Senin, 28 Agustus 2023

 

SETIAP ORANG PUNYA PENDAMPING DARI ALAM GAIB, TAPI HANYA SEDIKIT SEKALI YANG MENGETAHUINYA, DAN LEBIH SEDIKIT LAGI YANG DAPAT BERINTERAKSI DENGANNYA. OLEH YANG TERAKHIR ITU KAMI DISEBUT SEBAGAI :

 

 

 

 Akuan

 

 

 


 

 

SAMBUNGAN

 

Sial! Lampu tiba-tiba padam. Ruangan seketika gelap pekat, tapi kemudian perlahan-lahan muncul seberkas sinar yang lemah dari ventilasi. Khayalanku pun seketika terhenti. Aku pun segera menyelesaikan mandiku. Handukan. Berpakaian. Dan oleh karena memang sudah waktunya, aku pun melaksanakan shalat maghrib. Setelah itu keluar. Saat menuruni tangga dalam keremangan senja itulah listrik menyala kembali.

Sepi; seperti tadi. Tapi perutku yang keroncongan berhasil menuntunku menemukan meja makan. Hidangan sudah lengkap, aku pun makan dengan lahap.

Hmm, makan malam yang lezat. Dua keping dendeng kering dan ikan bawal bakar beserta sambal dan sayur-sayuran yang melengkapi dua piring nasi berhasil mengembalikan energiku yang bagai terkuras habis di laman silat tadi. Aku bahkan sempat tersandar beberapa menit di kursi makan, menikmati padatnya perutku – sampai kemudian tersadar dan malu sendiri lalu cepat-cepat berdiri.

Berdiri, lalu berjalan pelan dengan keraguan hati. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Lalu kupikir aku akan kembali ke kamar saja untuk beristirahat – yang memang sangat kubutuhkan saat ini – tapi begitu melewati ruangan tengah yang luas dan terang-benderang itu perhatianku tertarik pada beberapa benda. Hmm, jadi ruangan tengah ini juga semacam showroom atau ……….. Tempat memajang beberapa benda yang pastilah memiliki kesan bagi pemiliknya. Sepasang samurai – aku yakin itu asli buatan seorang maestro dari Jepang; setidak-tidaknya seperti ingatanku pada Kill Bill. Sedang dari lokal ada rencong, karambit, kujang, dan keris berluk sembilan – semua berada di dalam sebuah kotak kaca. Serta sepasang senjata tradisional kami: sebilah pedang pendek dan perisai perunggu kecil, di dalam kotak kaca yang lain. Lalu ada seperangkat alat panah dari kalimantan bergelantungan di dinding, beberapa macam tombak atau lembing, seligi, sumpit, dan trisula artifisial karena persis dibuat seperti yang biasa dibayangkan dalam mitos Yunani Kuno untuk Poseidon. Sebuah senjata rifle yang melihat tulisannya mungkin buatan Rusia. Berbagai macam alat lagi, namun yang terakhir yang agak mengejutkanku adalah sebuah mok yan jong atau boneka kayu yang biasa digunakan untuk berlatih kungfu wingchun. Aku kemudian tersenyum – ini setidaknya simbolisme yang tepat, mengingat ada sedikit kemiripan sejarah silat pangean dengan kungfu wingchun ini.

Dan di satu dinding bergelantungan beberapa pigura foto, dari yang sebesar dua lembar sajadah sampai yang hanya setelapak tangan. Jelas kebanyakan ada Datuk Guru di dalamnya. Di dalam foto berbingkai paling besar itu adalah foto lukisan keluarga: Datuk Guru, seorang wanita cantik yang tentulah istrinya – di manakah wanita itu sekarang?, dan seorang gadis kecil yang manis namun terlihat memiliki garis bibir yang keras. Ini sepertinya foto bertahun-tahun yang lalu, karena Datuk Guru tampak terlihat jauh lebih muda. Dari raut wajah mereka, itu nampaknya mengabadikan momen masa-masa bahagia.

Puas mengelilingi ruangan tengah berlantai parquet itu, aku pun naik kembali ke kamarku. Aku ingin tidur. Keletihan masih membelenggu. Sakit-sakit dan pegal-pegal juga masih menggelayutkan sisa-sisanya. Lagi pula rumah sepi sekali, tak ada sesiapa yang dapat kuajak sekadar berbincang-bincang. Tak lama aku pun sudah tertidur lelap.


* * *


Siang hari itu cuaca panas menyengat, tapi Kampung Kumu sedang menggeliat. Masyarakat kawasan Rokan Hulu itu sedang mempersiapkan sebuah perlawanan, setelah selama ini hidup dalam tekanan dan bahkan ancaman. Mereka sudah bertekad untuk merebut dan mempertahankan pusaka adat dan nenek moyang mereka yang paling berharga: tanah.

Aku sudah dua hari berada di perkampungan itu. Tugas dari kantor, guna meliput perkembangan kasus sengketa lahan antara masyarakat tempatan dengan PT Maxima Agro Industri yang membuka perkebunan sawit di kawasan selingkar hulu Sungai Rokan itu. Sebenarnya kasus ini sudah berlangsung cukup lama, sudah bertahun-tahun. Masyarakat sedari awal sudah mencoba menjelaskan posisi mereka, tentang keberadaan tanah pusaka hak ulayat dan tanah pribadi mereka sendiri, tapi pihak perusahaan tidak pernah peduli karena mereka berpegangan pada peta besar yang mereka punyai, yang penuh dengan garis-garis lurus dan lengkung yang hilir mudik, serta berbagai deretan angka koordinat yang kata mereka dibuat oleh Orang Pusat yang sudah pasti benar dan tak dapat diganggu-gugat. Karena itu protes warga senantiasa tak menemukan hasilnya. Perusahaan itu tetap saja jalan terus sesuai dengan rencana pembangunan mereka. Beberapa bentrok kecil antara warga dan perusahaan sempat terjadi, tetapi selalu dengan kesalahan dan kekalahan ditanggungkan di pundak warga desa.

BERSAMBUNG

 

 


 

Tidak ada komentar: