Selasa, 08 Agustus 2023

 

SETIAP ORANG PUNYA PENDAMPING DARI ALAM GAIB, TAPI HANYA SEDIKIT SEKALI YANG MENGETAHUINYA, DAN LEBIH SEDIKIT LAGI YANG DAPAT BERINTERAKSI DENGANNYA. OLEH YANG TERAKHIR ITU KAMI DISEBUT SEBAGAI :

 

 

 Akuan

 

 

 


 

 

 

  SAMBUNGAN 3

Ada beberapa versi cerita atau bahkan mitos yang beredar tentang asal-muasal munculnya silat pangean ini. Tapi dari keseluruhan ceritera itu aku sendiri mengambil kesimpulan, setidak-tidaknya ada satu kemiripan, yaitu dari pola atau alur ceritera. Bunda leluhur kami orang pangean dulu – banyak yang mengatakan bahwa ia bernama Gadi Ome – suatu kali bermimpi bertemu dengan seorang Syekh bernama Maulana Ali, bersama istrinya Halimatussakdiah. Ketika itu Gadi Ome sedang ditinggal merantau ke Lintau oleh suaminya yang bernama Bagindo Rajo, guna menuntut ilmu silat dan agama. Oleh Syekh Maulana Ali dan istrinya itu, Gadi Ome diajarkan tentang akidah, ibadah, dan syiar-syiar Islam. Beliau juga diajarkan langkah-langkah silat. Karena itulah Gadi Ome kemudian dikenal memiliki kepandaian silat yang mumpuni.

Setelah tuntas menuntut ilmu silat dan agama di Lintau, Bagindo Rajo pulang dan terheran-heran melihat istrinya ternyata sudah mengerti silat juga. Penasaran, Bagindo kemudian mengajak tanding Gadi Ome, dan di luar dugaannya ternyata ia dapat dikalahkan oleh istrinya itu. Akhirnya Bagindo Rajo justru kemudian berlatih silat lagi kepada istrinya. Dari keduanya itulah kemudian berkembang silat pangean, meskipun pada mulanya sangat tertutup, karena hanya diturunkan pada lingkungan zuriat mereka saja. Sebagai penerusnya, di setiap generasi selalu ada empat mahaguru yang akan mewarisi dan mengembangkan silat pangean ini. Mereka sering disebut dengan nama Induak Barompek. Karena bersifat tertutup itulah sepanjang masa dahulu silat pangean penuh dengan suasana misteri sehingga dengan mudah mereka dapat mengalahkan lawan-lawannya.

Dari Bagindo Rajo orang-orang mengenal aliran yang biasa disebut sebagai silek jantan, yaitu silat pangean yang cenderung bersifat keras dan agresif, seperti yang dapat dilihat dari Datuk Rimau Sati ini. Zaman dahulu biasa digunakan oleh para pejuang dan penjaga negeri. Sedangkan yang aku pelajari langsung melalui Pendekar Malin Merah murni bersumber dari Gadi Ome yang biasa disebut orang-orang sebagai silek bathino, yaitu silat pangean yang terlihat lebih lembut dan gemulai dalam gerakannya namun sebenarnya bersifat lebih mematikan. Datuk Rimau Sati dan Pendekar Malin Merah adalah dua di antara Induak Barompek itu.

 

Mungkin sudah seperempat jam kami bertanding dengan belasan kali aku terjengkang agaknya. Pak Tua ini tampaknya memang tidak main-main, meski begitu entah bagaimana aku merasa ia baru mengerahkan separuh kemampuannya. Tapi, meski sudah belasan kali terpukul dan jatuh itu, aku menyadari bahwa sebenarnya ada perkembangan yang baik. Kalau mau dibentangkan secara statistik, lima menit pertama ada sepuluh kali aku terjengkang, tetapi sepuluh menit terakhir kurang dari itu. Bahkan selama lima menit terakhir aku akhirnya mampu bertahan tanpa terkena pukulan yang telak, apalagi sampai terjengkang. Sementara di gelanggang debu-debu tipis mulai beterbangan, dan gambar-gambar bunga yang kubuat di atas permukaan tanah tadi sudah sedari awal hancur hilang bentuk.

Tapi sekarang aku tahu Datuk Guru bahkan mulai meningkatkan serangannya. Beberapa langkah silat baru mulai dimasukkannya, meskipun itu kemudian diulang-ulangnya kembali. Lalu beberapa saat kemudian ditambahkannya lagi dengan beberapa jurus baru, diulang-ulang kembali, dengan kecepatan dan tenaga kian bertambah – begitu seterusnya. Tak ayal aku jadi lintang-pukang dibuatnya – dan status statistikku pun kembali memburuk. Seperti gelombang, naik-turun. Bahkan Datuk Guru mulai banyak mengambil langkah-langkah silat dengan gerakan loncatan. Sekarang aku mulai menyadari, gelanggang ini ternyata terlalu kecil – maksudnya agar aku dapat menghindar dengan leluasa.

Soal rasa sakit, jangan tanya lagi. Aku yakin saat ini selesai nanti, aku bahkan tak mampu lagi menghitung berapa banyak lebam dan bengkak mengelilingi sekujur tubuhku. Setiap benturan terjadi – entah itu berupa tangkisan atau pukulan yang mengena – seluruh persendian tulangku rasanya seperti mau lepas, atau tulangku terasa retak atau bahkan patah. Tapi aku tak bisa mengaduh, apalagi mengeluh. Aku harus selalu ingat kata-kata Pendekar Guru waktu pertama kali mengenal laman silek Koto Tinggi dulu,

“Bujang,” begitu beliau selalu menyebutku, “untuk belajar silat pangean, ada empat syarat yang harus engkau penuhi terlebih dahulu. Satu: berani patah. Dua: berani buta. Tiga: berani mati. Empat: berani berutang.”

Meskipun beliau kemudian menjelaskan ada pengertian yang mendalam di balik kata-kata itu, dan dalam pelajaran silatku kemudian mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam lagi yang lebih mengarah kepada sifat yang lebih spiritual, tetapi entah bagaimana di saat-saat seperti ini selalu saja bayangan-bayangan secara fisikal tetap sulit dihilangkan – meskipun itu sebenarnya juga semua orang sudah tahu memang berpeluang besar akan terjadi. Seperti sekarang, aku jadi berpikir-pikir: apakah Pak Tua ini memang benar-benar ingin melepaskan seluruh persendian tubuhku hanya karena – seperti yang disebutnya – Pendekar Guru adalah seorang penari?

Tapi sebenarnya ada yang lebih menyakitkan daripada itu semua. Mulutnya itu! Pertandingan ini sesungguhnya tidaklah sunyi sama sekali. Kalau bunyi gedebak-gedebuk, itu jelas sudah biasa. Tapi ditambah dengan segala bunyi kicau-racau yang menjengkelkan dari mulut tebalnya itu, seperti tak letih-letih ia mengejek, atau bahkan mengumpat dan memaki.

“Pantat kau tu, macam itik saja! Selalu tertinggal menggoyang sendiri di belakang!”

“Apa Si Penari tu sudah tak pandai mengajar silat lagi?”

“Hei! Tangan kau lunak betul! Macam bandeng presto saja!”

“Awas! Kepala kau jadi kepala toge!”

“Alamak! Kalau selalu macam ini cara kau kelahi, alamat menangis Gadi Ome seribu hari!”

Siapa tak sakit hati dibuatnya! Kian lama telingaku macam rasa berdenging, pandangan mataku seperti berkunang-kunang, dan napasku mulai seperti memburu. Bukan saja karena mencoba menahan emosi yang kian meningkat – aku tak bisa melepaskan emosiku begitu saja mengingat beliau adalah salah seorang mahaguru yang harus sangat aku hormati, tapi juga karena menghadapi serangan beliau yang kian meningkat dan sepertinya benar-benar ingin membunuhku!

Bum!

Untuk kesekian puluh kalinya aku terjengkang, dan kali ini aku membayangkan ususku terburai memerah ke atas permukaan tanah merah. Tapi ternyata tidak. Aku hanya dapat merintih. Kurasa di saat-saat seperti ini aku tidak bisa lagi membiarkan Pak Tua itu berlaku semena-mena. Tetapi jelas aku tidak bisa meminta dia menghentikan serangannya, apalagi meminta ampun. Aku harus menghadapinya dengan lebih bersungguh-sungguh, tak perlu sungkan-sungkan lagi – meskipun aku sempat berpikir: toh selama ini aku juga sudah sangat bersungguh-sungguh. Kemampuan silatku saja yang memang sangat tidak sebanding dengannya. Tapi, ini sepertinya tinggal persoalan hidup atau mati. Lagi pula, apa salahku pada beliau? Dari yang semula sekadar memperkenalkan diri, kenapa aku jadi benar-benar dihajar seperti ini?

Tapi aku tidak lagi dapat berpikir panjang. Sekarang yang kulihat ia telah bergerak lincah hendak menerkam ganas ke arahku. Seperti harimau! Kedua kakinya melenting dengan cepat, dan tangan kanannya seperti bersiap hendak menampar bagai benar-benar lengan seekor macan buas. Selanjutnya aku seperti tak mengingat apa-apa lagi. Hanya kilatan-kilatan. Hanya kibasan-kibasan. Hanya lentingan-lentingan. Seperti bayangan-bayangan yang berlalu-lalang di balik sebentangan kain latar pementasan teater. Lalu suara-suara yang saling menggelegar. Lalu sepi.

“Cukup!”

Terdengar menggelegar suara terakhir.

Lalu sepi.

 

Aku tak tahu berapa lama waktu yang hilang. Aku seperti tidak benar-benar sedang berada di gelanggang ini. Atau mungkin aku pingsan. Entahlah. Mendapat hempasan seribu serangan dari Pak Tua itu, siapa yang sanggup? Sadar-sadar aku sudah berada di sebuah ruangan yang sejuk. Sederetan sofa empuk. Dan pemandangan tanah lapang yang masih bisa kulihat dari balik dinding kaca ruang belakang. Di hadapanku, Pak Tua itu duduk dengan sedikit senyum. Sempat kulihat lengan kiri bajunya robek-robek halus seperti baru disayat dengan bilah-bilah silet.

Tapi, meski tampak seperti tersenyum, mata beliau masih saja terlihat tajam menatapku, dengan kening yang sedikit berkerut. Seperti orang yang sedang berpikir keras, namun tidak ingin diketahui oleh orang sekitarnya. Beberapa saat kemudian, setelah mereguk habis kopinya, beliau pun berdiri.

“Kau diterima di sini, Genta. Sayang aku ada keperluan mendesak, jadi aku harus segera pergi. Eman nanti akan menunjukkan kamarmu. Mandi dan beristirahatlah. Kalau lapar, kau bisa minta pada Eman. Besok kita akan bicara lagi.”

Lalu begitu saja Pak Tua itu berlalu.

 

BERSAMBUNG

 

 

Tidak ada komentar: