(www.facebook.com) |
“Aku ingin membeli mimpi.” katamu suatu kali. Hari itu
hujan turun lebat sekali. Malam gelap larut dalam deru. Suara rantak hujan yang
menghunjam seperti terdengar mendentam, hingga kita berdua kesulitan untuk
saling mendengarkan. Tapi udara yang sejuk, membuat kita kian merapat.
“Mimpi?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak pernah mempunyai mimpi, Sayang.”
Angela memang selalu kesulitan untuk tidur;
setidak-tidaknya seperti yang dikatakannya dan apa yang aku ketahui pada
waktu-waktu tertentu seperti ini. Sementara, bukankah tidur adalah kendaraan
untuk menuju pulau mimpi? Mungkin aku pengidap insomnia, ya; begitu katanya
mencoba menganalisa. Tapi, perempuan seperti Angela memang selalu sulit untuk
mendapatkan tidur – setidak-tidaknya tidur di malam hari, sebagaimana
orang-orang normal lainnya. Akhirnya mungkin karena itu jam biologisnya pun terganggu,
berubah, lalu kemudian menjadi kacau sama sekali.
“Lalu, mimpi siapa yang ingin kaubeli?”
“Siapa pun yang bersedia menjualnya.”
“Aku bersedia, bahkan kau tidak perlu membayarnya.”
Ya, Angela tidak perlu membayarnya. Bukan saja karena dia
sangat cantik dan menawan, bukan saja karena aku terlalu suka kepadanya, tetapi
juga karena aku punya terlalu banyak mimpi. Bukan saja ketika aku tertidur,
bahkan juga saat-saat aku masih terjaga. Aku adalah pemimpi yang luar biasa.
“Jangan. Aku tetap harus membeli. Tapi sebaiknya bukan
dari kamu, Sayangku.”
“Tapi, kenapa?” aku sedikit tersinggung, atau mungkin
juga cemburu.
“Kalau mimpi-mimpimu menjadi milikku, aku takut aku jadi
terlalu banyak mengetahui rahasiamu. Ketika itu terjadi, aku takut tak ada lagi
misteri.”
“Bukankah itu bagus? Kita jadi saling terbuka,
transparan, tak ada rahasia gelap lagi di antara kita berdua.”
“O El Arif, apakah engkau akan masih tertarik pada sebuah
novel yang sudah engkau ketahui isinya meskipun engkau belum pernah membacanya?”
Aku termangu. Tak bisa membantah, tapi juga tak bisa
mengiyakan.
“Baiklah. Kalau begitu mimpi siapa yang ingin kaubeli?”
Suaraku terdengar agak serak dan tertahan; mungkin karena
menanggung perasaan.
“Apa?”
Suara angin menghantam kaca jendela kamar di lantai 6
ini.
“Jadi, mimpi siapa yang ingin kaubeli?”
“Sudah kukatakan, siapa saja. Asal menarik.”
“Baiklah. Kalau begitu, mimpi yang seperti apa?”
“Apa saja, Sayang.”
“Ada
masalah di sini.” Aku tiba-tiba seperti mendapat gagasan bagus. “Engkau ingin
membelinya ketika mimpi itu sudah terbentuk, atau sebelum?”
“Apakah ada bedanya?”
Aku termangu lagi. Ya, apakah ada bedanya? Sudah
terbentuk atau belum, kedua-duanya tetaplah mimpi. Lalu, apakah yang aku
maksudkan dengan sudah terbentuk itu? Apakah sudah terbentuk di dalam alam tidur,
atau alam pikiran, ataukah alam nyata? Aku punya banyak sekali mimpi, tetapi
hampir tak satu pun yang berhasil mewujud ke alam nyata. Aku terlalu bodoh
untuk melakukan itu semua, atau barangkali terlalu sial.
Jadi, aku sudahi saja perbincangan tentang membeli mimpi
itu, dan aku kembali mengajaknya bercinta.
Kami bertemu kembali seminggu kemudian di tempat yang
sama, sebuah hotel berbintang tiga di pinggiran kota itu. Aku memang sering bertugas keluar kota, dan kami sudah
saling mengenal setidaknya selama enam bulan. Seorang relasiku yang
mempertemukan kami, dan sejak itu aku tak pernah mengalihkan perhatian.
Kecantikannya terlalu likat untuk membuatku cengkelat; keramah-tamahannya, dan
kelembutannya jauh sekali dari yang pernah aku alami selama ini. Terus-terang,
ia persis seperti salah satu di antara mimpi-mimpiku yang paling ingin
kuwujudkan. Meski kemudian berhasil menjadi nyata, tetap saja bukan aku yang
mewujudkannya, tetapi relasiku itulah.
Dan sekarang, kurasa aku sudah terlalu mencintainya.
Kalau tidak ada kota
yang lain, kantor, rumah, dan empat orang yang menunggu tanggung-jawabku di
dalamnya; niscaya aku tidak akan pernah kembali.
“Jadi, sudahkah
engkau berhasil membeli mimpi seperti yang engkau angan-angankan itu?” tanyaku
setelah kami bercinta sekali dan malam baru menjelang. Di luar jendela kaca,
lukisan bintang-bintang bercahaya benderang di latar biru gelap dan bulan
melengkungkan tubuhnya.
Dia tertawa
sejenak. Itu membuat lingerie transparan yang hanya disampirkannya ke permukaan
tubuh melorot separuh.
“Apakah
pembicaraan itu begitu penting, Sayangku?”
Aku jadi bengong
sendiri.
“Bukankah kemaren
engkau begitu menginginkannya?”
“Aha.”
Hanya tersenyum
dalam diam, hingga beberapa menit kemudian.
“Engkau mungkin
belum terlalu banyak kenal perempuan, Sayang.”
“Begitukah?” Aku
tak tahu, apakah itu pujian, sindiran, atau justru celaan. Yang aku pelajari,
kata-kata perempuan seringkali hanyalah jebakan. “Tapi, kalau engkau masih
ingin membelinya, mimpi seperti apakah yang engkau kehendaki?”
“Mimpi seperti
apa?” Angela menarik selimut, hingga lewat atas puncak dada. “Aku tak mengerti,
Sayang. Tolong jelaskan.”
“Ya, jenisnya.
Mungkin engkau ingin mimpi menjadi kaya, ingin mimpi memiliki rumah yang besar,
atau mimpi mendapatkan seorang suami yang ganteng seperti aku ….”
Aku mencoba
tertawa dengan menganggapnya lucu. Angela hanya tersenyum lebar.
“Bukankah aku
sudah mendapatkan semuanya?”
“Sudah?” aku tak
mengerti. “Maksudmu ….”
Yang aku tahu
Angela bekerja di Venuz Spa. Tak mungkin ….
“Pada saat-saat
seperti ini aku sudah memiliki rumah yang besar: hotel ini sebuah rumah yang
besar, bukan? Aku juga sudah kaya, karena di sini semua yang aku inginkan
tinggal panggil pelayan, bukan? Dan, seorang suami yang ganteng? Bukankah itu
memang dirimu, Sayangku?”
Aku jadi tertawa
sungguhan mendengar jawabannya. Aku tahu ia hanya bercanda, tapi sungguh
menyenangkan. Orang sering lupa pada hal-hal yang kecil yang menyenangkan.
“Tapi, itu kan hanya sesaat, Angel?
Bagaimana kalau kita abadikan?”
“Tapi, apakah
keabadian itu? Ikatankah atau kenangan, Sayang?”
“Dua-duanya.”
“Ah, kau begitu
rakus, Sayangku.”
Dia mengusap
pipiku.
“Karena aku
memiliki banyak mimpi, Angela.”
“Baiklah.
Sekarang, kalau kau diberi kekuasaan untuk mewujudkan seluruh mimpimu itu,
mimpi tentang apakah yang paling pertama sekali yang ingin kauwujudkan?”
“Tentu saja mimpi
untuk tetap selamanya berdua denganmu, Angel.”
Angela tersenyum.
“Tidak termasuk
yang itu, Sayang.”
“Kenapa begitu?
Nggak fair namanya itu.”
“Karena ada aku di
situ.”
“Bukankah itu
bagus?”
“Bagus untukmu,
Sayang; tetapi justru jadi tidak fair
untukku, karena dengan demikian berarti aku tidak punya pilihan. Aku jadi tidak
punya kehendak bebas.”
“Wow!” aku
berdecak. “Kau jadi seperti filsuf saja.”
“Bukankah engkau
yang mengajarkannya, Sayang?”
Aku tertawa
senang. Kadang-kadang tanpa kusadari dalam pembicaraan dengan Angela aku memang
suka berbahasa “tinggi”. Pengaruh bacaan-bacaan filsafat yang kusukai selama
kuliah dulu, meski bukan merupakan bagian dari silabus karena aku kuliah di
fakultas teknik, agaknya tanpa disadari membenam cukup dalam di laci-laci otakku
yang ketika itu masih penuh dengan syaraf-syaraf idealisme. Tapi, juga mungkin
tanpa disadari ia keluar karena aku ingin menunjukkan kedalaman pikiranku di
hadapan perempuan ini ketika kusadari ia pun ternyata memiliki pemikiran yang
cukup mendalam untuk diajak berbincang-bincang.
Hampir tiga tahun berlalu
sejak aku memperoleh kenaikan jabatan di kantorku sehingga aku seringkali harus
bertugas keluar kota
seperti ini, hari-hari seperti ini jadi begitu menyenangkan bagiku. Aku jadi
memperoleh ruang dan waktu untuk keluar dari rutinitas kehidupan sehari-hari
dalam belasan tahun yang seringkali membosankan. Baik di kantor, baik di
lingkungan, maupun di rumah. Kalau di kantor dengan orang-orang yang seringkali
seperti serigala yang tak segan-segan meremukkan tulang temannya sendiri demi
sebuah bangkai yang menjijikkan. Kalau di lingkungan penuh dengan orang-orang
yang munafik serta mengoleksi banyak topeng. Dan di rumah yang penuh dengan
kebisingan repetan, pertengkaran, dan tuntutan.
Televisi di dalam
kamar itu kemudian menyiarkan lagu-lagu nostalgia. Beberapa penyanyi senior
kemudian bermunculan secara bergantian. Ada
juga Daniel Sahuleka, yang baru pulang dari Belanda.
“Sekali ini,
engkau di sini sampai pagi, ya kekasih?”
Tiba-tiba aku
berkata; Don’t Sleep Away Daniel
seperti mendadak mencuil bawah sadarku agaknya. Angela selalu pergi sebelum
memancar jingga sulung matahari pagi. Aku ingin selalu ada di rumah ketika Laila
pergi dan pulang sekolah; alasannya selalu.
Jadi, sekali lagi
dia menggeleng.
“Engkau tahu tak
mungkin, Sayang.”
“Sekali ini saja.”
Anggela membalik,
lalu mengusap daguku dengan sangat lembutnya.
“Aku akan
memberikan seluruh waktuku sebanyak yang engkau inginkan, Sayang; tetapi tidak
antara subuh dan siang hari.”
“Sekali ini saja.”
Aku mencoba
mengulang dengan keras kepala. Tapi Angela akhirnya hanya senyum belaka.
“Atau, bagaimana
kalau seperti yang aku katakan tadi?”
“Apa itu?”
“Soal mimpi tadi,
ingin berdua denganmu selamanya?”
“Engkau melamarku,
Sayang?” Matanya seperti berbinar.
“Iya. Begitulah.”
Aku bersemangat.
“Tetapi, bagaimana
dengan yang di kota sana?”
“Eh, eng ….” aku
malah agak tergagap. Sial. Seperti tak pernah terpikirkan saja. “Tapi, bukankah
di lain kota ….
Tidak masalah, bukan?”
“Ah, jangan
begitu, Sayangku.”
“Habis, engkau tak
mau menemaniku sampai pagi. Apalagi siang.” aku pura-pura merajuk. Angela
tertawa. Persis Laila; katanya.
Kami bercinta
sekali lagi, lalu Angela bersiap-siap untuk pergi. Pukul empat sudah merangkak
lewat.
“Jadi, engkau
tetap tak bisa sampai pagi untuk sekali ini?”
Angela hanya
tersenyum lembut.
“Tak khawatir
kalau kita tidak akan dapat bertemu lagi?”
“Selalu ada
waktunya, Sayangku. Selalu ada waktunya.”
Menjelang azan,
Angela pun pamitan.
Di televisi,
kembali Daniel bernyanyi. Sudah menjelang penghujung ketika pintu kamar hotel
itu perlahan-lahan kututup.
Don’t sleep away this night my baby.
Please stay with me at least ‘till dawn.
It hurts to know another hour has gone by.
The reason is still I love you.
The reason is still I love you.
Aku tak tahu
apakah kemudian kami memang tidak pernah lagi dapat bertemu, seperti yang aku
rajukkan. Aku hanya ingat suatu kali pembuluh darah di kepalaku mengalami perekahan
selepas sebuah sidang di majelis kehakiman. Kasus proyek nyaris fiktif itu
betul-betul membodem ubun-ubunku hingga padam.
Payungsekaki,
130610.
Publikasi #1: Riau Pos, 031010.
In Memoriam: Nurani
www.speakloudhere.wordpress.com |
“Nurani sudah pergi.” katamu. Hari itu panas meranggas.
Langit berwayang fatamorgana. Suhu sudah berbulan-bulan melonjak tinggi dari
biasanya; tak terkejar lagi oleh angka-angka yang dicatat badan statistik.
Kusibakkan lembar koran yang sedang kubaca, menatap
sejenak ke wajahmu yang baru tiba. Huruf-huruf pun terbang berhamburan. Begitu
pula dengan gambar-gambar. “Uang Sekolah Mencekik”. “Harga Bahan-bahan Pokok
Saling Berkejaran”. “Kasus BLBI Terkatung-katung”. “Trisakti & Semanggi: Quo Vadis?”. “Almarhum Munir Dibunuh
oleh Racun”. “Beranak, Bernapas, dan Berkubur dalam Lumpur Ladosa”. “Reformasi
Sudah Mati”. “Tardji: Di Mana Mata Air Tanah Air Matamu?”. Bla bla bla. Kulempar semua itu. Terdengar bunyi pekikan kertas
yang mungkin tersobek dan berserakan.
“Kauyakin?”
“Tentu saja. Kaupikir, aku siapa?”
“Aku tak berpikir kau siapa, tetapi apa yang
kaukabarkan.”
“Seletop!”
“Engkau melihatnya?”
“Dia kan
sudah pergi.”
“Maksudku, apakah engkau melihatnya ketika dia pergi?”
“Dia pergi begitu saja.”
Aku segera membayangkan, pastilah prosesi pemakamannya
ramai sekali. Semua orang menyukainya. Siapa kan tidak. Lekuk bibirnya yang lembut yang
meliuk merekah. Tutur katanya yang merdu yang keluar dari sela bibirnya yang
meliuk merekah itu. Wangi harum kesturi yang melayang dari balik bibirnya yang
meliuk merekah itu juga. Segar sepasang pipi pauhnya yang meliuk merekah
merona. Dagu yang sarang lebah yang meliuk merekah berbelah. Hidung bangir yang
teguh meliuk merekah dada. Dan sepasang telaga bola mata yang teduh meliuk
merekah badai. Siapa kan
tidak?
Tapi, mungkin juga tidak. Siapa kan tahu?
“Tapi, tunggu dulu. Apa maksudkau dengan ‘dia pergi
begitu saja’? Dia sekadar pergi, atau dia sudah tiada?”
“Apa bedanya?” katamu.
“Tentu saja ada, bahlul.”
“Bagikau aku rasa tidak.”
“Bagiku aku rasa ada.”
“Kalau begitu, engkaulah yang seharusnya membagi tahu
aku!” tetiba dia memburangsang. “Tetapi nyatanya tidak. Engkau bahkan sudah
berbulan bertahun tidak memedulikannya. Engkau tidak punya hak lagi.”
“Bukan engkau yang menentukan apakah aku masih punya hak
ataukah tidak. Engkau bukan apa-apa.”
“Tetapi nyatanya aku adalah sesuatu!”
Aku ingat, sudah empat puluh purnama aku tidak pernah
bertemu lagi dengannya. Nurani. Astaga, mungkin hari ini tepat akhir purnama
yang keempat puluh. Kami bertengkar, dan aku pergi meninggalkannya. Esoknya aku
dengar dia jatuh sakit. Rasa engkau; sempat makiku dalam hati ketika itu.
Setengah bangga aku melompat-lompat kegirangan, dari satu tumpukan awan ke
tumpukan awan lainnya. Angin pun ikut lalu menderu bersamaku, dan matahari dan
bulan tersenyum sipu.
Sebenarnya bukan maksud hatiku benar untuk
meninggalkannya. Tentulah. Kami hanya bertengkar; hal yang biasa sebetulnya.
Siapa pula tidak. Laki-bini, adik-kakak, bapak-emak, sahabat-karib. Tapi aku
marah betul hari itu. Tapi, itu pun sebetulnya hanyalah merupakan punca dari
kumpulan kejengkelan. Tapi, siapa kan
dapat sungguh-sungguh kesal dengan Nurani? Tutur wangi dan sepasang telaga teduh
itu? Itulah justru yang juga membingungkan aku. Aku justru marah karena dia
serba terlalu baik itu. Terlalu lembut, terlalu merdu, terlalu wangi, terlalu
merona, terlalu teguh, terlalu teduh. Karena itu semua Nurani jadi memang
paling disayang semua orang; tetapi karena itu semua pula Nurani jadi paling
sering dipermain-mainkan orang!
Begitulah, hari-hari ini kebaikan memang sering jadi
bahan permainan; dan Nurani adalah permainan yang paling menyenangkan karena
dia tidak pernah marah, tidak pernah jengkel, tidak pernah kesal, tidak pernah
sebal, tidak pernah merajuk, dan tidak pernah bilang tidak. Semuanya tetap saja
dia berikan tutur wangi dan sepasang telaga teduh miliknya itu; meski langit di
atas kepalanya hendak runtuh.
Jadi, itulah. Berkekali sudah aku mengingatkan kepadanya,
kebaikan sekarang begitu mahal harganya; jangan terlalu mudah
menghambur-hamburkannya begitu saja. Kalau itu yang dilakukan terus-menerus,
kelak akhirnya tidak akan punya harga, karena sudah berserakan di luar sana, dan hanya menjadi
bahan permainan belaka. Tetapi, lagi-lagi seperti pada yang lainnya, aku pun
mendapatkan tutur wangi dan sepasang telaga teduh. Karena itu aku mengamuk dan
kemudian meninggalkannya begitu saja. Kalau orang tidak mau mendengar apa yang
kita katakan, kita tidak perlu mengatakan apa pun kepadanya.
Sejak hari itu, aku tak pernah lagi berjumpa-jumpa
dengannya. Dia dikabarkan sakit, memang; tetapi apa peduliku. Tetapi, akhirnya
aku peduli juga. Minggu ketujuh, aku mendatanginya. Tubuhnya tampak terbujur
lemah, tetapi wangi dan lekuk senyum masih juga berhamburan. Aku berusaha tidak
memperlihatkan keprihatinan. Aku bahkan hanya berbicara dengan nada datar.
“Sudah berobat?”
Dia mengangguk.
“Tapi engkau masih sakit juga.”
Dia hanya tersenyum.
“Agaknya betul apa yang pernah aku bilang.”
Tatapan matanya menatap lembut.
“Lihatlah, rasa-rasanya tidak ada lagi yang memedulikan
engkau begitu engkau terbujur lemah seperti ini. Semuanya seperti telah
melupakan engkau. Yang engkau sayang-sayang dulu, yang engkau bagi-bagi senyum
dulu.”
Tatapan matanya kian teduh. Bilik sepi. Hanya suara angin
berdesir di luar. Rumah yang biasa begitu ramai dengan tatapan kagum dan
kata-kata sanjungan dan cari-cari kesempatan sekarang terasa begitu sunyi,
seperti peti mati yang dilarung sendiri.
Akhirnya kataku,
“Semoga cepat sembuh.”
“Terimakasih.”
Aku pun pergi.
Lalu aku mendapat berita di mana-mana ada bencana.
Beberapa temanku sibuk melakukan pekerjaannya. Kata mereka, “Ada perintah cuci bersih. Begitu banyak yang
harus dikerjakan, tetapi begitu sedikit waktu yang tersisa. Jadi, kami cuci
saja semuanya.” Aku hanya tertawa. Apa peduliku? Aku pun tetap terus
bermain-main di gelembung awan, berloncatan antara matahari dan bulan,
kadang-kadang sampai ke surga selatan.
“Engkau tak berniat datang menjenguk?” tanya temanku itu
dengan wajah sayu. Ronanya yang semula merah berubah jadi keemas-emasan. Tetapi
jangan cepat terkecoh, dia adalah pemain watak yang tiada duanya. Aku saja
sekali-sekala terpedaya juga. Dia kemudian memungut kertas-kertas koran yang
berserakan tadi. “Aku tak pernah membayangkan engkau akan setega itu kepadanya.
Kebersamaan kalian berdua tak pernah aku bayangkan akan berserakan seperti
lembaran-lembaran koran ini. Kalau saja aku masih seperti yang dulu, aku
mungkin akan segera menggantikan tempatmu.”
“Jangan mimpi! Cuih!”
“Oh, engkau ternyata sama saja dengan aku.” Dia tertawa.
“Tapi sudahlah, ini bukan soal kita berdua. Ini tentang Nurani. Engkau tidak
ingin melihatnya untuk yang terakhir kali?”
Engkau tidak ingin melihatnya untuk yang terakhir kali?
Kata-kata itu mengiang kembali. Itu pernah diucapkannya berselang waktu yang
lalu. Purnama ketujuh belas setelah aku meninggalkan Nurani. Aku mendatanginya
lagi. Temanku itu bersamaku, tersenyum tersipu-sipu di belakangku. Aku tahu itu
tetapi aku tidak memedulikannya. Nurani terbujur hampir kaku. Tapi tutur wangi
dan sepasang telaga teduh itu tak juga hilang. Aku lalu duduk di sudut.
Sulur-sulur belukar sudah tampak menjalar kian kemari. Kamar lembab. Angin senyap.
Tingkap pengap. Aku ingin menangis. Tapi dia begitu teguh. Jadi, aku tak jadi.
Kami berdiam diri begitu lama. Lalu aku terkenang-kenang saat kami masih
bersama. Dunia serasa begitu damai. Orang-orang ramai. Canda dan tawa ada di
mana-mana. Si miskin dan si kaya sama saja. Siapa yang terjatuh dibangunkan.
Siapa yang tersesat dipulangkan. Siapa yang terlampau tak akan melampaukan.
Bunga-bunga pun bermekaran. Hewan dan hutan bernyanyi riang. Sungai pun
mengalirkan buluh perindu.
Tapi, itu semua sudah berlalu. Dia sekarang kian terbujur
kaku. Lihatlah, hanya bertemankan rindu. Orang-orang lain, semua sudah
melupakannya. Peduli!; begitu mungkin kata mereka. Ketika malam tiba, aku pun
kemudian pergi. Tanpa kata-kata.
“Jadi, bagaimana? Kalau iya, kita bisa pergi bersama.” tanya
temanku itu lagi. Kali ini ia mencoba tersenyum wangi dengan air mata telaga
yang teduh. Kurang ajar! Dia memang paling bisa!
“Kita tidak perlu pergi bersama.”
“Sudahlah …. Bukankah sudah aku katakan tadi, ini bukan
persoalan tentang kita. Ini tentang Nurani, dan dia sekarang sudah pergi.
Kenapa engkau masih berhitung-hitung lagi?”
“Aku tidak berhitung.”
“Aku melihat begitu.”
“Aku tak peduli apa yang kaulihat.”
“Baiklah.”
Dia kemudian diam, dan duduk bersandar. Kertas koran dibentangkannya,
dan aku terpaksa terbaca lembaran belakangnya. “Minyak Goreng Melicinkan
Harga”. “Siswa Institut Parapraja Saling Tendang dan Hantam”. “Petani Makan
Gabahnya Sendiri”. “Gula Manis Dirubung Semut Berdasi”. “Cara Pukau Jual
Pulau”. “Mati Di Lumbung Cara Republik Mimpi”. “Beli Dasi Buat Gantung Diri”.
Dan bla bla bla bla bla ….
“Bila dia pergi?” tanyaku tiba-tiba.
Kresekkrekkrekkrek! Terdengar bunyi kertas koran yang
disibak cepat dan kemudian dilipat empat. Temanku tersenyum.
“Menurutmu?”
“Jawab sajalah. Jangan menjawab pertanyaan dengan
pertanyaan.”
“Malam tadi, jam dua belas. Puas?”
“Jam engkau, jam aku, atau jam-Nya?”
“Apa yang engkau pedulikan tentang hal itu?”
Agaknya tak ada; jadi aku hanya terdiam saja.
“Baiklah. Mari kita pergi.”
Tidak seperti beberapa puluh purnama yang lalu, tak
kusangka rumah itu sekarang terlihat sudah cerah kembali. Tak ada sulur, tak
ada belukar, semak-semak pun sudah terpangkas dengan rapi. Dinding sudah dicat
kembali dengan warna yang meriah, dan orang-orang pun sudah ramai memenuhi
rumah dan halaman. Doa-doa berkejaran dipanjatkan. Puja dan puji melelayang
kesana kemari. Wajah-wajah yang sedih, tersenyum, berduka, terbata-bata. Saling
bercerita.
“Beliau dulu selalu membawa kebahagiaan bagi kita semua.”
kata seseorang yang berkacamata.
“Kepadaku lebih lagi. Aku hampir-hampir saja mencelakakan
anakku sendiri karena semula tak ada yang menginginkannya sementara kehidupan
hari-hari ini begitu sulit. Tetapi beliau berhasil membimbingku kembali ke
jalanku semula.” kata seorang perempuan pula.
“Terhadap aku beliau lebih-lebih lagi. Aku nyaris saja
mencelakakan diriku sendiri. Tetapi beliau membuat tali penggantungku putus
sehingga aku terjatuh dan kepalaku terbentur ke kaki kursi. Dan tiba-tiba saja
kepalaku jadi terasa begitu lapang.”
“Beliau selalu membuat anak kecil tertawa.”
“Kita juga.”
“Terkadang beliau tak segan-segan masuk ke dalam kampung
dan gubuk kumuh kami.”
“Beliau mengajar anak-anak kita meski dengan buku
seadanya.”
“Tetapi berisi tentang dunia.”
“Beliau mengajak kita mengingat kita semua.”
“Dan beliau mengajarkan aku supaya pandai berbagi.”
Temanku tersenyum-senyum. Aku tidak tahu, apakah ia
bermaksud ingin membanggakan apa yang terjadi saat ini, ataukah sekadar merasa
senang hati saja.
Ruangan dalam hampir penuh sesak; jadi kami berjalan
perlahan-lahan di sela-sela meskipun tak juga kan terasakan. Dia sekarang sudah
dibaringkan di tengah-tengah ruangan yang lapang. Wajahnya terlihat tenang,
lagi-lagi masih dengan senyum dari lekuk bibirnya yang lembut meliuk merekah.
Hanya kali ini tanpa sepasang telaga teduh lagi; kedua bola matanya itu
sekarang sudah tertutup rapat.
Sementara senandung doa dan rapal-rapal peribadatan
terasa mengambang tumpat di dalam ruangan ini, membah dengan cepat dari
bibir-bibir yang berkecipak ramai. Lihatlah Nurani, lihatlah, wajah-wajah
pengagummu. Sungguh mengagumkan setelah sekian lama melupakanmu ternyata mereka
masih ingat padamu - setidaknya di saat terakhirmu. Ketika sorotan perhatian
dunia menghadap ke arahmu, mereka perlu tampil untuk memperlihatkan diri
mereka. Tetapi apakah mereka masih mencintaimu dengan setulus hati, itulah
persoalan yang pernah menjadi bagian dari perdebatan kita dahulu. Karena engkau
tetap berkeyakinan: biarlah mereka mungkin tidak mencintaiku, tetapi setidaknya
mereka berusaha mencintaiku. Padahal aku sudah mengatakan, engkau hanya sekadar
jadi permainan.
Prosesi mulai berjalan. Pidato, doa panjang, salvo, dan
ucapan salam perpisahan. Jasadmu pun lalu dikuburkan, ditimbun, dan kemudian
sebuah nisan kayu dipancangkan. “Telah Bersemayam di Sini, Dia yang Mencintai
Kami Semua.” Kamera pun selesai. Semua pun pulang.
Tinggal kami berdua.
“Engkau tidak menangisi kepergiannya?” katamu agak lama
kemudian.
“Untuk apa?”
“Bagaimana pun, dia adalah pasanganmu, bukan?”
“Aku lebih menangisi orang-orang yang telah
ditinggalkannya.”
“Begitu.
Baiklah, sampai jumpa lagi.”
Ketika langit
mulai gerimis, engkau pun pergi, temanku, terbang dengan mengendarai trisula
berapimu. Sementara buntutmu yang meruncing matapanah berayun-ayun di belakang,
seperti biasa. Aku sendiri masih terus menatap nisan yang mulai basah itu.
Setelah bosan kemudian berdiri dan segera mengembangkan keempat puluh pasang
sayapku lebar-lebar. Aku menatap, sepasang di antaranya seperti pernah
kulakukan lama berselang, besok harus segera kucabut dan kutanamkan ke pohon
zaitun suci untuk melahirkan kembali Nurani. Hmh, padahal sungguh sulit sekali
untuk menumbuhkannya lagi.
PBR, 200707.
Juga untuk mengenang Taufik Savalas.
Publikasi #1: Riau Pos, ................
Kucing Schrödinger [CERPEN]
wikipedia.org/wiki/Schrödinger's_cat |
Ya, kucing itu sekarang ada di dalam sebuah kotak besar. Sebuah kamar; katakanlah begitu, supaya Anda sedikit lebih lega. Tetapi tak ada apa-apa lagi di sana. Kosong. Kecuali hanya sekeping pinggan yang pada permukaannya terhidang beberapa potong daging. Kita boleh memilih daging rusakah, daging lembukah, daging ayamkah, atau bahkan daging tikuskah; itu tak jadi soal. Kita juga boleh memilih daging-daging itu disajikan dengan olahan yang bagai-mana. Disemurkah, direndangkah, digulaikah, didendengkah, digorengkah, atau bahkan sekadar direbuskah; itu tak jadi soal. Yang penting dan yang sudah pasti seharusnya hidangan itu begitu menggugah selera santap si kucing. Keterlaluan kalau tidak. Yang jadi persoalan, kucing itu tidak tahu bahwa hidangan yang tampaknya begitu lezat itu sebelumnya telah dibumbui arsenik!
Akankah
kucing itu memakannya dan kemudian mati? Ataukah dia tidak memakannya
dan hanya berdiam diri saja? Atau kucing itu justru mengeong-ngeong
sembari berkeliling ruangan berusaha mencari celah untuk mendapatkan
jalan keluar? Kalian tahu? Bahkan ilmuwan-ilmuwan fisika sekelas jawara
Nobel pun pusing sebelas keliling dengan persoalan ini. Ketika mereka
sudah membahasnya, tiba-tiba saja alam semesta raya berkembang menjadi
jumlah yang tak terhingga. Alam semesta itu tiba-tiba beranak-pinak
bercucu-piut berpuak-gayut, hingga tak terhitung lagi jumlahnya.
Ibaratkan sebuah sungai besar dengan begitu banyak cabang anak-sungainya
yang kemudian berdahan-cabang-ranting lagi dalam kali suak dan parit;
hanya saja dalam alir yang terbalik. Semuanya paralel, tetapi tidak
saling terhubung, tidak pula saling memengaruhi. Masing-masing semesta
raya itu independen; berdiri sendiri, mandiri. Seperti
gelembung-gelembung busa yang ditiup kekanak; masing-masing “terbang”
dan memuai ke arah yang berbeda.
Namun
seluruh rangkaian ini sesungguhnya barangkali hanya ada di dalam minda
pengamat saja; yang dalam hal ini para fisikawan teoritis itu. Di
sinilah barangkali permasalahannya, dan bahkan mungkin juga paradoksnya.
Merujuk pada Einstein, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah
nisbi, karena semua nilai tergantung pada posisi pengamatnya. Apakah ini
dapat dikatakan merupakan bentuk modern dari ajaran Kaum Sofis, khususnya Protagoras?
Namun lagi, bagaimana pun cerdasnya pengamat itu, ia tetap saja
merupakan sesuatu yang berada di luar dari sesuatu yang diamatinya. Ia
tidak mengalaminya sendiri, maka dalam konteks kucing kita itu, ia
menjadi sesuatu yang sesungguhnya paradoks. Bila si pengamat ikut berada
di dalam kamar itu, ia tidak akan tahu apakah alam semesta telah
beranak-pinak atau belum. Tidak, bukan begitu; bila ia berada di alam
semesta di mana kucing kita itu berada, ia tidak akan tahu apakah alam
semesta telah beranak-pinak atau belum, baik ketika kucing itu belum
memakan daging yang terlihat sangat lezat, maupun ketika sedang, atau
bahkan sesudahnya. Baik kucing itu kemudian mati, atau tetap sehat wal
afiat. Lagi pula, apakah semesta raya semata akan beranak-pinak hanya
karena urusan kucing sial itu? Terlalu istimewa dia!
Hanya
dalam cerita-cerita fiksi ilmiah saja kita akan menemukan kisah yang
berbeda. Namun, sebagaimana dongeng dan mitos, seringkali cerita-cerita
itu sesungguhnya berhamil kebenaran yang terdalam.
Jadi
begitulah, ketika keempat bidang tegak bernama dinding itu adalah
semata-mata dinding, tidak ada apa-apa lagi di sana sebagaimana
lazimnya: pintu, jendela, ventilasi, bovenlicht,
atau bahkan sekadar lubang terawang; aku seharusnya mulai was-was. Ini
jelas-jelas semata-mata sebuah ruangan berbentuk kotak, atau bahkan
jangan-jangan memang sebuah ruangan di dalam kotak itu sendiri. Bersama
lantai, jelas sudah ada lima bidang datar dan rata dengan kedataran dan
kerataan sama-sekali. Maka ketika pandangan kuarahkan ke atas,
lengkaplah menjadi ada enam bidang yang membatasi, sebagaimana
seharusnya sebuah kotak; atau bahkan nyaris sebuah kubus. Satu-satunya
yang membedakan dari yang lainnya, pada bidang datar yang di atas itu –
langit-langit pasti – tergantung sebuah bola lampu listrik dari mana
datangnya sumber cahaya yang menerangi ruang yang sesungguhnya pastilah
gelap gulita ini. Jadi, cahaya adalah pengisi kegelapan, penutup
kegelapan, pengusir kegelapan; terserah istilah apa yang Anda inginkan.
Dengan sandaran itu, kita boleh menduga kegelapan ada lebih dahulu
daripada terang, daripada cahaya. Tak pernah ada cerita gelap menutup
terang. Tetapi, apakah kegelapan itu? Apakah terang @ cahaya itu? Terang
atau cahaya adalah pancaran energi, ia dapat berupa gelombang dapat
berupa partikel atau bahkan dapat berperilaku keduanya. Baiklah kalau
begitu; bagaimana dengan kegelapan? Apakah ia merupakan sesuatu? Kalau
ia bukan sesuatu, kenapa ia bernama? Kalau ia bukan sesuatu, kenapa ada
sesuatu yang merupakan antitesanya? Tetapi kalau ia sesuatu, kenapa ia
bukan apa-apa?
Ada
sebuah hidangan di sana. Ya, terletak nyaris di tengah-tengah ruangan,
sementara aku sendiri terperosok di salah satu pojok dari kedelapan
sudut yang ada. Hidangan itu jelas sangat lezat kelihatannya, karena
disajikan dengan cukup komplit, dengan bahan-bahan dan olahan yang
sangat kusukai. Terletak di atas hamparan sepinggan lebar, dialasi
dengan senampan stainless steel
berkilat yang juga terletak segelas minuman di atasnya. Sejak kapan
hidangan itu ada di situ? Aku tidak pernah melihat ada seseorang
memasukkan hidangan itu ke dalam ruangan ini. Kalau benar ada seseorang
yang telah memasukkan hidangan itu, pastilah sebuah celah ada di antara
keenam bidang yang membatasi ruangan ini. Sebuah celah yang barangkali
memiliki tutup yang begitu rapi sehingga nyaris mustahil untuk dilihat
secara sepintas. Kalau tidak, apakah mungkin hidangan itu ada dengan
begitu saja? Bahkan manna dan salwa
tidak menjadi ada dengan begitu saja. Ia bermula dari kelaparan Kaum
Israil yang berbuah doa dari Musa yang kemudian berbuah rahmat dan rahim
dari Allah yang kemudian berbuah mukjizat yang kemudian jadilah ia.
Hidangan di dalam ruangan ini kelihatannya tidak. Aku tidak sedang
kelaparan, aku tidak pernah meminta, aku tidak melihat seseorang
meletakkannya. Apakah ia melebihi manna dan salwa?
Ataukah
hidangan itu sudah ada sebelum aku ada di dalam ruangan ini? Teringat
kemungkinan itu aku tiba-tiba jadi terpikir akan keberadaan diriku
sendiri. Sejak kapan aku berada di dalam ruangan ini? Seingatku aku
tidak pernah masuk ke dalam ruangan ini. Aku juga tidak pernah ingat
kalau-kalau ada seseorang telah memasukkanku ke dalam ruangan ini. Aku
bahkan tidak ingat kapan pertama kali aku tersadar bahwa aku telah
berada di dalam ruangan ini. Apakah aku pernah pertama kali tersadar?
Kalau aku menyadari hal itu, mungkin itu dapat menjadi petunjuk bahwa
ada kemungkinan besar aku telah dimasukkan ke dalam ruangan ini dalam
keadaan tidak sadarkan diri. Berarti ini semacam pemaksaan, atau paling
tidak pengabaian atas kemungkinan pilihanku sendiri soal apakah aku
menghendakinya atau tidak. Pada kenyataannya, paling tidak, setelah
mengalami keadaan pada saat ini seandainya sebelumnya aku bisa memilih
aku pasti akan menolaknya. Tetapi jelas itu adalah kalau.
Kita tak dapat berdebat dengannya. Paling tidak, sebelum lengkungan
ruang-waktu dapat dipahami sepenuhnya dan dapat dimanipulasi dengan
sesuka hati.
Jadi,
aku sendiri tidak tahu dengan persis tentang keberadaanku dalam ruangan
ini: rangkaian peristiwanya, alasan-alasannya, bahkan juga waktunya –
karena sejak berada di dalam ruangan ini aku telah kehilangan akan
orientasi dimensi waktu sama sekali. Namun, bagaimana dengan riwayat
sebelum aku berada di dalam ruangan ini? Apakah aku memiliki sesuatu
untuk diingat? Andaikan aku mengetahui rangkaian peristiwa sebelum
aku tersadar dan mendapatkan diriku berada di dalam ruangan ini, paling
tidak aku akan dapat memahami dan kemudian mencoba melacak rangkaian
peristiwa selanjutnya, dimulai dari titik di mana ingatanku akan
peristiwa sebelum ini berakhir.
Tetapi,
apakah ingatan itu sendiri? Apakah rangkaian peristiwa itu? Apakah
pengalaman itu? Bagaimana aku akan merangkai “dua” pengalaman sebelum dan sekarang
yang barangkali saja memang aku ingat sementara di antara keduanya ada
celah yang aku tidak tahu? Dasar-dasar apakah yang dengan demikian aku
dapat mengisi celah itu? Hukum sebab-akibat? Itu bukanlah hukum yang
universal; ternyata. Tahukah Anda bahwa ada banyak sekali partikel yang
dapat muncul dengan tiba-tiba, tanpa harus ada sebab – kalau partikel
itu adalah sebuah akibat? Kalau sudah demikian, siapakah aku?
Apakah pengalaman yang menjadi ingatan di dalam kepalaku – benarkah
ingatan itu berada di dalam kepala? – adalah benar dan fakta itu
merupakan pengalamanku sendiri dan bukan karena ada seseorang – atau
sesuatu – yang telah menanamnya dengan mengabaikan keindependensianku?
Semacam ingatan artifisial? Apakah aku akan mengetahuinya? Apakah aku
akan memercayainya? Apakah nanti akan ada semacam adegan deja vu di dalam Matrix?
Jadi, kalau aku sendiri meragukan ingatan itu, lalu, bagaimana aku akan
mengisi celah kosong di antara “kedua” ingatan itu? Pada saat yang
sama, dengan demikian lantas apa gunanya aku mengingat-ingat ingatan
yang kemungkinan artifisial itu? Hanya jadi sekadar omong kosong, bukan?
Ruangan
ini bagiku tidak terasa panas dan tidak pula dingin. Keadaan yang
nyaris ideal ini seharusnya ditunjang oleh adanya suatu sistim sirkulasi
udara. Sistim sirkulasi udara membutuhkan adanya celah-celah untuk
boleh bergeraknya udara dari satu tempat ke tempat lainnya, serta tentu
saja adanya semacam energi yang dapat memberikan perbedaan tekanan udara
di antara tempat-tempat itu. Tetapi, seperti sudah kukatakan tadi, aku
tidak melihat adanya celah-celah itu; sekecil apa pun. Aku bahkan tidak
pernah merasakan sedikit pun adanya aliran udara di dalam ruangan ini.
Kalaupun aku kemudian merasakan adanya udara di dalam ruangan ini, itu
pertama-tama jelas karena aku bernapas, dan kemudian saat aku
menggerak-gerakkan anggota badanku terasa juga sedikit-banyaknya.
Tetapi, dengan tanpa bermaksud mengabaikan betapa pentingnya udara bagi
kehidupan, aku mengatakan hal ini sesungguhnya dengan maksud dalam usaha
untuk menemukan sebuah celah, sekecil apa pun.
Tetapi,
kenapa aku harus menemukan sebuah celah? Apakah itu penting? Untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan ini lalu sedikit mengguncang pemikiranku. Ya,
kenapa? Apakah sebuah celah – sekecil apa pun – lebih penting, atau
setidaknya lebih menggoda, daripada seperangkat hidangan yang sudah
terhampar dengan manis di tengah-tengah ruangan ini? Apa yang dapat aku
harapkan dari sebuah celah? Dari seperangkat hidangan lezat, jelas
menjanjikan kenikmatan dan kekenyangan kuliner; serta pada saat kemudian
akan memberikan tambahan energi bagiku. Sebuah celah, mungkin
jangan-jangan bahkan hanya akan menimbulkan kecemasan. Bagaimana kalau
di balik celah itu tengah bersiap-siap berton-ton air atau pasir akan
dialirkan? Atau mungkin beribu-ribu ekor kalajengking, atau kelabang,
atau bahkan ular? Atau sekadar hembusan gas metan? Apakah itu sebuah
khayalan yang sangat menyenangkan berkat keberhasilan menemukan sebuah
celah?
Tetapi,
bagaimana pun, agaknya sebuah celah adalah sebuah janji, sebuah
peluang. Sebilah mata parang dapat menetak tulang atau menebas ilalang.
Demikianlah sebuah celah. Ia adalah sebuah harapan, atau paling tidak
sebuah perbedaan; dari kondisi yang konstan yang demikian ini. Tetapi
teringat dengan soal sirkulasi udara tadi, itu mungkin sekali bukan
sebuah teka-teki tetapi sekadar fisika anak SD. Kotak di mana ruanganku
ini berada kemungkinan sekali memiliki konstruksi berdinding ganda,
sehingga menyerupai sebuah termos. Anda tahu kenapa termos adalah sebuah
penemuan yang paling gemilang? Ketika kita masukkan benda panas di
dalamnya, panas benda itu akan bertahan cukup lama. Ketika kita masukkan
benda dingin di dalamnya, dingin benda itu akan bertahan cukup lama
Coba, bagaimana mungkin dia bisa membedakan yang mana yang panas dan
yang mana yang dingin? Jadi, kalau benar demikian, aku jelas tidak bisa
berharap lebih jauh tentang kemungkinan adanya celah itu. Lalu, kalau
begitu, bagaimana mungkin aku dan hidangan itu mengada di dalam ruangan
ini? Apakah kami berdua semacam manna dan salwa?
Dalam
dunia fiksi ilmiah, ada semacam alat yang berfungsi sebagai alat
transportasi antar ruang-waktu. Sebenarnya kalau mau ditelaah lebih jauh
konsep ini sesungguhnya agak membingungkan karena bisa tercampur antara
satu dengan yang lain; mulai dari sekadar “pemindahan fisik nyata
dengan sangat cepat”, “pemindahan fisik secara partikel”, sampai kepada
“mesin waktu” – karena kita tahu, lagi-lagi Einstein, ruang dan waktu
itu adalah nisbi. Namun untuk memudahkan, kita berpikir sederhana
sajalah: andaikan memang benar begitu, yaitu paling tidak dengan cara
pemindahan partikel antar-ruang seperti dalam film-film Star Trek,
sehingga tidak perlu ada celah di antara ruangan itu – yah, itu mungkin
saja. Tetapi, lagi-lagi, siapa yang telah melakukannya? Apa alasannya?
Kapan? Dan yang terpenting: apa tujuannya? Dan kalau kita sudah membahas
tentang apa tujuannya, itu bisa bermakna apa tujuannya bagi dirinya
sendiri dan bagi subjek-(dalam hal ini aku dan, bolehlah juga, hidangan
itu)-nya? Apa motifnya? Dan tujuan itu ditentukan oleh siapa? Apakah
satu pihak berhak menentukan tujuan pihak lain untuk pihak lain itu
tanpa perundingan dengan pihak lain itu apalagi persetujuan? Bukankah
ini menjadi semacam tirani?
Baiklah,
karena aku tidak memiliki proposisi lain selain kenyataan bahwa aku ada
di dalam ruangan ini – bersama hidangan itu – tidak peduli apa pun
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya oleh sesuatu dan atau seseorang
yang telah menempatkanku di sini, maka aku seharusnya sudah mulai
memikirkan tujuanku sendiri: saat ini, dan ke depan. Sebagai spesies
manusia – aku masih jelas menyadari hal itu pada saat ini meskipun aku
tidak lagi punya referensi dan pembanding – aku sangat layak dan sudah
seharusnya memikirkan dan menetapkan hal yang demikian; karena kita tahu
bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan pun memiliki tujuan hidup mereka
masing-masing, baik tujuan jangka pendek, maupun tujuan jangka panjang.
Tetapi, sebelum memikirkan hal itu, yang pertama-tama sekali tentulah
aku harus menetapkan terlebih dahulu – atau dalam bahasa lain – memahami
terlebih dahulu diriku sendiri. Karena sebuah tujuan – yang bukan
sekadar bersifat naluriah belaka – seharusnya memiliki sebuah pelabuhan
awal di mana tempat titik tolak atau landasan yang kuat berada, dan itu
adalah pemahaman tentang diri sendiri. Tetapi tahukah Anda? Ternyata itu
bukanlah hal yang mudah – bahkan mungkin hal yang tersulit; atau tidak.
Ah, Anda tahu, ada yang begitu mudahnya belajar bermain gitar klasik
sebagaimana ada yang begitu mudahnya menghitung segala kelindan
matematika atau ada yang begitu mudahnya pula melenturkan tubuh
berayun-ayun di atas palang senam – sebagaimana banyak pula yang lainnya
begitu kesulitan untuk melakukannya.
Haah!
Atau mungkin ruangan yang serba tertutup ini yang sudah mereduksi
kemampuan benakku. Andaikata aku berada di sebuah ruangan yang terbuka
dengan segala kehendak-bebas ada di tanganku, pemikiran ruwet seperti
itu mungkin tidak akan jadi kusut berkelindan di dalam kepala-hotakku –
atau kemungkinan besar bahkan tidak terpikirkan sama-sekali. Aha! Tidak
terpikirkan sama sekali! Atau, jangan-jangan, itulah tujuan sesungguhnya
kenapa aku ada di dalam ruangan ini? Bahwa sebelumnya aku tidak pernah
memikirkan tentang hal itu dan ketika berada di dalam ruangan ini dalam
keadaan seperti ini kemudian memaksa kepala-hotakku berputar hingga
kemudian terpikirkan hal yang semacam ini? Yaitu, ketika orang akan
menjahit baru terpikirkan benang dan jarum atau ketika kancing lepas
baru terbayang-kan peniti? Harus ada semacam keadaan yang memaksa
terlebih dahulu? Sebagaimana para wali, resi, sufi, dan pertapa terhadap
dirinya sendiri? Tetapi, kalau demikian, timbul lagi pertanyaan itu:
siapakah yang berhak menentukan tujuan seseorang itu? Siapakah yang
berhak menentukan kebaikan bagi seseorang? Kalau seseorang yang lain
yang menentukan dan atau menetapkan tujuan untuk seseorang itu, kalau
tujuan itu tidak tercapai, siapakah yang harus bertanggungjawab? Apakah
seseorang yang lain itu atau seseorang itu?
Oh,
tadi aku pikir ada angin semilir mengalir. Rupanya hanya sekadar
telingaku yang berdesir. Atau mungkin hanya hatiku. Aku letih sudah
terpojok, lalu aku mencoba berdiri. Pegal-pegal menggeramit sekujur
tubuh, setelah berjam-jam tanpa gerakan berarti. Semacam pukang yang
stres dimasukkan ke kandang. Kuangkat lengan kananku setinggi-tingginya
dengan ujung jari tengah yang paling tinggi ditambah jinjit, separuh
tinggi ruang pun tak tergapai, apalagi ujung lampu itu, apatah lagi
langit-langit itu. Tetapi paling tidak gerakan itu juga bisa bermakna
meregangkan anggota-anggota tubuhku dengan beberapa gemeretak yang
menyenangkan.
Lalu
aku melangkah. Satu dua, menyusuri sisi dinding, dari sudut ke sudut.
Kalau aku seekor singa, mungkin aku akan segera mengencingi setiap sudut
itu, sebagai penanda batas wilayah kekuasaanku. Jadi, mungkin saja yang
kulakukan itu juga sekadar semacam naluri primordial, mencoba memahami
ruangan yang ada, ukuran-ukurannya, bentuk-bentuknya, serta kemungkinan
wilayah penguasaannya. Atau mungkin itu semua terlalu berlebihan.
Bagaimana pun, setelah berjam-jam, kelaparan mulai menggeram, sehingga
pada putaran ketiga aku pun menyusuri tengah ruangan menghampiri
hidangan. Hm, meski tak lagi mengepulkan asap kehangatan, namun aroma
kelezatannya masih mengawang.
Tetapi
aku masih mencoba menoleh ke berbagai arah ruangan. Baiklah, ada aku
dan ada hidangan di ruangan tertutup ini. Apakah ini semacam sekadar
percobaan daya tahan primata akan godaan atau perlawanan daya tahan
fisik semata, atau sudah masuk ke dalam wilayah psikologi dengan segala
gejala kecurigaan dan seterusnya? Kenapa mereka tidak memberiku sebuah
tongkat dari balik jeruji? Atau mungkin sebuah pistol untuk bermain
rulet rusia? Mungkin itulah tujuan mereka, sekadar ingin melihat
seberapa besar daya tahanku atas kecurigaan-kecurigaanku sendiri. Apakah
aku akan bercuriga, jangan-jangan ada arsenik itu, dan dengan demikian
menahan diri hingga kurus kering dan nasi menjadi basi? Atau aku akan
mengabaikan itu semua dan melahap hidangan itu begitu saja demi
memberangus rasa lapar? Tetapi, apa pun, tetap saja ini seperti rulet
rusia juga. Walaupun mungkin sekadar di dalam mindaku semata.
Oya,
aku mungkin bisa mencicipinya, sebagai penguji – mungkin tidak akan
berpengaruh dengan dosis kecil seperti itu. Lalu aku bisa menunggu.
Kalau memang ada arsenik atau racun apa pun aku mungkin sekadar akan
mengalami efek-efek yang ringan, dan kalau aku tetap berada dalam
keadaan sehat wal afiat berarti hidangan itu aman dan dengan demikian
aku dapat segera menyantapnya. Tetapi sebelum itu, bagaimana mungkin aku
bisa tahu seberapa banyak racun itu dimasukkan? Mungkin begitu
banyaknya sehingga meskipun sekadar aku cicipi aku akan mati, atau
mungkin begitu sedikitnya sehingga ketika aku cicipi tidak berpengaruh
apa-apa dan hanya akan berarti ketika aku memakan seluruh hidangan itu
berkat efek akumulasi. Ah, ini tiba-tiba jadi seperti kisah-kisah
Sherlock Holmes, Agatha Christie, atau thriller Hitchcok. Namun bagaimana pun aku telah dengan rapi duduk bersila di dekat hidangan itu.
Aku
tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan kucing Schrödinger itu.
Ketika kamar itu kubuka, kucing itu telah mati dengan sepotong sisa
daging masih tersangkut di salah satu taringnya. Tetapi dengan Kuantum,
di semesta raya lain kucing itu masih tetap bertahan tanpa menyentuh
sedikit pun hidangan itu, semata-mata karena ia masih berkutat dengan
pikiran-pikiran filsafat dan religiositasnya. Di semesta itu mungkin
justru aku yang sudah mati, karena terlalu lama menunggu kapankah kucing
itu akhirnya memakan hidangan yang berarsenik itu. Sementara dalam
waktu yang sama, semesta-semesta lain telah beranak-pinak bercucu-piut
berpuak-gayut tanpa harus menunggu keputusan pilihan antara aku dan kucing Schrödinger.
Payungsekaki, 010211.
Publikasi #1: Riau Pos, 20-02-2011.
tuhan@el-langit.com [CERPEN]
www.mso93.wordpress.com |
Lalu, di tengah-tengah itu aku
kemudian teringat untuk membuka surel-ku. Sudah lebih seminggu aku tak pernah
menyapanya, barangkali ada beberapa surat
elektronik yang masuk; walupun kebanyakan barangkali hanyalah surat-surat
berjenis spam. Maklumlah, aku
bukanlah orang yang sering berkomunikasi lewat surel. Meski begitu, siapa tahu.
Ah, benar saja, ada tujuh surat.
Lima spam, satu dari sahabatku di Madinah,
dan – yang ini?
Alamat yang terlihat asing itu segera
menggaet biji mataku, sekaligus menggelitik perasaanku. Siapa gerangan orang
yang punya alamat ini? Aku jelas tidak mengenalnya karena sebelumnya memang
tidak pernah berkomunikasi dengan seseorang yang menggunakan alamat surel
seperti itu. Lagi pula aku pun jadi bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang
berani-beraninya menggunakan alamat surel dengan nama seperti itu? Apakah ia
tidak takut bakal jadi masalah di kemudian hari? Menggunakan nama seperti itu,
rasanya agak sensitif, bukan?
Tapi, ah, di dunia maya internet
rasanya setiap orang bisa melakukan apapun; bahkan sesuatu yang tabu di dalam
dunia nyata sekalipun. Bahkan kadangkala, itu bisa menjadi pendongkrak
ketenarannya. Dan, di dalam dunia yang dikendalikan oleh sistem
kapitalis-pragmatis-opurtunis, semua orang tahu ketenaran adalah merupakan
salah satu modal untuk melakukan negosiasi ekonomi.
Ataukah, ini sekadar salah satu
alamat spam?
Tapi, aku penasaran juga lama-lama.
Kelihatannya tidak begitu mencurigakan. Pun tidak ada file ikutan di dalamnya. Lagi pula, aku cukup merasa yakin dengan
kecanggihan sistim anti-virus yang kumiliki. Jadi, akhirnya kubuka. Tapi,
kemudian sepertinya menjadi antiklimaks. Isinya hanya: “Hai.”
Hanya tiga huruf itu. Tidak kurang,
tidak lebih. Ah, berarti memang datang dari orang iseng. Orang yang sepertinya
tidak punya pekerjaan lain yang lebih berarti. Atau mungkin ada seorang teman
yang mencoba menggodaku. Atau, entahlah. Tapi kemudian aku berpikiran: baiklah,
aku juga sedang tidak dapat tidur dan sedang tidak ada sesuatu yang harus
kukerjakan, jadi aku iseng juga. Kubalas surel itu.
“Hai juga. Siapa ni?”
Aku tertawa dalam hati; sekaligus
setengah berharap. Ah, paling tidak, siapa tahu di seberang sana dia adalah seorang wanita jelita yang
juga sedang kesepian sehingga kemudian melakukan keisengan seperti ini.
Aku lalu membuka surel dari
sahabatku yang sedang kuliah mengambil S2 di Universitas Islam Madinah itu.
Kalau melihat tanggalnya, surat
itu sudah datang empat hari yang lalu. Isinya hanya pendek saja. Salam sapa,
saling kabar, lalu – yang mengejutkan itu.
“…. Kemaren aku mendapatkan kiriman
e-mail beralamatkan aneh. al-ilah@samaawat.com, kau percaya itu? Kukira tadinya
virus, tetapi setelah kubuka isinya hanya ‘Salam’. Masyaallah, masih ada saja
orang-orang aneh. Tidakkah dia takut kepada Tuhan? Wassalam.”
Aku tertegun sejenak. Ada kesamaan kasus di
antara kami berdua. Walaupun alamat surel yang disebutkannya itu berbahasa
Arab, tetapi jelas pengertiannya adalah sama dengan tuhan@el-langit.com itu; atau
lebih-kuranglah. Jadi, sekarang aku jadi menemukan dua keanehan dalam satu
malam dini hari ini. Apakah ada dua orang aneh, atau dua orang iseng yang sama?
Ng, atau mungkin berasal dari salah seorang teman yang mengenal kami berdua;
sehingga bisa mengirim surel iseng itu ke alamat kami? Tapi, siapa? Begitu
isengnyakah?
Sedang berpikir-pikir begitu,
tiba-tiba alarm anti-virus komputerku meribut. Sial, laman lampu merah yang
tanpa kusadari masih aktif itu mencoba menyelusupkan virus rupanya. Untung saja
program anti-virus buatan anak dalam negeri itu begitu yahud dan waspada. Maka,
aku tinggal mengikuti perintah-perintahnya, dan musnahlah penjahat gelap itu.
Lampu merah itu pun kemudian segera kupadamkan. Tinggallah Wikipedia dan sebuah
laman situs sastra.
Eh, surel-ku tadi ternyata segera
mendapatkan balasan. Agaknya orang ini sama-sama belum tidur. Kubuka.
“Tidakkah engkau mengenalku?”
Sial. Sombong kali orang ini. Atau
paling tidak, ke-pede-an. Memang,
sebegitu ngetopnya kamu, apa?;
gerutuku dalam hati. Bahasa yang digunakannya pun terkesan angkuh. Baiklah,
mari kita bermain.
“Tidak.”
Kukirim.
Lalu, aku berpindah ke surel temanku
tadi, dan kubalas:
“[Salam]. [Kabar-kabar]. Iya, aku
juga mendapatkan surel yang mirip-mirip. Aku rasa ada teman kita yang iseng en usil. Kamu tahu siapa? Wassalam.”
Terkirim.
Lalu, balasan surel itu lagi.
Isinya:
“Ah, engkau hanya lupa.”
Sialan.
“Sebutkan nama Anda.”
Jawabnya:
“Namaku ada di mana-mana.”
“Kamu punya facebook atau twitter?”
Yang masuk, dari Madinah.
“Ini mulai
merebak tiga hari ini, Rif. Seluruh dunia
mungkin akan heboh. Teman-temanku di KL, Kairo, Athena, Roma, Barcelona, Paris,
Bonn, San Fransisco, Shanghai, Kyoto, dan Seoul juga mendapatkan e-mail dengan
alamat yang mirip-mirip. Ada
dios@e-cielo.com, ada dieu@la-grandciel.com,
gott@hochhimmel.com, god@heaveneden.com, shàngdĭ@tiãn-shàng.com,
kami@sora-tenku.com, dan
hanûnim@hanûl-sanggong.com. Mereka juga mendapatkan berita dari teman-temannya
yang lain tentang hal yang sama. Jadi, ini bukan perbuatan iseng salah satu
sahabat kita. Tapi, sori ya, aku tak bisa lanjut. Lagi di kampus. Wassalam.”
Seluruh dunia? Tengah pusing begitu,
masuk lagi surel itu.
“Untuk apa facebook dan twitter? Aku
bahkan lebih dekat daripada wajahmu.”
Aku hampir saja memaki dengan
kata-kata “bangsat!”. Ini orang! Meski dunia maya memang bebas
sebebas-bebasnya, tetapi dalam berkomunikasi secara personal orang masih tetap
berusaha menerapkan adab sopan-santun. Karena disulut sebal, aku segera menutup
surel-ku itu; tak berniat melanjutkan komunikasi dengan orang yang tak jelas
itu. Daripada dosa bertambah dengan kejengkelan. Tapi sesaat kemudian kubuka
lagi, sekadar teringat untuk membalas surel dari Madinah itu.
“Yang ini tak usah segera dijawab.
Aku barusan bahkan sedang bersurat-suratan dengannya – siapa pun itu. Tapi,
menyebalkan. Sombong. Jadi, sudah aku stop.
Wassalam.”
Keluar lagi.
Lihat-lihat situs yang lain
sebentar. Datang kuap. Laptop
kututup. Tidur.
Hari-hari kemudian, dalam
perbincangan dengan teman-teman aku kemudian mengetahui bahwa soal alamat surel
itu memang sudah mulai menjadi berita hangat. Tapi pada umumnya mereka
berpendapat bahwa itu hanyalah perbuatan orang-orang iseng belaka, sehingga
banyak di antara mereka yang mendapatkan kiriman surel itu tidak membukanya;
bahkan kemudian menghapusnya begitu saja. Alasan utama, sebagian besar takut
kalau-kalau surel itu adalah perahunya virus. Sebagian lainnya menganggap tak
ada waktu untuk melayani keisengan seperti itu.
“Mendingan juga lihat videonya Si Mouni
itu. Syuuur …. Ha ha ha.”
Mereka tertawa.
“Eh, kamu tahu nggak?
Masih ada 33 lagi. Kayak zikir saja. Ha ha ha.”
Dasar teman-teman ini; gumamku dalam hati, dapat
fasilitas canggih seperti laptop
bukannya digunakan untuk sesuatu yang positif. Kalau tak buka-buka laman lampu
merah, ya paling pilih game poker
atau sebangsanya. Tapi, ketika aku mengatakan bahwa – menurut temanku yang di
Madinah – seluruh dunia mengalami hal yang serupa, mereka mulai tertegun.
“Apa iya.” tanya yang satu tak begitu yakin.
“Mungkin saja.” balas yang lain seolah menjawab.
“Internet kan
memang terbuka bebas di seluruh dunia. Jadi, ya bisa saja.”
“Maksudku, yang di luar negeri itu bukan dengan
menggunakan alamat surel dalam bahasa kita,” aku menjelaskan, “tapi, dengan
bahasa mereka masing-masing.”
“Oya?”
Mengiyakan, antara yakin dan tidak. Itulah orang kita.
Jadi, tak ada yang bermakna bagiku dalam perbincangan
itu, selain mendapatkan informasi baru bahwa masih ada 33 video lagi. hm ….
Malam, seperti biasa aku belum ngantuk sebagaimana semestinya.
Itu bukan karena insomnia, tapi karena aku sering dapat tidur siang. Maklumlah,
tak begitu banyak yang bisa kukerjakan. Kata orang, aku ini tergolong
“pengacara”: pengangguran banyak acara. Aku berhasil menulis satu cerpen dalam
seminggu, sudah bagus. Honornya lumayanlah buat sekadar beli rokok dan mengerem
repetan istriku. Toh, dia cukup pandai mencari duit sendiri dari kantornya.
Bahkan jauh lebih pandai daripadaku. Rumah ini dan seluruh isinya praktis
berasal dari duit yang diperolehnya. Hanya laptop,
gitar, serta koleksi buku dan kaset yang berasal dari kantongku sendiri. Itu
juga barangkali karena dia tidak menyukai satu pun dari jenis barang-barang
itu. Jadi, enam hari lainnya praktis kosong. Sangat kadang-kadang saja ada
acara bengkel sastra, seminar atau semacamnya, dan undangan-undangan yang oleh
kebanyakan pejabat akan mereka campakkan ke dalam bak sampah begitu selesai
menolehnya. Di samping itu, kalau sedang menulis aku juga cenderung melakukan
pada malam hari. Terasa lebih nikmat bagiku.
Atau, mungkin sebab-akibatnya adalah sebaliknya. Aku bisa
atau harus tidur siang justru karena aku sering melakukan kegiatan hingga jauh
tengah malam. Yang mana yang benar, entahlah.
Jadi, kembali kubuka laptop-ku.
Surel-ku. Tak ada surat
baru yang masuk. Agak aneh juga, meski enggan, kubuka juga surel yang terakhir
itu.
“Untuk apa facebook dan twitter? Aku
bahkan lebih dekat daripada wajahmu.”
Sebenarnya masih jengkel; tetapi ini kejengkelan yang
menggelitik. Dunia maya, meski ramai dan padat, tapi sebenarnya penuh dengan
orang-orang yang kesepian. Mungkinkah si pengirim surel itu adalah satu di
antara mereka? Maksudku – itu tentu sudah jelas secara kaidah logika kalau
menggunakan postulat a dan b – tetapi maksud yang sebenarnya, mungkinkah si
pengirim surel itu benar-benar sedang kesepian secara harafiah? Kalau ya, dari
satu segi mungkin patut dikasihani. Mungkin dia sekadar sedang memerlukan
seorang teman yang bisa diajak berkomunikasi. Tapi, bukankah semua yang ada di
dunia maya internet memang begitu? Milyaran? Lagi pula, kalau memang dia sedang
membutuhkan teman bicara, kenapa tidak ke facebook atau twitter saja yang
sekarang sedang happening banget?
Malah, dia bilang “untuk apa”! Sialan! Ah, kututup saja lagi laptop-ku. Tidur sebisanya.
Hari-hari lewat. Di layar kaca pun hampir sama saja.
Bedanya, kita tidak bisa mengklik. Hanya ada remote untuk pengalih kebosanan. Mungkin suatu saat nanti. Sekarang
drama seperti ada di mana-mana. Bahkan drama di dalam drama di dalam drama.
Kalau karya-karya epik zaman dulu, orang-orang menyebutnya cerita berbingkai. Dan
kita menilainya sebagai sebuah mahakarya abadi. Yang di televisi, hampir
seluruhnya membuat kita ingin muntah. Bahkan feature pun sudah menjadi drama. Bahkan berita pun sudah menjadi
drama. Bahkan sidang pun sudah menjadi drama! Sampai kemudian menyelip sebuah
berita singkat tentang surel yang mulai menghebohkan itu. Penyiar yang cantik
itu menyampaikan, bahkan pihak aparat keamanan dan intelijen negara sudah mulai
mencoba mencari alamat asal atau IP
adress pembuat surel itu. Ini karena sudah banyak pengaduan masyarakat,
termasuk beberapa pemuka agama. Tapi sayangnya, sampai saat itu mereka belum
mampu melacaknya.
“Disinyalir orang yang menyebarkan surel itu adalah
seorang hacker yang jenius, karena
sampai saat ini belum juga terlacak, meskipun aparat sudah menggunakan
peralatan yang canggih.” Penyiar itu tersenyum lebar. Lalu jeda iklan.
Beberapa hari berikutnya, sehubungan dengan surel itu
selain frasa-frasa “orang iseng” dan “hacker jenius” lalu muncul kata-kata
penyerta lainnya: “kreatif”, “teroris”, “tanda-tanda zaman”, “atheis”,
“murtad”, “fitnah”, dan masih banyak lagi. Belum lagi variasinya dalam berbagai
bahasa di seluruh dunia. Lalu muncul pula facebook dan twitter “sejuta menolak tuhan@el-langit.com”
atau semacam itu. Dua hari kemudian, tiba-tiba saja pihak aparat mengadakan
jumpa pers sambil senyum-senyum. Seorang lelaki muda kusut-masai berada di
tengah-tengah mereka dan puluhan pewarta yang tengah bersemangat.
“Kami telah menemukan pelakunya.”
Tapi, tiba-tiba aku merasa sunyi, sekaligus kehilangan –
dan berharap apa yang muncul di layar kaca itu bukanlah sebuah kebenaran.
Aparat juga kadang-kadang suka mengambil jalan yang mudah, bukan? Malam hujan,
aku membuka laptop-ku kembali,
seperti orang-orang kesepian lainnya. Lalu surel-ku. Lalu, surel itu. Mendadak
aku menyadari sesuatu, lalu membuka jendela yang lain dan kemudian mencoba
mencari alamat www.el-langit.com.
Semoga saja ada.
Ada!
Tetapi yang muncul di layar hanyalah
kata-kata: “Sedang dalam Perbaikan”, berlatar gambar imaji angkasa raya. Lalu
di lajur sebelah kiri berderet rujukan laman serupa dalam ratusan bahasa yang
ada di dunia ini. Kucoba buka beberapa di antaranya, isinya sama saja, bahwa
situs itu sedang dalam perbaikan, dalam bahasanya masing-masing. Aku pun
terpuruk di kursiku.
Barangkali ketika menemukan gagasan
terakhir tadi, tanpa sadar aku agaknya berharap terlalu banyak. Bahwa aparat
sekali lagi berbohong kepada publiknya Apalagi, beberapa hari terakhir
terngiang-ngiang kembali kata-kata yang pernah disampaikan oleh surel itu
kepadaku. Di dalam situ aku seperti berharap menemukan sesuatu. Sesuatu yang
barangkali dapat membilas kesepian dan kekosonganku.
Aku kemudian beralih kembali ke
surel-ku. Oya, ada surel dari Madinah. Datang tiga hari yang lalu rupanya.
“Sudah lihat website-nya? Isinya sih, bagus.”
Hanya itu. Sudah; jawabku dalam
hati. Isinya bagus? Aku meragukannya. Bahkan latar laman-mukanya pun tidak
terlalu menjanjikan.
Lalu kembali ke surel itu.
Klik. Masih tulisan yang sama; tentu
saja.
“Untuk apa facebook dan twitter? Aku
bahkan lebih dekat daripada wajahmu.”
Klik lagi pada balasan:
“Aku rindu padamu ….”
Apa-apaan ini? Apakah aku harus
mengkliknya?
Payungsekaki,
120610.
Publikasi #1: Riau Pos, 29-08-2010
www.bukanmuslimahbiasa.com |
Batu Emak [CERPEN]
Emak masih
saja duduk diam. Setengah membungkuk, pandangnya merunduk, sambil
jari-jemarinya tak lepas sedari tadi memilin-milin tepi renda kain taplak meja.
Kami
duduk di seperangkat kursi omega di ruang tengah yang sempit, bersebelahan
dengan meja makan tua yang terbuat dari kayu nangka. Kursi yang berlapis mika
itu pun sudah tua juga; mungkin sudah lebih tiga puluh tahun umurnya, sehingga
tak heran pabila warna mikanya sudah pudar pada banyak tempat, terutama pada
bagian yang diduduki.
Bahkan ada pula bagian yang sudah terkelupas. Sementara di mejanya, dari sela-sela lubang-lubang renda, aku
masih dapat melihat beberapa keping gambar yang juga sudah tua, tertindih di
bawah kaca, dan lengket.
Beberapa di antaranya sudah pudar dalam rona-rona bergelombang dimakan tumpahan
air. Aku masih ingat, gambar-gambar
itu akulah dulu yang meletakkannya di situ. Pada masa aku kecil dulu, hampir
pada setiap kertas pelapis susu kaleng yang dibeli emak aku dapat menemukan
berbagai macam gambar di bagian belakangnya. Ada gambar ikan sedang berenang,
ada gambar harimau, ada gambar beruk sedang menjuntai, ada juga gambar
pemandangan. Itu semua semacam bonus waktu itu. Menurutku pada masa itu,
gambar-gambar itu sungguh indah untuk dipandang sehingga menimbulkan ketakjuban
tersendiri. Karena itulah setiap emak membeli susu kaleng, akulah selalu yang
terlebih dahulu menanggalkan kertas pelapisnya sambil berharap-harap adalah gambar di sebaliknya. Kalau tak ada, aku
selalu mengingatkan, “Mak, kalau beli susu intai-intailah ada gambar ke tidak.”
Aku
sebetulnya sangat tak merasa nyaman duduk di bangku mika ini.
Tapi karena emak maunya duduk di sini, aku tak dapat berkata lain. Bentuk
bangku ini memang sudah terkesan rapuh, dan – meskipun emak rajin merawat
barang-barang yang dimilikinya, tak urung di beberapa tempat terlihat
sekumpulan karat pada pipa besi kerangkanya;
atau setidaknya jejak sekumpulan karat yang sudah dikikis emak atau abah dulu. Tapi, ketidaknyamananku sebenarnya lebih kepada ukurannya
yang sekarang sudah terasa sempit, sesak menampung pinggangku yang mengembang, serta perut yang kian membuncit.
Sebetulnya di rumah emak ini bukannya tak ada kursi sofa yang empuk dan lega –
aku sudah membelikannya cukup lama berselang dan sekarang teronggok sesak dalam
ruang depan yang sempit itu – tetapi emak sepertinya tak pernah menyukainya.
“Pinggang emak sekarang ‘dah sakit-sakit, tak suai duduk di kursi yang macam
‘tu. Apalagi di situ ada AC. Dingin, tak tahan tulang Mak.” Itulah selalu alasan yang dikemukakan emak setiap ada
yang bertanya.
Sejak
ditinggal almarhum abah
bertahun yang lalu, emak memang seperti
masuk ke dalam dirinya sendiri, kian tak banyak berbicara; walaupun ketika abah masih ada
dulu pun sesungguhnya emak
tergolong pendiam. Tak banyak cakap, tak banyak berceloteh, tak banyak ribut,
tak banyak bergunjing macam perempuan-perempuan kampung lainnya. Dan, beberapa
tahun belakangan ini bahkan sepertinya emak semakin
tenggelam dalam-dalam. Entah ada apa gerangan. Kalau dikatakan sakit, tidaklah
pula. Beberapa dokter sudah coba aku datangkan, tapi semuanya berkesimpulan
beliau sehat-sehat saja; kecuali kondisi fisiknya yang memang lumrah bagi orang setua beliau, dan kemudian selalu saja
dengan saran: “Emak jangan terlalu banyak pikiran.”
Yang terlihat sekarang, emak
tampak kian rajin saja melakukan ibadah, terlebih sejak aku berhasil sekali
membawanya umrah. Tapi, itu juga menurutku lumrah; orang-orang setua beliau
memang kian berusaha meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadahnya. Kian rajin
ke mesjid dan sebagainya, meski ketika itu berjalan pun sudah tertatih-tatih, batang badan sudah pula terbungkuk-bungkuk, serta kaki dan tangan sudah sering
terasa kebas. Aku pun mengingat-ingat kelak akan melakukannya juga.
Ke-diam-an
emak ini sebenarnya kian merunsingkan hatiku, karena selama ini di antara enam
anaknya, kepadakulah beliau paling dekat. Mungkin itu juga karena aku adalah
anak bungsu. Kepada akulah dulu emak sering mau banyak bercakap-cakap,
bercerita-cerita, atau istilah anak sekarang: curhat. Kebiasaan itu pun masih berlanjut ketika kemudian aku
menikah, bahkan menjadi dua karena dengan menantunya – istriku yang memang
selalu pandai mengambil hati itu – pun emak dekat. Tapi belakangan ini emak
kelihatannya kian enggan bercakap-cakap denganku lagi; bahkan
untuk bertemu pun sepertinya berat. Pada mulanya memang tidak aku sadari.
Kesibukanku yang meningkat sebagai salah seorang pejabat baru, membuat aku
lambat tahu akan hal-hal yang seperti itu.
Ketika
kemudian aku menyadari, aku lalu mencoba mengambil hatinya kembali dengan
mengajak emak naik haji. Tapi entah kenapa, hal itu sepertinya sulit sekali.
Aku pun sempat bertanya-tanya lama, bagaimana mungkin emak seperti enggan
kubawa naik haji, bersama-sama rombongan kawan pejabat lagi? Bukankah hal
seperti itu akan dapat membanggakan diri? Bukankah naik haji adalah hal yang
selama ini emak dan almarhum abah idam-idamkan? Idam-idaman yang tak pernah
tercapai, karena abah dan emak bukanlah orang yang berpunya, serta dulu aku masihlah pegawai biasa? (Apatah lagi saudara-maraku yang
lain).
Meski
emak tak pernah mengungkapkan alasan yang sebenarnya, kekecewaanku sedikit
terobati ketika emak akhirnya mau juga sekadar kuajak umrah, beberapa bulan
kemudian, meski dengan sedikit mengecoh. Sebuah pemikiran yang tak dapat kumengerti. Lalu setelah
itu aku mencoba menimang-nimang hati emak dengan merenovasi rumahnya yang sudah
tua itu. Membelikannya berbagai isi rumah yang baru-baru: kursi sofa, televisi
29” berikut DVD player, kulkas besar,
AC, kasur springbed,
almari pakaian dari jati berpintu empat, kompor gas, permadani, dan masih
banyak lagi. Tapi, sepertinya itu semua kian menenggelamkan emak ke dalam
ke-diam-annya.
“Biasalah,
Bang. Emak ‘kan sudah tua, sudah mulai
uzur. Orang-orang yang sudah uzur perangainya memang kadang susah dipahami.
Bahkan tak jarang kembali balik menjadi berperangai macam budak-budak.” kata
istriku suatu ketika saat aku mengeluhkan kepadanya perihal perilaku emak.
“Karena
itulah Yank, coba awaktu pula yang mengajaknya bercakap-cakap. Emak ‘kan
biasanya dekat juga dengan awaktu. Siapa tahu dengan sesama perempuan emak akan
merasa lebih ringan untuk berbincang-bincang sehingga kita bisa tahu ada apa
sebetulnya.”
“Bukannya
tak pernah, Bang. Sudah berkali-kali Ayank coba, baik Abang suruh maupun tidak.
Tapi, agaknya memang emak yang sedang masanya tak hendak bercakap-cakap, tak
mungkin pula ‘nak kita paksa.”
Aku
lalu menggelengkan kepala berulang-ulang.
“Risau aku.”
“Sudahlah, Bang. Tak usah
terlalu dipikirkan. Nanti Abang pula yang sakit.”
Lalu, beberapa waktu kemudian,
mungkin karena prihatin melihat aku yang selalu risau dengan keadaan emak,
istriku tiba-tiba datang dengan usulan yang melegakan. Dia mengusulkan
bagaimana kalau emak diajak tinggal di rumah kami saja. Mungkin emak selama ini
berdiam diri karena sedih dibiar tinggal sendiri di sebuah rumah tua di sudut
kampung; meskipun dikawani salah seorang anak tetangga. Padahal aku sendiri
tinggal di sebuah rumah yang besar dan megah. Kupikir-pikir ada betulnya juga
saran istriku itu. Astaga, mungkin itulah hal yang tak kusadari selama ini.
Dalam beberapa tahun belakangan ini aku sedap-sedap tinggal di rumah mewah,
sementara emakku tinggal sendiri di rumah-tuanya yang hanya sekadar
kutambal-sulam. Tentulah beliau merajuk. Tentulah selama ini dipikirnya aku ini
anak yang tak tahu balas budi. Akan halnya abang-kakakku, tentulah tak terlalu
dapat diharapkannya karena beban hidup mereka tidaklah ringan. Maka, dari
siapakah lagi ajakan yang ditunggu-tunggu emak selain dari aku?
Tapi, aku dan istriku ternyata
salah duga. Emak ternyata tak mau diajak pindah ke rumah kami. Alasan awalnya
adalah, “Emak tak mau mengganggu hidup kalian.” Ketika dijawab bahwa kedatangan
emak nantinya bukanlah gangguan bagi kami sekeluarga bahkan merupakan anugerah,
alasan emak pula, “Emak tak pandai tinggal di rumah besar ‘tu. Tulang emak tak
tahan kena dingin ….” Lalu, kami saling berdebat lagi, sampai kemudian alasan
emak yang terakhir, “Biarlah emak tinggal di rumah ini saja, rumah peninggalan
almarhum suami emak. Emak juga sudah bersyukur rumah tua ‘ni sudah pun
diperbaiki sana-sini. Isinya pun sudah pula ditambah dengan yang baru-baru.
Emak sudah merasa senang.”
“Tapi, kalau emak tetap tinggal
di sini, emak jauh dari kami-kami semua. Jangan kata lagi dari rumah Bang
Ulung, Kak Midah, Bang Tonjang, dan abang-kakak yang lain. Dari rumah Ungsu
saja lebih sejam ‘nak sampai ke rumah emak.”
“Tapi, emak sudah merasa senang
tinggal di sini.”
“Iya, Ungsu tahu. Tapi di sini
emak tak ada yang menjaga. Ungsu tak ingin kalau terjadi apa-apa kami tak dapat
cepat membantu. Mana di sini tak ada telepon lagi.”
Mendengar itu emak tersenyum.
“Tak usahlah engkau merisaukan
apa-apa yang belum terjadi.”
Aku pun bersedih hati lagi.
Tapi tak berapa lama kemudian istriku kembali datang menyampaikan sebuah ide
brilian.
“Bang, bagaimana kalau kita
buatkan saja rumah untuk emak. Halaman rumah kita ini ‘kan masih sangat luas.
Ayank rasa di sebelah kanan ‘tu bisa kita buatkan sebuah rumah khusus untuk
emak nantinya.”
“Awaktu masih berpikir emak mau
tinggal di sini?” aku bertanya ragu.
“Ayank tak ingin melihat Abang
bersedih hati selalu.”
“Kesedihan aku tidaklah
penting. Aku ini hanya merasa tak sampai hati untuk meninggalkan emak seorang
diri di kampung ‘tu. Seperti awaktu pernah cakap, emak mulai ‘kan uzur, senyampang terjadi sesuatu hal yang buruk pada
emak, tak dapat kita cepat berbuat. Di samping itu, apa pula kata orang banyak.
‘Hm, lihat Si Ungsu ‘tu, ‘dah senang hidupnya sekarang, lupa dia pada emaknya.
Mentang-mentanglah ‘dah jadi pejabat tinggi,
lupa dia pada emaknya yang buruk di sudut kampung. Betul-betul anak tak
berbakti dia. Macam Dedap Durhaka saja’. Karena itu aku juga ingin
menyenang-nyenangkan hati emak. Aku ingin dia juga dapat ikut menikmati rezeki
yang aku peroleh sekarang ini, yang mungkin hanya singkat saja. Karena siapa tahu angin berubah arah, berubah pula haluan
kapal, tak awakni pula dipilih jadi jurumudi.”
“Karena itulah, Bang, kita
usahakan juga macam mana supaya emak mau tinggal dekat-dekat dengan kita.”
“Tapi, bagaimana caranya?
Sedangkan emak sudah bercakap tak akan meninggalkan rumah di kampung ‘tu.”
Istriku lalu tersenyum.
“Itulah, Bang. Yang tidak kita
sadari selama ini, mungkin bagi emak kita ini terkesan terlalu memaksa. Abang
juga tentu dapat membayangkan, bukan? Sudah berpuluh-puluh tahun emak tinggal
di rumah yang sangat disayanginya itu, tak mungkin dengan sekejap dapat kita
suruh meninggalkan semua kenangan yang sangat dicintainya itu. Karena itu, coba
mulai sekarang kita secara pelan-pelan saja. Kita bangunkan rumah yang bagus
untuk emak di sini, lalu kita ajak beliau kemari; tapi jangan kita sebut
pindah, kita bilang saja jalan-jalan buat menengok anak-cucu. Suruh emak
menginap barang beberapa hari. Tentulah lama-lama dia akan merasakan juga sedapnya
tinggal di sini. Nah, pada saat itulah baru kita bilang emak pindah saja ke
sini.”
Tiba-tiba saja aku merasakan
matahari seperti bersinar sangat cemerlang, menyibak kabut dan awan-gemawan
yang menyelimuti langit. Aku memeluk istriku dengan gembira, lalu menyuruh
orang-orang segera membangun sebuah rumah tak jauh di samping rumah kami.
Beberapa bulan kemudian, rumah yang bagai sebuah vila mungil di kaki bukit itu
pun selesai. Dengan perasaan tak sabar aku mendatangi emak, dan istriku –
lagi-lagi dengan caranya yang halus – berhasil membujuk emak untuk datang
menengok cucunya. Memang, pada mulanya hanya sehari; tetapi dengan berlalunya
waktu emak akhirnya mau juga agak berlama-lama tinggal di rumah mungilnya itu.
Tapi, hingga cukup lama
kemudian aku tak juga berhasil membuat emak lupa akan rumahnya di kampung untuk tinggal menetap dengan kami.
*
Aku tersentak, bunyi ponsel
berdering memecah lamunanku. Telepon dari ajudan. Dengan susah payah aku
berdiri dari kursi omega itu, dan beranjak jauh dari emak.
“Bagaimana?”
“Maaf, Pak, mereka cuma bisa
kasih 6 %, Pak.”
“Apa? %&$#@!” aku memaki agak keras, sekejap melirik pada emak takut
terdengar olehnya. “Apa tidak kamu bilang kita perlu 15 %?”
“Apa yang Bapak perintah sudah
saya sampaikan, Pak.” jawab ajudanku dengan suara tertekan. “Tapi, kata mereka,
proyek ini agak beresiko tinggi. Belum lagi situasi ekonomi sekarang sedang ….”
“Apa tidak kamu bilang
nilai proyek ini sudah kita naikkan?”
“Sudah sejak awal nego
dulu, Pak. Tapi ....”
“Katakan pada mereka,” aku memotong
cepat, “10 % atau tidak sama sekali. Masih banyak yang lain yang mau.”
“Baik, Pak. Akan saya
sampaikan. Terus, ini berita dari Pusat, Pak, mereka minta fee 2½ % untuk pencairan yang kemarin. Bagaimana, Pak?”
“Makin rakus saja mereka. Nanti
saya bicarakan dengan Pak Bupati. Oh ya, yang 300 juta untuk beliau sudah
diserahkan?”
“Sudah, Pak, langsung saya
sampaikan kepada beliau. Oh ya, bagaimana dengan DPRD besok, Pak? Nampaknya
mereka bersemangat sekali menyorot proyek kemaren itu.
Beberapa asosiasi juga ….”
“Katakan saya harus ke Pusat.
Sampaikan minta maaf dan minta dijadwal-ulang – yang agak lama. Jangan lupa
masing-masing pimpinan 5 juta, termasuk asosiasi-asosiasi itu.”
“Terakhir, Pak, bagaimana
dengan masalah Pak Arief?”
“Ya?”
“Kabag Humas dan ….”
“Oh ya. Katakan padanya, Pak
Bupati memperingatkan kalau masih juga main-main api dengan Partai @#$%^&*,
dia harus siap-siap angkat kaki. Jangan lupa juga katakan target dia tahun ini
1 milyar, berani atau tidak. Kalau tidak, banyak yang lebih berani dari dia.
Orang tua kolot itu ….”
Ponsel itu kemudian aku tutup. Emak
masih juga diam, dengan badan setengah membungkuk, pandang merunduk, dan
jari-jemarinya masih juga tak lepas memilin-milin tepi renda kain taplak meja.
Sekali lagi kuhela napas panjang.
Aku pun kemudian keluar.
Matahari telah merah condong ke barat, dengan siluet-siluet silau menerobos
sela sebuah rumah seperti villa mungil dan sebuah rumah yang lebih besar dan megah. Ya, rumah emak peninggalan almarhum bapak
yang di kampung, sudah pun aku pindahkan bulat-bulat ke sini. Agak di pojok
belakang antara dua rumah itu. Tak cukup jugakah?
Payungsekaki,
05/12.
Publikasi #1: Pekanbaru Pos, 21-01-2012.
[Antologi Bulan Seribu Malam]
Publikasi #1: Pekanbaru Pos, 11-07-1993.
[Antologi Hikayat Hang Jebat]
[Antologi Bulan Seribu Malam]
www.manangga3.blogspot.com |
Ikat Pinggang [CERPEN]
Babah Lim barangkali tak dapat
dibedakan dengan gentong kalau mereka berdiri berdampingan. Lihat saja figur
badannya. Mukanya bulat seperti tutup gentong dengan sedikit di atas dagunya
yang berlipat itu ada garis mulut kuda nil yang pada saat membuka akan bundar
seperti mulut gentong, plong! Dan mengeluarkan bau seperti karbit lama diperam.
Lalu di bawah dagu itu, tidak jelas yang mana leher, mulailah badan itu mekar
membulat secara luar biasa dalam harmoni keserbalebihan dan sedikit tersendat
pada dekat pinggang. Persis tak ubah badan gentong yang mengecil di dekat
tapaknya. Tetapi tentu saja tubuh Babah Lim tidak hanya sampai di situ, karena
ia masih punya pinggul dan kaki sebagaimana manusia normal lainnya. Walaupun
tidak begitu jelas batas-batas antara pinggang dan pinggul itu bukan berarti
kekurangan. Apalagi manakala lebih turun lagi maka kita akan segera menemui
kesulitan untuk mendapatkan celah antara kedua paha Babah Lim itu. Itu semua
tak lebih dari hanya karena situasi dan kondisi telah membuat semakin
menyatunya antar-bagian dari tubuh Babah Lim itu. Akhirnya yang akan agak
melegakan kita barangkali hanyalah ketika mata kita sampai pada betis dan kedua
telapak kakinya yang terlihat begitu kokoh menopang tubuh subur itu, tak ubahnya
seperti gentong yang punya kaki atau meja untuk kedudukan, hanya saja biasanya
terdiri atas tiga atau empat buah kaki dan bukan dua.
Kalau aku mengingat-ingat uraian di
atas aku akan selalu tersenyum sendiri. Begitulah cara temanku Akhmat (dengan t
dan bukan d) menggambarkan bos tempatnya bekerja selama ini, apabila ia sedang
naik kesal. Dan yang lebih menimbulkan kegelian bagiku adalah begitu kontrasnya
antara orang yang bercerita (sambil menggerutu) dengan orang yang
diceritakannya itu. Akhmat sendiri begitu kurusnya, sehingga ketika aku bertemu
kembali dengannya beberapa waktu yang lalu setelah kami sekian lama terpisah
oleh gelombang kehidupan masing-masing mengira bahwa aku telah bertemu dengan
salah seorang pengungsi Somalia.
Sampai sekarang pun aku masih ragu apakah temanku ini masih punya dengan apa
yang disebut daging atau tidak. Ah, kalau saja ia sedikit berwajah memelas dan
duduk di trotoar pasar dengan kaleng terbuka di pangkuannya, dapat aku pastikan
bahwa kaleng itu tidak akan butuh waktu yang lama untuk penuh dengan uang
pemberian orang yang merasa iba dan seakan-akan ikut menderita dengan
melihatnya. Tapi tidak, temanku ini bukanlah seorang yang bertipe suka
dikasihani. Jangankan untuk meminta-minta uang misalnya, diberi pun belum tentu
ia akan mau menerimanya. Walaupun aku tahu pekerjaannya dengan Babah Lim selama
ini belumlah dapat dikatakan mampu untuk mendukung kebutuhan hidupnya secara
sangat sederhana sekalipun. Tapi begitulah Akhmat, meski tak jarang dibelit
kesulitan ekonomi, wajahnya tetap saja selalu ceria dan dari celah kedua
bibirnya yang sedikit tebal dan kehitaman itu selalu saja keluar joke-joke yang
menggelikan. Sepertinya kehidupan ini baginya penuh dengan bumbu humor yang
menyegarkan. Hal yang kadang-kadang membuatku merasa iri.
Tapi agaknya keceriaan seperti itu
akan segera berakhir. Beberapa minggu yang lalu ketika aku bertemu lagi
dengannya, aku jadi terkejut karena terlihat ia semakin mengenaskan. Tubuhnya
kian tampak kurus saja, dan yang sungguh mengejutkan adalah pinggangnya itu!
Kenapa jadi begitu genting sekali? Ia jadi terlihat seperti seekor kerengga
yang kurang makan. Setelah kuperhatikan benar-benar agaknya ikat-pinggangnya
itu yang jadi masalah; sepertinya tidak proporsional dan begitu erat
mencengkeram dirinya. Namun yang tambah membuatku heran (sekaligus jengkel)
adalah ia tetap saja seperti biasa. Penuh tawa dan humor; sepertinya tidak ada
kejadian atau keanehan apa-apa yang patut dirisaukan. Meskipun sempat
kusinggung tentang ikat-pinggangnya itu ia malah tertawa-tawa dan mengajakku
melihat bosnya, Babah Lim.
“Ha ha ha …, ini belum seberapa. Ada yang lebih lucu lagi.
Coba kaulihat Si Gentong itu, pasti lebih lucu. Ayo.” Dan begitu kami sampai di
dalam, dengan sembunyi-sembunyi kami berhasil melihat Babah Lim. Astaganaga!
Aku terkejut setengah mati. Apakah aku tak salah lihat? Berdiri di pojok sana sambil memeriksa
kerja seorang karyawannya Babah Lim terlihat hampir tak ada bedanya dengan
karikatur Panji Koming-nya Dwi Koen beberapa tahun lalu. Benar juga kata Akhmat,
Babah Lim seperti itu jadi semakin terlihat lucu. Ia jadi tampak seperti sebuah
gentong yang terkebat, atau barangkali lebih tepatnya seperti balon yang
tiba-tiba di tengahnya dikebat erat dengan seutas benang, atau – ah ya –
mungkin mirip sekali dengan kendi buah labu dalam film-film kungfu pendekar
mabuk yang diletak terbalik sehingga bulat yang besar berada di atas.
Menggelikan sekali, sekaligus mengherankan. Mengherankan karena setelah
kuperhatikan lebih seksama ternyata tidak hanya mereka berdua saja yang seperti
telah dimakan ikat-pingganya, melainkan semua karyawan yang ada di situ juga
mengalaminya. Hanya saja temanku Akhmat dan Babah Lim saja yang terlihat sangat
ekstrim karena pada dasarnya tubuh mereka berdua memang sudah ekstrim, meskipun
berseberangan.
Ketika kemudian kami kembali ke
depan ke bagian temanku Akhmat bekerja setelah puas melihat-lihat ulah Babah
Lim dan karyawannya, dengan penasaran aku bertanya apa yang telah terjadi. Pada
mulanya ia tak mau menceritakan. “Tak ada apa-apa.” katanya. Dan kemudian
membelokkan pembicaraan ke cerita-cerita lucu dan anekdot, sambil ia tetap
melanjutkan kerjanya. Namun setelah berkali-kali kudesak, akhirnya ia mengalah
juga (“Itulah yang aku salut padamu. Sebagai seorang wartawan kau degil sekali untuk
mendapatkan informasi dan belum berhenti sebelum berhasil.” gerutunya), dan
kemudian mulai bercerita.
“Kaulihat apa ini?” katanya sambil
melepas ikat-pinggangnya dan kemudian mengayun-ayunkan di depan mataku seperti
ular mati. Aku sengaja tak menjawab karena kalau sudah begini ia tak perlu
dipanas-panasi lagi untuk melanjutkan ceritanya. “Ini sabuk, alias ikat
pinggang. Kaulihat sabuk ini terbuat dari kulit asli, tahan sekali dan sangat
kuat. Tak ada lagi orang menjualnya.” katanya kemudian sambil menarik-narik
kedua ujung ikat pinggang itu seolah-olah ingin mendemonstrasikan kekuatannya.
“Sabuk inilah satu-satunya warisan almarhum ayah yang paling aku banggakan.
Tapi sekarang inilah jadinya. Kaulihat ujungnya ini? Ini baru saja kukerat.”
Aku memperhatikannya dan memang betul seperti tampak baru dipotong. Seperti
ular buntung saja. Tak sadar aku bertanya,
“Kenapa dipotong?”
Wajah Akhmat tiba-tiba bergaris
sedih. Jarang sekali aku melihatnya demikian. Tiba-tiba aku merasa bersalah
telah bertanya seperti itu.
“Ini bermula dari Babah Lim. Kau
sudah lihat Babah Lim tadi ‘kan?”
“Ya, kenapa?”
“Beberapa tahun yang lalu sebetulnya
tubuh Babah Lim tidaklah sesubur itu. Tetapi sejak setahun dua belakangan ini,
semenjak perusahaannya ini berkembang pesat, tubuh beliau pun tiba-tiba ikut
membengkak seperti gajah diamuk lebah. Pada mulanya beliau kurang begitu
memperhatikannya. Tetapi sejak akhir-akhir ini istrinya sering memarahinya
sehubungan dengan badannya itu dan beliau sendiri pun mulai merasa kesulitan setiap
akan mengikat tali sepatu, beliau mulai menyadari ada yang salah pada tubuhnya
itu. Maka beliau kemudian bertekad untuk melangsingkan kembali perutnya, atau
setidak-tidaknya janganlah terlalu gendut seperti sekarang ini. Nah, beberapa
waktu yang lalu istrinya membawa seorang shinse untuk mengobati kegemukan
beliau itu. Sang shinse agaknya kehabisan akal juga untuk membuat tubuh Babah
Lim kembali langsing dengan cepat, seperti yang dimintanya. Akhirnya kautahu
apa yang disarankan shinse itu. Selain minum jamu-jamu ramuannya Babah Lim juga
diharuskan setiap hari memakai ikat pinggang yang pendek sekali. Pokoknya tak
sesuai dengan pinggang Babah Lim yang seperti gentong itu. Kautahu apa
akibatnya? Perut Babah Lim jadi naik mendesak ke atas dan beliau pun jadi
sering sesak napas. Tapi memang dasar tekadnya ingin langsing dengan cepat, ia
jalani saja itu semua.”
“Aneh juga.” cetusku keheranan.
“Tapi apa hubungannya dengan kau dan karyawan lainnya? Kenapa ikut-ikut memakai
ikat pinggang pendek semacam itu?”
“Itulah.” lenguh Akhmat tiba-tiba
lesu lagi. “Aku tak tahu apa ini termasuk peraturan perusahaan atau apa. Yang
jelas tak berapa lama setelah itu kami semua dipanggil menghadap beliau. Di
situ beliau menjelaskan berbagai hal yang dialaminya dan tekadnya untuk menjadi
langsing itu. Karena itu sebagai karyawan yang setia kami semua diharuskan ikut
berbuat seperti beliau. Kalau ikat pinggang beliau dipotong sesenti oleh shinse
itu, maka kami pun harus begitu. Dalam setengah tahun ini telah tiga kali
dipotong.”
“Wah, tak bisa begitu!” jeritku
tiba-tiba. Sebagai seorang wartawan aku mencium ketidakberesan itu. “Mana bisa
hal-hal yang bersifat pribadi karyawan pun ikut menanggungnya.”
“Itulah.” Akhmat memotong cepat.
Kuatir agaknya jeritku semakin nyaring. “Bukan kami tak pernah membantah. Tapi
apa kata beliau: ‘Ini perintah saya sebagai atasan! Kalau ada yang tak setuju
boleh angkat tangan dan silahkan bikin surat
pengunduran diri!’. Nah, apa yang mau dikata? Zaman sekarang mencari kerja sama
dengan menghitung bintang di langit. Akhirnya kami semua pun menurut saja.
Apalagi kata beliau, kalau ada yang tak punya ikat pinggang boleh segera bon
duit untuk membelinya. Pokoknya semua harus sama merasa. Dan kata beliau pun
itu juga demi kesehatan kami semua. Apa iya ….”
Berhubung hari telah sore aku pun
segera kembali ke kantor untuk menyampaikan laporan dan mengisi absen; walaupun
aku meninggalkan temanku itu sambil menggerutu karena merasa heran dan kesal
sekali menyadari kejadian yang sebenarnya. Di samping itu pun tiba-tiba aku
mencium adanya bahan berita yang cukup menarik.
Tapi beberapa waktu kemudian aku
ditugaskan ke daerah oleh bos untuk meliput bencana alam banjir yang membuat
jalan baru yang menuju Rengat dari Pematangreba retak terbelah. Di samping itu
aku juga ditugaskan untuk membuat feature tentang jalan Lintas Timur Sumatera
yang sedang giat-giatnya dikerjakan dari Lirik sampai Reteh di perbatasan
Propinsi Jambi. Proposalku untuk membuat berita tentang kejadian di perusahaan
tempat temanku Akhmat bekerja itu praktis ditolak mentah-mentah. “Tak masuk
akal!” kata bosku. Aku pun angkat bahu. Namun sebelum berangkat ke Rengat aku
sempat lewat dan melihat betapa Akhmat kelihatan semakin ceking dan pucat.
Beberapa bulan kemudian aku berhasil
kembali ke kota
ini dengan selamat. Setelah dari Rengat itu aku ditugaskan pula ke Bintan dan
Batam meliput berita tentang keributan masalah gantirugi tanah. Lalu ke Jakarta ditugaskan ikut
kursus kewartawanan selama tiga minggu, dan terakhir ke Medan ikut mendampingi bos dalam rapat PWI.
Lemas juga badan ini rasanya mengikuti kegiatan yang tak putus-putus itu,
walaupun dalam hati senang sekali. Mana mata kuliahku pun jadi banyak
tertinggal sehingga harus kukebut. Dan, ah ya, kukira aku sudah rindu juga mau
ketemu Akhmat. Entah bagaimana pula keadaannya sekarang. Mudah-mudahan tetap
sehat, dan penuh humor seperti biasanya. Aku pikir aku harus menemuinya besok
atau paling tidak lusa. Tapi baru saja aku berpikir begitu, tiba-tiba
kawan-kawan sekantor pada ribut. Ada
apa ‘ni? “Ada
monster! Ada
monster!” seru mereka dengan panik sambil berlari kian kemari. Di mana? “Di
pabrik Babah Lim!” Pabrik Babah Lim …? Hah! Pabrik Babah Lim? Sadar, aku pun
ikut meloncat mengejar mereka sambil tak lupa menyambar tustelku. Dalam
perjalanan aku sempat berpikir, kira-kira ada apa gerangan? Apa yang mereka
maksud dengan monster itu?
Sesampainya di pabrik Babah Lim aku
sungguh tak percaya dengan pemandangan yang kulihat. Barangkali inilah
pemandangan yang paling spektakuler yang pernah kulihat selama hidupku. Di sana, puluhan kerengga
raksasa berwarna merah darah sibuk mengamuk meluluh-lantakkan bangunan-bangunan
pabrik Babah Lim yang semula begitu kokoh itu; seperti memijak-mijak kerupuk
saja layaknya. Semua orang terlongong-longong keheranan dan ketakutan
menyaksikan kejadian itu. Sementara Babah Lim dan istrinya berlari-lari
kian-kemari tak tentu arah. Aku pun
berpikir, dari mana gerangan monster-monster kerengga itu? Kerengga! Ha, aku
ingat. Astaghfirullah. Kusimak lagi baik-baik monster-monster itu untuk lebih
meyakinkan. Benar saja, di pinggang kerengga raksasa yang genting itu semuanya
ada terkebat ikat pinggang. Dan satu di antara ikat pinggang itu aku kenal
betul: terbuat dari kulit asli, sangat kuat dan tahan lama, dan sekarang tak
ada lagi yang menjualnya ….
Payungsekaki,
03/93.Publikasi #1: Pekanbaru Pos, 11-07-1993.
[Antologi Hikayat Hang Jebat]
www.hiduptanpajudul.wordpress.com |
Mulutku Memakan Aku [CERPEN]
Bunyi telepon berdering.
“Halo!” sahutku setengah kesal.
Keletihan acara seharian tadi belum juga hilang hingga menjelang pemuncak malam
ini. Dan sekarang, pada saat-saat tubuh dan pikiranku ingin betul-betul
beristirahat, telepon itu berdering nyaring, meretas keheningan malam. Entah
siapa yang telah menyentilnya.
“Selamat!”
“Apa?” antara rasa malas, letih,
dan kesal; gendang telingaku tidak dapat menangkap dengan jelas suara dari
seberang.
Begitulah. Sebagai salah seorang
kader partai, aku mulai memasuki tahap-tahap yang sibuk dan meletihkan.
Pemilihan Raya – yaitu prosesi pemberian kuasa hak suara oleh rakyat kepada
yang mewakilinya – tinggal beberapa bulan lagi. Dan sekarang, setelah beberapa
bulan berdiri, partai ini mulai memasuki tahap konsolidasi dan promosi – kalau
tidak mau disebut ‘kampanye terselubung’ – karena jadwal resmi kampanye
sebenarnya masih tiga bulan lagi. Tapi, siapa yang tidak melakukannya?
Dan, oh ya, partai ini baru
beberapa bulan berdiri? Ya, sekarang adalah zaman perubahan. Tiba-tiba saja di
negeri ini partai-partai politik baru bertumbuhan bagai jamur di musim hujan –
demikian kalau menggunakan idiom klasik. Banyak partai yang benar-benar baru,
banyak pula yang merupakan partai nostalgia, beberapa di antaranya partai yang
beralih-rupa, tak kurang pula partai yang ‘merasa’; merasa memiliki sejumlah
massa, merasa memiliki hubungan emosional-kesejarahan, merasa memiliki hubungan
sosial-budaya, merasa memiliki kekuatan sumberdaya ekonomi yang mumpuni, serta merasa
merekalah partai yang paling mampu melakukan. Atau kombinasi di antaranya.
Ya, tiba-tiba saja di negeri ini
semua orang berteriak tentang sebuah zaman baru, zaman perubahan, zaman
keterbukaan, zaman kedaulatan rakyat, zaman yang bersih, dan entah zaman apa
lagi. Yang pada intinya semuanya ingin segera pergi meninggalkan ruang-ruang
gelap di masa lalu untuk menuju ke taman yang indah cemerlang gemilang. Entah
dengan tekad yang sebenar-benarnya, entah hanya sekadar di mulut saja. Entah.
Sementara itu semboyan besar tentang zaman tinggal-landas telah terpuruk
kembali ke landasannya, yang kini justru telah luluh-lantak. Dan aku sendiri,
sebagai salah seorang generasi muda yang darahnya masih kental dan panas, tentu
saja tidak ingin ketinggalan dalam mengiring geliat zaman ini; karena aku tahu
betul adagium lama di mana siapa yang tidak dapat mengikuti gerak putar roda
zaman, maka ia akan terbenam dilindasnya. Karena itu aku lalu masuk menjadi
anggota sebuah partai yang baru saja berdiri, tetapi sangat terkenal, karena
menurut prediksi para ahli partai ini akan menjadi salah satu yang terbesar di
zaman ini – kalau bukan yang paling besar. Dan kebetulan pula – sungguh!, hanya
kebetulan – salah seorang pamanku menjadi salah satu wakil sekretaris jenderal
partai. Karena itu tidaklah begitu mengherankan kalau kemudian aku direkrutnya
menjadi salah seorang asistennya. Jabatan resminya berjudul: Asisten Dua Wakil
Sekretaris Jenderal III Bidang Konsolidasi Partai. Tapi – sungguh! – aku
percaya jabatan itu bukanlah karena unsur KKN yang akan diberantas oleh seluruh
anak-bangsa itu. Bagaimana pun, aku merasa cukup punya harga untuk jabatan itu
meski dalam usia semuda ini, tiga puluh tiga tahun. Sedikit sekali orang seusia
itu di negeri ini yang sudah menyandang gelar doktor, bukan?
“Maaf. Ini Saudara Syahkroni?”
“Iya.” Telingaku mulai terang
kembali.
“Selamat, ya. Saudara telah
berhasil menangani event siang tadi.”
Astaga! Dia! Sang Ketua Umum
Partai! Astaga, mimpi apa aku? Apa aku mimpi? Uf, baru dapat kukenali suara
itu. Suara yang berat namun terdengar lantang. Dan, di tengah-tengah malam
begini pula, Beliau sempat-sempatnya meneleponku hanya sekadar untuk memberikan
ucapan selamat? Astaga, kalau benar ini Beliau, baru kali inilah aku dapat
berbicara secara langsung dengannya, walaupun baru lewat telepon.
“Ini …. Ini, Bapak?” tanyaku
hati-hati.
“Benar. Sekali lagi: Selamat,
ya?”
Seketika
hatiku berbunga-bunga.
“Terimakasih, Pak.”
Ini, pasti karena kejadian siang
tadi. Sebuah cabang Partai yang baru dibentuk akan segera dideklarasikan, dan
kebetulan pamanku yang diutus untuk mewakili Dewan Pengurus Pusat yang
kebetulan sedang sibuk acara konsolidasi di pusat untuk menghadiri acara
tersebut. Maka kemudian berangkatlah pamanku itu bersama beberapa asistennya, tentu
termasuk aku. Dan, setelah beberapa jam di atas pesawat yang kemudian
dilanjutkan dengan perjalanan darat beberapa jam, kami pun sampai di tengah
belasan ribu massa
(tentu termasuk simpatisan maupun sekadar penonton) partai, di bawah terik
matahari. Prosesi pendeklarasian kemudian segera saja dimulai. Mula-mula
beberapa acara hiburan disuguhkan seperti: musik, komedi. Lalu berlanjut ke
acara penyembelihan seekor kerbau, pelepasan puluhan burung merpati, pembacaan
deklarasi, pembacaan platform Partai,
dan kemudian mengenalkan beberapa pengurus cabang. Secara keseluruhan acara
berlangsung cukup meriah, tetapi lebih separuh massa aku lihat mulai tampak bosan. Apalagi
karena konon tadinya mereka sebenarnya sudah berharap-harap untuk dapat melihat
secara langsung Ketua Umum Partai – yang memang secara person sangat populer di
sepenjuru negeri itu – sebagaimana yang telah dijanjikan dan digembar-gemborkan
oleh para pengurus cabang. Karena itulah ketika sampai giliran pamanku
memberikan kata sambutannya – mewakili DPP, beliau terlebih dahulu menyampaikan
permintaan maaf sehubungan dengan ketidakdatangan Ketua Umum Partai. Tetapi
permintaan maaf itu agaknya sudah terlambat, karena sambuatan yang terdengar
dari massa hanyalah suara “Hu ….”, seperti sekawanan lebah yang terbang
menjauh. Massa sudah kian terlihat kecewa dan bosan, dan tampak mulai beringsut
meninggalkan arena. Apalagi kemudian ditambah dengan pidato pamanku yang –
anehnya – kali ini terdengar tidak menarik; dengan diselingi batuk-batuk yang
kian lama kian beruntun. Ini tidak boleh terjadi; pikirku dalam hati. Apalagi
acara pembukaan selubung lambang Partai – sebagai acara puncak – belum lagi
sampai. Kami pun mulai merasa was-was; apalagi para pengurus cabang.
Lalu, entah bagaimana – mungkin
karena sudah tidak tahan lagi dengan batuknya yang kian menggebu-gebu itu,
begitu saja pamanku melambai ke arahku dan mundur dari mikrofon.
“Lanjutkan!” katanya setengah
berbisik, sambil menyerahkan beberapa lembar kertas. Aku, tentu saja jadi
terkejut dan sedikit bingung. Lalu, mungkin linglung. Begitu saja kemudian
tubuhku seperti terdorong, dan kakiku melangkah dengan capat ke depan mikrofon.
Sejenak suasana jadi hening, kecuali batuk-batuk beruntun dari pamanku. Dan
karena keheningan sejenak itulah barangkali yang membuat massa jadi terpana –
setelah riuh-rendah beberapa saat tadi. Bahkan sempat aku perhatikan
orang-orang yang semula hendak meninggalkan arena jadi ikut-ikutan terpana dan
menghentikan langkahnya. Agaknya, tanpa disengaja mungkin inilah salah satu ilmu
psikologi massa: manusia selalu ingin tahu sesuatu yang baru. Atau seperti
ketika Napoleon yang terlalu asyik berbicara dalam suatu pertunjukan konser
musik klasik, kemudian menyadari bahwa sang konduktor telah menghentikan
pertunjukannya dengan tiba-tiba. Beliau menjadi marah, tetapi dengan tenang
sang konduktor menjawab diplomatis, “Kalau Baginda yang berbicara, bahkan bumi
pun akan berhenti berputar.”
Tapi, aku belum dapat segera
memutuskan apa yang harus kubuat. Apakah aku akan membuka lembaran-lembaran
kertas itu dan lalu membaca tulisan yang ada di dalamnya begitu saja? Uh,
kupikir itu akan kian membuat mereka bertambah bosan dan merasa tidak
dipedulikan. Aku memang bukan tidak pernah berdiri di atas podium sebelumnya.
Tapi, di depan massa yang seperti ini sungguh merupakan pengalaman baru bagiku.
Lalu, apa yang harus kuperbuat?
Tetapi, entah datangnya dari
mana, tiba-tiba saja kedua tanganku telah bertepuk dengan keras. Suara tepukan
keras di moncong mik itu tentu saja jadi membahan keluarnya di loudspeaker. Aku
sendiri jadi ikut kaget. Tapi, sudah terlanjur ….
“Saudara-saudara.” Kataku
kemudian. “Sekarang izinkanlah saya untuk memberi sedikit hiburan, di tengah
hari yang terik ini. Saya yakin Saudara-saudara pasti sudah capek dan bosan
dengan segala pidato dan ocehan kami-kami. Karena itu, sekaranglah saatnya
Saudara-saudara untuk berdiri atau duduk dengan santai. Sambil melepas lelah.
Sambil minum-minum, atau makan-makan; kalau ada kue.” Terdengar desiran tawa
datar. “Sementara itu, izinkanlah saya memberi sedikit hiburan lagi, yang
barangkali saja akan dapat menghibur Saudara-saudara semua, sebelum musik
dangdut kita dendangkan lagi di akhir acara. Setuju?” begitu saja aku
berbicara.
“Setuju.”
“Setuju!”
“Hiburan apa?!”
Terdengar suara-suara sporadis
bertebaran.
“Baiklah.” Lalu kurogoh saku
bajuku, mengambil sehelai saputangan yang berwarna krem, sambil menyimpan
kertas yang tadi diberikan pamanku. Kertas yang berisi kata sambutan dari Sang
Ketua Umum Partai – maafkan saya, istrihatlah dulu; gumamku.
“Hiburan ini adalah hiburan
ringan saja. Saudara-saudara lihat saputangan saya ini? Apa warnanya?” kataku
kemudian sambil mengibar-ngibarkan saputangan itu.
“Kuning!”
“Pink!”
“Krem!”
“Ya! Saputangan ini warnanya
adalah krem atau kuning gading. Dan, dengan cara ini, sesaat lagi saputangan
ini akan saya ubah warnanya menjadi …,” dengan lagak seorang maestro sulap aku
menggumpal-gumpalkan saputangan itu ke dalam genggaman tangan kiriku, lalu
dengan sentakan tiba-tiba aku membentangkannya kembali,
“Lambang Partai!”
Maka, berkibar-kibarlah sehelai
kain bergambarkan lampang Partai yang warnanya sama sekali berbeda dari warna
saputanganku tadi. Seketika terdengar suara tepukan yang membahana dari arena,
serta suitan di sana-sini, dipandu oleh beberapa anggota pengurus cabang. Tentu
mereka tidak perlu tahu bahwa saputangan bergambarkan lambang Partai itu
bukanlah benda yang aneh di kantor pusat.
“Hidup Partai!” teriakku
tiba-tiba, sambil mengacungkan suatu konfigurasi jari tang yang mengacu kepada
simbol partai kami.
“Hidup!”
“Hidup Partai.”
“Hidup Partai!”
“Dan sekarang,” lanjutku kian
bersemangat, “saya akan mengubah airi di botol …. Botol apa ini?” aku meraih
sebuah botol minuman dari meja terdekat.
“Cocacola!”
“Fanta!”
“Sirop!”
“Bir!”
Terdengar ledakan tawa sporadis,
mendengar yang terakhir. Aku pun sedikit ikut tertawa, melayani kenakalan
sebagian massa.
“Tak pentinglah, ya. Yang
penting, warnanya apa?”
“Merah!”
“Merah!”
“Oke. Dengan cara ini …,”
menutup badan botol dengan saputangan berlambang Partai tadi, “saya akan
mengubah warna air minuman ini menjadi …,” mengambil sebuah gelas yang masih
kosong, lalu menuangkan air minuman botol itu ke dalamnya dengan gerakan yang
demonstratif, “warna kita!”
Kembali terdengar tepukan
membahana. Dan, setelah satu dua permainan lagi, aku segera mencoba
menyampaikan amanat Sang Ketua Umum.
“Begitulah, Saudara-saudara!
Seperti itulah kira-kira apa yang sebenarnya telah kita alami selama ini:
penipuan, kebohongan! Bagaikan bermain sulap, mereka selama ini telah
mempermainkan kita, Saudara-saudara. Telah menipu, telah memperdaya, dan telah
membodoh-bodohi kita. Apakah Saudara-saudara masih mau dibegitukan oleh mereka
lagi?”
“Tidak.”
“Tidak!”
“Bagus! Tentu saja tidak. Bahkan
kalau Saudara-saudara mau tahu, masih jauh lebih baik para pesulap itu daripada
mereka-mereka selama ini. Karena apa? Karena para pesulap itu memang bertujuan
untuk menghibur kita, meskipun memang dengan cara memperdaya. Tetapi
mereka-mereka itu, tujuannya hanyalah untuk memperdaya kita agar mereka dapat
dengan leluasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menguras kekayaan
negeri ini hanya untuk anak cucu, kerabat, dan keturunan mereka sendiri; serta
melanggengkan kekuasaan mereka, seperti zaman raja-raja saja. Tetapi, kalau ada
di antara kita yang tidak terperdaya oleh tipuan mereka, mereka lalu
melumpuhkannya dengan berbagai cara. Interogasi atau bersih-diri, cuci otak,
ancaman keselamatan diri, cekal atau cegah-tangkal, penjara, culik, rekayasa
kerusuhan, bahkan pembunuhan! Banyak saudara kita yang mengalaminya di masa
lalu. Sekarang, apakah Saudara-saudara masih mau diperlakukan seperti itu di
alam yang telah bebas merdeka ini?”
“Tidak!”
“Tidak!!”
“Tidak!!!”
Dan selanjutnya terasa jadi
lebih mudah bagiku untuk meneruskan acara itu, sorak-sorai itu, yang bahkan
seringkali diselang-selingi dengan suara tawa yang membahana manakala aku
menyelipkan sebuah lelucon maupun anekdot. Dan, yang jauh lebih penting, aku
pun akhirnya berhasil pula menyampaikan amanat dan kata sambutan Sang Ketua Umum hingga tuntas, tanpa sampai
harus ditinggal pergi oleh massa. Mereka hanya benar-benar bubar manakala
seluruh rangkaian acara memang telah benar-benar tuntas dengan penutup lagu
“Gelang Sipatu Gelang” yang dibawakan dalam cengkok dangdut; dan kami pun harus
segera bergegas mengejar pesawat.
“Begini,” Beliau kembali
berbicara, “kami melihat Saudara sesungguhnya memiliki potensi yang sangat
besar sekali. Seharusnya Saudara mulai memanfaatkan secara maksimal potensi
Saudara itu.”
“Terimakasih, Pak. Saya ….”
“Begini, kami telah sepakat
untuk menempatkan Saudara sebagai salah seorang calon anggota legislatif.
Bagaimana menurut Saudara?”
Apa? Aku tergagap sendiri. Calon
anggota legislatif? Ini sungguh di luar jangkauan pemikiranku sebelumnya saat
memutuskan untuk bergabung dengan partai ini. Aku sungguh tidak menyangka ….
“Bagaimana?”
“Saya ….”
“Saudara tentu telah mengerti
bahwa sebetulnya untuk dicalonkan sebagai salah seorang anggota legislatif di
partai kita ini bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kriteria yang harus
dipenuhi, serta berbagai persyaratan, rekomendasi, dan lain-lain. Dan, kita
tidak akan menolerir hal itu hanya karena ada hubungan kekerabatan atau semacam
itu. Tidak. Namun, kadangkala ada hal-hal yang bersifat sangat khusus, yang
dapat diambil-alih oleh kami di sini. Ingat, banyak yang hanya sekadar berharap
untuk mendapatkan hal yang seperti itu. Saudara mengerti?”
“Mengerti, Pak.” Aku masih
mencoba menenangkan diriku. “Saya sungguh merasa sangat terhormat dan senang
mendapatkan kepercayaan dari Bapak. Saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan
kepercayaan yang Bapak berikan.”
Terdengar Beliau tertawa
perlahan.
“Itu bukan dari saya sendiri,
itu keputusan kami bersama yang ada di sini. Tetapi, bagus kalau begitu. Namun
tetap harus diingat bahwa posisi kita ini sebenarnya adalah para pejuang.
Pejuang. Kita harus berjuang menegakkan partai kita ini hingga menjadi besar
dan kuat. Kita harus berjuang meruntuhkan sisa-sisa kekuasaan lama. Kita harus
berjuang untuk menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, dan kemakmuran bersama.
Sepertinya terdengar indah, penuh romantika. Namun perjuangan juga adalah
berarti kerja keras dan pengorbanan.
Bagaimana, Saudara siap?”
“Saya siap, Pak.”
Lalu hening beberapa saat,
sampai,
“Baiklah. Kalau begitu
selanjutnya adalah urusan Sekretariat untuk mengaturnya. Saudara akan
dicalonkan dari daerah mana, kita lihat latar belakang Saudara serta komposisi
pencalonan yang sudah tersusun saat ini. Tetapi saya yakin Saudara pasti mampu.
Baiklah, besok pagi Saudara dapat menemui Sekjen. Sengan Saudara sebagai salah
seorang asistennya, partai kita pastilah akan menjadi lebih maju.”
Mendengar itu aku kembali
bersorak dalam hati; tiba-tiba saja dari seorang asisten wakil sekretaris
jenderal, sekarang aku menjadi asisten sekretaris jenderal. Tanpa ‘wakil’. Hm,
Dewi Fortuna agaknya sedang berada dekat-dekat denganku akhir-akhir ini.
“Dan ingat, secara pribadi saya
sampaikan bahwa tidak tertutup kemungkinan kelak ada peluang bagi Saudara untuk
ikut serta di dalam pemerintahan – tentu saja kalau partai kita menang. Menjadi
seorang dirjen di kementerian, misalnya. Kami di sini merasa latar belakang
Saudara selama ini cukup mendukung. Terus terang, kita memang sangat
membutuhkan tenaga-tenaga muda seperti Saudara. Orang-orang yang masih punya
semangat tinggi, energik, dan beridealisme murni. Karena itu mulai sekarang
Saudara persipkanlah diri Saudara baik-baik, karena kita akan membuat sejarah,
bahkan barangkali dengan menempatkan seorang menteri yang termuda sepanjang
sejarah Republik ini. Why not, bukan? Oke?”
“Saya …. Saya memahami apa yang
Bapak sampaikan. Saya akan berusaha dengan segenap kemampuan saya.”
“Bagus.”
Lalu, hubungan telepon kami
selesai. Tapi, segera setelah itu tubuh dan pikiranku seperti melayang-layang.
Yah, sekarang aku telah menjadi seorang asisten sekretaris jenderal! Hm, aku
benar-benar sudah sangat dekat dengan inner circle, lingkaran dalam penguasa
partai. Dan pada saat yang sama, dicalonkan pula untuk menjadi anggota
legislatif. Kedua hal itu mungkin tidak terlalu istimewa. Tetapi dengan peluang
bonus di pemerintahan sebagai dirjen – atau kalau tidak salah bahkan menteri,
kata Beliau? – itu baru betul-betul istimewa. Telepon tengah malam kali ini
benar-benar membuat perasaanku berbungah-bungah. Namun, bagaimana pun itu semua
selain peluang, pada saat yang sama adalah merupakan tantangan yang harus
dipertanggungjawabkan, yang mulai sekarang harus aku tetapkan sebagai sasaran.
Bonus peluang untuk menjadi
salah seorang pejabat (tinggi) di pemerintahan, yang bahkan dengan embel-embel
kemungkinan pemecahan rekor sejarah bangsa sebagai menteri yang termuda;
menjadi pemikiran tersendiri juga bagiku di sini. Sekali lagi, aku bisa saja
menilai hal itu bukanlah sesuatu hal yang teramat istimewa. Dalam radius
seusiaku, seorang Sergey Kiriyenko dan Tony Blair sudah jauh melampaui apa yang
bahkan baru sekadar dijanjikan (yang barangkali saja sebagai pemanis) kepadaku.
Mereka telah menjabat setingkat perdana menteri. Tapi biarlah, karena negeri
ini memang sepertinya milik para orang-orang tua. Romantisme pemimpin muda di
masa awal kemerdekaan dulu agaknya tinggal kenangan. Padahal, aku berkeyakinan
seharusnya para angkatan-mudalah yang memimpin negeri ini, karena kita tentu
ingin membawa negeri ini melangkah menuju masa depan dan bukannya surut ke
dalam nostalgia kaum tua.
Begitulah. Beberapa hari
kemudian, dalam jabatan yang baru dan sasaran yang baru pula, kesibukanku pun
kian meningkat. Untunglah aku bukan seorang pegawai di mana pun, sehingga setiap
langkah dan waktuku dapat kuatur sendiri. Maka, detak-detak jam dan hari jadi
terasa berlalu begitu cepat. Apalagi dipacu dengan jadwal Pemilihan Raya yang
demikian ketat dan padat. Maklumlah. Seperti yang sudah kukatakan tadi, negeri
ini sedang mengalami proses perubahan yang sedemikian cepat. Negeri ini ingin
segera meninggalkan zaman kegelapan, zaman jahiliyah, menuju ke zaman yang
gilang-gemilang. Ingin segera keluar dari kepompong yang – entah bagaimana –
membelenggunya selama ini, untuk selanjutnya menjadi kupu-kupu yang indah
terbang bebas dan tinggi di alam yang luas. Itu kalau perubahan itu memang
benar-benar terjadi, karena konon tidak sedikit pula orang atau kelompok orang
yang tidak menginginkan adanya perubahan itu. Yitu orang-orang yang selama ini
telah merasa nyaman berada di dalam kepompong raksasa itu. Tetapi, sulitnya
lagi apabila ditanya – atau diwawancarai media terutama – tidak akan ada di
antara mereka yang tidak menginginkan adanya perubahan – reformasi. Semua
menginginkan adanya perubahan itu. Semua mengaku paling ahli dalam melakukan
perubahan itu, serta paling tahu apa-apa yang harus diubah. Yang akhirnya dapat
aku pahami, ‘perubahan’ yang mereka maksudkan itu ternyata ada dalam pemahaman
mereka masing-masing. Maka, mereka masing-masing lalu saling berdebat bahwa
merekalah orang yang paling paham tentang apa dan bagaimana perubahan itu.
Sementara itu yang lebih menakjubkan lagi tiba-tiba saja banyak makhluk yang
mampu bermimikri dengan baik, lalu secara ajaib segera memegang kendali wacana
tentang perubahan. Di lain pihak, anak-anak muda yang semula menjadi peletup
gerakan perubahan itu kembali tertinggal di belakang, dan menjadi
pelajar-pelajar yang harus duduk manis kembali.
Hari-hari berlalu, dan aku kian
sering diikutsertakan dalam pertemuan-pertemuan penting Partai. Dan pada saat
yang sama sudah mulai sering pula aku diberi kepercayaan untuk mewakili DPP
dalam suatu acara atau pertemuan, terutama untuk di daerah. Sementara itu, aku
pun mulai menyusun program, serta membiasakan diri untuk melakukan komunikasi
dengan dan melalui media massa. Dalam zaman informasi, zaman pencitraan kepada
publik, ini adalah salah satu bagian yang terpenting. Karena itu aku ingin
memanfaatkannya secara maksimal; kalau perlu tanpa sampai harus mengeluarkan
biaya, atau bahkan merekalah yang harus membayarku. Dalam hal ini, kedekatanku
dengan dua tiga jaringan radio FM serta beberapa media cetak sebelumnya,
mempermudah dan mempercepat usahaku itu hingga bahkan berkembang ke media layar
kaca. Dengan cepat aku lalu berusaha membangun image bahwa aku adalah salah
seorang pakar politik yang patut diperhitungkan di negeri ini, karena penuh
dengan pemikiran-pemikiran baru dan segar, bahkan tak jarang kontroversial;
hingga patut dijadikan salah seorang narasumber dan newsmaker. Maka, aku pun
mulai rajin menulis artikel dan atau kolom di media-media cetak, memberikan
komentar-komentar yang tak jarang spekulatif dan kontroversial tentang berbagai
situasi di tanah air akhir-akhir ini. Memberikan analisis, pendapat, atau
sekadar wawancara ala selebritis, dan bahkan ramalan. Mengherani bagaimana
pemerintahan yang sekarang, yang konon sebagai pemerintahan transisi, bukannya
berkonsentrasi menyelesaikan masalah-masalah jangka pendek, tetapi malah begitu
gencar mengeluarkan produk undang-undang serta berbagai peraturan yang notabene
seharusnya merupakan urusan pemerintahan baru hasil pemilihan langsung kelak,
pemerintahan yang lebih legitimate. Bukankah cukuplah bagi mereka bersikap
sekadar “kuantar (sampai) ke gerbang”?[1]
Lalu, aku pun tak lupa
menghadiri acara-acara pertemuan, diskusi, seminar, simposium; serta tak lupa
pula acara-acara yang bersifat soial dan lain-lainnya.
Ya, aku harus membangun image;
yang barangkali bersepadan dengan Milan Kundera: imagologi. Di zaman ini kita
harus membangun citra, agar mempunyai nilai diri yang tinggi dalam panggung
globalisasi.
Dengan cara itu dalam waktu yang
relatif singkat akhirnya aku berhasil membangun citra diriku sebagaimana yang
aku inginkan. Sekarang, pada setiap kesempatan namaku sering disebut-sebut di
berbagai media. Buah pikiranku pun sering pula dikutip oleh mereka, bahkan ada
pula yang menjadi titik-tolak atau tolak-ukur dalam hal yang berkaitan. Dengan
demikian, apa yang kemudian terbenam dalam benak publik adalah citra diriku
sebagai seorang reformis (sekarang ini yang terpenting), sangat menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat, anti status-quo, sangat concern dengan masalah
kemiskinan dan pengangguran, ingin meningkatkan peran generasi muda, peduli
akan maslah usaha kecil dan menengah, menentang segala perilaku KKN serta
tindakan manipulatif lainnya, juga sebagai pribadi yang ramah, terbuka,
humoris, dan tentu tampan ….
Tetapi seperti kata pepatah:
kian tinggi tumbuh sebatang pohon akan kian deras pula angin menerpanya, kini
aku pun mulai menyadarinya. Kian berkibar nama dan kegiatanku, kian banyak pula
orang yang berusaha menghambat gerakanku, atau bahkan menelikungku. Bermacam
cara ditempuh, mulai dari isyu-isyu murahan sampai kepada ancaman keselamatan
diri dan keluarga. Baik itu datangnya dari pihak luar – yang tidak terlalu
mengherankanku, maupun dari dalam partaiku sendiri – hal yang semula sungguh
tak terbayangkan olehku. Dalam ‘keluguan’-ku selama ini perihal dunia politik, bagaimana
dapat kubayangkan hal yang serupa itu? Kalau serangan dari pihak luar, okelah,
masih dapat kupahami dan kuperkirakan berdasarkan logika; apalagi dengan
mempertimbangkan adanya puluhan partai saat ini yang kelak akan bertarung dalam
pesta akbar demokrasi nanti. Tetapi, yang dari dalam partai sendiri? Hal yang
semula kubayangkan hanya akan ada sifat-sifat yang saling bergotong-royong,
sokong menyokong, dan bantu membantu demi tercapainya kebesaran Partai?
Ternyata, tidak ada bedanya; sama saja. Itu semua ternyata hanyalah romantisme perjuangan
yang hanya ada dalam buku sejarah bangsa dan angan kepalaku. Ya, tak ada
bedanya. Yang berbeda barangkali hanyalah nuansanya. Kalau dari pihak luar
hampir selalu dalam konteks yang besar: pertarungan antar-partai. Yang dari
dalam justru lebih bersifat individual: kecemburuan, merasa diabaikan, merasa
dilangkahi; yang pada intinya hanyalah urusan persaingan menuju puncak hirarki.
Akhirnya aku menyadari, sebuah partai yang dari luar tampak seakan berlumur
idealisme, ternyata tak ada bedanya dengan sebuah perusahaan korporasi. Bedanya
mungkin hanyalah pada apa yang dijual. Kalau sebuah perusahaan menjual barang
dan atau jasa, partai menjual harapan.
Tetapi, akhirnya semua itu
berhasil juga aku atasi, dengan cara-cara yang tak kalah canggih dan licin, bahkan
kalau perlu dengan uang atau ‘sedikit kekerasan’. Hingga aku sekarang kian
kokoh menuju sasaran itu.
Dan, seperti tiba-tiba saja
musim kampanye telah berdiri di ambang pintu. Jadwal yang ketat telah
terbentang. Peraturan-peraturan telah disepakati. Dan berbagai institusi
pengawasan telah pula siap memelototi jalannya Pemilihan Raya. Aku sendiri baru
beberapa hari yang lalu ditetapkan sebagai calon anggota legislatif dari
Propinsi Perca Timur; sebuah daerah yang terkenal kaya akan sumberdaya alamnya,
tetapi selama ini seperti ‘terlupakan’ atau bahkan dilecehkan oleh pemerintahan
pusat. Dalam daftar calon itu namaku berada di urutan ketiga, yang diperkirakan
masuk dalam urutan nomor jadi, atau dulu dikenal sebagai ‘nomor kopiah’.
Meskipun sekarang urutan nama daftar calon tidak bersifat mengikat, tetapi
setidak-tidaknya prestise yang mengikutinya tentu masih melekat erat, karena
toh daftar disusun tidak berdasarkan urutan abjad nama.
Akan halnya daerah pencalonanku
itu, sebenarnya tidaklah terlalu asing bagiku, karena aku sendiri memang
dilahirkan di sana, meskipun sejak kelas tiga sekolah dasar aku pindah ke
Ibukota, mengikuti orangtuaku yang bekerja di departemen dalam negeri. Meskipun
demikian aku kemudian terpaksa juga mengobrak-abrik kertas-kertas berita dan
segala sesuatunya yang berkenaan dengan daerah tersebut. Tentu saja itu
kulakukan untuk mengenali kembali daerah itu, serta mengetahui isyu-isyu
penting dan aktual yang berkembang di sana. Sementara itu aku pun tak lupa
membuka-buka buku dan web-site untuk mengetahui aspek-aspek sosial-budaya
masyarakat daerah tersebut. Jadi, aku harus ‘ngebut, karena jadwal kampanye
akbar di daerah tersebut tinggal beberapa minggu lagi.
Sementara itu aku pun kian
berusaha memperluas jaringan hubungan sosial dan politik di daerah tersebut.
Ini penting, karena aku tentu tidak dapat mengharapkan diriku sendiri saja yang
jumpalitan di sana. Nanti bisa dikira makhluk dari mana ini.
*
* *
Dan, datanglah hari itu. Setelah
perjalanan dengan pesawat selaman hampir dua jam dan lain-lain, sampailah aku
dan rombongan di tengah belasan ribu massa. Cuaca sangat panas menyengat adalah
ciri khas daerah ini, karena konon hawa panas tidak saja datang dari matahari
di atas tetapi juga dari dalam kulit bumi di bawah. Ratusan ribu umbul-umbul
telah berkibar, bendera partai, spanduk-spanduk, panggung yang besar di
tengah-tengah lapangan dihiasi dengan berbagai pernak-pernik khas kedaerahan,
dan lain-lain. Kampanye terbuka memang akhirnya disepakati diperbolehkan, meski
hanya untuk ibukota propinsi dan kabupaten atau kotamadya serta hanya satu kali
pada masing-masing tempat selama masa kampanye, dengan waktu yang telah
ditentukan. Itu pun tidak diperbolehkan ada arak-arakan massa, pawai, maupun
keramaian lainnya di jalan-jalan. Rombongan-rombongan simpatisan yang datang
menuju tempat kampanye dilarang mempertunjukkan atribut-atribut partainya
maupun yel-yel secara atraktif selama dalam perjalanan; agar tidak sampai
memancing terjadinya kerusuhan, ataupun sekadar kemacetan lalulintas. Selebihnya
adalah kampanye tertutup atau ‘setengah tertutup’, baik melalui media massa,
maupun sekadar dialog atau debat antar-partai.
Dan setelah melewati seluruh
acara pembuka satu per satu berupa hiburan musik dengan artis penyanyi yang
juga didatangkan dari Ibukota, lawak atau komedi, kesenian daerah, serta
beberapa acara sambutan dan pidato pembuka yang singkat; akhirnya sampailah ke
giliranku sebagai calon anggota legislatif yang akan mewakili daerah tersebut
di lembaga legislatif pusat. Aku segera berdiri, mendekati mikrofon, menebarkan
pandangan sejenak ke massa yang menyebut; mencoba menciptakan suasana hening
barang beberapa saat. Ini penting agar massa dapat membedakan bahwa ada sesuatu
yang berbeda yang akan aku sampaikan dari sekadar hiburan dan pidato pembukaan
tadi. Lalu, setelah mengucapkan salam, tanpa berpanjang-lebar lagi aku segera
merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan sehelai saputangan yang berukuran lebih
besar dari biasanya. Saputangan itu kemudian kukibar-kibarkan di hadapanku dengan
sebelah tangan.
“Saudara-saudara lihat
saputangan saya ini? Apa warnanya?”
“Krem!”
“Jingga!”
“Kuning!”
“Ya! Saputangan ini warnanya
adalah kuning. Dan, dengan cara ini, sesaat lagi saputangan ini akan saya ubah
menjadi …,” dengan lagak seorang maestro sulap aku menggumpal-gumpalkan
saputangan itu ke dalam genggaman tangan kiriku. Lalu, dengan sentakan
tiba-tiba aku membentangkannya kembali,
“Lambang Partai!”
Maka, berkibar-kibarlah sehelai
kain bergambarkan lambang Partai yang warnanya sama sekali berbeda dari warna
saputanganku tadi. Seketika terdengar tepukan yang membahana dari arena, serta
suitan di sana-sini. Beberapa anggota pengurus daerah tak kurang pula ikut
menghangatkan suasana.
“Hidup Partai!” teriakku
tiba-tiba, sambil mengacungkan suatu konfigurasi jari yang menyimbolkan partai
kami.
“Hidup Partai!”
“Hidup Partai!!”
“Hidup Partai!!!”
Terdengar sambutan yang sangat
meriah di mana-mana. Dan, setelah dua pertunjukan lagi aku lalu berkata,
“Begitulah, Saudara-saudara!
Seperti itulah kira-kira apa yang sebenarnya telah kita alami selama ini:
penipuan, kebohongan! Bagaikan bermain sulap, mereka selama ini telah
mempermainkan kita, Saudara-saudara. Telah menipu, telah memperdaya, dan telah
membodoh-bodohi kita. Apakah Saudara-saudara masih mau dibegitukan oleh mereka
lagi?”
“Tidak!”
“Tidak!!”
“Tidak!!!”
“Bagus! Tentu saja tidak. Bahkan
kalau Saudara-saudara mau tahu, masih jauh lebih baik para pesulap itu daripada
mereka-mereka selama ini. Karena apa? Karena para pesulap itu memang bertujuan
untuk menghibur kita, meskipun memang dengan cara memperdaya. Tetapi
mereka-mereka itu, tujuannya hanyalah untuk memperdaya kita agar mereka dapat
dengan leluasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menguras kekayaan
negeri ini hanya untuk anak cucu, kerabat, dan keturunan mereka sendiri; serta
melanggengkan kekuasaan mereka, seperti zaman raja-raja saja. Tetapi, kalau ada
di antara kita yang tidak terperdaya oleh tipuan mereka, mereka lalu
melumpuhkannya dengan berbagai cara. Interogasi atau bersih-diri, cuci otak,
ancaman keselamatan diri, cekal atau cegah-tangkal, penjara, culik, rekayasa
kerusuhan, bahkan pembunuhan! Banyak saudara kita yang mengalaminya di masa
lalu. Sekarang, apakah Saudara-saudara masih mau diperlakukan seperti itu di
alam yang telah bebas merdeka ini?”
“Tidak!”
“Tidak!!”
“Tidak!!!”
“Nah, itulah Saudara-saudara,
kenapa kita sekarang sangat memerlukan adanya suatu perubahan. Perubahan total!
Reformasi! Perubahan dari segala keburukan dan kebobrokan, menuju kebaikan.
Setujukah Saudara-saudara?”
“Setuju!!!”
“Untuk itu, apa yang harus kita
lakukan? Tentu saja yang paling penting adalah mengubah dari pada perilaku, watak, mental. Kita, mulai saat ini, harus
berjanji dan bertekad untuk meninggalkan segala perilaku yang lama, yang selama
ini telah dengan secara sistematis ditumbuh-kembangkan oleh rezim yang lama.
Perilaku apa saja itu? Perilaku KKN! Watak mementingkan diri sendiri! Mental
feodal! Ya, Saudara-saudara, tanpa kita sadari selama ini kita telah dikungkung
kembali ke dalam alam feodalisme. Mental dari
pada tuan dan hamba-sahaya. Mereka tuannya, kita budaknya. Demikianlah yang
terjadi selama ini. Saudara-saudara masih mau diperlakukan seperti yang
demikian itu?”
“Tidak!!!”
“Bagus! Tentu saja kita tidak
lagi menginginkan diperhamba seperti itu. Enak saja, mereka menjadi para raja
dan pangerannya, menguras dari pada
seluruh sumberdaya alam negeri kita dengan semena-mena. Minyak, gas alam,
hutan, tanah, pasir, dan bahkan udara; mereka kuras dengan semena-mena, hanya
untuk memperkaya dari pada mereka
sendiri, sanak keluarga mereka, dan teman-teman mereka yang entah dari mana.
Sementara kita sendiri, yang lahir dan berdiam di bumi yang kaya ini, hanya
jadi seperti ayam mati di lumbung padi. Tetapi sekarang Saudara-saudara, sekaranglah
zamannya untuk kita melakukan perubahan. Kalau selama ini suara-suara yang
Saudara-saudara miliki hanyalah mereka kumpulkan untuk sekadar memenuhi kotak
suara dan statistik artifisial, hanya untuk kepuasan mereka sendiri; sekarang
tidak lagi. Karena apa, Saudara-saudara? Karena mulai saat ini suara
Saudara-saudara adalah suara kedaulatan. Ya, kedaulatan negara sekarang ada di
tangan Saudara-saudara. Karena itu manfaatkanlah kadaulatan yang ada pada
Saudara-saudara sekarang untuk pilihan yang paling benar. Untuk pilihan yang
menjanjikan masa depan yang lebih cerah, yang memegang amanah reformasi rakyat
dengan teguh, serta mandiri.”
Aku terdiam sebentar, mencoba
membaca reaksi massa.
“Ya, yang mampu memegang amanah
dengan teguh. Yang mandiri. Tetapi ingat, jangan sampai salah pilih. Jangan
sampai tertipu. Kenapa begitu, Saudara-saudara? Karena sekarang banyak sekali
serigala yang berbulu domba. Ya, serigala yang berbulu domba. Dulunya mereka
adalah bangsa serigala: pemburu, pencuri, perampok, pembunuh, culas, pembohong.
Sekarang ketika raja serigala tumbang, enak saja mereka tiba-tiba bersalin bulu
menjadi berbulu domba, bahkan ikut-ikutan pula menghujat sang raja serigala
itu, raja mereka dahulu. Padahal, bagaimana pun mereka sendiri tetaplah bangsa
serigala. Jadi, sekali lagi, jangan sampai Saudara-saudara tertipu.”
Aku diam kembali. Belasan ribu
massa tampak sangat penuh perhatian. Relatif tenang. Tak tampak ada kegaduhan
yang tak perlu. Sementara, di sudut-sudut stadion sepakbola di mana acara ini
berlangsung, tampak ratusan petugas keamanan berjaga-jaga.
“Jangan tertipu, karena ada
puluhan partai yang sekarang ikut Pemilihan Raya. Tetapi, saya yakin
Saudara-saudara tentu tahu apa siapa dan bagaimana yang saya maksudkan. Tidak
terlalu sulit untuk membedakan antara serigala dan domba, bukan? Karena itu,
pilihan yang paling tepat adalah partai kita ini. Partai yang memperjuangkan
perubahan, partai yang Ketua Umum-nya sejak lama sudah terkenal dengan tekad
dan upayanya untuk menentang dari pada
status-quo demi melakukan perubahan. Partai yang orang-orangnya dijamin
bersih dari bau serigala, partai yang akan memegang dengan sangat teguh amanah dari pada reformasi rakyat, partai yang
akan membawa kita semua menuju masyarakat baru, masyarakat madani. Inilah
pilihan yang paling tepat, Saudara-saudara. Dan karena itu, sampaikanlah juga
hal ini kepada sanak-famili Saudara-saudara, karib-kerabat, handai-taulan,
serta tetangga-tetangga kita yang tidak dapat hadir di sini. Setuju?”
“Setuju!!!”
“Hidup Partai!”
“Hidup Partai!!!”
Sekarang aku mulai merasa
kerongkonganku mengering. Agaknya aku telah cukup banyak berbicara tadi, dan
melipakan masalah pelumasan pita suara. Karena itu aku kemudian gelas minuman
terdekat yang tersedia, dan kemudian mereguk sebagian isinya. Tapi, pada saat
itu, di bawah-sadarku merasa seperti ada sedikit keganjilan. Sepertinya bibir
gelas itu hampir amblas begitu saja ke dalam mulutku. Tapi, hal itu tidak
segera kuacuhkan karena pikiranku masih terfokus pada khalayak massa.
“Dan, bukan hanya itu,
Saudara-saudara. Partai kita ini juga sangat concern, sangat menaruh perhatian pada masalah-masalah yang ada di
daerah. Karena apa? Karena partai kita ini menentang praktek dari pada sentralisasi. Partai kita ini
sangat menyadari bahwa negara kita ini adalah unik, sangat unik bahkan, sangat
majemuk, dan satu-satunya negara di dunia yang seperti ini. Karena itu Partai
menyadari benar akan keunikan dari pada
masing-masing daerah. Setuju, Saudara-saudara?”
“Setuju!!!”
“Dan, akan halnya dengan daerah
kita ini, Partai sebenarnyalah sungguh merasa takjub, kagum, sekaligus menaruh
rasa hormat yang setinggi-tingginya. Karena apa? Karena Partai menyadari benar
bagaimana potensi sumberdaya alam daerah ini yang sedemikian besarnya, yang
bahkan pada suatu masa pernah memberi andil lebih dari sepertiga anggaran
belanja negara, karena dua per tiga dari pendapatan minyak bumi yang merupakan
dua per tiga dari seluruh pendapatan negara berasal dari daerah kita ini. Namun
sayangnya, anugerah Tuhan itu dulunya hanya mereka hambur-hamburkan untuk
kesenangan mereka sendiri dan golongannya, dengan mengurasnya dan menumpuknya
menjadi kekayaan pribadi dari pada
mereka sendiri. Akan halnya penduduk daerah ini, Saudara-saudara? Tetap saja
tertinggal, terabaikan, bahkan sampai kebulur!
(Terdengar sporadis tawa kecil yang menyenangkan ketika istilah bahasa mereka
disisipkan). Bahkan pun kemudian tanah dari
pada Saudara-saudara, tanah-tanah adat, tanah-tanah ulayat, tanah-tanah
pusaka, tanah-tanah keluarga, hutan-hutan larangan, hutan-hutan kepungan
sialang; habis pula mereka kapling dan jarah seenak-perutnya. Bekerjasama pula
dengan para pengusaha yang entah datang dari mana, yang tidak mempunyai akar
dengan daerah ini, dengan negara ini. Akibatnya apa? Akibatnya, kalau tidak
sejak sekarang segera diselamatkan, daerah ini akan segera hancur lebur. Kalau
cara pengelolaannya tidak segera diperbaiki, segala sumberdaya alamnya akan
segera terkuras habis, dan Saudara-saudara hanya tinggal memperoleh ampas dan
limbahnya saja lagi. Apakah Saudara-saudara mau yang seperti itu terjadi?
“Tidak!!!”
“Karena itulah salah satunya
kenapa partai ini ada. Tetapi, pada saat yang sama, partai ini pun merasa kagum
bagaimana dengan sikap orang-orang dari
pada daerah ini dalam menghadapi seluruh kebuasan itu selama berpuluh tahun
ini. Kesabaran dan ketabahan yang ditunjukkan sungguh merupakan hal yang luar
biasa, hal yang kiranya patut ditiru oleh Saudara-saudara kita di daerah-daerah
lain. Adat yang gemar surut selangkah, dan surut selangkah, dan surut selangkah
lagi, sungguh benar-benar bukti kesabaran yang tahan uji, Saudara-saudara.
Sikap yang tidak suka akan terjadinya konfrontasi, pertentangan, perkelahian;
inilah yang membuat Saudara-saudara sanggup bertahan selama ini. Dan patut
dilestarikan, karena kita hidup dalam sebuah negara yang sangat manjemuk, di
mana persatuan perlu dijunjung tinggi. Setuju?”
“Setuju!?”
Tetapi aku kembali merasa haus
lagi. Karenanya kembali kuraih gelas itu dan hendak kureguk habis sias isinya.
Tetapi, aku merasa terkejut, gelas itu tiba-tiba saja seperti begitu saja akan
amblas ke dalam mulutku. Mulutku jadi seperti tersumbat oleh gelas itu, dan aku
merasa kesulitan untuk melepaskannya kembali. Melihat itu bergegas beberapa
orang yang berada di dekatku membantu untuk melepaskan gelas itu. Dan, setelah
gelas itu berhasil dikeluarkan, mereka kulihat seperti menatap heran kepadaku.
“Pak …, Bapak ….” mereka seperti
ingin menyampaikan sesuatu; tetapi aku tidak mengacuhkannya karena pikiranku
masih bersemangat terfokus pada acara kampanye itu. Aku telah merasa, melihat
kondisi sejauh ini, kampanye ini akan sangat sukses dan jalanku menuju lembaga
legislatif akan sangat lempang dan lapang. Lagi pula, klimaks pidato kampanyeku
belum lagi kusampaikan. Karena itu aku segera berbalik ke arah khalayak.
“Ya, Saudara-saudara, persatuan,
itulah yang terpenting dalam bernegara ini. Dan bukannya kesatuan, yang lebih
mengarah pada sentralisasi, pemusatan kekuasaan. Karena itu partai ini sangat concern pada masalah otonomi daerah dan
perimbangan keuangan yang adil antara pusat dan daerah. Partai ini kelak akan
memberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya, serta memberikan keleluasaan dari pada daerah dalam mengelola
sumberdaya alamnya masing-masing. Kebalikan dari
pada rezim yang lama, pemerintahan pusat hanya akan mengambil pajak dan
semacam royalti saja, sekadar untuk keperluan belanja negara, serta untuk
subsidi daerah lain yang masih minus. Bagaimana, setuju?”
“Setuju!”
Tetapi, aku tidak segera
menyadari kalau suaraku terdengar kian membesar tapi cenderung sengau.
“Ya, dengan begitu
Saudara-saudara, kita akan membangun daerah ini menjadi jauh lebih maju dengan
cepat, sesuai dengan kekayaan melimpah yang kita miliki. Kita akan bangun
jalan-jalan yang besar dan mulus, sampai ke pelosok-pelosok desa.
Jembatan-jembatan untuk menyeberangi ribuan parit besar dan sungai yang
dimiliki daerah ini. Kita akan bangun pertanian pasang-surut, ribuan sekolah
untuk meningkatkan sumberdaya manusianya, pelabuhan-pelabuhan, terminal, bandar
udara, pasar-pasar. Juga perumahan-perumahan rakyat, rumah-rumah ibadah, dan
banyak lagi. Dengan segala kekayaan itu kita juga akan membangun koperasi yang
lebih mandiri, usaha-usaha kecil dan menengah, petani, nelayan, dan lain-lain.
Dengan sumberdaya alam yang kita miliki seperti ini, apa yang tidak bisa kita
kerjakan? Semua bisa. Setujua?”
“Setuju!”
“Ya, Saudara-saudara, semua itu
akan kita lakukan bersama. Tentu saja untuk itu terlebih dahulu kita harus
memenangkan dari pada partai kita ini
terlebih dahulu. Setuju?”
“Setuju!”
“Karena itu, Saudara-saudara,
demi mencapai itu semua ajaklah diri Saudara sendiri, keluarga Saudara,
kerabat, tetangga, sahabat, dan kenalan agar memilih dari pada partai kita ini dalam Pemilihan Raya nanti. Katakanlah
pada mereka bahwa partai kita ini adalah yang terbaik dalam memperjuangkan
kepentingan kita semua. Setuju?”
“Setuju.”
“Hidup Partai!”
“Hidup Partai!”
Aku merasa haus lagi, hingga
kuraih gelas yang lain yang masih berisi penuh, meski sempat kulihat tatapan
heran bercampur cemas dari rekan-rekan di belakang. Kureguk saja minuman itu,
tetapi tanpa kuduga gelasnya ikut amblas ke dalam perut. Sejenak aku terpana,
mencoba mencerna apa yang barusan terjadi, menutup mulut dengan tangan
sebagaimana orang yang terkejut dengan sedikit malu; tetapi kemudian telapak
tanganku seperti teraba ada sesuatu yang salah pada bentuk konfigurasi bibir an
hidungku. Tetapi, aku masih terlalu bersemangat dengan kampanye itu, sehingga
kuabaikan saja dulu keganjilan itu dengan menganggapnya sesbagai sesuatu yang
dapat kupikirkan nanti.
“Ya, saudara-saudara.” Aku
tiba-tiba terdiam sejenak, terkejut mendengar suara yang tidak kukenal;
benarkah itu suaraku? Tapi, karena kupikir barangkali itu hanyalah masalah
sound system, lagi-lagi aku tak pedulikan.
“Ya, Saudara-saudara,” ulangku,
“inilah partai yang seharusnya Saudara-saudara pilih. Inilah pilihan yang
paling tepat. Karena apa? Karena partai ini adalah partai yang paling bersih,
Saudara-saudara. Tidak secuil pun ada kaitan partai ini dengan rezim yang lama
– baik secara institusi maupun orang per orang. Saudara-saudara bisa
mengeceknya sendiri. Partai ini betul-betul sangat murni, penuh dengan orang
yang jujur dan idealis, yang tidak mementingkan dari pada diri sendiri. Partai yang dipimpin oleh tokoh yang sudah
Saudara-saudara sama tahu, tokoh yang sangat terkenal akan kereformisannya.
Beliaulah calon presiden kita. Setujukah Saudara-saudara?”
“Setuju!”
“Hidup Beliau!”
“Hidup!”
“Partai ini bersih dari KKN,
Saudara-saudara. Dengan partai ini tidak akan ragu untuk menghapus segala
perilaku dari pada KKN sampai ke
urat-akarnya. Setuju?”
“Setuju?”
“Partai ini juga tidak akan
menolerir terjadinya proses reformasi yang katanya bergradual, bertahap; yang
banyak diwacanakan akhir-akhir ini. Kenapa? Karena wacana ini sebenarnya
berasal dari pada para kaum serigala
berbulu domba itu. Mereka berharap, dengan berlakunya proses reformasi yang
dijalankan secara gradual, ini akan memberi mereka waktu untuk menata diri,
baik untuk menyembunyikan keburukan-keburukan mereka dulu maupun kesempatan
mengumpulkan kekuatan lagi. Saudara-saudara, kita harus mengusahakan reformasi
segera! Segera! Setujukah Saudara-saudara?”
“Setuju!”
“Partai ini, Saudara-saudara,
akan membangun ….”
Aku terus berbicara, dan terus
berbicara. Berjam-jam, dengan semangat yang tetap menggebu. Aku merasa masih
banyak yang harus kusampaikan, dan aku merasa puncak klimaks itu belum lagi
selesai kudaki. Aku harus menyampaikan seluruh kelebihan partai kami, agar
mereka kelak tidak sampai salah dalam memilih; kasihan mereka. Ya, agar mereka
tahu inilah partai yang terbaik dari sekian banyak partai itu. Partai yang akan
membawa mereka ke zaman yang baru. Sementara itu, manakala haus atau lapar aku
segera melahap minuman atau kue-mue yang ada. Kalau kemudian gelas dan
piringnya sekalian ikut tertelan, aku sudah tidak peduli lagi. Demi partai ini
aku tidak peduli akan apa yang terjadi pada diriku saat ini. Sampai, lama
kelamaan – entah karena halusinasi atau sekadar kecapekan – aku merasa suaraku
seperti kian menghilang, padahal aku masih tetap lantang berpidato. Ataukah
telingaku yang menuli?
*
* *
Yang aku tahu kemudian adalah
anak muda itu tiba-tiba tersentak terjaga dari kantuknya manakala mulai
terdengar keributan di sekelilingnya. Hampir saja tabloid dan koran-koran itu
berhamburan dari genggamannya karena keterkejutan itu. Ia sendiri tengah
terlena terkantuk-kantuk mendengarkan suaraku yang sebenarnya membahana. Tetapi
sekarang, dari salah satu sudut panggung ini ia akhirnya menyadari keributan
apa yang telah terjadi. Bagaimana tidak, karena sekarang di tengah-tengah
panggung itu sedang berlangsung sebuah kejadian yang aneh, atau malah
mengerikan. Atau barangkali lucu? Perlahan-lahan ia melihat mulutku tampak kian
membesar dan membesar dan membesar. Menguak, lalu mulai memakan kepalaku
sendiri. Ajaib! Mengerikan! Ataukah lucu? Dan itu pun masih terus berlangsung
hingga ke leherku, dadaku. Gigi-gigi besar yang berwarna putih susu itu tampak
lincah mengunyah-nguyah; meski tanpa darah. Lalu perutku, bagai mengunyak
sepiring bakmi dengan usus yang terburai itu. Pinggul, kaki, dan seterusnya.
Semuanya berlangsung dengan cukup cepat, kalau mengingat berapa puluh kilogram
daging yang harus dikunyah. Sampai yang tampak tersisa kemudian di atas panggung
yang megah itu hanyalah mulutku itu sendiri – bibir dan gigi – yang masih juga
seperti tampak sedang mengunyah. Selain itu adalah: beberapa buah gelas,
piring, sendok, bungkusan kue-mue, kertas-kertas yang bertulisan confidential,
stempel-stempel, duit, ….
Acara kampanye itu sepertinya
telah berakhir. Apalagi matahari telah merah di barat. Karena itu mereka semua
kemudian mmbubarkan diri, pulang ke rumahnya masing-masing. Anak muda itu
sendiri, sambil berjalan pulang hanya dapat tersenyum letih melihat setumpukan
korannya yang masih belum laku. Dipikirnya tadi, di tengah-tengah keramaian
seperti ini koran-koran itu akan cepat laku keras; tidak pun untuk dibaca,
setidak-tidaknya digunakan oleh orang yang membelinya untuk melindungi kepala
dari sengatan terik matahari. Tapi, rupa-rupanya itu pun telah cukup dengan
topi dan baju kaus yang mereka dapatkan di pintu masuk stadion tadi ….
Payungsekaki,
04/99.
[Antologi Rel]
[Antologi Rel]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar