mengalahkan pikiran-pikiran lainnya ...; pada orang yang mengalami depresi klinis, pikiran yang bernada mengasihani diri sendiri dan merana, putus asa, dan kehilangan pegangan, mengalahkan semua pikiran lainnya”. Agaknya “penyakit” semacam inilah yang tengah mengungkung Manusia (sastrawan) Melayu umumnya, yang tampaknya masih saja menyeret-nyeret cangkang kura-karanya, sembari meringis dan menangis memilukan hati – tetapi juga sekaligus pada saat yang sama terkagum-kagum pada ukiran indah yang sudah tergurat di cangkang itu.
TA tampaknya lebih bercerita secara personal. Tak ada tema “besar” yang dijadikannya konflik, selain pertelagahan nelayan dan imaji Hang Nadim dan Tun Teja.28) Namun dalam “kepersonalan” itulah sesungguhnya MZ mengangkat relung-relung kemelayuan dalam kesubliman. Persoalan Manusia Melayu menelusup dan menyusup di antara gumaman, isak tangis, kemarahan, bahkan kebekuan. Namun, oleh karena pola ini yang digunakan, agaknya hal ini membuat novel ini terasa semakin berjarak dengan realitas; belum lagi bila ditemukan kenyataan bahwa tidak ada tokoh utama yang “benar-benar” berdarah Melayu. Tapi, di lain pihak, hal ini justru memberikan sudut pandang yang unik untuk kita meraba-raba bagaimana kira-kira pandangan orang bukan Melayu terhadap orang Melayu. Pandangan diri kita terhadap diri kita sendiri yang disampaikan kepada orang lain (“subjek subjektif”), seringkali sesungguhnya tidak bermakna. Maka pandangan orang bukan Melayu ini dapat menjadi masukan yang berharga, dan di alam realitas dapat diolah secara lebih bermanfaat.
Kesimpulan yang boleh jadi dapat ditarik dari ketiga novel di atas adalah bahwa sesungguhnya sedang ada krisis dalam Alam Melayu [Riau].
  
Dulang Ditangkup
            Sesungguhnya EPA sudah mengangkat persoalan Manusia Melayu ini dalam “Budaya Melayu dan Tantangan Zaman”29) dengan menyatakan bahwa “Krisis itu boleh jadi dalam bentuk ketidakfahaman pemimpin-pemimpin masyarakat Melayu sekarang terhadap nilai-nilai yang dikandung oleh budaya Melayu itu.” Bagaimana kondisinya satu generasi kemudian (20 tahun) dalam kenyataan? Apakah pendapat itu masih relevan? Menyimak ketiga novel di atas (paling mutakhir, TA yang dirilis 2008 dan GS 2009) tampaknya masih mendukung pernyataan itu.
Mahdini pula, dalam “Budaya Melayu: Masa Lalu, Masa Kini, dan Akan Datang”30), melihat keadaan yang kontradiktif sekaligus memiriskan bagaimana “Orang-orang Melayu mundur dan kembali kepada budaya dan agama mereka, namun dengan pandangan yang sempit. Mereka tetap melihat ke Timur Tengah untuk mendapatkan inspirasi dan bimbingan, namun Timur Tengah juga sedang kewalahan menghadapi penjajahan ....”
Kenyataan beberapa tahun belakangan, seiring pertumbuhan otonomi daerah – kita dapat melihat bagaimana di seluruh wilayah dibangun apa yang disebut sebagai Islamic Center dengan bangunannya yang megah-megah dan [sangat] mahal, orang-orang berebut berpakaian ala Timur Tengah, jilbab dan hijab, pengajian dan maghrib bersama – namun, apakah ada maknanya dalam kehidupan nyata, dalam realitas Manusia Melayu masa kini, apalagi bila ingin dikomparasikan dengan kearifan-kearifan tata-laku yang konon telah mendarah-daging dalam masyarakat Melayu – seperti yang dapat dilihat dan banyak diangkat dalam tulisan-tulisan peneraju kebudayaan Melayu [Riau] ayahanda Tennas Effendi? Sementara pada saat yang sama, sudah puluhan tahun pula, dalam peradaban modern, bagaimana konflik-konflik di Timur Tengah timbul dan tenggelam tanpa mereka dapat selesaikan dengan kearifan Agama Islam.
Di lain pihak pula MM mengklaim bahwa pada umumnya sistem nilai dan tata susila orang Melayu-lah yang menjadi halangan kepada kemajuan mereka sendiri (1982: 205). Orang Melayu masih bersifat feodal walaupun mereka telah menerima pendidikan modern dan mempunyai keahlian dalam politik (1982: 124). Bagi pemimpin-pemimpin bukan Melayu mereka melihat perilaku sopan-santun dan perasaan takut orang Melayu kepada huru-hara adalah kelemahan yang dapat dimanfaatkan dan bukan untuk difahami (1982: 144). Dalam banyak kesempatan di dalam bukunya itu MM memaparkan bagaimana hal itu menjadi kesimpulannya.
            Namun kebudayaan tidaklah bersifat statis. Sejalan dengan EPA31) yang berpendapat “... sesungguhnya budaya Melayu sentiasa boleh disesuaikan dengan pembaharuan, pertumbuhan, dan perkembangan, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya”. Kata EPA selanjutnya, “Kelenturan budaya Melayu boleh kita lihat pada struktur dan keterbukaan sistem bahasanya.”
            MM pula jauh sebelumnya juga sudah melansir kemungkinan ini32) dengan menawarkan bahwa “Jika orang-orang Melayu hendak dipulihkan semula, maka semua sikap dan nilai yang telah membawa kepada dilema mereka sekarang mestilah dikaji dan dinilai dan di mana yang perlu ditinggalkan atau diubah.” (1982: 136)
            Menurut Penulis, kebudayaan adalah inti peradaban. Pendapat ini Penulis rasa sejalan dengan berbagai defenisi atau pendapat yang disampaikan antara lain oleh Wallerstein, Dawson, Durkheim, dan Mauss & Spengler misalnya, yang mengindikasikan bahwa peradaban [setidak-tidaknya] lahir, atau berkembang, atau merupakan produk dari kebudayaan. Atau dalam simpulan Samuel P Huntington: “Kebudayaan merupakan tema umum dalam kaitan dengan setiap rumusan peradaban”. (2001: 40).
            Untuk mengembangkan, menghasilkan, terlebih melahirkan [untuk menjadi] sebuah beradaban yang baru, masyarakat tersebut harus memiliki kemauan dan kekuatan pula untuk berubah; tetapi juga tidak hanya cukup masyarakat pendukungnya semata, melainkan – dan terutama dalam banyak kasus – memerlukan peran pemimpin yang cakap, kuat, dan berpihak pada masyarakatnya. Pemimpin yang bodoh, lemah, dan mengabaikan masyarakat – apalagi berperilaku tidak berbudaya – maka tidaklah dapat diharapkan; sebagaimana yang telah diperingatkan Raja Ali Haji dalam Tsamarat al-Muhimmah33) sebagai berikut:
“Raja yang jelek dapat dilihat dari sikapnya yang congkak, iri hati, jahat, serakah, menghambur-hamburkan uang, tak acuh terhadap soal-soal administrasi, penipu, tidak memiliki humor, dan bersifat menghambat.”

            Maka, wahai Manusia Melayu, barangkali dengan sedikit percikan permenungan ini dapatlah agaknya menjadi tantangan yang menggairahkan, apakah kita ingin menjadi Manusia Melayu yang dapat menyelesaikan cabaran masa kini dan masa depan hingga mampu mencapai keagungan tamaddun Melayu [Riau] di masa yang tidak jauh di depan, atau sekadar jatuh sebagai “manusia indonesia” yang mengecewakan Mochtar Lubis itu?

Payungsekaki, 04 September 2014.
www.gdeagunglontar.blospot.com
www.metropolitan-payungsekaki.blogspot.com


CATATAN AKHIR :
1)      Diubah-suai dari Martin Heidegger “Being-unto Death”.
2)      “Budaya Melayu dan Tantangan Zaman”, dalam Dialog Selatan I, 1995, h: 147.
3)      Dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed.).
4)      “Puisi Melayu dan Puisi Dunia”, dalam Rumah Sastra Indonesia, 2002, h: 37.
5)      Menarik barangkali untuk dikaji oleh pakar linguistik bagaimana dalam bahasa [lisan] Melayu dikenal apabila sebuah kata yang berawalan huruf vokal mendapat “imbuhan” h bermakna memperoleh semacam penekanan yang lebih/paling kuat. Kata semacam ini cukup banyak bertebaran di dalam novel ini, atau yang barangkali sering kita dengar seperti kepala hotak atau aku hembat.
6)      Pertanyaan intermeso: apakah ketika dialog ini muncul Yam sudah terlebih dahulu melihat gambar/foto yang dimaksud?
7)      Menyebutkan aliran yang diusung pada suatu karya sastra sesungguhnya beresiko, karena paling tidak ada dua alasan: resistensi/penolakan dari pengarangnya, serta sistematika dan kategori-kategori aliran itu sendiri yang tampaknya masih diperdebatkan. Karena itu makalah ini menempatkannya dalam tanda petik, dengan maksud hanya sebagai pembayang yang sederhana belaka.
8)      Adanya latar waktu yang kuantitatif mungkin akan menggiring sebagian pembaca untuk menganggap sebuah fiksi benar-benar bersifat realis; namun Penulis berpendapat hal itu tidak selalu demikian.
9)      Namun ada beberapa “cabang” dan “ranting” lainnya yang cukup untuk membuat TA harus dibaca dengan konsentrasi yang cukup tinggi.
10)    Tun Amoy tidak menyadari bahwa ia keturunan Bugis + Jepang.
11)    Apakah ini sekadar klaim emosional sang tokoh? Karena pada narasi paragraf sebelumnya disebutkan “... ia lahir dari rahim seorang perempuan ... di negeri Bugis sana, ....”
12)    Sebenarnya di dalam cerita, ini lebih ditujukan pada para penguasa (Camat, petugas keamanan) yang orang Jawa; namun dalam konteks ini maksudnya dapatlah kita perluas.
13)    Penulis juga pernah menimbang-nimbang “persoalan” ini.
14)    Salah satu, kalau tidak salah, termasuk MZ sendiri (dari latar pendidikan).
15)    Ini adalah kategori yang umum dilekatkan pada Iwan.
16)    Di sini diluaskan menjadi sastra, atau setidaknya fiksi.
17)    Meskipun sempat digoyang oleh Saman dan tetralogi Laskar Pelangi.
18)    Bahkan ada stasiun tv yang nyaris 24 jam menayangkan serial sinetron melulu, banyak yang berupa sinetron stripping, dengan panjang episode yang berjela-jela, namun alur cerita yang meliuk-kusut tak jelas ujung-pangkalnya. Sering terjadi perdebatan apakah sinetron yang demikian itu bermanfaat bagi masyarakat, namun pihak sinetron berkilah bahwa selalu ada pelajaran yang dapat dipetik dari “kata-kata yang bijak” atau pengisahan sebab-akibat di dalamnya.
19)    Ada kontroversi mengenai pernyataan semacam ini.
20)    Dalam Ahyar Anwar (2012: 50).
21)    Ibid, h: ....
22)    Barangkali pernyataan yang muncul oleh karena harus adanya regangan konflik yang bermakna dalam sebuah karya sastra.
23)    Loc cit, h: 209.
24)    Barangkali maksudnya adalah “persepsi fisikal”.
25)    Loc cit, h: 300.
26)    Pernyataan yang dapat menimbulkan kontroversi. Tetapi barangkali HSAP dapat melihatnya bukan secara parsial. Kepribadian Melayu adalah kumpulan dan kelindan seluruh ciri-ciri di atas. Dalam analogi membuat kue, kue semprit dan roti sama-sama ada menggunakan bahan terigu dan mentega, tetapi semprit menggunakan maizena yang tidak terdapat pada roti, dan roti menggunakan ragi yang tidak terdapat pada kue semprit. Barangkali demikian.
27)    Boleh juga dibaca “Jerebu Riau” dalam Riau Pos, 27 April 2014.
28)    Penulis jadi curiga, ada apa antara MZ dan Tun Teja.
29)    Dalam Dialog Selatan I (1995: 144).
30)    Dalam Alam Melayu (2003: 101).
31)    Loc cit, h: 144.
32)    Dan inilah agaknya dapat kita saksikan pengaruhnya pada bagaimana keadaan [Melayu} Malaysia terkini.
33)    Dari Mahdini “Budaya Melayu ... dst” dalam Alam Melayu (2003: 103).

BAHAN BACAAN :
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (ed.). Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bersama Adicita Karya Nusa, Oktober 2007.
Amanriza, Ediruslan Pe. Dikalahkan Sang Sapurba. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2000.
Anwar, Ahyar. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Aveling, Harry. Rumah Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera, 2002.
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional. Terj.: T Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Hamidy, UU. Jagad Melayu Riau dalam Lintasan Budaya. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, Januari 2004.
Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001.
Jamil, Taufik Ikram. Gelombang Sunyi. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2009.
Mohamad, Mahathir bin. Dilema Melayu. Terj.: Ibrahim bin Saad. Selangor: Federal Publications, 1982.
Persatuan Penulis Johor (PPJ) 1995 (ed.). Dialog Selatan I. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1995.
Rahman, Elmustian dan Tien Marni dan Zulkarnain (ed.). Alam Melayu: Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan. Pekanbaru: UNRI Press, 2003.
Sastrowardoyo, Subagio. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Simatupang, Iwan. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Oktober 2004.
Zaini, Marhalim. Tun Amoy. Pekanbaru: Gurindam Press, 2008.



ESAI ini adalah makalah yang dibentangkan dalam Diskusi Sastra se-Sumatera yang dilaksanakan di Hotel Pangeran Pekanbaru, pada tanggal 12-09-2014, dalam rangka kegiatan Pekan Sastra 2014 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Riau.