CERPEN



(www.facebook.com)
Please Stay With Me At Least ‘Till Dawn



            “Aku ingin membeli mimpi.” katamu suatu kali. Hari itu hujan turun lebat sekali. Malam gelap larut dalam deru. Suara rantak hujan yang menghunjam seperti terdengar mendentam, hingga kita berdua kesulitan untuk saling mendengarkan. Tapi udara yang sejuk, membuat kita kian merapat.
            “Mimpi?”
            “Ya.”
            “Kenapa?”
            “Karena aku tidak pernah mempunyai mimpi, Sayang.”
            Angela memang selalu kesulitan untuk tidur; setidak-tidaknya seperti yang dikatakannya dan apa yang aku ketahui pada waktu-waktu tertentu seperti ini. Sementara, bukankah tidur adalah kendaraan untuk menuju pulau mimpi? Mungkin aku pengidap insomnia, ya; begitu katanya mencoba menganalisa. Tapi, perempuan seperti Angela memang selalu sulit untuk mendapatkan tidur – setidak-tidaknya tidur di malam hari, sebagaimana orang-orang normal lainnya. Akhirnya mungkin karena itu jam biologisnya pun terganggu, berubah, lalu kemudian menjadi kacau sama sekali.
            “Lalu, mimpi siapa yang ingin kaubeli?”
            “Siapa pun yang bersedia menjualnya.”
            “Aku bersedia, bahkan kau tidak perlu membayarnya.”
            Ya, Angela tidak perlu membayarnya. Bukan saja karena dia sangat cantik dan menawan, bukan saja karena aku terlalu suka kepadanya, tetapi juga karena aku punya terlalu banyak mimpi. Bukan saja ketika aku tertidur, bahkan juga saat-saat aku masih terjaga. Aku adalah pemimpi yang luar biasa.
            “Jangan. Aku tetap harus membeli. Tapi sebaiknya bukan dari kamu, Sayangku.”
            “Tapi, kenapa?” aku sedikit tersinggung, atau mungkin juga cemburu.
            “Kalau mimpi-mimpimu menjadi milikku, aku takut aku jadi terlalu banyak mengetahui rahasiamu. Ketika itu terjadi, aku takut tak ada lagi misteri.”
            “Bukankah itu bagus? Kita jadi saling terbuka, transparan, tak ada rahasia gelap lagi di antara kita berdua.”
            “O El Arif, apakah engkau akan masih tertarik pada sebuah novel yang sudah engkau ketahui isinya meskipun engkau belum pernah membacanya?”
            Aku termangu. Tak bisa membantah, tapi juga tak bisa mengiyakan.
            “Baiklah. Kalau begitu mimpi siapa yang ingin kaubeli?”
            Suaraku terdengar agak serak dan tertahan; mungkin karena menanggung perasaan.
            “Apa?”
            Suara angin menghantam kaca jendela kamar di lantai 6 ini.
            “Jadi, mimpi siapa yang ingin kaubeli?”
            “Sudah kukatakan, siapa saja. Asal menarik.”
            “Baiklah. Kalau begitu, mimpi yang seperti apa?”
            “Apa saja, Sayang.”
            “Ada masalah di sini.” Aku tiba-tiba seperti mendapat gagasan bagus. “Engkau ingin membelinya ketika mimpi itu sudah terbentuk, atau sebelum?”
            “Apakah ada bedanya?”
            Aku termangu lagi. Ya, apakah ada bedanya? Sudah terbentuk atau belum, kedua-duanya tetaplah mimpi. Lalu, apakah yang aku maksudkan dengan sudah terbentuk itu? Apakah sudah terbentuk di dalam alam tidur, atau alam pikiran, ataukah alam nyata? Aku punya banyak sekali mimpi, tetapi hampir tak satu pun yang berhasil mewujud ke alam nyata. Aku terlalu bodoh untuk melakukan itu semua, atau barangkali terlalu sial.
            Jadi, aku sudahi saja perbincangan tentang membeli mimpi itu, dan aku kembali mengajaknya bercinta.
           
            Kami bertemu kembali seminggu kemudian di tempat yang sama, sebuah hotel berbintang tiga di pinggiran kota itu. Aku memang sering bertugas keluar kota, dan kami sudah saling mengenal setidaknya selama enam bulan. Seorang relasiku yang mempertemukan kami, dan sejak itu aku tak pernah mengalihkan perhatian. Kecantikannya terlalu likat untuk membuatku cengkelat; keramah-tamahannya, dan kelembutannya jauh sekali dari yang pernah aku alami selama ini. Terus-terang, ia persis seperti salah satu di antara mimpi-mimpiku yang paling ingin kuwujudkan. Meski kemudian berhasil menjadi nyata, tetap saja bukan aku yang mewujudkannya, tetapi relasiku itulah.
            Dan sekarang, kurasa aku sudah terlalu mencintainya.
            Kalau tidak ada kota yang lain, kantor, rumah, dan empat orang yang menunggu tanggung-jawabku di dalamnya; niscaya aku tidak akan pernah kembali.
“Jadi, sudahkah engkau berhasil membeli mimpi seperti yang engkau angan-angankan itu?” tanyaku setelah kami bercinta sekali dan malam baru menjelang. Di luar jendela kaca, lukisan bintang-bintang bercahaya benderang di latar biru gelap dan bulan melengkungkan tubuhnya.
Dia tertawa sejenak. Itu membuat lingerie transparan yang hanya disampirkannya ke permukaan tubuh melorot separuh.
“Apakah pembicaraan itu begitu penting, Sayangku?”
Aku jadi bengong sendiri.
“Bukankah kemaren engkau begitu menginginkannya?”
“Aha.”
Hanya tersenyum dalam diam, hingga beberapa menit kemudian.
“Engkau mungkin belum terlalu banyak kenal perempuan, Sayang.”
“Begitukah?” Aku tak tahu, apakah itu pujian, sindiran, atau justru celaan. Yang aku pelajari, kata-kata perempuan seringkali hanyalah jebakan. “Tapi, kalau engkau masih ingin membelinya, mimpi seperti apakah yang engkau kehendaki?”
“Mimpi seperti apa?” Angela menarik selimut, hingga lewat atas puncak dada. “Aku tak mengerti, Sayang. Tolong jelaskan.”
“Ya, jenisnya. Mungkin engkau ingin mimpi menjadi kaya, ingin mimpi memiliki rumah yang besar, atau mimpi mendapatkan seorang suami yang ganteng seperti aku ….”
Aku mencoba tertawa dengan menganggapnya lucu. Angela hanya tersenyum lebar.
“Bukankah aku sudah mendapatkan semuanya?”
“Sudah?” aku tak mengerti. “Maksudmu ….”
Yang aku tahu Angela bekerja di Venuz Spa. Tak mungkin ….
“Pada saat-saat seperti ini aku sudah memiliki rumah yang besar: hotel ini sebuah rumah yang besar, bukan? Aku juga sudah kaya, karena di sini semua yang aku inginkan tinggal panggil pelayan, bukan? Dan, seorang suami yang ganteng? Bukankah itu memang dirimu, Sayangku?”
Aku jadi tertawa sungguhan mendengar jawabannya. Aku tahu ia hanya bercanda, tapi sungguh menyenangkan. Orang sering lupa pada hal-hal yang kecil yang menyenangkan.
“Tapi, itu kan hanya sesaat, Angel? Bagaimana kalau kita abadikan?”
“Tapi, apakah keabadian itu? Ikatankah atau kenangan, Sayang?”
“Dua-duanya.”
“Ah, kau begitu rakus, Sayangku.”
Dia mengusap pipiku.
“Karena aku memiliki banyak mimpi, Angela.”
“Baiklah. Sekarang, kalau kau diberi kekuasaan untuk mewujudkan seluruh mimpimu itu, mimpi tentang apakah yang paling pertama sekali yang ingin kauwujudkan?”
“Tentu saja mimpi untuk tetap selamanya berdua denganmu, Angel.”
Angela tersenyum.
“Tidak termasuk yang itu, Sayang.”
“Kenapa begitu? Nggak fair namanya itu.”
“Karena ada aku di situ.”
“Bukankah itu bagus?”
“Bagus untukmu, Sayang; tetapi justru jadi tidak fair untukku, karena dengan demikian berarti aku tidak punya pilihan. Aku jadi tidak punya kehendak bebas.”
“Wow!” aku berdecak. “Kau jadi seperti filsuf saja.”
“Bukankah engkau yang mengajarkannya, Sayang?”
Aku tertawa senang. Kadang-kadang tanpa kusadari dalam pembicaraan dengan Angela aku memang suka berbahasa “tinggi”. Pengaruh bacaan-bacaan filsafat yang kusukai selama kuliah dulu, meski bukan merupakan bagian dari silabus karena aku kuliah di fakultas teknik, agaknya tanpa disadari membenam cukup dalam di laci-laci otakku yang ketika itu masih penuh dengan syaraf-syaraf idealisme. Tapi, juga mungkin tanpa disadari ia keluar karena aku ingin menunjukkan kedalaman pikiranku di hadapan perempuan ini ketika kusadari ia pun ternyata memiliki pemikiran yang cukup mendalam untuk diajak berbincang-bincang.
Hampir tiga tahun berlalu sejak aku memperoleh kenaikan jabatan di kantorku sehingga aku seringkali harus bertugas keluar kota seperti ini, hari-hari seperti ini jadi begitu menyenangkan bagiku. Aku jadi memperoleh ruang dan waktu untuk keluar dari rutinitas kehidupan sehari-hari dalam belasan tahun yang seringkali membosankan. Baik di kantor, baik di lingkungan, maupun di rumah. Kalau di kantor dengan orang-orang yang seringkali seperti serigala yang tak segan-segan meremukkan tulang temannya sendiri demi sebuah bangkai yang menjijikkan. Kalau di lingkungan penuh dengan orang-orang yang munafik serta mengoleksi banyak topeng. Dan di rumah yang penuh dengan kebisingan repetan, pertengkaran, dan tuntutan.
Televisi di dalam kamar itu kemudian menyiarkan lagu-lagu nostalgia. Beberapa penyanyi senior kemudian bermunculan secara bergantian. Ada juga Daniel Sahuleka, yang baru pulang dari Belanda.
“Sekali ini, engkau di sini sampai pagi, ya kekasih?”
Tiba-tiba aku berkata; Don’t Sleep Away Daniel seperti mendadak mencuil bawah sadarku agaknya. Angela selalu pergi sebelum memancar jingga sulung matahari pagi. Aku ingin selalu ada di rumah ketika Laila pergi dan pulang sekolah; alasannya selalu.
Jadi, sekali lagi dia menggeleng.
“Engkau tahu tak mungkin, Sayang.”
“Sekali ini saja.”
Anggela membalik, lalu mengusap daguku dengan sangat lembutnya.
“Aku akan memberikan seluruh waktuku sebanyak yang engkau inginkan, Sayang; tetapi tidak antara subuh dan siang hari.”
“Sekali ini saja.”
Aku mencoba mengulang dengan keras kepala. Tapi Angela akhirnya hanya senyum belaka.
“Atau, bagaimana kalau seperti yang aku katakan tadi?”
“Apa itu?”
“Soal mimpi tadi, ingin berdua denganmu selamanya?”
“Engkau melamarku, Sayang?” Matanya seperti berbinar.
“Iya. Begitulah.” Aku bersemangat.
“Tetapi, bagaimana dengan yang di kota sana?”
“Eh, eng ….” aku malah agak tergagap. Sial. Seperti tak pernah terpikirkan saja. “Tapi, bukankah di lain kota …. Tidak masalah, bukan?”
“Ah, jangan begitu, Sayangku.”
“Habis, engkau tak mau menemaniku sampai pagi. Apalagi siang.” aku pura-pura merajuk. Angela tertawa. Persis Laila; katanya.
Kami bercinta sekali lagi, lalu Angela bersiap-siap untuk pergi. Pukul empat sudah merangkak lewat.
“Jadi, engkau tetap tak bisa sampai pagi untuk sekali ini?”
Angela hanya tersenyum lembut.
“Tak khawatir kalau kita tidak akan dapat bertemu lagi?”
“Selalu ada waktunya, Sayangku. Selalu ada waktunya.”
Menjelang azan, Angela pun pamitan.
Di televisi, kembali Daniel bernyanyi. Sudah menjelang penghujung ketika pintu kamar hotel itu perlahan-lahan kututup.

Don’t sleep away this night my baby.
Please stay with me at least ‘till dawn.
It hurts to know another hour has gone by.
The reason is still I love you.


Aku tak tahu apakah kemudian kami memang tidak pernah lagi dapat bertemu, seperti yang aku rajukkan. Aku hanya ingat suatu kali pembuluh darah di kepalaku mengalami perekahan selepas sebuah sidang di majelis kehakiman. Kasus proyek nyaris fiktif itu betul-betul membodem ubun-ubunku hingga padam.

Payungsekaki, 130610.
 Publikasi #1: Riau Pos, 031010.

In Memoriam: Nurani
www.speakloudhere.wordpress.com


            “Nurani sudah pergi.” katamu. Hari itu panas meranggas. Langit berwayang fatamorgana. Suhu sudah berbulan-bulan melonjak tinggi dari biasanya; tak terkejar lagi oleh angka-angka yang dicatat badan statistik.
            Kusibakkan lembar koran yang sedang kubaca, menatap sejenak ke wajahmu yang baru tiba. Huruf-huruf pun terbang berhamburan. Begitu pula dengan gambar-gambar. “Uang Sekolah Mencekik”. “Harga Bahan-bahan Pokok Saling Berkejaran”. “Kasus BLBI Terkatung-katung”. “Trisakti & Semanggi: Quo Vadis?”. “Almarhum Munir Dibunuh oleh Racun”. “Beranak, Bernapas, dan Berkubur dalam Lumpur Ladosa”. “Reformasi Sudah Mati”. “Tardji: Di Mana Mata Air Tanah Air Matamu?”. Bla bla bla. Kulempar semua itu. Terdengar bunyi pekikan kertas yang mungkin tersobek dan berserakan.
            “Kauyakin?”
            “Tentu saja. Kaupikir, aku siapa?”
            “Aku tak berpikir kau siapa, tetapi apa yang kaukabarkan.”
            “Seletop!”
            “Engkau melihatnya?”
            “Dia kan sudah pergi.”
            “Maksudku, apakah engkau melihatnya ketika dia pergi?”
            “Dia pergi begitu saja.”
            Aku segera membayangkan, pastilah prosesi pemakamannya ramai sekali. Semua orang menyukainya. Siapa kan tidak. Lekuk bibirnya yang lembut yang meliuk merekah. Tutur katanya yang merdu yang keluar dari sela bibirnya yang meliuk merekah itu. Wangi harum kesturi yang melayang dari balik bibirnya yang meliuk merekah itu juga. Segar sepasang pipi pauhnya yang meliuk merekah merona. Dagu yang sarang lebah yang meliuk merekah berbelah. Hidung bangir yang teguh meliuk merekah dada. Dan sepasang telaga bola mata yang teduh meliuk merekah badai. Siapa kan tidak?
            Tapi, mungkin juga tidak. Siapa kan tahu?
            “Tapi, tunggu dulu. Apa maksudkau dengan ‘dia pergi begitu saja’? Dia sekadar pergi, atau dia sudah tiada?”
            “Apa bedanya?” katamu.
            “Tentu saja ada, bahlul.”
            “Bagikau aku rasa tidak.”
            “Bagiku aku rasa ada.”
            “Kalau begitu, engkaulah yang seharusnya membagi tahu aku!” tetiba dia memburangsang. “Tetapi nyatanya tidak. Engkau bahkan sudah berbulan bertahun tidak memedulikannya. Engkau tidak punya hak lagi.”
            “Bukan engkau yang menentukan apakah aku masih punya hak ataukah tidak. Engkau bukan apa-apa.”
            “Tetapi nyatanya aku adalah sesuatu!”
            Aku ingat, sudah empat puluh purnama aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Nurani. Astaga, mungkin hari ini tepat akhir purnama yang keempat puluh. Kami bertengkar, dan aku pergi meninggalkannya. Esoknya aku dengar dia jatuh sakit. Rasa engkau; sempat makiku dalam hati ketika itu. Setengah bangga aku melompat-lompat kegirangan, dari satu tumpukan awan ke tumpukan awan lainnya. Angin pun ikut lalu menderu bersamaku, dan matahari dan bulan tersenyum sipu.
            Sebenarnya bukan maksud hatiku benar untuk meninggalkannya. Tentulah. Kami hanya bertengkar; hal yang biasa sebetulnya. Siapa pula tidak. Laki-bini, adik-kakak, bapak-emak, sahabat-karib. Tapi aku marah betul hari itu. Tapi, itu pun sebetulnya hanyalah merupakan punca dari kumpulan kejengkelan. Tapi, siapa kan dapat sungguh-sungguh kesal dengan Nurani? Tutur wangi dan sepasang telaga teduh itu? Itulah justru yang juga membingungkan aku. Aku justru marah karena dia serba terlalu baik itu. Terlalu lembut, terlalu merdu, terlalu wangi, terlalu merona, terlalu teguh, terlalu teduh. Karena itu semua Nurani jadi memang paling disayang semua orang; tetapi karena itu semua pula Nurani jadi paling sering dipermain-mainkan orang!
            Begitulah, hari-hari ini kebaikan memang sering jadi bahan permainan; dan Nurani adalah permainan yang paling menyenangkan karena dia tidak pernah marah, tidak pernah jengkel, tidak pernah kesal, tidak pernah sebal, tidak pernah merajuk, dan tidak pernah bilang tidak. Semuanya tetap saja dia berikan tutur wangi dan sepasang telaga teduh miliknya itu; meski langit di atas kepalanya hendak runtuh.
            Jadi, itulah. Berkekali sudah aku mengingatkan kepadanya, kebaikan sekarang begitu mahal harganya; jangan terlalu mudah menghambur-hamburkannya begitu saja. Kalau itu yang dilakukan terus-menerus, kelak akhirnya tidak akan punya harga, karena sudah berserakan di luar sana, dan hanya menjadi bahan permainan belaka. Tetapi, lagi-lagi seperti pada yang lainnya, aku pun mendapatkan tutur wangi dan sepasang telaga teduh. Karena itu aku mengamuk dan kemudian meninggalkannya begitu saja. Kalau orang tidak mau mendengar apa yang kita katakan, kita tidak perlu mengatakan apa pun kepadanya.
            Sejak hari itu, aku tak pernah lagi berjumpa-jumpa dengannya. Dia dikabarkan sakit, memang; tetapi apa peduliku. Tetapi, akhirnya aku peduli juga. Minggu ketujuh, aku mendatanginya. Tubuhnya tampak terbujur lemah, tetapi wangi dan lekuk senyum masih juga berhamburan. Aku berusaha tidak memperlihatkan keprihatinan. Aku bahkan hanya berbicara dengan nada datar.
            “Sudah berobat?”
            Dia mengangguk.
            “Tapi engkau masih sakit juga.”
            Dia hanya tersenyum.
            “Agaknya betul apa yang pernah aku bilang.”
            Tatapan matanya menatap lembut.
            “Lihatlah, rasa-rasanya tidak ada lagi yang memedulikan engkau begitu engkau terbujur lemah seperti ini. Semuanya seperti telah melupakan engkau. Yang engkau sayang-sayang dulu, yang engkau bagi-bagi senyum dulu.”
            Tatapan matanya kian teduh. Bilik sepi. Hanya suara angin berdesir di luar. Rumah yang biasa begitu ramai dengan tatapan kagum dan kata-kata sanjungan dan cari-cari kesempatan sekarang terasa begitu sunyi, seperti peti mati yang dilarung sendiri.
            Akhirnya kataku,
            “Semoga cepat sembuh.”
            “Terimakasih.”
            Aku pun pergi.
            Lalu aku mendapat berita di mana-mana ada bencana. Beberapa temanku sibuk melakukan pekerjaannya. Kata mereka, “Ada perintah cuci bersih. Begitu banyak yang harus dikerjakan, tetapi begitu sedikit waktu yang tersisa. Jadi, kami cuci saja semuanya.” Aku hanya tertawa. Apa peduliku? Aku pun tetap terus bermain-main di gelembung awan, berloncatan antara matahari dan bulan, kadang-kadang sampai ke surga selatan.
            “Engkau tak berniat datang menjenguk?” tanya temanku itu dengan wajah sayu. Ronanya yang semula merah berubah jadi keemas-emasan. Tetapi jangan cepat terkecoh, dia adalah pemain watak yang tiada duanya. Aku saja sekali-sekala terpedaya juga. Dia kemudian memungut kertas-kertas koran yang berserakan tadi. “Aku tak pernah membayangkan engkau akan setega itu kepadanya. Kebersamaan kalian berdua tak pernah aku bayangkan akan berserakan seperti lembaran-lembaran koran ini. Kalau saja aku masih seperti yang dulu, aku mungkin akan segera menggantikan tempatmu.”
            “Jangan mimpi! Cuih!”
            “Oh, engkau ternyata sama saja dengan aku.” Dia tertawa. “Tapi sudahlah, ini bukan soal kita berdua. Ini tentang Nurani. Engkau tidak ingin melihatnya untuk yang terakhir kali?”
            Engkau tidak ingin melihatnya untuk yang terakhir kali? Kata-kata itu mengiang kembali. Itu pernah diucapkannya berselang waktu yang lalu. Purnama ketujuh belas setelah aku meninggalkan Nurani. Aku mendatanginya lagi. Temanku itu bersamaku, tersenyum tersipu-sipu di belakangku. Aku tahu itu tetapi aku tidak memedulikannya. Nurani terbujur hampir kaku. Tapi tutur wangi dan sepasang telaga teduh itu tak juga hilang. Aku lalu duduk di sudut. Sulur-sulur belukar sudah tampak menjalar kian kemari. Kamar lembab. Angin senyap. Tingkap pengap. Aku ingin menangis. Tapi dia begitu teguh. Jadi, aku tak jadi. Kami berdiam diri begitu lama. Lalu aku terkenang-kenang saat kami masih bersama. Dunia serasa begitu damai. Orang-orang ramai. Canda dan tawa ada di mana-mana. Si miskin dan si kaya sama saja. Siapa yang terjatuh dibangunkan. Siapa yang tersesat dipulangkan. Siapa yang terlampau tak akan melampaukan. Bunga-bunga pun bermekaran. Hewan dan hutan bernyanyi riang. Sungai pun mengalirkan buluh perindu.
            Tapi, itu semua sudah berlalu. Dia sekarang kian terbujur kaku. Lihatlah, hanya bertemankan rindu. Orang-orang lain, semua sudah melupakannya. Peduli!; begitu mungkin kata mereka. Ketika malam tiba, aku pun kemudian pergi. Tanpa kata-kata.
            “Jadi, bagaimana? Kalau iya, kita bisa pergi bersama.” tanya temanku itu lagi. Kali ini ia mencoba tersenyum wangi dengan air mata telaga yang teduh. Kurang ajar! Dia memang paling bisa!
            “Kita tidak perlu pergi bersama.”
            “Sudahlah …. Bukankah sudah aku katakan tadi, ini bukan persoalan tentang kita. Ini tentang Nurani, dan dia sekarang sudah pergi. Kenapa engkau masih berhitung-hitung lagi?”
            “Aku tidak berhitung.”
            “Aku melihat begitu.”
            “Aku tak peduli apa yang kaulihat.”
            “Baiklah.”
            Dia kemudian diam, dan duduk bersandar. Kertas koran dibentangkannya, dan aku terpaksa terbaca lembaran belakangnya. “Minyak Goreng Melicinkan Harga”. “Siswa Institut Parapraja Saling Tendang dan Hantam”. “Petani Makan Gabahnya Sendiri”. “Gula Manis Dirubung Semut Berdasi”. “Cara Pukau Jual Pulau”. “Mati Di Lumbung Cara Republik Mimpi”. “Beli Dasi Buat Gantung Diri”. Dan bla bla bla bla bla ….
            “Bila dia pergi?” tanyaku tiba-tiba.
            Kresekkrekkrekkrek! Terdengar bunyi kertas koran yang disibak cepat dan kemudian dilipat empat. Temanku tersenyum.
            “Menurutmu?”
            “Jawab sajalah. Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”
            “Malam tadi, jam dua belas. Puas?”
            “Jam engkau, jam aku, atau jam-Nya?”
            “Apa yang engkau pedulikan tentang hal itu?”
            Agaknya tak ada; jadi aku hanya terdiam saja.
            “Baiklah. Mari kita pergi.”
            Tidak seperti beberapa puluh purnama yang lalu, tak kusangka rumah itu sekarang terlihat sudah cerah kembali. Tak ada sulur, tak ada belukar, semak-semak pun sudah terpangkas dengan rapi. Dinding sudah dicat kembali dengan warna yang meriah, dan orang-orang pun sudah ramai memenuhi rumah dan halaman. Doa-doa berkejaran dipanjatkan. Puja dan puji melelayang kesana kemari. Wajah-wajah yang sedih, tersenyum, berduka, terbata-bata. Saling bercerita.
            “Beliau dulu selalu membawa kebahagiaan bagi kita semua.” kata seseorang yang berkacamata.
            “Kepadaku lebih lagi. Aku hampir-hampir saja mencelakakan anakku sendiri karena semula tak ada yang menginginkannya sementara kehidupan hari-hari ini begitu sulit. Tetapi beliau berhasil membimbingku kembali ke jalanku semula.” kata seorang perempuan pula.
            “Terhadap aku beliau lebih-lebih lagi. Aku nyaris saja mencelakakan diriku sendiri. Tetapi beliau membuat tali penggantungku putus sehingga aku terjatuh dan kepalaku terbentur ke kaki kursi. Dan tiba-tiba saja kepalaku jadi terasa begitu lapang.”
            “Beliau selalu membuat anak kecil tertawa.”
            “Kita juga.”
            “Terkadang beliau tak segan-segan masuk ke dalam kampung dan gubuk kumuh kami.”
            “Beliau mengajar anak-anak kita meski dengan buku seadanya.”
            “Tetapi berisi tentang dunia.”
            “Beliau mengajak kita mengingat kita semua.”
            “Dan beliau mengajarkan aku supaya pandai berbagi.”
            Temanku tersenyum-senyum. Aku tidak tahu, apakah ia bermaksud ingin membanggakan apa yang terjadi saat ini, ataukah sekadar merasa senang hati saja.
            Ruangan dalam hampir penuh sesak; jadi kami berjalan perlahan-lahan di sela-sela meskipun tak juga kan terasakan. Dia sekarang sudah dibaringkan di tengah-tengah ruangan yang lapang. Wajahnya terlihat tenang, lagi-lagi masih dengan senyum dari lekuk bibirnya yang lembut meliuk merekah. Hanya kali ini tanpa sepasang telaga teduh lagi; kedua bola matanya itu sekarang sudah tertutup rapat.
            Sementara senandung doa dan rapal-rapal peribadatan terasa mengambang tumpat di dalam ruangan ini, membah dengan cepat dari bibir-bibir yang berkecipak ramai. Lihatlah Nurani, lihatlah, wajah-wajah pengagummu. Sungguh mengagumkan setelah sekian lama melupakanmu ternyata mereka masih ingat padamu - setidaknya di saat terakhirmu. Ketika sorotan perhatian dunia menghadap ke arahmu, mereka perlu tampil untuk memperlihatkan diri mereka. Tetapi apakah mereka masih mencintaimu dengan setulus hati, itulah persoalan yang pernah menjadi bagian dari perdebatan kita dahulu. Karena engkau tetap berkeyakinan: biarlah mereka mungkin tidak mencintaiku, tetapi setidaknya mereka berusaha mencintaiku. Padahal aku sudah mengatakan, engkau hanya sekadar jadi permainan.
            Prosesi mulai berjalan. Pidato, doa panjang, salvo, dan ucapan salam perpisahan. Jasadmu pun lalu dikuburkan, ditimbun, dan kemudian sebuah nisan kayu dipancangkan. “Telah Bersemayam di Sini, Dia yang Mencintai Kami Semua.” Kamera pun selesai. Semua pun pulang.
            Tinggal kami berdua.
            “Engkau tidak menangisi kepergiannya?” katamu agak lama kemudian.
            “Untuk apa?”
            “Bagaimana pun, dia adalah pasanganmu, bukan?”
            “Aku lebih menangisi orang-orang yang telah ditinggalkannya.”
“Begitu. Baiklah, sampai jumpa lagi.”
Ketika langit mulai gerimis, engkau pun pergi, temanku, terbang dengan mengendarai trisula berapimu. Sementara buntutmu yang meruncing matapanah berayun-ayun di belakang, seperti biasa. Aku sendiri masih terus menatap nisan yang mulai basah itu. Setelah bosan kemudian berdiri dan segera mengembangkan keempat puluh pasang sayapku lebar-lebar. Aku menatap, sepasang di antaranya seperti pernah kulakukan lama berselang, besok harus segera kucabut dan kutanamkan ke pohon zaitun suci untuk melahirkan kembali Nurani. Hmh, padahal sungguh sulit sekali untuk menumbuhkannya lagi.
PBR, 200707.
Juga untuk mengenang Taufik Savalas.
 Publikasi #1: Riau Pos, ................

 

Kucing Schrödinger [CERPEN]

wikipedia.org/wiki/Schrödinger's_cat

Ya, kucing itu sekarang ada di dalam sebuah kotak besar. Sebuah kamar; katakanlah begitu, supaya Anda sedikit lebih lega. Tetapi tak ada apa-apa lagi di sana. Kosong. Kecuali hanya sekeping pinggan yang pada permukaannya terhidang beberapa potong daging. Kita boleh memilih daging rusakah, daging lembukah, daging ayamkah, atau bahkan daging tikuskah; itu tak jadi soal. Kita juga boleh memilih daging-daging itu disajikan dengan olahan yang bagai-mana. Disemurkah, direndangkah, digulaikah, didendengkah, digorengkah, atau bahkan sekadar direbuskah; itu tak jadi soal. Yang penting dan yang sudah pasti seharusnya hidangan itu begitu menggugah selera santap si kucing. Keterlaluan kalau tidak. Yang jadi persoalan, kucing itu tidak tahu bahwa hidangan yang tampaknya begitu lezat itu sebelumnya telah dibumbui arsenik!
Akankah kucing itu memakannya dan kemudian mati? Ataukah dia tidak memakannya dan hanya berdiam diri saja? Atau kucing itu justru mengeong-ngeong sembari berkeliling ruangan berusaha mencari celah untuk mendapatkan jalan keluar? Kalian tahu? Bahkan ilmuwan-ilmuwan fisika sekelas jawara Nobel pun pusing sebelas keliling dengan persoalan ini. Ketika mereka sudah membahasnya, tiba-tiba saja alam semesta raya berkembang menjadi jumlah yang tak terhingga. Alam semesta itu tiba-tiba beranak-pinak bercucu-piut berpuak-gayut, hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Ibaratkan sebuah sungai besar dengan begitu banyak cabang anak-sungainya yang kemudian berdahan-cabang-ranting lagi dalam kali suak dan parit; hanya saja dalam alir yang terbalik. Semuanya paralel, tetapi tidak saling terhubung, tidak pula saling memengaruhi. Masing-masing semesta raya itu independen; berdiri sendiri, mandiri. Seperti gelembung-gelembung busa yang ditiup kekanak; masing-masing “terbang” dan memuai ke arah yang berbeda.
Namun seluruh rangkaian ini sesungguhnya barangkali hanya ada di dalam minda pengamat saja; yang dalam hal ini para fisikawan teoritis itu. Di sinilah barangkali permasalahannya, dan bahkan mungkin juga paradoksnya. Merujuk pada Einstein, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah nisbi, karena semua nilai tergantung pada posisi pengamatnya. Apakah ini dapat dikatakan merupakan bentuk modern dari ajaran Kaum Sofis, khususnya Protagoras? Namun lagi, bagaimana pun cerdasnya pengamat itu, ia tetap saja merupakan sesuatu yang berada di luar dari sesuatu yang diamatinya. Ia tidak mengalaminya sendiri, maka dalam konteks kucing kita itu, ia menjadi sesuatu yang sesungguhnya paradoks. Bila si pengamat ikut berada di dalam kamar itu, ia tidak akan  tahu apakah alam semesta telah beranak-pinak atau belum. Tidak, bukan begitu; bila ia berada di alam semesta di mana kucing kita itu berada, ia tidak akan tahu apakah alam semesta telah beranak-pinak atau belum, baik ketika kucing itu belum memakan daging yang terlihat sangat lezat, maupun ketika sedang, atau bahkan sesudahnya. Baik kucing itu kemudian mati, atau tetap sehat wal afiat. Lagi pula, apakah semesta raya semata akan beranak-pinak hanya karena urusan kucing sial itu? Terlalu istimewa dia!
Hanya dalam cerita-cerita fiksi ilmiah saja kita akan menemukan kisah yang berbeda. Namun, sebagaimana dongeng dan mitos, seringkali cerita-cerita itu sesungguhnya berhamil kebenaran yang terdalam.
Jadi begitulah, ketika keempat bidang tegak bernama dinding itu adalah semata-mata dinding, tidak ada apa-apa lagi di sana sebagaimana lazimnya: pintu, jendela, ventilasi, bovenlicht, atau bahkan sekadar lubang terawang; aku seharusnya mulai was-was. Ini jelas-jelas semata-mata sebuah ruangan berbentuk kotak, atau bahkan jangan-jangan memang sebuah ruangan di dalam kotak itu sendiri. Bersama lantai, jelas sudah ada lima bidang datar dan rata dengan kedataran dan kerataan sama-sekali. Maka ketika pandangan kuarahkan ke atas, lengkaplah menjadi ada enam bidang yang membatasi, sebagaimana seharusnya sebuah kotak; atau bahkan nyaris sebuah kubus. Satu-satunya yang membedakan dari yang lainnya, pada bidang datar yang di atas itu – langit-langit pasti – tergantung sebuah bola lampu listrik dari mana datangnya sumber cahaya yang menerangi ruang yang sesungguhnya pastilah gelap gulita ini. Jadi, cahaya adalah pengisi kegelapan, penutup kegelapan, pengusir kegelapan; terserah istilah apa yang Anda inginkan. Dengan sandaran itu, kita boleh menduga kegelapan ada lebih dahulu daripada terang, daripada cahaya. Tak pernah ada cerita gelap menutup terang. Tetapi, apakah kegelapan itu? Apakah terang @ cahaya itu? Terang atau cahaya adalah pancaran energi, ia dapat berupa gelombang dapat berupa partikel atau bahkan dapat berperilaku keduanya. Baiklah kalau begitu; bagaimana dengan kegelapan? Apakah ia merupakan sesuatu? Kalau ia bukan sesuatu, kenapa ia bernama? Kalau ia bukan sesuatu, kenapa ada sesuatu yang merupakan antitesanya? Tetapi kalau ia sesuatu, kenapa ia bukan apa-apa?
Ada sebuah hidangan di sana. Ya, terletak nyaris di tengah-tengah ruangan, sementara aku sendiri terperosok di salah satu pojok dari kedelapan sudut yang ada. Hidangan itu jelas sangat lezat kelihatannya, karena disajikan dengan cukup komplit, dengan bahan-bahan dan olahan yang sangat kusukai. Terletak di atas hamparan sepinggan lebar, dialasi dengan senampan stainless steel berkilat yang juga terletak segelas minuman di atasnya. Sejak kapan hidangan itu ada di situ? Aku tidak pernah melihat ada seseorang memasukkan hidangan itu ke dalam ruangan ini. Kalau benar ada seseorang yang telah memasukkan hidangan itu, pastilah sebuah celah ada di antara keenam bidang yang membatasi ruangan ini. Sebuah celah yang barangkali memiliki tutup yang begitu rapi sehingga nyaris mustahil untuk dilihat secara sepintas. Kalau tidak, apakah mungkin hidangan itu ada dengan begitu saja? Bahkan manna dan salwa tidak menjadi ada dengan begitu saja. Ia bermula dari kelaparan Kaum Israil yang berbuah doa dari Musa yang kemudian berbuah rahmat dan rahim dari Allah yang kemudian berbuah mukjizat yang kemudian jadilah ia. Hidangan di dalam ruangan ini kelihatannya tidak. Aku tidak sedang kelaparan, aku tidak pernah meminta, aku tidak melihat seseorang meletakkannya. Apakah ia melebihi manna dan salwa?
Ataukah hidangan itu sudah ada sebelum aku ada di dalam ruangan ini? Teringat kemungkinan itu aku tiba-tiba jadi terpikir akan keberadaan diriku sendiri. Sejak kapan aku berada di dalam ruangan ini? Seingatku aku tidak pernah masuk ke dalam ruangan ini. Aku juga tidak pernah ingat kalau-kalau ada seseorang telah memasukkanku ke dalam ruangan ini. Aku bahkan tidak ingat kapan pertama kali aku tersadar bahwa aku telah berada di dalam ruangan ini. Apakah aku pernah pertama kali tersadar? Kalau aku menyadari hal itu, mungkin itu dapat menjadi petunjuk bahwa ada kemungkinan besar aku telah dimasukkan ke dalam ruangan ini dalam keadaan tidak sadarkan diri. Berarti ini semacam pemaksaan, atau paling tidak pengabaian atas kemungkinan pilihanku sendiri soal apakah aku menghendakinya atau tidak. Pada kenyataannya, paling tidak, setelah mengalami keadaan pada saat ini seandainya sebelumnya aku bisa memilih aku pasti akan menolaknya. Tetapi jelas itu adalah kalau. Kita tak dapat berdebat dengannya. Paling tidak, sebelum lengkungan ruang-waktu dapat dipahami sepenuhnya dan dapat dimanipulasi dengan sesuka hati.
Jadi, aku sendiri tidak tahu dengan persis tentang keberadaanku dalam ruangan ini: rangkaian peristiwanya, alasan-alasannya, bahkan juga waktunya – karena sejak berada di dalam ruangan ini aku telah kehilangan akan orientasi dimensi waktu sama sekali. Namun, bagaimana dengan riwayat sebelum aku berada di dalam ruangan ini? Apakah aku memiliki sesuatu untuk diingat? Andaikan aku mengetahui rangkaian peristiwa sebelum aku tersadar dan mendapatkan diriku berada di dalam ruangan ini, paling tidak aku akan dapat memahami dan kemudian mencoba melacak rangkaian peristiwa selanjutnya, dimulai dari titik di mana ingatanku akan peristiwa sebelum ini berakhir.
Tetapi, apakah ingatan itu sendiri? Apakah rangkaian peristiwa itu? Apakah pengalaman itu? Bagaimana aku akan merangkai “dua” pengalaman sebelum dan sekarang yang barangkali saja memang aku ingat sementara di antara keduanya ada celah yang aku tidak tahu? Dasar-dasar apakah yang dengan demikian aku dapat mengisi celah itu? Hukum sebab-akibat? Itu bukanlah hukum yang universal; ternyata. Tahukah Anda bahwa ada banyak sekali partikel yang dapat muncul dengan tiba-tiba, tanpa harus ada sebab – kalau partikel itu adalah sebuah akibat? Kalau sudah demikian, siapakah aku? Apakah pengalaman yang menjadi ingatan di dalam kepalaku – benarkah ingatan itu berada di dalam kepala? – adalah benar dan fakta itu merupakan pengalamanku sendiri dan bukan karena ada seseorang – atau sesuatu – yang telah menanamnya dengan mengabaikan keindependensianku? Semacam ingatan artifisial? Apakah aku akan mengetahuinya? Apakah aku akan memercayainya? Apakah nanti akan ada semacam adegan deja vu di dalam Matrix? Jadi, kalau aku sendiri meragukan ingatan itu, lalu, bagaimana aku akan mengisi celah kosong di antara “kedua” ingatan itu? Pada saat yang sama, dengan demikian lantas apa gunanya aku mengingat-ingat ingatan yang kemungkinan artifisial itu? Hanya jadi sekadar omong kosong, bukan?
Ruangan ini bagiku tidak terasa panas dan tidak pula dingin. Keadaan yang nyaris ideal ini seharusnya ditunjang oleh adanya suatu sistim sirkulasi udara. Sistim sirkulasi udara membutuhkan adanya celah-celah untuk boleh bergeraknya udara dari satu tempat ke tempat lainnya, serta tentu saja adanya semacam energi yang dapat memberikan perbedaan tekanan udara di antara tempat-tempat itu. Tetapi, seperti sudah kukatakan tadi, aku tidak melihat adanya celah-celah itu; sekecil apa pun. Aku bahkan tidak pernah merasakan sedikit pun adanya aliran udara di dalam ruangan ini. Kalaupun aku kemudian merasakan adanya udara di dalam ruangan ini, itu pertama-tama jelas karena aku bernapas, dan kemudian saat aku menggerak-gerakkan anggota badanku terasa juga sedikit-banyaknya. Tetapi, dengan tanpa bermaksud mengabaikan betapa pentingnya udara bagi kehidupan, aku mengatakan hal ini sesungguhnya dengan maksud dalam usaha untuk menemukan sebuah celah, sekecil apa pun.
Tetapi, kenapa aku harus menemukan sebuah celah? Apakah itu penting? Untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan ini lalu sedikit mengguncang pemikiranku. Ya, kenapa? Apakah sebuah celah – sekecil apa pun – lebih penting, atau setidaknya lebih menggoda, daripada seperangkat hidangan yang sudah terhampar dengan manis di tengah-tengah ruangan ini? Apa yang dapat aku harapkan dari sebuah celah? Dari seperangkat hidangan lezat, jelas menjanjikan kenikmatan dan kekenyangan kuliner; serta pada saat kemudian akan memberikan tambahan energi bagiku. Sebuah celah, mungkin jangan-jangan bahkan hanya akan menimbulkan kecemasan. Bagaimana kalau di balik celah itu tengah bersiap-siap berton-ton air atau pasir akan dialirkan? Atau mungkin beribu-ribu ekor kalajengking, atau kelabang, atau bahkan ular? Atau sekadar hembusan gas metan? Apakah itu sebuah khayalan yang sangat menyenangkan berkat keberhasilan menemukan sebuah celah?
Tetapi, bagaimana pun, agaknya sebuah celah adalah sebuah janji, sebuah peluang. Sebilah mata parang dapat menetak tulang atau menebas ilalang. Demikianlah sebuah celah. Ia adalah sebuah harapan, atau paling tidak sebuah perbedaan; dari kondisi yang konstan yang demikian ini. Tetapi teringat dengan soal sirkulasi udara tadi, itu mungkin sekali bukan sebuah teka-teki tetapi sekadar fisika anak SD. Kotak di mana ruanganku ini berada kemungkinan sekali memiliki konstruksi berdinding ganda, sehingga menyerupai sebuah termos. Anda tahu kenapa termos adalah sebuah penemuan yang paling gemilang? Ketika kita masukkan benda panas di dalamnya, panas benda itu akan bertahan cukup lama. Ketika kita masukkan benda dingin di dalamnya, dingin benda itu akan bertahan cukup lama Coba, bagaimana mungkin dia bisa membedakan yang mana yang panas dan yang mana yang dingin? Jadi, kalau benar demikian, aku jelas tidak bisa berharap lebih jauh tentang kemungkinan adanya celah itu. Lalu, kalau begitu, bagaimana mungkin aku dan hidangan itu mengada di dalam ruangan ini? Apakah kami berdua semacam manna dan salwa?
Dalam dunia fiksi ilmiah, ada semacam alat yang berfungsi sebagai alat transportasi antar ruang-waktu. Sebenarnya kalau mau ditelaah lebih jauh konsep ini sesungguhnya agak membingungkan karena bisa tercampur antara satu dengan yang lain; mulai dari sekadar “pemindahan fisik nyata dengan sangat cepat”, “pemindahan fisik secara partikel”, sampai kepada “mesin waktu” – karena kita tahu, lagi-lagi Einstein, ruang dan waktu itu adalah nisbi. Namun untuk memudahkan, kita berpikir sederhana sajalah: andaikan memang benar begitu, yaitu paling tidak dengan cara pemindahan partikel antar-ruang seperti dalam film-film Star Trek, sehingga tidak perlu ada celah di antara ruangan itu – yah, itu mungkin saja. Tetapi, lagi-lagi, siapa yang telah melakukannya? Apa alasannya? Kapan? Dan yang terpenting: apa tujuannya? Dan kalau kita sudah membahas tentang apa tujuannya, itu bisa bermakna apa tujuannya bagi dirinya sendiri dan bagi subjek-(dalam hal ini aku dan, bolehlah juga, hidangan itu)-nya? Apa motifnya? Dan tujuan itu ditentukan oleh siapa? Apakah satu pihak berhak menentukan tujuan pihak lain untuk pihak lain itu tanpa perundingan dengan pihak lain itu apalagi persetujuan? Bukankah ini menjadi semacam tirani?
Baiklah, karena aku tidak memiliki proposisi lain selain kenyataan bahwa aku ada di dalam ruangan ini – bersama hidangan itu – tidak peduli apa pun tujuan yang telah ditentukan sebelumnya oleh sesuatu dan atau seseorang yang telah menempatkanku di sini, maka aku seharusnya sudah mulai memikirkan tujuanku sendiri: saat ini, dan ke depan. Sebagai spesies manusia – aku masih jelas menyadari hal itu pada saat ini meskipun aku tidak lagi punya referensi dan pembanding – aku sangat layak dan sudah seharusnya memikirkan dan menetapkan hal yang demikian; karena kita tahu bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan pun memiliki tujuan hidup mereka masing-masing, baik tujuan jangka pendek, maupun tujuan jangka panjang. Tetapi, sebelum memikirkan hal itu, yang pertama-tama sekali tentulah aku harus menetapkan terlebih dahulu – atau dalam bahasa lain – memahami terlebih dahulu diriku sendiri. Karena sebuah tujuan – yang bukan sekadar bersifat naluriah belaka – seharusnya memiliki sebuah pelabuhan awal di mana tempat titik tolak atau landasan yang kuat berada, dan itu adalah pemahaman tentang diri sendiri. Tetapi tahukah Anda? Ternyata itu bukanlah hal yang mudah – bahkan mungkin hal yang tersulit; atau tidak. Ah, Anda tahu, ada yang begitu mudahnya belajar bermain gitar klasik sebagaimana ada yang begitu mudahnya menghitung segala kelindan matematika atau ada yang begitu mudahnya pula melenturkan tubuh berayun-ayun di atas palang senam – sebagaimana banyak pula yang lainnya begitu kesulitan untuk melakukannya.
Haah! Atau mungkin ruangan yang serba tertutup ini yang sudah mereduksi kemampuan benakku. Andaikata aku berada di sebuah ruangan yang terbuka dengan segala kehendak-bebas ada di tanganku, pemikiran ruwet seperti itu mungkin tidak akan jadi kusut berkelindan di dalam kepala-hotakku – atau kemungkinan besar bahkan tidak terpikirkan sama-sekali. Aha! Tidak terpikirkan sama sekali! Atau, jangan-jangan, itulah tujuan sesungguhnya kenapa aku ada di dalam ruangan ini? Bahwa sebelumnya aku tidak pernah memikirkan tentang hal itu dan ketika berada di dalam ruangan ini dalam keadaan seperti ini kemudian memaksa kepala-hotakku berputar hingga kemudian terpikirkan hal yang semacam ini? Yaitu, ketika orang akan menjahit baru terpikirkan benang dan jarum atau ketika kancing lepas baru terbayang-kan peniti? Harus ada semacam keadaan yang memaksa terlebih dahulu? Sebagaimana para wali, resi, sufi, dan pertapa terhadap dirinya sendiri? Tetapi, kalau demikian, timbul lagi pertanyaan itu: siapakah yang berhak menentukan tujuan seseorang itu? Siapakah yang berhak menentukan kebaikan bagi seseorang? Kalau seseorang yang lain yang menentukan dan atau menetapkan tujuan untuk seseorang itu, kalau tujuan itu tidak tercapai, siapakah yang harus bertanggungjawab? Apakah seseorang yang lain itu atau seseorang itu?
Oh, tadi aku pikir ada angin semilir mengalir. Rupanya hanya sekadar telingaku yang berdesir. Atau mungkin hanya hatiku. Aku letih sudah terpojok, lalu aku mencoba berdiri. Pegal-pegal menggeramit sekujur tubuh, setelah berjam-jam tanpa gerakan berarti. Semacam pukang yang stres dimasukkan ke kandang. Kuangkat lengan kananku setinggi-tingginya dengan ujung jari tengah yang paling tinggi ditambah jinjit, separuh tinggi ruang pun tak tergapai, apalagi ujung lampu itu, apatah lagi langit-langit itu. Tetapi paling tidak gerakan itu juga bisa bermakna meregangkan anggota-anggota tubuhku  dengan beberapa gemeretak yang menyenangkan.
Lalu aku melangkah. Satu dua, menyusuri sisi dinding, dari sudut ke sudut. Kalau aku seekor singa, mungkin aku akan segera mengencingi setiap sudut itu, sebagai penanda batas wilayah kekuasaanku. Jadi, mungkin saja yang kulakukan itu juga sekadar semacam naluri primordial, mencoba memahami ruangan yang ada, ukuran-ukurannya, bentuk-bentuknya, serta kemungkinan wilayah penguasaannya. Atau mungkin itu semua terlalu berlebihan. Bagaimana pun, setelah berjam-jam, kelaparan mulai menggeram, sehingga pada putaran ketiga aku pun menyusuri tengah ruangan menghampiri hidangan. Hm, meski tak lagi mengepulkan asap kehangatan, namun aroma kelezatannya masih mengawang.
Tetapi aku masih mencoba menoleh ke berbagai arah ruangan. Baiklah, ada aku dan ada hidangan di ruangan tertutup ini. Apakah ini semacam sekadar percobaan daya tahan primata akan godaan atau perlawanan daya tahan fisik semata, atau sudah masuk ke dalam wilayah psikologi dengan segala gejala kecurigaan dan seterusnya? Kenapa mereka tidak memberiku sebuah tongkat dari balik jeruji? Atau mungkin sebuah pistol untuk bermain rulet rusia? Mungkin itulah tujuan mereka, sekadar ingin melihat seberapa besar daya tahanku atas kecurigaan-kecurigaanku sendiri. Apakah aku akan bercuriga, jangan-jangan ada arsenik itu, dan dengan demikian menahan diri hingga kurus kering dan nasi menjadi basi? Atau aku akan mengabaikan itu semua dan melahap hidangan itu begitu saja demi memberangus rasa lapar? Tetapi, apa pun, tetap saja ini seperti rulet rusia juga. Walaupun mungkin sekadar di dalam mindaku semata.
Oya, aku mungkin bisa mencicipinya, sebagai penguji – mungkin tidak akan berpengaruh dengan dosis kecil seperti itu. Lalu aku bisa menunggu. Kalau memang ada arsenik atau racun apa pun aku mungkin sekadar akan mengalami efek-efek yang ringan, dan kalau aku tetap berada dalam keadaan sehat wal afiat berarti hidangan itu aman dan dengan demikian aku dapat segera menyantapnya. Tetapi sebelum itu, bagaimana mungkin aku bisa tahu seberapa banyak racun itu dimasukkan? Mungkin begitu banyaknya sehingga meskipun sekadar aku cicipi aku akan mati, atau mungkin begitu sedikitnya sehingga ketika aku cicipi tidak berpengaruh apa-apa dan hanya akan berarti ketika aku memakan seluruh hidangan itu berkat efek akumulasi. Ah, ini tiba-tiba jadi seperti kisah-kisah Sherlock Holmes, Agatha Christie, atau thriller Hitchcok. Namun bagaimana pun aku telah dengan rapi duduk bersila di dekat hidangan itu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan kucing Schrödinger itu. Ketika kamar itu kubuka, kucing itu telah mati dengan sepotong sisa daging masih tersangkut di salah satu taringnya. Tetapi dengan Kuantum, di semesta raya lain kucing itu masih tetap bertahan tanpa menyentuh sedikit pun hidangan itu, semata-mata karena ia masih berkutat dengan pikiran-pikiran filsafat dan religiositasnya. Di semesta itu mungkin justru aku yang sudah mati, karena terlalu lama menunggu kapankah kucing itu akhirnya memakan hidangan yang berarsenik itu. Sementara dalam waktu yang sama, semesta-semesta lain telah beranak-pinak bercucu-piut berpuak-gayut tanpa harus menunggu keputusan pilihan antara aku dan kucing Schrödinger.
Payungsekaki, 010211.
Publikasi #1: Riau Pos, 20-02-2011.

tuhan@el-langit.com [CERPEN]

www.mso93.wordpress.com

Tiba-tiba saja sebuah alamat yang asing masuk ke dalam kotak masuk surelku. tuhan@el-langit.com. Apa pula ini?; pikirku. Apakah ada seseorang yang tengah iseng? Dini hari itu aku belum lagi mengantuk, karena itu komputer kuhidupkan dan berselancarlah aku ke dalam dunia maya internet. Beberapa situs segera kubuka secara bersamaan, dan tentu saja satu di antaranya adalah laman-laman lampu merah. Maklumlah, lagi pusing begini. Apalagi beberapa hari belakangan ini dunia maya sedang heboh sekali dengan video-video yang berisi adegan-adegan syur dari orang-orang yang katanya mirip tokoh selebriti. Dan aku hanyalah salah satu dari sekian puluh juta yang akhirnya ikut tergoda.
            Lalu, di tengah-tengah itu aku kemudian teringat untuk membuka surel-ku. Sudah lebih seminggu aku tak pernah menyapanya, barangkali ada beberapa surat elektronik yang masuk; walupun kebanyakan barangkali hanyalah surat-surat berjenis spam. Maklumlah, aku bukanlah orang yang sering berkomunikasi lewat surel. Meski begitu, siapa tahu. Ah, benar saja, ada tujuh surat. Lima spam, satu dari sahabatku di Madinah, dan – yang ini?
            Alamat yang terlihat asing itu segera menggaet biji mataku, sekaligus menggelitik perasaanku. Siapa gerangan orang yang punya alamat ini? Aku jelas tidak mengenalnya karena sebelumnya memang tidak pernah berkomunikasi dengan seseorang yang menggunakan alamat surel seperti itu. Lagi pula aku pun jadi bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang berani-beraninya menggunakan alamat surel dengan nama seperti itu? Apakah ia tidak takut bakal jadi masalah di kemudian hari? Menggunakan nama seperti itu, rasanya agak sensitif, bukan?
            Tapi, ah, di dunia maya internet rasanya setiap orang bisa melakukan apapun; bahkan sesuatu yang tabu di dalam dunia nyata sekalipun. Bahkan kadangkala, itu bisa menjadi pendongkrak ketenarannya. Dan, di dalam dunia yang dikendalikan oleh sistem kapitalis-pragmatis-opurtunis, semua orang tahu ketenaran adalah merupakan salah satu modal untuk melakukan negosiasi ekonomi.
            Ataukah, ini sekadar salah satu alamat spam?
            Tapi, aku penasaran juga lama-lama. Kelihatannya tidak begitu mencurigakan. Pun tidak ada file ikutan di dalamnya. Lagi pula, aku cukup merasa yakin dengan kecanggihan sistim anti-virus yang kumiliki. Jadi, akhirnya kubuka. Tapi, kemudian sepertinya menjadi antiklimaks. Isinya hanya: “Hai.”
            Hanya tiga huruf itu. Tidak kurang, tidak lebih. Ah, berarti memang datang dari orang iseng. Orang yang sepertinya tidak punya pekerjaan lain yang lebih berarti. Atau mungkin ada seorang teman yang mencoba menggodaku. Atau, entahlah. Tapi kemudian aku berpikiran: baiklah, aku juga sedang tidak dapat tidur dan sedang tidak ada sesuatu yang harus kukerjakan, jadi aku iseng juga. Kubalas surel itu.
            “Hai juga. Siapa ni?”
            Aku tertawa dalam hati; sekaligus setengah berharap. Ah, paling tidak, siapa tahu di seberang sana dia adalah seorang wanita jelita yang juga sedang kesepian sehingga kemudian melakukan keisengan seperti ini.
            Aku lalu membuka surel dari sahabatku yang sedang kuliah mengambil S2 di Universitas Islam Madinah itu. Kalau melihat tanggalnya, surat itu sudah datang empat hari yang lalu. Isinya hanya pendek saja. Salam sapa, saling kabar, lalu – yang mengejutkan itu.
            “…. Kemaren aku mendapatkan kiriman e-mail beralamatkan aneh. al-ilah@samaawat.com, kau percaya itu? Kukira tadinya virus, tetapi setelah kubuka isinya hanya ‘Salam’. Masyaallah, masih ada saja orang-orang aneh. Tidakkah dia takut kepada Tuhan? Wassalam.”
            Aku tertegun sejenak. Ada kesamaan kasus di antara kami berdua. Walaupun alamat surel yang disebutkannya itu berbahasa Arab, tetapi jelas pengertiannya adalah sama dengan tuhan@el-langit.com itu; atau lebih-kuranglah. Jadi, sekarang aku jadi menemukan dua keanehan dalam satu malam dini hari ini. Apakah ada dua orang aneh, atau dua orang iseng yang sama? Ng, atau mungkin berasal dari salah seorang teman yang mengenal kami berdua; sehingga bisa mengirim surel iseng itu ke alamat kami? Tapi, siapa? Begitu isengnyakah?
            Sedang berpikir-pikir begitu, tiba-tiba alarm anti-virus komputerku meribut. Sial, laman lampu merah yang tanpa kusadari masih aktif itu mencoba menyelusupkan virus rupanya. Untung saja program anti-virus buatan anak dalam negeri itu begitu yahud dan waspada. Maka, aku tinggal mengikuti perintah-perintahnya, dan musnahlah penjahat gelap itu. Lampu merah itu pun kemudian segera kupadamkan. Tinggallah Wikipedia dan sebuah laman situs sastra.
            Eh, surel-ku tadi ternyata segera mendapatkan balasan. Agaknya orang ini sama-sama belum tidur. Kubuka.
            “Tidakkah engkau mengenalku?”
            Sial. Sombong kali orang ini. Atau paling tidak, ke-pede-an. Memang, sebegitu ngetopnya kamu, apa?; gerutuku dalam hati. Bahasa yang digunakannya pun terkesan angkuh. Baiklah, mari kita bermain.
            “Tidak.”
            Kukirim.
            Lalu, aku berpindah ke surel temanku tadi, dan kubalas:
            “[Salam]. [Kabar-kabar]. Iya, aku juga mendapatkan surel yang mirip-mirip. Aku rasa ada teman kita yang iseng en usil. Kamu tahu siapa? Wassalam.”
            Terkirim.
            Lalu, balasan surel itu lagi. Isinya:
            “Ah, engkau hanya lupa.”
            Sialan.
            “Sebutkan nama Anda.”
            Jawabnya:
            “Namaku ada di mana-mana.”
            “Kamu punya facebook atau twitter?”
            Yang masuk, dari Madinah.
            “Ini mulai merebak tiga hari ini, Rif. Seluruh dunia mungkin akan heboh. Teman-temanku di KL, Kairo, Athena, Roma, Barcelona, Paris, Bonn, San Fransisco, Shanghai, Kyoto, dan Seoul juga mendapatkan e-mail dengan alamat yang mirip-mirip. Ada dios@e-cielo.com, ada dieu@la-grandciel.com, gott@hochhimmel.com, god@heaveneden.com, shàngdĭ@tiãn-shàng.com, kami@sora-tenku.com, dan hanûnim@hanûl-sanggong.com. Mereka juga mendapatkan berita dari teman-temannya yang lain tentang hal yang sama. Jadi, ini bukan perbuatan iseng salah satu sahabat kita. Tapi, sori ya, aku tak bisa lanjut. Lagi di kampus. Wassalam.”
            Seluruh dunia? Tengah pusing begitu, masuk lagi surel itu.
            “Untuk apa facebook dan twitter? Aku bahkan lebih dekat daripada wajahmu.”
            Aku hampir saja memaki dengan kata-kata “bangsat!”. Ini orang! Meski dunia maya memang bebas sebebas-bebasnya, tetapi dalam berkomunikasi secara personal orang masih tetap berusaha menerapkan adab sopan-santun. Karena disulut sebal, aku segera menutup surel-ku itu; tak berniat melanjutkan komunikasi dengan orang yang tak jelas itu. Daripada dosa bertambah dengan kejengkelan. Tapi sesaat kemudian kubuka lagi, sekadar teringat untuk membalas surel dari Madinah itu.
            “Yang ini tak usah segera dijawab. Aku barusan bahkan sedang bersurat-suratan dengannya – siapa pun itu. Tapi, menyebalkan. Sombong. Jadi, sudah aku stop. Wassalam.”
            Keluar lagi.
            Lihat-lihat situs yang lain sebentar. Datang kuap. Laptop kututup. Tidur.
            Hari-hari kemudian, dalam perbincangan dengan teman-teman aku kemudian mengetahui bahwa soal alamat surel itu memang sudah mulai menjadi berita hangat. Tapi pada umumnya mereka berpendapat bahwa itu hanyalah perbuatan orang-orang iseng belaka, sehingga banyak di antara mereka yang mendapatkan kiriman surel itu tidak membukanya; bahkan kemudian menghapusnya begitu saja. Alasan utama, sebagian besar takut kalau-kalau surel itu adalah perahunya virus. Sebagian lainnya menganggap tak ada waktu untuk melayani keisengan seperti itu.
            “Mendingan juga lihat videonya Si Mouni itu. Syuuur …. Ha ha ha.”
            Mereka tertawa.
            “Eh, kamu tahu nggak? Masih ada 33 lagi. Kayak zikir saja. Ha ha ha.”
            Dasar teman-teman ini; gumamku dalam hati, dapat fasilitas canggih seperti laptop bukannya digunakan untuk sesuatu yang positif. Kalau tak buka-buka laman lampu merah, ya paling pilih game poker atau sebangsanya. Tapi, ketika aku mengatakan bahwa – menurut temanku yang di Madinah – seluruh dunia mengalami hal yang serupa, mereka mulai tertegun.
            “Apa iya.” tanya yang satu tak begitu yakin.
            “Mungkin saja.” balas yang lain seolah menjawab. “Internet kan memang terbuka bebas di seluruh dunia. Jadi, ya bisa saja.”
            “Maksudku, yang di luar negeri itu bukan dengan menggunakan alamat surel dalam bahasa kita,” aku menjelaskan, “tapi, dengan bahasa mereka masing-masing.”
            “Oya?”
            Mengiyakan, antara yakin dan tidak. Itulah orang kita.
            Jadi, tak ada yang bermakna bagiku dalam perbincangan itu, selain mendapatkan informasi baru bahwa masih ada 33 video lagi. hm ….
            Malam, seperti biasa aku belum ngantuk sebagaimana semestinya. Itu bukan karena insomnia, tapi karena aku sering dapat tidur siang. Maklumlah, tak begitu banyak yang bisa kukerjakan. Kata orang, aku ini tergolong “pengacara”: pengangguran banyak acara. Aku berhasil menulis satu cerpen dalam seminggu, sudah bagus. Honornya lumayanlah buat sekadar beli rokok dan mengerem repetan istriku. Toh, dia cukup pandai mencari duit sendiri dari kantornya. Bahkan jauh lebih pandai daripadaku. Rumah ini dan seluruh isinya praktis berasal dari duit yang diperolehnya. Hanya laptop, gitar, serta koleksi buku dan kaset yang berasal dari kantongku sendiri. Itu juga barangkali karena dia tidak menyukai satu pun dari jenis barang-barang itu. Jadi, enam hari lainnya praktis kosong. Sangat kadang-kadang saja ada acara bengkel sastra, seminar atau semacamnya, dan undangan-undangan yang oleh kebanyakan pejabat akan mereka campakkan ke dalam bak sampah begitu selesai menolehnya. Di samping itu, kalau sedang menulis aku juga cenderung melakukan pada malam hari. Terasa lebih nikmat bagiku.
            Atau, mungkin sebab-akibatnya adalah sebaliknya. Aku bisa atau harus tidur siang justru karena aku sering melakukan kegiatan hingga jauh tengah malam. Yang mana yang benar, entahlah.
            Jadi, kembali kubuka laptop-ku. Surel-ku. Tak ada surat baru yang masuk. Agak aneh juga, meski enggan, kubuka juga surel yang terakhir itu.
            “Untuk apa facebook dan twitter? Aku bahkan lebih dekat daripada wajahmu.”
            Sebenarnya masih jengkel; tetapi ini kejengkelan yang menggelitik. Dunia maya, meski ramai dan padat, tapi sebenarnya penuh dengan orang-orang yang kesepian. Mungkinkah si pengirim surel itu adalah satu di antara mereka? Maksudku – itu tentu sudah jelas secara kaidah logika kalau menggunakan postulat a dan b – tetapi maksud yang sebenarnya, mungkinkah si pengirim surel itu benar-benar sedang kesepian secara harafiah? Kalau ya, dari satu segi mungkin patut dikasihani. Mungkin dia sekadar sedang memerlukan seorang teman yang bisa diajak berkomunikasi. Tapi, bukankah semua yang ada di dunia maya internet memang begitu? Milyaran? Lagi pula, kalau memang dia sedang membutuhkan teman bicara, kenapa tidak ke facebook atau twitter saja yang sekarang sedang happening banget? Malah, dia bilang “untuk apa”! Sialan! Ah, kututup saja lagi laptop-ku. Tidur sebisanya.
            Hari-hari lewat. Di layar kaca pun hampir sama saja. Bedanya, kita tidak bisa mengklik. Hanya ada remote untuk pengalih kebosanan. Mungkin suatu saat nanti. Sekarang drama seperti ada di mana-mana. Bahkan drama di dalam drama di dalam drama. Kalau karya-karya epik zaman dulu, orang-orang menyebutnya cerita berbingkai. Dan kita menilainya sebagai sebuah mahakarya abadi. Yang di televisi, hampir seluruhnya membuat kita ingin muntah. Bahkan feature pun sudah menjadi drama. Bahkan berita pun sudah menjadi drama. Bahkan sidang pun sudah menjadi drama! Sampai kemudian menyelip sebuah berita singkat tentang surel yang mulai menghebohkan itu. Penyiar yang cantik itu menyampaikan, bahkan pihak aparat keamanan dan intelijen negara sudah mulai mencoba mencari alamat asal atau IP adress pembuat surel itu. Ini karena sudah banyak pengaduan masyarakat, termasuk beberapa pemuka agama. Tapi sayangnya, sampai saat itu mereka belum mampu melacaknya.
            “Disinyalir orang yang menyebarkan surel itu adalah seorang hacker yang jenius, karena sampai saat ini belum juga terlacak, meskipun aparat sudah menggunakan peralatan yang canggih.” Penyiar itu tersenyum lebar. Lalu jeda iklan.
            Beberapa hari berikutnya, sehubungan dengan surel itu selain frasa-frasa “orang iseng” dan “hacker jenius” lalu muncul kata-kata penyerta lainnya: “kreatif”, “teroris”, “tanda-tanda zaman”, “atheis”, “murtad”, “fitnah”, dan masih banyak lagi. Belum lagi variasinya dalam berbagai bahasa di seluruh dunia. Lalu muncul pula facebook dan twitter “sejuta menolak tuhan@el-langit.com atau semacam itu. Dua hari kemudian, tiba-tiba saja pihak aparat mengadakan jumpa pers sambil senyum-senyum. Seorang lelaki muda kusut-masai berada di tengah-tengah mereka dan puluhan pewarta yang tengah bersemangat.
            “Kami telah menemukan pelakunya.”

            Tapi, tiba-tiba aku merasa sunyi, sekaligus kehilangan – dan berharap apa yang muncul di layar kaca itu bukanlah sebuah kebenaran. Aparat juga kadang-kadang suka mengambil jalan yang mudah, bukan? Malam hujan, aku membuka laptop-ku kembali, seperti orang-orang kesepian lainnya. Lalu surel-ku. Lalu, surel itu. Mendadak aku menyadari sesuatu, lalu membuka jendela yang lain dan kemudian mencoba mencari alamat www.el-langit.com. Semoga saja ada.
            Ada!
            Tetapi yang muncul di layar hanyalah kata-kata: “Sedang dalam Perbaikan”, berlatar gambar imaji angkasa raya. Lalu di lajur sebelah kiri berderet rujukan laman serupa dalam ratusan bahasa yang ada di dunia ini. Kucoba buka beberapa di antaranya, isinya sama saja, bahwa situs itu sedang dalam perbaikan, dalam bahasanya masing-masing. Aku pun terpuruk di kursiku.
            Barangkali ketika menemukan gagasan terakhir tadi, tanpa sadar aku agaknya berharap terlalu banyak. Bahwa aparat sekali lagi berbohong kepada publiknya Apalagi, beberapa hari terakhir terngiang-ngiang kembali kata-kata yang pernah disampaikan oleh surel itu kepadaku. Di dalam situ aku seperti berharap menemukan sesuatu. Sesuatu yang barangkali dapat membilas kesepian dan kekosonganku.
            Aku kemudian beralih kembali ke surel-ku. Oya, ada surel dari Madinah. Datang tiga hari yang lalu rupanya.
            “Sudah lihat website-nya? Isinya sih, bagus.”
            Hanya itu. Sudah; jawabku dalam hati. Isinya bagus? Aku meragukannya. Bahkan latar laman-mukanya pun tidak terlalu menjanjikan.
            Lalu kembali ke surel itu.
            Klik. Masih tulisan yang sama; tentu saja.
            “Untuk apa facebook dan twitter? Aku bahkan lebih dekat daripada wajahmu.”
            Klik lagi pada balasan:
            “Aku rindu padamu ….”
            Apa-apaan ini? Apakah aku harus mengkliknya?

Payungsekaki, 120610.
Publikasi #1: Riau Pos, 29-08-2010

www.bukanmuslimahbiasa.com

  Batu Emak [CERPEN]

            Emak masih saja duduk diam. Setengah membungkuk, pandangnya merunduk, sambil jari-jemarinya tak lepas sedari tadi memilin-milin tepi renda kain taplak meja.
            Kami duduk di seperangkat kursi omega di ruang tengah yang sempit, bersebelahan dengan meja makan tua yang terbuat dari kayu nangka. Kursi yang berlapis mika itu pun sudah tua juga; mungkin sudah lebih tiga puluh tahun umurnya, sehingga tak heran pabila warna mikanya sudah pudar pada banyak tempat, terutama pada bagian yang diduduki. Bahkan ada pula bagian yang sudah terkelupas. Sementara di mejanya, dari sela-sela lubang-lubang renda, aku masih dapat melihat beberapa keping gambar yang juga sudah tua, tertindih di bawah kaca, dan lengket. Beberapa di antaranya sudah pudar dalam rona-rona bergelombang dimakan tumpahan air. Aku masih ingat, gambar-gambar itu akulah dulu yang meletakkannya di situ. Pada masa aku kecil dulu, hampir pada setiap kertas pelapis susu kaleng yang dibeli emak aku dapat menemukan berbagai macam gambar di bagian belakangnya. Ada gambar ikan sedang berenang, ada gambar harimau, ada gambar beruk sedang menjuntai, ada juga gambar pemandangan. Itu semua semacam bonus waktu itu. Menurutku pada masa itu, gambar-gambar itu sungguh indah untuk dipandang sehingga menimbulkan ketakjuban tersendiri. Karena itulah setiap emak membeli susu kaleng, akulah selalu yang terlebih dahulu menanggalkan kertas pelapisnya sambil berharap-harap adalah gambar di sebaliknya. Kalau tak ada, aku selalu mengingatkan, “Mak, kalau beli susu intai-intailah ada gambar ke tidak.”
        Aku sebetulnya sangat tak merasa nyaman duduk di bangku mika ini. Tapi karena emak maunya duduk di sini, aku tak dapat berkata lain. Bentuk bangku ini memang sudah terkesan rapuh, dan – meskipun emak rajin merawat barang-barang yang dimilikinya, tak urung di beberapa tempat terlihat sekumpulan karat pada pipa besi kerangkanya; atau setidaknya jejak sekumpulan karat yang sudah dikikis emak atau abah dulu. Tapi, ketidaknyamananku sebenarnya lebih kepada ukurannya yang sekarang sudah terasa sempit, sesak menampung pinggangku yang mengembang, serta perut yang kian membuncit. Sebetulnya di rumah emak ini bukannya tak ada kursi sofa yang empuk dan lega – aku sudah membelikannya cukup lama berselang dan sekarang teronggok sesak dalam ruang depan yang sempit itu – tetapi emak sepertinya tak pernah menyukainya. “Pinggang emak sekarang ‘dah sakit-sakit, tak suai duduk di kursi yang macam ‘tu. Apalagi di situ ada AC. Dingin, tak tahan tulang Mak.” Itulah selalu alasan yang dikemukakan emak setiap ada yang bertanya.
            Sejak ditinggal almarhum abah bertahun yang lalu, emak memang seperti masuk ke dalam dirinya sendiri, kian tak banyak berbicara; walaupun ketika abah masih ada dulu pun sesungguhnya emak tergolong pendiam. Tak banyak cakap, tak banyak berceloteh, tak banyak ribut, tak banyak bergunjing macam perempuan-perempuan kampung lainnya. Dan, beberapa tahun belakangan ini bahkan sepertinya emak semakin tenggelam dalam-dalam. Entah ada apa gerangan. Kalau dikatakan sakit, tidaklah pula. Beberapa dokter sudah coba aku datangkan, tapi semuanya berkesimpulan beliau sehat-sehat saja; kecuali kondisi fisiknya yang memang lumrah bagi orang setua beliau, dan kemudian selalu saja dengan saran: “Emak jangan terlalu banyak pikiran.”
Yang terlihat sekarang, emak tampak kian rajin saja melakukan ibadah, terlebih sejak aku berhasil sekali membawanya umrah. Tapi, itu juga menurutku lumrah; orang-orang setua beliau memang kian berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya. Kian rajin ke mesjid dan sebagainya, meski ketika itu berjalan pun sudah tertatih-tatih, batang badan sudah pula terbungkuk-bungkuk, serta kaki dan tangan sudah sering terasa kebas. Aku pun mengingat-ingat kelak akan melakukannya juga.
          Ke-diam-an emak ini sebenarnya kian merunsingkan hatiku, karena selama ini di antara enam anaknya, kepadakulah beliau paling dekat. Mungkin itu juga karena aku adalah anak bungsu. Kepada akulah dulu emak sering mau banyak bercakap-cakap, bercerita-cerita, atau istilah anak sekarang: curhat. Kebiasaan itu pun masih berlanjut ketika kemudian aku menikah, bahkan menjadi dua karena dengan menantunya – istriku yang memang selalu pandai mengambil hati itu – pun emak dekat. Tapi belakangan ini emak kelihatannya kian enggan bercakap-cakap denganku lagi; bahkan untuk bertemu pun sepertinya berat. Pada mulanya memang tidak aku sadari. Kesibukanku yang meningkat sebagai salah seorang pejabat baru, membuat aku lambat tahu akan hal-hal yang seperti itu.
        Ketika kemudian aku menyadari, aku lalu mencoba mengambil hatinya kembali dengan mengajak emak naik haji. Tapi entah kenapa, hal itu sepertinya sulit sekali. Aku pun sempat bertanya-tanya lama, bagaimana mungkin emak seperti enggan kubawa naik haji, bersama-sama rombongan kawan pejabat lagi? Bukankah hal seperti itu akan dapat membanggakan diri? Bukankah naik haji adalah hal yang selama ini emak dan almarhum abah idam-idamkan? Idam-idaman yang tak pernah tercapai, karena abah dan emak bukanlah orang yang berpunya, serta dulu aku masihlah pegawai biasa? (Apatah lagi saudara-maraku yang lain).
          Meski emak tak pernah mengungkapkan alasan yang sebenarnya, kekecewaanku sedikit terobati ketika emak akhirnya mau juga sekadar kuajak umrah, beberapa bulan kemudian, meski dengan sedikit mengecoh. Sebuah pemikiran yang tak dapat kumengerti. Lalu setelah itu aku mencoba menimang-nimang hati emak dengan merenovasi rumahnya yang sudah tua itu. Membelikannya berbagai isi rumah yang baru-baru: kursi sofa, televisi 29” berikut DVD player, kulkas besar, AC, kasur springbed, almari pakaian dari jati berpintu empat, kompor gas, permadani, dan masih banyak lagi. Tapi, sepertinya itu semua kian menenggelamkan emak ke dalam ke-diam-annya.
          “Biasalah, Bang. Emak ‘kan sudah tua, sudah mulai uzur. Orang-orang yang sudah uzur perangainya memang kadang susah dipahami. Bahkan tak jarang kembali balik menjadi berperangai macam budak-budak.” kata istriku suatu ketika saat aku mengeluhkan kepadanya perihal perilaku emak.
         “Karena itulah Yank, coba awaktu pula yang mengajaknya bercakap-cakap. Emak ‘kan biasanya dekat juga dengan awaktu. Siapa tahu dengan sesama perempuan emak akan merasa lebih ringan untuk berbincang-bincang sehingga kita bisa tahu ada apa sebetulnya.”
        “Bukannya tak pernah, Bang. Sudah berkali-kali Ayank coba, baik Abang suruh maupun tidak. Tapi, agaknya memang emak yang sedang masanya tak hendak bercakap-cakap, tak mungkin pula ‘nak kita paksa.”
            Aku lalu menggelengkan kepala berulang-ulang.
“Risau aku.”
“Sudahlah, Bang. Tak usah terlalu dipikirkan. Nanti Abang pula yang sakit.”
Lalu, beberapa waktu kemudian, mungkin karena prihatin melihat aku yang selalu risau dengan keadaan emak, istriku tiba-tiba datang dengan usulan yang melegakan. Dia mengusulkan bagaimana kalau emak diajak tinggal di rumah kami saja. Mungkin emak selama ini berdiam diri karena sedih dibiar tinggal sendiri di sebuah rumah tua di sudut kampung; meskipun dikawani salah seorang anak tetangga. Padahal aku sendiri tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah. Kupikir-pikir ada betulnya juga saran istriku itu. Astaga, mungkin itulah hal yang tak kusadari selama ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini aku sedap-sedap tinggal di rumah mewah, sementara emakku tinggal sendiri di rumah-tuanya yang hanya sekadar kutambal-sulam. Tentulah beliau merajuk. Tentulah selama ini dipikirnya aku ini anak yang tak tahu balas budi. Akan halnya abang-kakakku, tentulah tak terlalu dapat diharapkannya karena beban hidup mereka tidaklah ringan. Maka, dari siapakah lagi ajakan yang ditunggu-tunggu emak selain dari aku?
Tapi, aku dan istriku ternyata salah duga. Emak ternyata tak mau diajak pindah ke rumah kami. Alasan awalnya adalah, “Emak tak mau mengganggu hidup kalian.” Ketika dijawab bahwa kedatangan emak nantinya bukanlah gangguan bagi kami sekeluarga bahkan merupakan anugerah, alasan emak pula, “Emak tak pandai tinggal di rumah besar ‘tu. Tulang emak tak tahan kena dingin ….” Lalu, kami saling berdebat lagi, sampai kemudian alasan emak yang terakhir, “Biarlah emak tinggal di rumah ini saja, rumah peninggalan almarhum suami emak. Emak juga sudah bersyukur rumah tua ‘ni sudah pun diperbaiki sana-sini. Isinya pun sudah pula ditambah dengan yang baru-baru. Emak sudah merasa senang.”
“Tapi, kalau emak tetap tinggal di sini, emak jauh dari kami-kami semua. Jangan kata lagi dari rumah Bang Ulung, Kak Midah, Bang Tonjang, dan abang-kakak yang lain. Dari rumah Ungsu saja lebih sejam ‘nak sampai ke rumah emak.”
“Tapi, emak sudah merasa senang tinggal di sini.”
“Iya, Ungsu tahu. Tapi di sini emak tak ada yang menjaga. Ungsu tak ingin kalau terjadi apa-apa kami tak dapat cepat membantu. Mana di sini tak ada telepon lagi.”
Mendengar itu emak tersenyum.
“Tak usahlah engkau merisaukan apa-apa yang belum terjadi.”
Aku pun bersedih hati lagi. Tapi tak berapa lama kemudian istriku kembali datang menyampaikan sebuah ide brilian.
“Bang, bagaimana kalau kita buatkan saja rumah untuk emak. Halaman rumah kita ini ‘kan masih sangat luas. Ayank rasa di sebelah kanan ‘tu bisa kita buatkan sebuah rumah khusus untuk emak nantinya.”
“Awaktu masih berpikir emak mau tinggal di sini?” aku bertanya ragu.
“Ayank tak ingin melihat Abang bersedih hati selalu.”
“Kesedihan aku tidaklah penting. Aku ini hanya merasa tak sampai hati untuk meninggalkan emak seorang diri di kampung ‘tu. Seperti awaktu pernah cakap, emak mulai ‘kan uzur, senyampang terjadi sesuatu hal yang buruk pada emak, tak dapat kita cepat berbuat. Di samping itu, apa pula kata orang banyak. ‘Hm, lihat Si Ungsu ‘tu, ‘dah senang hidupnya sekarang, lupa dia pada emaknya. Mentang-mentanglah ‘dah jadi pejabat tinggi, lupa dia pada emaknya yang buruk di sudut kampung. Betul-betul anak tak berbakti dia. Macam Dedap Durhaka saja’. Karena itu aku juga ingin menyenang-nyenangkan hati emak. Aku ingin dia juga dapat ikut menikmati rezeki yang aku peroleh sekarang ini, yang mungkin hanya singkat saja. Karena siapa tahu angin berubah arah, berubah pula haluan kapal, tak awakni pula dipilih jadi jurumudi.”
“Karena itulah, Bang, kita usahakan juga macam mana supaya emak mau tinggal dekat-dekat dengan kita.”
“Tapi, bagaimana caranya? Sedangkan emak sudah bercakap tak akan meninggalkan rumah di kampung ‘tu.”
Istriku lalu tersenyum.
“Itulah, Bang. Yang tidak kita sadari selama ini, mungkin bagi emak kita ini terkesan terlalu memaksa. Abang juga tentu dapat membayangkan, bukan? Sudah berpuluh-puluh tahun emak tinggal di rumah yang sangat disayanginya itu, tak mungkin dengan sekejap dapat kita suruh meninggalkan semua kenangan yang sangat dicintainya itu. Karena itu, coba mulai sekarang kita secara pelan-pelan saja. Kita bangunkan rumah yang bagus untuk emak di sini, lalu kita ajak beliau kemari; tapi jangan kita sebut pindah, kita bilang saja jalan-jalan buat menengok anak-cucu. Suruh emak menginap barang beberapa hari. Tentulah lama-lama dia akan merasakan juga sedapnya tinggal di sini. Nah, pada saat itulah baru kita bilang emak pindah saja ke sini.”
Tiba-tiba saja aku merasakan matahari seperti bersinar sangat cemerlang, menyibak kabut dan awan-gemawan yang menyelimuti langit. Aku memeluk istriku dengan gembira, lalu menyuruh orang-orang segera membangun sebuah rumah tak jauh di samping rumah kami. Beberapa bulan kemudian, rumah yang bagai sebuah vila mungil di kaki bukit itu pun selesai. Dengan perasaan tak sabar aku mendatangi emak, dan istriku – lagi-lagi dengan caranya yang halus – berhasil membujuk emak untuk datang menengok cucunya. Memang, pada mulanya hanya sehari; tetapi dengan berlalunya waktu emak akhirnya mau juga agak berlama-lama tinggal di rumah mungilnya itu.
Tapi, hingga cukup lama kemudian aku tak juga berhasil membuat emak lupa akan rumahnya di kampung untuk tinggal menetap dengan kami.
*
Aku tersentak, bunyi ponsel berdering memecah lamunanku. Telepon dari ajudan. Dengan susah payah aku berdiri dari kursi omega itu, dan beranjak jauh dari emak.
“Bagaimana?”
“Maaf, Pak, mereka cuma bisa kasih 6 %, Pak.”
“Apa? %&$#@!” aku memaki agak keras, sekejap melirik pada emak takut terdengar olehnya. “Apa tidak kamu bilang kita perlu 15 %?”
“Apa yang Bapak perintah sudah saya sampaikan, Pak.” jawab ajudanku dengan suara tertekan. “Tapi, kata mereka, proyek ini agak beresiko tinggi. Belum lagi situasi ekonomi sekarang sedang ….”
“Apa tidak kamu bilang nilai proyek ini sudah kita naikkan?”
“Sudah sejak awal nego dulu, Pak. Tapi ....”
“Katakan pada mereka,” aku memotong cepat, “10 % atau tidak sama sekali. Masih banyak yang lain yang mau.”
“Baik, Pak. Akan saya sampaikan. Terus, ini berita dari Pusat, Pak, mereka minta fee 2½ % untuk pencairan yang kemarin. Bagaimana, Pak?”
“Makin rakus saja mereka. Nanti saya bicarakan dengan Pak Bupati. Oh ya, yang 300 juta untuk beliau sudah diserahkan?”
“Sudah, Pak, langsung saya sampaikan kepada beliau. Oh ya, bagaimana dengan DPRD besok, Pak? Nampaknya mereka bersemangat sekali menyorot proyek kemaren itu. Beberapa asosiasi juga ….”
“Katakan saya harus ke Pusat. Sampaikan minta maaf dan minta dijadwal-ulang – yang agak lama. Jangan lupa masing-masing pimpinan 5 juta, termasuk asosiasi-asosiasi itu.”
“Terakhir, Pak, bagaimana dengan masalah Pak Arief?”
“Ya?”
“Kabag Humas dan ….”
“Oh ya. Katakan padanya, Pak Bupati memperingatkan kalau masih juga main-main api dengan Partai @#$%^&*, dia harus siap-siap angkat kaki. Jangan lupa juga katakan target dia tahun ini 1 milyar, berani atau tidak. Kalau tidak, banyak yang lebih berani dari dia. Orang tua kolot itu ….”
Ponsel itu kemudian aku tutup. Emak masih juga diam, dengan badan setengah membungkuk, pandang merunduk, dan jari-jemarinya masih juga tak lepas memilin-milin tepi renda kain taplak meja. Sekali lagi kuhela napas panjang.
Aku pun kemudian keluar. Matahari telah merah condong ke barat, dengan siluet-siluet silau menerobos sela sebuah rumah seperti villa mungil dan sebuah rumah yang lebih besar dan megah. Ya, rumah emak peninggalan almarhum bapak yang di kampung, sudah pun aku pindahkan bulat-bulat ke sini. Agak di pojok belakang antara dua rumah itu. Tak cukup jugakah?
Payungsekaki, 05/12.
Publikasi #1: Pekanbaru Pos, 21-01-2012.
[Antologi Bulan Seribu Malam]


www.manangga3.blogspot.com
 Ikat Pinggang [CERPEN]


        Babah Lim barangkali tak dapat dibedakan dengan gentong kalau mereka berdiri berdampingan. Lihat saja figur badannya. Mukanya bulat seperti tutup gentong dengan sedikit di atas dagunya yang berlipat itu ada garis mulut kuda nil yang pada saat membuka akan bundar seperti mulut gentong, plong! Dan mengeluarkan bau seperti karbit lama diperam. Lalu di bawah dagu itu, tidak jelas yang mana leher, mulailah badan itu mekar membulat secara luar biasa dalam harmoni keserbalebihan dan sedikit tersendat pada dekat pinggang. Persis tak ubah badan gentong yang mengecil di dekat tapaknya. Tetapi tentu saja tubuh Babah Lim tidak hanya sampai di situ, karena ia masih punya pinggul dan kaki sebagaimana manusia normal lainnya. Walaupun tidak begitu jelas batas-batas antara pinggang dan pinggul itu bukan berarti kekurangan. Apalagi manakala lebih turun lagi maka kita akan segera menemui kesulitan untuk mendapatkan celah antara kedua paha Babah Lim itu. Itu semua tak lebih dari hanya karena situasi dan kondisi telah membuat semakin menyatunya antar-bagian dari tubuh Babah Lim itu. Akhirnya yang akan agak melegakan kita barangkali hanyalah ketika mata kita sampai pada betis dan kedua telapak kakinya yang terlihat begitu kokoh menopang tubuh subur itu, tak ubahnya seperti gentong yang punya kaki atau meja untuk kedudukan, hanya saja biasanya terdiri atas tiga atau empat buah kaki dan bukan dua.
            Kalau aku mengingat-ingat uraian di atas aku akan selalu tersenyum sendiri. Begitulah cara temanku Akhmat (dengan t dan bukan d) menggambarkan bos tempatnya bekerja selama ini, apabila ia sedang naik kesal. Dan yang lebih menimbulkan kegelian bagiku adalah begitu kontrasnya antara orang yang bercerita (sambil menggerutu) dengan orang yang diceritakannya itu. Akhmat sendiri begitu kurusnya, sehingga ketika aku bertemu kembali dengannya beberapa waktu yang lalu setelah kami sekian lama terpisah oleh gelombang kehidupan masing-masing mengira bahwa aku telah bertemu dengan salah seorang pengungsi Somalia. Sampai sekarang pun aku masih ragu apakah temanku ini masih punya dengan apa yang disebut daging atau tidak. Ah, kalau saja ia sedikit berwajah memelas dan duduk di trotoar pasar dengan kaleng terbuka di pangkuannya, dapat aku pastikan bahwa kaleng itu tidak akan butuh waktu yang lama untuk penuh dengan uang pemberian orang yang merasa iba dan seakan-akan ikut menderita dengan melihatnya. Tapi tidak, temanku ini bukanlah seorang yang bertipe suka dikasihani. Jangankan untuk meminta-minta uang misalnya, diberi pun belum tentu ia akan mau menerimanya. Walaupun aku tahu pekerjaannya dengan Babah Lim selama ini belumlah dapat dikatakan mampu untuk mendukung kebutuhan hidupnya secara sangat sederhana sekalipun. Tapi begitulah Akhmat, meski tak jarang dibelit kesulitan ekonomi, wajahnya tetap saja selalu ceria dan dari celah kedua bibirnya yang sedikit tebal dan kehitaman itu selalu saja keluar joke-joke yang menggelikan. Sepertinya kehidupan ini baginya penuh dengan bumbu humor yang menyegarkan. Hal yang kadang-kadang membuatku merasa iri.
            Tapi agaknya keceriaan seperti itu akan segera berakhir. Beberapa minggu yang lalu ketika aku bertemu lagi dengannya, aku jadi terkejut karena terlihat ia semakin mengenaskan. Tubuhnya kian tampak kurus saja, dan yang sungguh mengejutkan adalah pinggangnya itu! Kenapa jadi begitu genting sekali? Ia jadi terlihat seperti seekor kerengga yang kurang makan. Setelah kuperhatikan benar-benar agaknya ikat-pinggangnya itu yang jadi masalah; sepertinya tidak proporsional dan begitu erat mencengkeram dirinya. Namun yang tambah membuatku heran (sekaligus jengkel) adalah ia tetap saja seperti biasa. Penuh tawa dan humor; sepertinya tidak ada kejadian atau keanehan apa-apa yang patut dirisaukan. Meskipun sempat kusinggung tentang ikat-pinggangnya itu ia malah tertawa-tawa dan mengajakku melihat bosnya, Babah Lim.
            “Ha ha ha …, ini belum seberapa. Ada yang lebih lucu lagi. Coba kaulihat Si Gentong itu, pasti lebih lucu. Ayo.” Dan begitu kami sampai di dalam, dengan sembunyi-sembunyi kami berhasil melihat Babah Lim. Astaganaga! Aku terkejut setengah mati. Apakah aku tak salah lihat? Berdiri di pojok sana sambil memeriksa kerja seorang karyawannya Babah Lim terlihat hampir tak ada bedanya dengan karikatur Panji Koming-nya Dwi Koen beberapa tahun lalu. Benar juga kata Akhmat, Babah Lim seperti itu jadi semakin terlihat lucu. Ia jadi tampak seperti sebuah gentong yang terkebat, atau barangkali lebih tepatnya seperti balon yang tiba-tiba di tengahnya dikebat erat dengan seutas benang, atau – ah ya – mungkin mirip sekali dengan kendi buah labu dalam film-film kungfu pendekar mabuk yang diletak terbalik sehingga bulat yang besar berada di atas. Menggelikan sekali, sekaligus mengherankan. Mengherankan karena setelah kuperhatikan lebih seksama ternyata tidak hanya mereka berdua saja yang seperti telah dimakan ikat-pingganya, melainkan semua karyawan yang ada di situ juga mengalaminya. Hanya saja temanku Akhmat dan Babah Lim saja yang terlihat sangat ekstrim karena pada dasarnya tubuh mereka berdua memang sudah ekstrim, meskipun berseberangan.
            Ketika kemudian kami kembali ke depan ke bagian temanku Akhmat bekerja setelah puas melihat-lihat ulah Babah Lim dan karyawannya, dengan penasaran aku bertanya apa yang telah terjadi. Pada mulanya ia tak mau menceritakan. “Tak ada apa-apa.” katanya. Dan kemudian membelokkan pembicaraan ke cerita-cerita lucu dan anekdot, sambil ia tetap melanjutkan kerjanya. Namun setelah berkali-kali kudesak, akhirnya ia mengalah juga (“Itulah yang aku salut padamu. Sebagai seorang wartawan kau degil sekali untuk mendapatkan informasi dan belum berhenti sebelum berhasil.” gerutunya), dan kemudian mulai bercerita.
            “Kaulihat apa ini?” katanya sambil melepas ikat-pinggangnya dan kemudian mengayun-ayunkan di depan mataku seperti ular mati. Aku sengaja tak menjawab karena kalau sudah begini ia tak perlu dipanas-panasi lagi untuk melanjutkan ceritanya. “Ini sabuk, alias ikat pinggang. Kaulihat sabuk ini terbuat dari kulit asli, tahan sekali dan sangat kuat. Tak ada lagi orang menjualnya.” katanya kemudian sambil menarik-narik kedua ujung ikat pinggang itu seolah-olah ingin mendemonstrasikan kekuatannya. “Sabuk inilah satu-satunya warisan almarhum ayah yang paling aku banggakan. Tapi sekarang inilah jadinya. Kaulihat ujungnya ini? Ini baru saja kukerat.” Aku memperhatikannya dan memang betul seperti tampak baru dipotong. Seperti ular buntung saja. Tak sadar aku bertanya,
            “Kenapa dipotong?”
            Wajah Akhmat tiba-tiba bergaris sedih. Jarang sekali aku melihatnya demikian. Tiba-tiba aku merasa bersalah telah bertanya seperti itu.
            “Ini bermula dari Babah Lim. Kau sudah lihat Babah Lim tadi ‘kan?”
            “Ya, kenapa?”
            “Beberapa tahun yang lalu sebetulnya tubuh Babah Lim tidaklah sesubur itu. Tetapi sejak setahun dua belakangan ini, semenjak perusahaannya ini berkembang pesat, tubuh beliau pun tiba-tiba ikut membengkak seperti gajah diamuk lebah. Pada mulanya beliau kurang begitu memperhatikannya. Tetapi sejak akhir-akhir ini istrinya sering memarahinya sehubungan dengan badannya itu dan beliau sendiri pun mulai merasa kesulitan setiap akan mengikat tali sepatu, beliau mulai menyadari ada yang salah pada tubuhnya itu. Maka beliau kemudian bertekad untuk melangsingkan kembali perutnya, atau setidak-tidaknya janganlah terlalu gendut seperti sekarang ini. Nah, beberapa waktu yang lalu istrinya membawa seorang shinse untuk mengobati kegemukan beliau itu. Sang shinse agaknya kehabisan akal juga untuk membuat tubuh Babah Lim kembali langsing dengan cepat, seperti yang dimintanya. Akhirnya kautahu apa yang disarankan shinse itu. Selain minum jamu-jamu ramuannya Babah Lim juga diharuskan setiap hari memakai ikat pinggang yang pendek sekali. Pokoknya tak sesuai dengan pinggang Babah Lim yang seperti gentong itu. Kautahu apa akibatnya? Perut Babah Lim jadi naik mendesak ke atas dan beliau pun jadi sering sesak napas. Tapi memang dasar tekadnya ingin langsing dengan cepat, ia jalani saja itu semua.”
            “Aneh juga.” cetusku keheranan. “Tapi apa hubungannya dengan kau dan karyawan lainnya? Kenapa ikut-ikut memakai ikat pinggang pendek semacam itu?”
            “Itulah.” lenguh Akhmat tiba-tiba lesu lagi. “Aku tak tahu apa ini termasuk peraturan perusahaan atau apa. Yang jelas tak berapa lama setelah itu kami semua dipanggil menghadap beliau. Di situ beliau menjelaskan berbagai hal yang dialaminya dan tekadnya untuk menjadi langsing itu. Karena itu sebagai karyawan yang setia kami semua diharuskan ikut berbuat seperti beliau. Kalau ikat pinggang beliau dipotong sesenti oleh shinse itu, maka kami pun harus begitu. Dalam setengah tahun ini telah tiga kali dipotong.”
            “Wah, tak bisa begitu!” jeritku tiba-tiba. Sebagai seorang wartawan aku mencium ketidakberesan itu. “Mana bisa hal-hal yang bersifat pribadi karyawan pun ikut menanggungnya.”
            “Itulah.” Akhmat memotong cepat. Kuatir agaknya jeritku semakin nyaring. “Bukan kami tak pernah membantah. Tapi apa kata beliau: ‘Ini perintah saya sebagai atasan! Kalau ada yang tak setuju boleh angkat tangan dan silahkan bikin surat pengunduran diri!’. Nah, apa yang mau dikata? Zaman sekarang mencari kerja sama dengan menghitung bintang di langit. Akhirnya kami semua pun menurut saja. Apalagi kata beliau, kalau ada yang tak punya ikat pinggang boleh segera bon duit untuk membelinya. Pokoknya semua harus sama merasa. Dan kata beliau pun itu juga demi kesehatan kami semua. Apa iya ….”

            Berhubung hari telah sore aku pun segera kembali ke kantor untuk menyampaikan laporan dan mengisi absen; walaupun aku meninggalkan temanku itu sambil menggerutu karena merasa heran dan kesal sekali menyadari kejadian yang sebenarnya. Di samping itu pun tiba-tiba aku mencium adanya bahan berita yang cukup menarik.
            Tapi beberapa waktu kemudian aku ditugaskan ke daerah oleh bos untuk meliput bencana alam banjir yang membuat jalan baru yang menuju Rengat dari Pematangreba retak terbelah. Di samping itu aku juga ditugaskan untuk membuat feature tentang jalan Lintas Timur Sumatera yang sedang giat-giatnya dikerjakan dari Lirik sampai Reteh di perbatasan Propinsi Jambi. Proposalku untuk membuat berita tentang kejadian di perusahaan tempat temanku Akhmat bekerja itu praktis ditolak mentah-mentah. “Tak masuk akal!” kata bosku. Aku pun angkat bahu. Namun sebelum berangkat ke Rengat aku sempat lewat dan melihat betapa Akhmat kelihatan semakin ceking dan pucat.

            Beberapa bulan kemudian aku berhasil kembali ke kota ini dengan selamat. Setelah dari Rengat itu aku ditugaskan pula ke Bintan dan Batam meliput berita tentang keributan masalah gantirugi tanah. Lalu ke Jakarta ditugaskan ikut kursus kewartawanan selama tiga minggu, dan terakhir ke Medan ikut mendampingi bos dalam rapat PWI. Lemas juga badan ini rasanya mengikuti kegiatan yang tak putus-putus itu, walaupun dalam hati senang sekali. Mana mata kuliahku pun jadi banyak tertinggal sehingga harus kukebut. Dan, ah ya, kukira aku sudah rindu juga mau ketemu Akhmat. Entah bagaimana pula keadaannya sekarang. Mudah-mudahan tetap sehat, dan penuh humor seperti biasanya. Aku pikir aku harus menemuinya besok atau paling tidak lusa. Tapi baru saja aku berpikir begitu, tiba-tiba kawan-kawan sekantor pada ribut. Ada apa ‘ni? “Ada monster! Ada monster!” seru mereka dengan panik sambil berlari kian kemari. Di mana? “Di pabrik Babah Lim!” Pabrik Babah Lim …? Hah! Pabrik Babah Lim? Sadar, aku pun ikut meloncat mengejar mereka sambil tak lupa menyambar tustelku. Dalam perjalanan aku sempat berpikir, kira-kira ada apa gerangan? Apa yang mereka maksud dengan monster itu?
            Sesampainya di pabrik Babah Lim aku sungguh tak percaya dengan pemandangan yang kulihat. Barangkali inilah pemandangan yang paling spektakuler yang pernah kulihat selama hidupku. Di sana, puluhan kerengga raksasa berwarna merah darah sibuk mengamuk meluluh-lantakkan bangunan-bangunan pabrik Babah Lim yang semula begitu kokoh itu; seperti memijak-mijak kerupuk saja layaknya. Semua orang terlongong-longong keheranan dan ketakutan menyaksikan kejadian itu. Sementara Babah Lim dan istrinya berlari-lari kian-kemari tak tentu arah.  Aku pun berpikir, dari mana gerangan monster-monster kerengga itu? Kerengga! Ha, aku ingat. Astaghfirullah. Kusimak lagi baik-baik monster-monster itu untuk lebih meyakinkan. Benar saja, di pinggang kerengga raksasa yang genting itu semuanya ada terkebat ikat pinggang. Dan satu di antara ikat pinggang itu aku kenal betul: terbuat dari kulit asli, sangat kuat dan tahan lama, dan sekarang tak ada lagi yang menjualnya ….
 Payungsekaki, 03/93.
Publikasi #1: Pekanbaru Pos, 11-07-1993.
[Antologi Hikayat Hang Jebat]

www.hiduptanpajudul.wordpress.com

Mulutku Memakan Aku [CERPEN]


                Bunyi telepon berdering.
           “Halo!” sahutku setengah kesal. Keletihan acara seharian tadi belum juga hilang hingga menjelang pemuncak malam ini. Dan sekarang, pada saat-saat tubuh dan pikiranku ingin betul-betul beristirahat, telepon itu berdering nyaring, meretas keheningan malam. Entah siapa yang telah menyentilnya.
                “Selamat!”
             “Apa?” antara rasa malas, letih, dan kesal; gendang telingaku tidak dapat menangkap dengan jelas suara dari seberang.

           Begitulah. Sebagai salah seorang kader partai, aku mulai memasuki tahap-tahap yang sibuk dan meletihkan. Pemilihan Raya – yaitu prosesi pemberian kuasa hak suara oleh rakyat kepada yang mewakilinya – tinggal beberapa bulan lagi. Dan sekarang, setelah beberapa bulan berdiri, partai ini mulai memasuki tahap konsolidasi dan promosi – kalau tidak mau disebut ‘kampanye terselubung’ – karena jadwal resmi kampanye sebenarnya masih tiga bulan lagi. Tapi, siapa yang tidak melakukannya?
                Dan, oh ya, partai ini baru beberapa bulan berdiri? Ya, sekarang adalah zaman perubahan. Tiba-tiba saja di negeri ini partai-partai politik baru bertumbuhan bagai jamur di musim hujan – demikian kalau menggunakan idiom klasik. Banyak partai yang benar-benar baru, banyak pula yang merupakan partai nostalgia, beberapa di antaranya partai yang beralih-rupa, tak kurang pula partai yang ‘merasa’; merasa memiliki sejumlah massa, merasa memiliki hubungan emosional-kesejarahan, merasa memiliki hubungan sosial-budaya, merasa memiliki kekuatan sumberdaya ekonomi yang mumpuni, serta merasa merekalah partai yang paling mampu melakukan. Atau kombinasi di antaranya.
                Ya, tiba-tiba saja di negeri ini semua orang berteriak tentang sebuah zaman baru, zaman perubahan, zaman keterbukaan, zaman kedaulatan rakyat, zaman yang bersih, dan entah zaman apa lagi. Yang pada intinya semuanya ingin segera pergi meninggalkan ruang-ruang gelap di masa lalu untuk menuju ke taman yang indah cemerlang gemilang. Entah dengan tekad yang sebenar-benarnya, entah hanya sekadar di mulut saja. Entah. Sementara itu semboyan besar tentang zaman tinggal-landas telah terpuruk kembali ke landasannya, yang kini justru telah luluh-lantak. Dan aku sendiri, sebagai salah seorang generasi muda yang darahnya masih kental dan panas, tentu saja tidak ingin ketinggalan dalam mengiring geliat zaman ini; karena aku tahu betul adagium lama di mana siapa yang tidak dapat mengikuti gerak putar roda zaman, maka ia akan terbenam dilindasnya. Karena itu aku lalu masuk menjadi anggota sebuah partai yang baru saja berdiri, tetapi sangat terkenal, karena menurut prediksi para ahli partai ini akan menjadi salah satu yang terbesar di zaman ini – kalau bukan yang paling besar. Dan kebetulan pula – sungguh!, hanya kebetulan – salah seorang pamanku menjadi salah satu wakil sekretaris jenderal partai. Karena itu tidaklah begitu mengherankan kalau kemudian aku direkrutnya menjadi salah seorang asistennya. Jabatan resminya berjudul: Asisten Dua Wakil Sekretaris Jenderal III Bidang Konsolidasi Partai. Tapi – sungguh! – aku percaya jabatan itu bukanlah karena unsur KKN yang akan diberantas oleh seluruh anak-bangsa itu. Bagaimana pun, aku merasa cukup punya harga untuk jabatan itu meski dalam usia semuda ini, tiga puluh tiga tahun. Sedikit sekali orang seusia itu di negeri ini yang sudah menyandang gelar doktor, bukan?

                “Maaf. Ini Saudara Syahkroni?”
                “Iya.” Telingaku mulai terang kembali.
                “Selamat, ya. Saudara telah berhasil menangani event siang tadi.”
                Astaga! Dia! Sang Ketua Umum Partai! Astaga, mimpi apa aku? Apa aku mimpi? Uf, baru dapat kukenali suara itu. Suara yang berat namun terdengar lantang. Dan, di tengah-tengah malam begini pula, Beliau sempat-sempatnya meneleponku hanya sekadar untuk memberikan ucapan selamat? Astaga, kalau benar ini Beliau, baru kali inilah aku dapat berbicara secara langsung dengannya, walaupun baru lewat telepon.
                “Ini …. Ini, Bapak?” tanyaku hati-hati.
                “Benar. Sekali lagi: Selamat, ya?”
Seketika hatiku berbunga-bunga.
                “Terimakasih, Pak.”

                Ini, pasti karena kejadian siang tadi. Sebuah cabang Partai yang baru dibentuk akan segera dideklarasikan, dan kebetulan pamanku yang diutus untuk mewakili Dewan Pengurus Pusat yang kebetulan sedang sibuk acara konsolidasi di pusat untuk menghadiri acara tersebut. Maka kemudian berangkatlah pamanku itu bersama beberapa asistennya, tentu termasuk aku. Dan, setelah beberapa jam di atas pesawat yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat beberapa jam, kami pun sampai di tengah belasan ribu massa (tentu termasuk simpatisan maupun sekadar penonton) partai, di bawah terik matahari. Prosesi pendeklarasian kemudian segera saja dimulai. Mula-mula beberapa acara hiburan disuguhkan seperti: musik, komedi. Lalu berlanjut ke acara penyembelihan seekor kerbau, pelepasan puluhan burung merpati, pembacaan deklarasi, pembacaan platform Partai, dan kemudian mengenalkan beberapa pengurus cabang. Secara keseluruhan acara berlangsung cukup meriah, tetapi lebih separuh massa aku lihat mulai tampak bosan. Apalagi karena konon tadinya mereka sebenarnya sudah berharap-harap untuk dapat melihat secara langsung Ketua Umum Partai – yang memang secara person sangat populer di sepenjuru negeri itu – sebagaimana yang telah dijanjikan dan digembar-gemborkan oleh para pengurus cabang. Karena itulah ketika sampai giliran pamanku memberikan kata sambutannya – mewakili DPP, beliau terlebih dahulu menyampaikan permintaan maaf sehubungan dengan ketidakdatangan Ketua Umum Partai. Tetapi permintaan maaf itu agaknya sudah terlambat, karena sambuatan yang terdengar dari massa hanyalah suara “Hu ….”, seperti sekawanan lebah yang terbang menjauh. Massa sudah kian terlihat kecewa dan bosan, dan tampak mulai beringsut meninggalkan arena. Apalagi kemudian ditambah dengan pidato pamanku yang – anehnya – kali ini terdengar tidak menarik; dengan diselingi batuk-batuk yang kian lama kian beruntun. Ini tidak boleh terjadi; pikirku dalam hati. Apalagi acara pembukaan selubung lambang Partai – sebagai acara puncak – belum lagi sampai. Kami pun mulai merasa was-was; apalagi para pengurus cabang.
                Lalu, entah bagaimana – mungkin karena sudah tidak tahan lagi dengan batuknya yang kian menggebu-gebu itu, begitu saja pamanku melambai ke arahku dan mundur dari mikrofon.
                “Lanjutkan!” katanya setengah berbisik, sambil menyerahkan beberapa lembar kertas. Aku, tentu saja jadi terkejut dan sedikit bingung. Lalu, mungkin linglung. Begitu saja kemudian tubuhku seperti terdorong, dan kakiku melangkah dengan capat ke depan mikrofon. Sejenak suasana jadi hening, kecuali batuk-batuk beruntun dari pamanku. Dan karena keheningan sejenak itulah barangkali yang membuat massa jadi terpana – setelah riuh-rendah beberapa saat tadi. Bahkan sempat aku perhatikan orang-orang yang semula hendak meninggalkan arena jadi ikut-ikutan terpana dan menghentikan langkahnya. Agaknya, tanpa disengaja mungkin inilah salah satu ilmu psikologi massa: manusia selalu ingin tahu sesuatu yang baru. Atau seperti ketika Napoleon yang terlalu asyik berbicara dalam suatu pertunjukan konser musik klasik, kemudian menyadari bahwa sang konduktor telah menghentikan pertunjukannya dengan tiba-tiba. Beliau menjadi marah, tetapi dengan tenang sang konduktor menjawab diplomatis, “Kalau Baginda yang berbicara, bahkan bumi pun akan berhenti berputar.”
                Tapi, aku belum dapat segera memutuskan apa yang harus kubuat. Apakah aku akan membuka lembaran-lembaran kertas itu dan lalu membaca tulisan yang ada di dalamnya begitu saja? Uh, kupikir itu akan kian membuat mereka bertambah bosan dan merasa tidak dipedulikan. Aku memang bukan tidak pernah berdiri di atas podium sebelumnya. Tapi, di depan massa yang seperti ini sungguh merupakan pengalaman baru bagiku. Lalu, apa yang harus kuperbuat?
                Tetapi, entah datangnya dari mana, tiba-tiba saja kedua tanganku telah bertepuk dengan keras. Suara tepukan keras di moncong mik itu tentu saja jadi membahan keluarnya di loudspeaker. Aku sendiri jadi ikut kaget. Tapi, sudah terlanjur ….
                “Saudara-saudara.” Kataku kemudian. “Sekarang izinkanlah saya untuk memberi sedikit hiburan, di tengah hari yang terik ini. Saya yakin Saudara-saudara pasti sudah capek dan bosan dengan segala pidato dan ocehan kami-kami. Karena itu, sekaranglah saatnya Saudara-saudara untuk berdiri atau duduk dengan santai. Sambil melepas lelah. Sambil minum-minum, atau makan-makan; kalau ada kue.” Terdengar desiran tawa datar. “Sementara itu, izinkanlah saya memberi sedikit hiburan lagi, yang barangkali saja akan dapat menghibur Saudara-saudara semua, sebelum musik dangdut kita dendangkan lagi di akhir acara. Setuju?” begitu saja aku berbicara.
                “Setuju.”
                “Setuju!”
                “Hiburan apa?!”
                Terdengar suara-suara sporadis bertebaran.
                “Baiklah.” Lalu kurogoh saku bajuku, mengambil sehelai saputangan yang berwarna krem, sambil menyimpan kertas yang tadi diberikan pamanku. Kertas yang berisi kata sambutan dari Sang Ketua Umum Partai – maafkan saya, istrihatlah dulu; gumamku.
                “Hiburan ini adalah hiburan ringan saja. Saudara-saudara lihat saputangan saya ini? Apa warnanya?” kataku kemudian sambil mengibar-ngibarkan saputangan itu.
                “Kuning!”
                “Pink!”
                “Krem!”
                “Ya! Saputangan ini warnanya adalah krem atau kuning gading. Dan, dengan cara ini, sesaat lagi saputangan ini akan saya ubah warnanya menjadi …,” dengan lagak seorang maestro sulap aku menggumpal-gumpalkan saputangan itu ke dalam genggaman tangan kiriku, lalu dengan sentakan tiba-tiba aku membentangkannya kembali,
                “Lambang Partai!”
                Maka, berkibar-kibarlah sehelai kain bergambarkan lampang Partai yang warnanya sama sekali berbeda dari warna saputanganku tadi. Seketika terdengar suara tepukan yang membahana dari arena, serta suitan di sana-sini, dipandu oleh beberapa anggota pengurus cabang. Tentu mereka tidak perlu tahu bahwa saputangan bergambarkan lambang Partai itu bukanlah benda yang aneh di kantor pusat.
                “Hidup Partai!” teriakku tiba-tiba, sambil mengacungkan suatu konfigurasi jari tang yang mengacu kepada simbol partai kami.
                “Hidup!”
                “Hidup Partai.”
                “Hidup Partai!”
                “Dan sekarang,” lanjutku kian bersemangat, “saya akan mengubah airi di botol …. Botol apa ini?” aku meraih sebuah botol minuman dari meja terdekat.
                “Cocacola!”
                “Fanta!”
                “Sirop!”
                “Bir!”
                Terdengar ledakan tawa sporadis, mendengar yang terakhir. Aku pun sedikit ikut tertawa, melayani kenakalan sebagian massa.
                “Tak pentinglah, ya. Yang penting, warnanya apa?”
                “Merah!”
                “Merah!”
                “Oke. Dengan cara ini …,” menutup badan botol dengan saputangan berlambang Partai tadi, “saya akan mengubah warna air minuman ini menjadi …,” mengambil sebuah gelas yang masih kosong, lalu menuangkan air minuman botol itu ke dalamnya dengan gerakan yang demonstratif, “warna kita!”
                Kembali terdengar tepukan membahana. Dan, setelah satu dua permainan lagi, aku segera mencoba menyampaikan amanat Sang Ketua Umum.

                “Begitulah, Saudara-saudara! Seperti itulah kira-kira apa yang sebenarnya telah kita alami selama ini: penipuan, kebohongan! Bagaikan bermain sulap, mereka selama ini telah mempermainkan kita, Saudara-saudara. Telah menipu, telah memperdaya, dan telah membodoh-bodohi kita. Apakah Saudara-saudara masih mau dibegitukan oleh mereka lagi?”
                “Tidak.”
                “Tidak!”
                “Bagus! Tentu saja tidak. Bahkan kalau Saudara-saudara mau tahu, masih jauh lebih baik para pesulap itu daripada mereka-mereka selama ini. Karena apa? Karena para pesulap itu memang bertujuan untuk menghibur kita, meskipun memang dengan cara memperdaya. Tetapi mereka-mereka itu, tujuannya hanyalah untuk memperdaya kita agar mereka dapat dengan leluasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menguras kekayaan negeri ini hanya untuk anak cucu, kerabat, dan keturunan mereka sendiri; serta melanggengkan kekuasaan mereka, seperti zaman raja-raja saja. Tetapi, kalau ada di antara kita yang tidak terperdaya oleh tipuan mereka, mereka lalu melumpuhkannya dengan berbagai cara. Interogasi atau bersih-diri, cuci otak, ancaman keselamatan diri, cekal atau cegah-tangkal, penjara, culik, rekayasa kerusuhan, bahkan pembunuhan! Banyak saudara kita yang mengalaminya di masa lalu. Sekarang, apakah Saudara-saudara masih mau diperlakukan seperti itu di alam yang telah bebas merdeka ini?”
                “Tidak!”
                “Tidak!!”
                “Tidak!!!”

                Dan selanjutnya terasa jadi lebih mudah bagiku untuk meneruskan acara itu, sorak-sorai itu, yang bahkan seringkali diselang-selingi dengan suara tawa yang membahana manakala aku menyelipkan sebuah lelucon maupun anekdot. Dan, yang jauh lebih penting, aku pun akhirnya berhasil pula menyampaikan amanat dan kata sambutan  Sang Ketua Umum hingga tuntas, tanpa sampai harus ditinggal pergi oleh massa. Mereka hanya benar-benar bubar manakala seluruh rangkaian acara memang telah benar-benar tuntas dengan penutup lagu “Gelang Sipatu Gelang” yang dibawakan dalam cengkok dangdut; dan kami pun harus segera bergegas mengejar pesawat.

                “Begini,” Beliau kembali berbicara, “kami melihat Saudara sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar sekali. Seharusnya Saudara mulai memanfaatkan secara maksimal potensi Saudara itu.”
                “Terimakasih, Pak. Saya ….”
                “Begini, kami telah sepakat untuk menempatkan Saudara sebagai salah seorang calon anggota legislatif. Bagaimana menurut Saudara?”
                Apa? Aku tergagap sendiri. Calon anggota legislatif? Ini sungguh di luar jangkauan pemikiranku sebelumnya saat memutuskan untuk bergabung dengan partai ini. Aku sungguh tidak menyangka ….
                “Bagaimana?”
                “Saya ….”
                “Saudara tentu telah mengerti bahwa sebetulnya untuk dicalonkan sebagai salah seorang anggota legislatif di partai kita ini bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, serta berbagai persyaratan, rekomendasi, dan lain-lain. Dan, kita tidak akan menolerir hal itu hanya karena ada hubungan kekerabatan atau semacam itu. Tidak. Namun, kadangkala ada hal-hal yang bersifat sangat khusus, yang dapat diambil-alih oleh kami di sini. Ingat, banyak yang hanya sekadar berharap untuk mendapatkan hal yang seperti itu. Saudara mengerti?”
                “Mengerti, Pak.” Aku masih mencoba menenangkan diriku. “Saya sungguh merasa sangat terhormat dan senang mendapatkan kepercayaan dari Bapak. Saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang Bapak berikan.”
                Terdengar Beliau tertawa perlahan.
                “Itu bukan dari saya sendiri, itu keputusan kami bersama yang ada di sini. Tetapi, bagus kalau begitu. Namun tetap harus diingat bahwa posisi kita ini sebenarnya adalah para pejuang. Pejuang. Kita harus berjuang menegakkan partai kita ini hingga menjadi besar dan kuat. Kita harus berjuang meruntuhkan sisa-sisa kekuasaan lama. Kita harus berjuang untuk menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, dan kemakmuran bersama. Sepertinya terdengar indah, penuh romantika. Namun perjuangan juga adalah berarti  kerja keras dan pengorbanan. Bagaimana, Saudara siap?”
                “Saya siap, Pak.”
                Lalu hening beberapa saat, sampai,
                “Baiklah. Kalau begitu selanjutnya adalah urusan Sekretariat untuk mengaturnya. Saudara akan dicalonkan dari daerah mana, kita lihat latar belakang Saudara serta komposisi pencalonan yang sudah tersusun saat ini. Tetapi saya yakin Saudara pasti mampu. Baiklah, besok pagi Saudara dapat menemui Sekjen. Sengan Saudara sebagai salah seorang asistennya, partai kita pastilah akan menjadi lebih maju.”
                Mendengar itu aku kembali bersorak dalam hati; tiba-tiba saja dari seorang asisten wakil sekretaris jenderal, sekarang aku menjadi asisten sekretaris jenderal. Tanpa ‘wakil’. Hm, Dewi Fortuna agaknya sedang berada dekat-dekat denganku akhir-akhir ini.
                “Dan ingat, secara pribadi saya sampaikan bahwa tidak tertutup kemungkinan kelak ada peluang bagi Saudara untuk ikut serta di dalam pemerintahan – tentu saja kalau partai kita menang. Menjadi seorang dirjen di kementerian, misalnya. Kami di sini merasa latar belakang Saudara selama ini cukup mendukung. Terus terang, kita memang sangat membutuhkan tenaga-tenaga muda seperti Saudara. Orang-orang yang masih punya semangat tinggi, energik, dan beridealisme murni. Karena itu mulai sekarang Saudara persipkanlah diri Saudara baik-baik, karena kita akan membuat sejarah, bahkan barangkali dengan menempatkan seorang menteri yang termuda sepanjang sejarah Republik ini. Why not, bukan? Oke?”
                “Saya …. Saya memahami apa yang Bapak sampaikan. Saya akan berusaha dengan segenap kemampuan saya.”
                “Bagus.”

                Lalu, hubungan telepon kami selesai. Tapi, segera setelah itu tubuh dan pikiranku seperti melayang-layang. Yah, sekarang aku telah menjadi seorang asisten sekretaris jenderal! Hm, aku benar-benar sudah sangat dekat dengan inner circle, lingkaran dalam penguasa partai. Dan pada saat yang sama, dicalonkan pula untuk menjadi anggota legislatif. Kedua hal itu mungkin tidak terlalu istimewa. Tetapi dengan peluang bonus di pemerintahan sebagai dirjen – atau kalau tidak salah bahkan menteri, kata Beliau? – itu baru betul-betul istimewa. Telepon tengah malam kali ini benar-benar membuat perasaanku berbungah-bungah. Namun, bagaimana pun itu semua selain peluang, pada saat yang sama adalah merupakan tantangan yang harus dipertanggungjawabkan, yang mulai sekarang harus aku tetapkan sebagai sasaran.
                Bonus peluang untuk menjadi salah seorang pejabat (tinggi) di pemerintahan, yang bahkan dengan embel-embel kemungkinan pemecahan rekor sejarah bangsa sebagai menteri yang termuda; menjadi pemikiran tersendiri juga bagiku di sini. Sekali lagi, aku bisa saja menilai hal itu bukanlah sesuatu hal yang teramat istimewa. Dalam radius seusiaku, seorang Sergey Kiriyenko dan Tony Blair sudah jauh melampaui apa yang bahkan baru sekadar dijanjikan (yang barangkali saja sebagai pemanis) kepadaku. Mereka telah menjabat setingkat perdana menteri. Tapi biarlah, karena negeri ini memang sepertinya milik para orang-orang tua. Romantisme pemimpin muda di masa awal kemerdekaan dulu agaknya tinggal kenangan. Padahal, aku berkeyakinan seharusnya para angkatan-mudalah yang memimpin negeri ini, karena kita tentu ingin membawa negeri ini melangkah menuju masa depan dan bukannya surut ke dalam nostalgia kaum tua.
                Begitulah. Beberapa hari kemudian, dalam jabatan yang baru dan sasaran yang baru pula, kesibukanku pun kian meningkat. Untunglah aku bukan seorang pegawai di mana pun, sehingga setiap langkah dan waktuku dapat kuatur sendiri. Maka, detak-detak jam dan hari jadi terasa berlalu begitu cepat. Apalagi dipacu dengan jadwal Pemilihan Raya yang demikian ketat dan padat. Maklumlah. Seperti yang sudah kukatakan tadi, negeri ini sedang mengalami proses perubahan yang sedemikian cepat. Negeri ini ingin segera meninggalkan zaman kegelapan, zaman jahiliyah, menuju ke zaman yang gilang-gemilang. Ingin segera keluar dari kepompong yang – entah bagaimana – membelenggunya selama ini, untuk selanjutnya menjadi kupu-kupu yang indah terbang bebas dan tinggi di alam yang luas. Itu kalau perubahan itu memang benar-benar terjadi, karena konon tidak sedikit pula orang atau kelompok orang yang tidak menginginkan adanya perubahan itu. Yitu orang-orang yang selama ini telah merasa nyaman berada di dalam kepompong raksasa itu. Tetapi, sulitnya lagi apabila ditanya – atau diwawancarai media terutama – tidak akan ada di antara mereka yang tidak menginginkan adanya perubahan – reformasi. Semua menginginkan adanya perubahan itu. Semua mengaku paling ahli dalam melakukan perubahan itu, serta paling tahu apa-apa yang harus diubah. Yang akhirnya dapat aku pahami, ‘perubahan’ yang mereka maksudkan itu ternyata ada dalam pemahaman mereka masing-masing. Maka, mereka masing-masing lalu saling berdebat bahwa merekalah orang yang paling paham tentang apa dan bagaimana perubahan itu. Sementara itu yang lebih menakjubkan lagi tiba-tiba saja banyak makhluk yang mampu bermimikri dengan baik, lalu secara ajaib segera memegang kendali wacana tentang perubahan. Di lain pihak, anak-anak muda yang semula menjadi peletup gerakan perubahan itu kembali tertinggal di belakang, dan menjadi pelajar-pelajar yang harus duduk manis kembali.
                Hari-hari berlalu, dan aku kian sering diikutsertakan dalam pertemuan-pertemuan penting Partai. Dan pada saat yang sama sudah mulai sering pula aku diberi kepercayaan untuk mewakili DPP dalam suatu acara atau pertemuan, terutama untuk di daerah. Sementara itu, aku pun mulai menyusun program, serta membiasakan diri untuk melakukan komunikasi dengan dan melalui media massa. Dalam zaman informasi, zaman pencitraan kepada publik, ini adalah salah satu bagian yang terpenting. Karena itu aku ingin memanfaatkannya secara maksimal; kalau perlu tanpa sampai harus mengeluarkan biaya, atau bahkan merekalah yang harus membayarku. Dalam hal ini, kedekatanku dengan dua tiga jaringan radio FM serta beberapa media cetak sebelumnya, mempermudah dan mempercepat usahaku itu hingga bahkan berkembang ke media layar kaca. Dengan cepat aku lalu berusaha membangun image bahwa aku adalah salah seorang pakar politik yang patut diperhitungkan di negeri ini, karena penuh dengan pemikiran-pemikiran baru dan segar, bahkan tak jarang kontroversial; hingga patut dijadikan salah seorang narasumber dan newsmaker. Maka, aku pun mulai rajin menulis artikel dan atau kolom di media-media cetak, memberikan komentar-komentar yang tak jarang spekulatif dan kontroversial tentang berbagai situasi di tanah air akhir-akhir ini. Memberikan analisis, pendapat, atau sekadar wawancara ala selebritis, dan bahkan ramalan. Mengherani bagaimana pemerintahan yang sekarang, yang konon sebagai pemerintahan transisi, bukannya berkonsentrasi menyelesaikan masalah-masalah jangka pendek, tetapi malah begitu gencar mengeluarkan produk undang-undang serta berbagai peraturan yang notabene seharusnya merupakan urusan pemerintahan baru hasil pemilihan langsung kelak, pemerintahan yang lebih legitimate. Bukankah cukuplah bagi mereka bersikap sekadar “kuantar (sampai) ke gerbang”?[1]
                Lalu, aku pun tak lupa menghadiri acara-acara pertemuan, diskusi, seminar, simposium; serta tak lupa pula acara-acara yang bersifat soial dan lain-lainnya.
                Ya, aku harus membangun image; yang barangkali bersepadan dengan Milan Kundera: imagologi. Di zaman ini kita harus membangun citra, agar mempunyai nilai diri yang tinggi dalam panggung globalisasi.
                Dengan cara itu dalam waktu yang relatif singkat akhirnya aku berhasil membangun citra diriku sebagaimana yang aku inginkan. Sekarang, pada setiap kesempatan namaku sering disebut-sebut di berbagai media. Buah pikiranku pun sering pula dikutip oleh mereka, bahkan ada pula yang menjadi titik-tolak atau tolak-ukur dalam hal yang berkaitan. Dengan demikian, apa yang kemudian terbenam dalam benak publik adalah citra diriku sebagai seorang reformis (sekarang ini yang terpenting), sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, anti status-quo, sangat concern dengan masalah kemiskinan dan pengangguran, ingin meningkatkan peran generasi muda, peduli akan maslah usaha kecil dan menengah, menentang segala perilaku KKN serta tindakan manipulatif lainnya, juga sebagai pribadi yang ramah, terbuka, humoris, dan tentu tampan ….
                Tetapi seperti kata pepatah: kian tinggi tumbuh sebatang pohon akan kian deras pula angin menerpanya, kini aku pun mulai menyadarinya. Kian berkibar nama dan kegiatanku, kian banyak pula orang yang berusaha menghambat gerakanku, atau bahkan menelikungku. Bermacam cara ditempuh, mulai dari isyu-isyu murahan sampai kepada ancaman keselamatan diri dan keluarga. Baik itu datangnya dari pihak luar – yang tidak terlalu mengherankanku, maupun dari dalam partaiku sendiri – hal yang semula sungguh tak terbayangkan olehku. Dalam ‘keluguan’-ku selama ini perihal dunia politik, bagaimana dapat kubayangkan hal yang serupa itu? Kalau serangan dari pihak luar, okelah, masih dapat kupahami dan kuperkirakan berdasarkan logika; apalagi dengan mempertimbangkan adanya puluhan partai saat ini yang kelak akan bertarung dalam pesta akbar demokrasi nanti. Tetapi, yang dari dalam partai sendiri? Hal yang semula kubayangkan hanya akan ada sifat-sifat yang saling bergotong-royong, sokong menyokong, dan bantu membantu demi tercapainya kebesaran Partai? Ternyata, tidak ada bedanya; sama saja. Itu semua ternyata hanyalah romantisme perjuangan yang hanya ada dalam buku sejarah bangsa dan angan kepalaku. Ya, tak ada bedanya. Yang berbeda barangkali hanyalah nuansanya. Kalau dari pihak luar hampir selalu dalam konteks yang besar: pertarungan antar-partai. Yang dari dalam justru lebih bersifat individual: kecemburuan, merasa diabaikan, merasa dilangkahi; yang pada intinya hanyalah urusan persaingan menuju puncak hirarki. Akhirnya aku menyadari, sebuah partai yang dari luar tampak seakan berlumur idealisme, ternyata tak ada bedanya dengan sebuah perusahaan korporasi. Bedanya mungkin hanyalah pada apa yang dijual. Kalau sebuah perusahaan menjual barang dan atau jasa, partai menjual harapan.
                Tetapi, akhirnya semua itu berhasil juga aku atasi, dengan cara-cara yang tak kalah canggih dan licin, bahkan kalau perlu dengan uang atau ‘sedikit kekerasan’. Hingga aku sekarang kian kokoh menuju sasaran itu.
                Dan, seperti tiba-tiba saja musim kampanye telah berdiri di ambang pintu. Jadwal yang ketat telah terbentang. Peraturan-peraturan telah disepakati. Dan berbagai institusi pengawasan telah pula siap memelototi jalannya Pemilihan Raya. Aku sendiri baru beberapa hari yang lalu ditetapkan sebagai calon anggota legislatif dari Propinsi Perca Timur; sebuah daerah yang terkenal kaya akan sumberdaya alamnya, tetapi selama ini seperti ‘terlupakan’ atau bahkan dilecehkan oleh pemerintahan pusat. Dalam daftar calon itu namaku berada di urutan ketiga, yang diperkirakan masuk dalam urutan nomor jadi, atau dulu dikenal sebagai ‘nomor kopiah’. Meskipun sekarang urutan nama daftar calon tidak bersifat mengikat, tetapi setidak-tidaknya prestise yang mengikutinya tentu masih melekat erat, karena toh daftar disusun tidak berdasarkan urutan abjad nama.
                Akan halnya daerah pencalonanku itu, sebenarnya tidaklah terlalu asing bagiku, karena aku sendiri memang dilahirkan di sana, meskipun sejak kelas tiga sekolah dasar aku pindah ke Ibukota, mengikuti orangtuaku yang bekerja di departemen dalam negeri. Meskipun demikian aku kemudian terpaksa juga mengobrak-abrik kertas-kertas berita dan segala sesuatunya yang berkenaan dengan daerah tersebut. Tentu saja itu kulakukan untuk mengenali kembali daerah itu, serta mengetahui isyu-isyu penting dan aktual yang berkembang di sana. Sementara itu aku pun tak lupa membuka-buka buku dan web-site untuk mengetahui aspek-aspek sosial-budaya masyarakat daerah tersebut. Jadi, aku harus ‘ngebut, karena jadwal kampanye akbar di daerah tersebut tinggal beberapa minggu lagi.
                Sementara itu aku pun kian berusaha memperluas jaringan hubungan sosial dan politik di daerah tersebut. Ini penting, karena aku tentu tidak dapat mengharapkan diriku sendiri saja yang jumpalitan di sana. Nanti bisa dikira makhluk dari mana ini.

* * *
                Dan, datanglah hari itu. Setelah perjalanan dengan pesawat selaman hampir dua jam dan lain-lain, sampailah aku dan rombongan di tengah belasan ribu massa. Cuaca sangat panas menyengat adalah ciri khas daerah ini, karena konon hawa panas tidak saja datang dari matahari di atas tetapi juga dari dalam kulit bumi di bawah. Ratusan ribu umbul-umbul telah berkibar, bendera partai, spanduk-spanduk, panggung yang besar di tengah-tengah lapangan dihiasi dengan berbagai pernak-pernik khas kedaerahan, dan lain-lain. Kampanye terbuka memang akhirnya disepakati diperbolehkan, meski hanya untuk ibukota propinsi dan kabupaten atau kotamadya serta hanya satu kali pada masing-masing tempat selama masa kampanye, dengan waktu yang telah ditentukan. Itu pun tidak diperbolehkan ada arak-arakan massa, pawai, maupun keramaian lainnya di jalan-jalan. Rombongan-rombongan simpatisan yang datang menuju tempat kampanye dilarang mempertunjukkan atribut-atribut partainya maupun yel-yel secara atraktif selama dalam perjalanan; agar tidak sampai memancing terjadinya kerusuhan, ataupun sekadar kemacetan lalulintas. Selebihnya adalah kampanye tertutup atau ‘setengah tertutup’, baik melalui media massa, maupun sekadar dialog atau debat antar-partai.
                Dan setelah melewati seluruh acara pembuka satu per satu berupa hiburan musik dengan artis penyanyi yang juga didatangkan dari Ibukota, lawak atau komedi, kesenian daerah, serta beberapa acara sambutan dan pidato pembuka yang singkat; akhirnya sampailah ke giliranku sebagai calon anggota legislatif yang akan mewakili daerah tersebut di lembaga legislatif pusat. Aku segera berdiri, mendekati mikrofon, menebarkan pandangan sejenak ke massa yang menyebut; mencoba menciptakan suasana hening barang beberapa saat. Ini penting agar massa dapat membedakan bahwa ada sesuatu yang berbeda yang akan aku sampaikan dari sekadar hiburan dan pidato pembukaan tadi. Lalu, setelah mengucapkan salam, tanpa berpanjang-lebar lagi aku segera merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan sehelai saputangan yang berukuran lebih besar dari biasanya. Saputangan itu kemudian kukibar-kibarkan di hadapanku dengan sebelah tangan.
                “Saudara-saudara lihat saputangan saya ini? Apa warnanya?”
                “Krem!”
                “Jingga!”
                “Kuning!”
                “Ya! Saputangan ini warnanya adalah kuning. Dan, dengan cara ini, sesaat lagi saputangan ini akan saya ubah menjadi …,” dengan lagak seorang maestro sulap aku menggumpal-gumpalkan saputangan itu ke dalam genggaman tangan kiriku. Lalu, dengan sentakan tiba-tiba aku membentangkannya kembali,
                “Lambang Partai!”
                Maka, berkibar-kibarlah sehelai kain bergambarkan lambang Partai yang warnanya sama sekali berbeda dari warna saputanganku tadi. Seketika terdengar tepukan yang membahana dari arena, serta suitan di sana-sini. Beberapa anggota pengurus daerah tak kurang pula ikut menghangatkan suasana.
                “Hidup Partai!” teriakku tiba-tiba, sambil mengacungkan suatu konfigurasi jari yang menyimbolkan partai kami.
                “Hidup Partai!”
                “Hidup Partai!!”
                “Hidup Partai!!!”
                Terdengar sambutan yang sangat meriah di mana-mana. Dan, setelah dua pertunjukan lagi aku lalu berkata,
                “Begitulah, Saudara-saudara! Seperti itulah kira-kira apa yang sebenarnya telah kita alami selama ini: penipuan, kebohongan! Bagaikan bermain sulap, mereka selama ini telah mempermainkan kita, Saudara-saudara. Telah menipu, telah memperdaya, dan telah membodoh-bodohi kita. Apakah Saudara-saudara masih mau dibegitukan oleh mereka lagi?”
                “Tidak!”
                “Tidak!!”
                “Tidak!!!”
                “Bagus! Tentu saja tidak. Bahkan kalau Saudara-saudara mau tahu, masih jauh lebih baik para pesulap itu daripada mereka-mereka selama ini. Karena apa? Karena para pesulap itu memang bertujuan untuk menghibur kita, meskipun memang dengan cara memperdaya. Tetapi mereka-mereka itu, tujuannya hanyalah untuk memperdaya kita agar mereka dapat dengan leluasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menguras kekayaan negeri ini hanya untuk anak cucu, kerabat, dan keturunan mereka sendiri; serta melanggengkan kekuasaan mereka, seperti zaman raja-raja saja. Tetapi, kalau ada di antara kita yang tidak terperdaya oleh tipuan mereka, mereka lalu melumpuhkannya dengan berbagai cara. Interogasi atau bersih-diri, cuci otak, ancaman keselamatan diri, cekal atau cegah-tangkal, penjara, culik, rekayasa kerusuhan, bahkan pembunuhan! Banyak saudara kita yang mengalaminya di masa lalu. Sekarang, apakah Saudara-saudara masih mau diperlakukan seperti itu di alam yang telah bebas merdeka ini?”
                “Tidak!”
                “Tidak!!”
                “Tidak!!!”
                “Nah, itulah Saudara-saudara, kenapa kita sekarang sangat memerlukan adanya suatu perubahan. Perubahan total! Reformasi! Perubahan dari segala keburukan dan kebobrokan, menuju kebaikan. Setujukah Saudara-saudara?”
                “Setuju!!!”
                “Untuk itu, apa yang harus kita lakukan? Tentu saja yang paling penting adalah mengubah dari pada perilaku, watak, mental. Kita, mulai saat ini, harus berjanji dan bertekad untuk meninggalkan segala perilaku yang lama, yang selama ini telah dengan secara sistematis ditumbuh-kembangkan oleh rezim yang lama. Perilaku apa saja itu? Perilaku KKN! Watak mementingkan diri sendiri! Mental feodal! Ya, Saudara-saudara, tanpa kita sadari selama ini kita telah dikungkung kembali ke dalam alam feodalisme. Mental dari pada tuan dan hamba-sahaya. Mereka tuannya, kita budaknya. Demikianlah yang terjadi selama ini. Saudara-saudara masih mau diperlakukan seperti yang demikian itu?”
                “Tidak!!!”
                “Bagus! Tentu saja kita tidak lagi menginginkan diperhamba seperti itu. Enak saja, mereka menjadi para raja dan pangerannya, menguras dari pada seluruh sumberdaya alam negeri kita dengan semena-mena. Minyak, gas alam, hutan, tanah, pasir, dan bahkan udara; mereka kuras dengan semena-mena, hanya untuk memperkaya dari pada mereka sendiri, sanak keluarga mereka, dan teman-teman mereka yang entah dari mana. Sementara kita sendiri, yang lahir dan berdiam di bumi yang kaya ini, hanya jadi seperti ayam mati di lumbung padi. Tetapi sekarang Saudara-saudara, sekaranglah zamannya untuk kita melakukan perubahan. Kalau selama ini suara-suara yang Saudara-saudara miliki hanyalah mereka kumpulkan untuk sekadar memenuhi kotak suara dan statistik artifisial, hanya untuk kepuasan mereka sendiri; sekarang tidak lagi. Karena apa, Saudara-saudara? Karena mulai saat ini suara Saudara-saudara adalah suara kedaulatan. Ya, kedaulatan negara sekarang ada di tangan Saudara-saudara. Karena itu manfaatkanlah kadaulatan yang ada pada Saudara-saudara sekarang untuk pilihan yang paling benar. Untuk pilihan yang menjanjikan masa depan yang lebih cerah, yang memegang amanah reformasi rakyat dengan teguh, serta mandiri.”
                Aku terdiam sebentar, mencoba membaca reaksi massa.
                “Ya, yang mampu memegang amanah dengan teguh. Yang mandiri. Tetapi ingat, jangan sampai salah pilih. Jangan sampai tertipu. Kenapa begitu, Saudara-saudara? Karena sekarang banyak sekali serigala yang berbulu domba. Ya, serigala yang berbulu domba. Dulunya mereka adalah bangsa serigala: pemburu, pencuri, perampok, pembunuh, culas, pembohong. Sekarang ketika raja serigala tumbang, enak saja mereka tiba-tiba bersalin bulu menjadi berbulu domba, bahkan ikut-ikutan pula menghujat sang raja serigala itu, raja mereka dahulu. Padahal, bagaimana pun mereka sendiri tetaplah bangsa serigala. Jadi, sekali lagi, jangan sampai Saudara-saudara tertipu.”
                Aku diam kembali. Belasan ribu massa tampak sangat penuh perhatian. Relatif tenang. Tak tampak ada kegaduhan yang tak perlu. Sementara, di sudut-sudut stadion sepakbola di mana acara ini berlangsung, tampak ratusan petugas keamanan berjaga-jaga.
                “Jangan tertipu, karena ada puluhan partai yang sekarang ikut Pemilihan Raya. Tetapi, saya yakin Saudara-saudara tentu tahu apa siapa dan bagaimana yang saya maksudkan. Tidak terlalu sulit untuk membedakan antara serigala dan domba, bukan? Karena itu, pilihan yang paling tepat adalah partai kita ini. Partai yang memperjuangkan perubahan, partai yang Ketua Umum-nya sejak lama sudah terkenal dengan tekad dan upayanya untuk menentang dari pada status-quo demi melakukan perubahan. Partai yang orang-orangnya dijamin bersih dari bau serigala, partai yang akan memegang dengan sangat teguh amanah dari pada reformasi rakyat, partai yang akan membawa kita semua menuju masyarakat baru, masyarakat madani. Inilah pilihan yang paling tepat, Saudara-saudara. Dan karena itu, sampaikanlah juga hal ini kepada sanak-famili Saudara-saudara, karib-kerabat, handai-taulan, serta tetangga-tetangga kita yang tidak dapat hadir di sini. Setuju?”
                “Setuju!!!”
                “Hidup Partai!”
                “Hidup Partai!!!”

                Sekarang aku mulai merasa kerongkonganku mengering. Agaknya aku telah cukup banyak berbicara tadi, dan melipakan masalah pelumasan pita suara. Karena itu aku kemudian gelas minuman terdekat yang tersedia, dan kemudian mereguk sebagian isinya. Tapi, pada saat itu, di bawah-sadarku merasa seperti ada sedikit keganjilan. Sepertinya bibir gelas itu hampir amblas begitu saja ke dalam mulutku. Tapi, hal itu tidak segera kuacuhkan karena pikiranku masih terfokus pada khalayak massa.
                “Dan, bukan hanya itu, Saudara-saudara. Partai kita ini juga sangat concern, sangat menaruh perhatian pada masalah-masalah yang ada di daerah. Karena apa? Karena partai kita ini menentang praktek dari pada sentralisasi. Partai kita ini sangat menyadari bahwa negara kita ini adalah unik, sangat unik bahkan, sangat majemuk, dan satu-satunya negara di dunia yang seperti ini. Karena itu Partai menyadari benar akan keunikan dari pada masing-masing daerah. Setuju, Saudara-saudara?”
                “Setuju!!!”
                “Dan, akan halnya dengan daerah kita ini, Partai sebenarnyalah sungguh merasa takjub, kagum, sekaligus menaruh rasa hormat yang setinggi-tingginya. Karena apa? Karena Partai menyadari benar bagaimana potensi sumberdaya alam daerah ini yang sedemikian besarnya, yang bahkan pada suatu masa pernah memberi andil lebih dari sepertiga anggaran belanja negara, karena dua per tiga dari pendapatan minyak bumi yang merupakan dua per tiga dari seluruh pendapatan negara berasal dari daerah kita ini. Namun sayangnya, anugerah Tuhan itu dulunya hanya mereka hambur-hamburkan untuk kesenangan mereka sendiri dan golongannya, dengan mengurasnya dan menumpuknya menjadi kekayaan pribadi dari pada mereka sendiri. Akan halnya penduduk daerah ini, Saudara-saudara? Tetap saja tertinggal, terabaikan, bahkan sampai kebulur! (Terdengar sporadis tawa kecil yang menyenangkan ketika istilah bahasa mereka disisipkan). Bahkan pun kemudian tanah dari pada Saudara-saudara, tanah-tanah adat, tanah-tanah ulayat, tanah-tanah pusaka, tanah-tanah keluarga, hutan-hutan larangan, hutan-hutan kepungan sialang; habis pula mereka kapling dan jarah seenak-perutnya. Bekerjasama pula dengan para pengusaha yang entah datang dari mana, yang tidak mempunyai akar dengan daerah ini, dengan negara ini. Akibatnya apa? Akibatnya, kalau tidak sejak sekarang segera diselamatkan, daerah ini akan segera hancur lebur. Kalau cara pengelolaannya tidak segera diperbaiki, segala sumberdaya alamnya akan segera terkuras habis, dan Saudara-saudara hanya tinggal memperoleh ampas dan limbahnya saja lagi. Apakah Saudara-saudara mau yang seperti itu terjadi?
                “Tidak!!!”
                “Karena itulah salah satunya kenapa partai ini ada. Tetapi, pada saat yang sama, partai ini pun merasa kagum bagaimana dengan sikap orang-orang dari pada daerah ini dalam menghadapi seluruh kebuasan itu selama berpuluh tahun ini. Kesabaran dan ketabahan yang ditunjukkan sungguh merupakan hal yang luar biasa, hal yang kiranya patut ditiru oleh Saudara-saudara kita di daerah-daerah lain. Adat yang gemar surut selangkah, dan surut selangkah, dan surut selangkah lagi, sungguh benar-benar bukti kesabaran yang tahan uji, Saudara-saudara. Sikap yang tidak suka akan terjadinya konfrontasi, pertentangan, perkelahian; inilah yang membuat Saudara-saudara sanggup bertahan selama ini. Dan patut dilestarikan, karena kita hidup dalam sebuah negara yang sangat manjemuk, di mana persatuan perlu dijunjung tinggi. Setuju?”
                “Setuju!?”

                Tetapi aku kembali merasa haus lagi. Karenanya kembali kuraih gelas itu dan hendak kureguk habis sias isinya. Tetapi, aku merasa terkejut, gelas itu tiba-tiba saja seperti begitu saja akan amblas ke dalam mulutku. Mulutku jadi seperti tersumbat oleh gelas itu, dan aku merasa kesulitan untuk melepaskannya kembali. Melihat itu bergegas beberapa orang yang berada di dekatku membantu untuk melepaskan gelas itu. Dan, setelah gelas itu berhasil dikeluarkan, mereka kulihat seperti menatap heran kepadaku.
                “Pak …, Bapak ….” mereka seperti ingin menyampaikan sesuatu; tetapi aku tidak mengacuhkannya karena pikiranku masih bersemangat terfokus pada acara kampanye itu. Aku telah merasa, melihat kondisi sejauh ini, kampanye ini akan sangat sukses dan jalanku menuju lembaga legislatif akan sangat lempang dan lapang. Lagi pula, klimaks pidato kampanyeku belum lagi kusampaikan. Karena itu aku segera berbalik ke arah khalayak.
                “Ya, Saudara-saudara, persatuan, itulah yang terpenting dalam bernegara ini. Dan bukannya kesatuan, yang lebih mengarah pada sentralisasi, pemusatan kekuasaan. Karena itu partai ini sangat concern pada masalah otonomi daerah dan perimbangan keuangan yang adil antara pusat dan daerah. Partai ini kelak akan memberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya, serta memberikan keleluasaan dari pada daerah dalam mengelola sumberdaya alamnya masing-masing. Kebalikan dari pada rezim yang lama, pemerintahan pusat hanya akan mengambil pajak dan semacam royalti saja, sekadar untuk keperluan belanja negara, serta untuk subsidi daerah lain yang masih minus. Bagaimana, setuju?”
                “Setuju!”

                Tetapi, aku tidak segera menyadari kalau suaraku terdengar kian membesar tapi cenderung sengau.
                “Ya, dengan begitu Saudara-saudara, kita akan membangun daerah ini menjadi jauh lebih maju dengan cepat, sesuai dengan kekayaan melimpah yang kita miliki. Kita akan bangun jalan-jalan yang besar dan mulus, sampai ke pelosok-pelosok desa. Jembatan-jembatan untuk menyeberangi ribuan parit besar dan sungai yang dimiliki daerah ini. Kita akan bangun pertanian pasang-surut, ribuan sekolah untuk meningkatkan sumberdaya manusianya, pelabuhan-pelabuhan, terminal, bandar udara, pasar-pasar. Juga perumahan-perumahan rakyat, rumah-rumah ibadah, dan banyak lagi. Dengan segala kekayaan itu kita juga akan membangun koperasi yang lebih mandiri, usaha-usaha kecil dan menengah, petani, nelayan, dan lain-lain. Dengan sumberdaya alam yang kita miliki seperti ini, apa yang tidak bisa kita kerjakan? Semua bisa. Setujua?”
                “Setuju!”
                “Ya, Saudara-saudara, semua itu akan kita lakukan bersama. Tentu saja untuk itu terlebih dahulu kita harus memenangkan dari pada partai kita ini terlebih dahulu. Setuju?”
                “Setuju!”
                “Karena itu, Saudara-saudara, demi mencapai itu semua ajaklah diri Saudara sendiri, keluarga Saudara, kerabat, tetangga, sahabat, dan kenalan agar memilih dari pada partai kita ini dalam Pemilihan Raya nanti. Katakanlah pada mereka bahwa partai kita ini adalah yang terbaik dalam memperjuangkan kepentingan kita semua. Setuju?”
                “Setuju.”
                “Hidup Partai!”
                “Hidup Partai!”

                Aku merasa haus lagi, hingga kuraih gelas yang lain yang masih berisi penuh, meski sempat kulihat tatapan heran bercampur cemas dari rekan-rekan di belakang. Kureguk saja minuman itu, tetapi tanpa kuduga gelasnya ikut amblas ke dalam perut. Sejenak aku terpana, mencoba mencerna apa yang barusan terjadi, menutup mulut dengan tangan sebagaimana orang yang terkejut dengan sedikit malu; tetapi kemudian telapak tanganku seperti teraba ada sesuatu yang salah pada bentuk konfigurasi bibir an hidungku. Tetapi, aku masih terlalu bersemangat dengan kampanye itu, sehingga kuabaikan saja dulu keganjilan itu dengan menganggapnya sesbagai sesuatu yang dapat kupikirkan nanti.
                “Ya, saudara-saudara.” Aku tiba-tiba terdiam sejenak, terkejut mendengar suara yang tidak kukenal; benarkah itu suaraku? Tapi, karena kupikir barangkali itu hanyalah masalah sound system, lagi-lagi aku tak pedulikan.
                “Ya, Saudara-saudara,” ulangku, “inilah partai yang seharusnya Saudara-saudara pilih. Inilah pilihan yang paling tepat. Karena apa? Karena partai ini adalah partai yang paling bersih, Saudara-saudara. Tidak secuil pun ada kaitan partai ini dengan rezim yang lama – baik secara institusi maupun orang per orang. Saudara-saudara bisa mengeceknya sendiri. Partai ini betul-betul sangat murni, penuh dengan orang yang jujur dan idealis, yang tidak mementingkan dari pada diri sendiri. Partai yang dipimpin oleh tokoh yang sudah Saudara-saudara sama tahu, tokoh yang sangat terkenal akan kereformisannya. Beliaulah calon presiden kita. Setujukah Saudara-saudara?”
                “Setuju!”
                “Hidup Beliau!”
                “Hidup!”
                “Partai ini bersih dari KKN, Saudara-saudara. Dengan partai ini tidak akan ragu untuk menghapus segala perilaku dari pada KKN sampai ke urat-akarnya. Setuju?”
                “Setuju?”
                “Partai ini juga tidak akan menolerir terjadinya proses reformasi yang katanya bergradual, bertahap; yang banyak diwacanakan akhir-akhir ini. Kenapa? Karena wacana ini sebenarnya berasal dari pada para kaum serigala berbulu domba itu. Mereka berharap, dengan berlakunya proses reformasi yang dijalankan secara gradual, ini akan memberi mereka waktu untuk menata diri, baik untuk menyembunyikan keburukan-keburukan mereka dulu maupun kesempatan mengumpulkan kekuatan lagi. Saudara-saudara, kita harus mengusahakan reformasi segera! Segera! Setujukah Saudara-saudara?”
                “Setuju!”
                “Partai ini, Saudara-saudara, akan membangun ….”

                Aku terus berbicara, dan terus berbicara. Berjam-jam, dengan semangat yang tetap menggebu. Aku merasa masih banyak yang harus kusampaikan, dan aku merasa puncak klimaks itu belum lagi selesai kudaki. Aku harus menyampaikan seluruh kelebihan partai kami, agar mereka kelak tidak sampai salah dalam memilih; kasihan mereka. Ya, agar mereka tahu inilah partai yang terbaik dari sekian banyak partai itu. Partai yang akan membawa mereka ke zaman yang baru. Sementara itu, manakala haus atau lapar aku segera melahap minuman atau kue-mue yang ada. Kalau kemudian gelas dan piringnya sekalian ikut tertelan, aku sudah tidak peduli lagi. Demi partai ini aku tidak peduli akan apa yang terjadi pada diriku saat ini. Sampai, lama kelamaan – entah karena halusinasi atau sekadar kecapekan – aku merasa suaraku seperti kian menghilang, padahal aku masih tetap lantang berpidato. Ataukah telingaku yang menuli?

* * *
                Yang aku tahu kemudian adalah anak muda itu tiba-tiba tersentak terjaga dari kantuknya manakala mulai terdengar keributan di sekelilingnya. Hampir saja tabloid dan koran-koran itu berhamburan dari genggamannya karena keterkejutan itu. Ia sendiri tengah terlena terkantuk-kantuk mendengarkan suaraku yang sebenarnya membahana. Tetapi sekarang, dari salah satu sudut panggung ini ia akhirnya menyadari keributan apa yang telah terjadi. Bagaimana tidak, karena sekarang di tengah-tengah panggung itu sedang berlangsung sebuah kejadian yang aneh, atau malah mengerikan. Atau barangkali lucu? Perlahan-lahan ia melihat mulutku tampak kian membesar dan membesar dan membesar. Menguak, lalu mulai memakan kepalaku sendiri. Ajaib! Mengerikan! Ataukah lucu? Dan itu pun masih terus berlangsung hingga ke leherku, dadaku. Gigi-gigi besar yang berwarna putih susu itu tampak lincah mengunyah-nguyah; meski tanpa darah. Lalu perutku, bagai mengunyak sepiring bakmi dengan usus yang terburai itu. Pinggul, kaki, dan seterusnya. Semuanya berlangsung dengan cukup cepat, kalau mengingat berapa puluh kilogram daging yang harus dikunyah. Sampai yang tampak tersisa kemudian di atas panggung yang megah itu hanyalah mulutku itu sendiri – bibir dan gigi – yang masih juga seperti tampak sedang mengunyah. Selain itu adalah: beberapa buah gelas, piring, sendok, bungkusan kue-mue, kertas-kertas yang bertulisan confidential, stempel-stempel, duit, ….
                Acara kampanye itu sepertinya telah berakhir. Apalagi matahari telah merah di barat. Karena itu mereka semua kemudian mmbubarkan diri, pulang ke rumahnya masing-masing. Anak muda itu sendiri, sambil berjalan pulang hanya dapat tersenyum letih melihat setumpukan korannya yang masih belum laku. Dipikirnya tadi, di tengah-tengah keramaian seperti ini koran-koran itu akan cepat laku keras; tidak pun untuk dibaca, setidak-tidaknya digunakan oleh orang yang membelinya untuk melindungi kepala dari sengatan terik matahari. Tapi, rupa-rupanya itu pun telah cukup dengan topi dan baju kaus yang mereka dapatkan di pintu masuk stadion tadi ….
Payungsekaki, 04/99.
[Antologi Rel]


[1] Dari judul buku Inggit Garnasih.

Tidak ada komentar: