MANUSIA MELAYU DALAM 3
NOVEL :
Selayang
Pandang
OLEH : gde agung lontar
(dari tokopedia) |
Mari
Mengada sampai Mati!1)
Pendahuluan
Sebuah
novel adalah dunia fiksi, dunia imajinasi. Namun seringkali imajinasi itu
berkelindan dengan realita yang dapat berasal dari pengalaman pribadi
pengarangnya sendiri, berita yang sampai, dan atau cerita yang tersadai.
Makalah ini
mencoba mencukil-cuil apa yang dikatakan sebagai “Manusia Melayu” dalam 3 novel
yang ditulis oleh – menurut pengetahuan Penulis – tiga pengarang Melayu [Riau].
Topik yang diangkat makalah ini barangkali terkesan cukup megah, namun Penulis
harus mengingatkan bahwa makalah ini belum disusun berdasarkan penelitian dan
pengkajian yang mendalam, apalagi dalam bentuk naskah akademik yang ketat dan
sistematis. Karena itulah Penulis menyertakan anak judul “Selayang Pandang”. Maka
makalah ini tidak lebih semacam bentangan pendahuluan belaka. Penulis berharap,
topik semacam ini (dan bukan hanya terhadap novel saja, barangkali juga roman,
novelet, cerpen; atau bahkan fabel, dsj.) cukup menarik untuk ditelaah lebih
jauh dan mendalam, yang mudah-mudahan juga dapat dilanjutkan oleh rekan-rekan
lainnya.
Tulisan
ini berangkat dari hipotesis relasi antara pengarang Melayu, novel yang
dikarangnya, dan realitas Dunia Melayu terkini; serta apakah ada hubungan
timbal-balik di antaranya. Prognosa umum memperlihatkan fakta yang cukup unik
[namun dalam sudut pandang lain barangkali justru memprihatinkan] bahwa para
pengarang [fiksi, terutama novel] Melayu hampir selalu mengangkat unsur-unsur
kemelayuan dalam buah karyanya, atau lebih tegas lagi: “manusia dan dunia
Melayu”. Dari sudut pandang kritis ini seolah-olah menunjukkan semacam fakta
bahwa banyak pengarang Melayu yang belum mampu keluar dari tempurung
kura-kuranya; seolah-olah takut dengan “dunia luar” sana, masih sentiasa rindu
dan nyaman dengan tempurungnya yang sesungguhnya berat itu, seolah
diseret-seret dengan lenggang “serampang dua belas”, dalam gerakan maju dan
mundur serta ke kiri dan ke kanan tiada henti. Di samping itu sedikit sekali
novel yang berhasil dilahirkan.
Tapi
makalah ini tidak bermaksud mengulas hal itu. Justru melalui tiga di antara
novel-novel itu makalah ini mencoba mencari barangkali ada hubungan yang logis
antara pengarang-novel-realita Melayu, yang barangkali dengan itu kita sebagai
Manusia Melayu dalam Dunia Melayu terkini dapat menemukan dan meletakkan
eksistensi yang tepat dalam Realita Dunia terkini. Tak usah pusingkan kalimat
hiperbola ini, anggap saja sudah mengerti dengan sendirinya.
Mari
kita menari-nari.
Manusia
Melayu
Siapakah
Manusia Melayu itu?
Ini
sesungguhnya pertanyaan yang sama “berat-berat-ringannya” dengan pertanyaan
siapakah Manusia Jawa itu, atau siapakah Manusia Filipina itu, apalagi siapakah
Manusia Amerika itu. Pandangan-pandangan berdasarkan antropologi, etnologi,
etnografi, antropologi budaya, linguistik, atau bahkan kajian DNA dapat
memenuhi ruang diskusi kita ini, melayang-layang kian kemari hingga membikin
kepala kita semua pening.
Kadang
(atau sering?) kita [seolah] tahu belaka [kadang dengan begitu mudahnya] siapa
di antara kita ini yang orang Melayu, Jawa, Filipina, atau Amerika. Aneh,
bukan?
Mahathir
Mohamad (MM) sendiri dalam The Malay
Dilemma tidak pernah mendefenisikan secara tegas siapa itu Manusia Melayu
yang menjadi sorotannya. Dia hanya sempat menguraikan dengan cukup
panjang-lebar dalam konteks antropologi, dan terutama dari sisi antropologi budaya;
serta sedikit melalui kajian etnologi dan etnografi. Oleh karena makalah ini
menyangkut hubungan manusia dan kesusastraan, maka rasanya lebih tepat [paling
tidak untuk sementara ini] mengedepankan pendekatan dari sisi antropologi
budaya tentang siapakah Manusia Melayu itu. Bila ingin melakukan pendekatan
lain, bahkan melalui kajian genetika atau arkeologi misalnya, kita [Manusia Melayu]
bahkan barangkali bisa bermegah-megah dengan mengatakan bahwa kitalah pewaris
utama peradaban Atlantis yang melegenda itu, bila menyimak Stephen Oppenheimer
(Eden in The East, 1998) dan Arysio
Santos (Atlantis: The Lost Continent
Finally Found, 1997).
Dalam
buku yang terbit pertama kali tahun 1970 itu, MM menulis bahwa orang Melayu itu
“bersifat sopan-santun dan tidak suka menonjolkan diri ... lebih suka mengalah
dan memberi hormat .... Sudah menjadi kebiasaan orang Melayu untuk undur ke
tepi dan memberi jalan untuk orang lain lalu ... orang Melayu bersedia
memaafkan [terhadap tamu/orang asing – Pen.] .... Memalukan tetamu adalah suatu
perbuatan yang buruk ....” (referensi 1982: 139); suka merendah diri (140); dan
memendam perasaan tidak puas hati (142).
MM juga
menulis bahwa “hidup semata-mata untuk keseronokan tidak mempunyai tempat di
dalam etika hidup orang-orang Melayu. Keseronokan baik fizikal maupun mental
adalah dipandang rendah. Sesuatu kerja ... ialah untuk mendapatkan keredaan
Tuhan dan kebaikan di mata manusia”. (182)
UU
Hamidy (UUH) pula dalam Jagad Melayu Riau
terlebih dahulu membedakan antara istilah manusia dengan orang. Menurut UUH
(2004: 4) manusia lebih kepada
pengertian “tipe atau bentuk makhluk”, sedangkan orang dalam hal “penampilan budaya”; sembari memberikan contoh
turunan dari kata-kata tersebut. Namun menurut Penulis, bagaimana pula bila
kata manusia yang diturunkan menjadi kemanusiaan yang memiliki pengertian
yang mendalam dan bukan sekadar fisikal itu? KBBI sendiri menjelaskan
lema manusia sebagai makhluk yang
berakal budi (2002: 714). Oleh karena kecenderungan itu, maka Penulis lebih
suka menjudulkan makalah ini dengan “Manusia Melayu”, namun juga bukan vis a vis terhadap “Orang Melayu”.
Sedikit
ulasan berdasarkan kajian antropologi dan etnologi juga ditampilkan UUH dalam
bukunya itu dengan menjelaskan tentang adanya penggolongan Melayu Tua (proto Melayu) dan Melayu Muda (deutro Melayu), yang sesungguhnya masih
berkelindan dengan ras Austronesia dan berbagai istilah lainnya, apalagi bila dikaitkan
dengan kajian lingustik. Dalam pandangan umum, kita – Melayu masa kini –
agaknya adalah kelindan antara proto
dan deutro itu.
Namun itu adalah penggal pertama tentang
pengertian Orang Melayu menurut istilah UUH. Penggal kedua adalah “pihak yang telah
nikah-kawin dengan puak Melayu tua maupun Melayu muda” (8). Sedang penggal
ketiga, “dalam rentang yang lebih panjang, mungkin saja seseorang atau sesuatu
keluarga menyebut dirinya orang Melayu karena telah begitu lama menetap ...
[dan] dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dan budaya Melayu ....” (9). Untuk
kategori ini UUH menyontohkan Lebai Wahid (ayah Soeman Hs); sementara Penulis
sendiri bolehlah agaknya menyontohkan keluarga istri Penulis yang berasal dari
Bali itu.
Menurut
UUH: resam, adat, dan agama Islam telah merupakan 3 sistem nilai yang mendasar
dalam kehidupan orang Melayu di Riau. UUH menyebut antara lain ada 14 orientasi
nilai tradisional yang penting, seperti: sederhana dalam penampilan hidup,
martabat atau harga diri berada di atas nilai kebendaan, harta itu yang utama
berkahnya bukan jumlahnya, jujur, dan seterusnya (17-20); yang nampaknya
sejalan dengan hasil pengamatan MM di atas. Sistem nilai sendiri adalah
“semacam jaringan yang terdiri dari sejumlah norma-norma atau kaidah-kaidah
maupun seperangkat kelaziman yang melingkupi kehidupan suatu masyarakat” (48).
Dalam sistem nilai itu, oleh orang Melayu nilai-nilai agama Islam dipandang
sebagai barometer terhadap nilai-nilai yang lain, seperti adat dan tradisi
(49). Sistem nilai adat bersempena keselarasan antar-manusia, sistem nilai
tradisi pula bersempena keharmonisan antara manusia dengan alam (51).
Uraian
UUH di atas jelas sejalan dengan Ediruslan Pe Amanriza2) yang menyebutkan
“ada 3 sistem nilai yang penting dalam budaya Melayu. Pertama, sistem nilai
agama (Islam) .... Kedua, sistem nilai adat .... Ketiga, adalah tradisi”.
Tabrani
Rab (TR) pula dalam “Kepribadian Melayu”3) menjelaskan yang dimaksudkan dengan pribadi Melayu adalah pribadi (Penulis
kira dalam bentuk kata sifat, yang anehnya tidak tertera dalam KBBI 2002) orang Melayu yang dibentuk
oleh sistem budayanya (453). Uraian ini menimbulkan sedikit kekaburan menurut
Penulis, yang memberikan residu pengertian bahwa ada orang Melayu (dalam
konteks genetika, lingustik, dll.) yang tidak dibentuk oleh sistem budayanya
[yaitu Melayu]. Bagaimana menjelas-kannya?
Budaya Melayu menurut
TR menitikberatkan [perilaku bagi orang Melayu – Pen.] timbang rasa sebagai supra
sistem dan titik berat sosialisasi dalam adat-istiadat adalah untuk menjaga
keharmonisan. Orang Melayu yang baik selalu merendahkan diri dan tidak
menonjolkan diri, tidak mau memaksakan kemauannya, serta bersedia kompromi
(467). Penjelasan ini nampaknya sejalan dengan narasumber-narasumber di atas.
Namun menurut
pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed., 2007) ada beberapa persoalan di sini;
yang mudah-mudahan dapat kita kaji – setidak-tidaknya sebagai komparasi – dalam
halaman-halaman selanjutnya.
3 Novel
Dalam
perasaan agak megalomania bolehlah pula kita bersetuju dengan Harry Aveling4) yang mengatakan bahwa “Bahasa Indonesia adalah Bahasa
Melayu yang digunakan oleh warganegara RI. Sastra Indonesia adalah salah satu
cabang sastra Melayu”; sejalan dengan yang didaku-daku oleh kebanyakan penulis Melayu
[Riau]; namun bisa bikin mendelik mata kawan-kawan lainnya. Bila dilihat dari
sudut pandang historiolinguistik atau bahkan paleo-linguistik agaknya memang
demikianlah adanya; tapi tentu bisa lain bila disorot dari sudut politik atau
lainnya.
Frasa
warna lokal atau lokalitas atau local
content sempat tenar di awal-awal era Reformasi, tak terkecuali dalam
bidang sastra, sebagaimana terlihat di antaranya dalam tema yang diusung
Kongres Cerpen Indonesia 2005. Tak cukup mudah sesungguhnya mendefenisikan apa
itu lokalitas dalam konteks
kesusastraan. Subagio Sastrowardoyo (SS) (1999: 81) menulis bahwa “yang memberi
warna lokal bukan hanya pemakaian bahasa (kata dan ungkapan) setempat saja,
tetapi juga cara berpakaian, adat-istiadat, tingkah laku, cara berpikir ....”
dan seterusnya. SS membedakan antara local
color writing (tulisan warna lokal) dengan regionalism (sastra kedaerahan; yang berbeda dari sastra daerah yang ditulis [sepenuhnya –
Pen.] dalam bahasa daerah.
Menurut
SS (81-82), “sastra kedaerahan dalam mempergunakan warna lokal hendak
melukiskan secara tepat bagian geografi tertentu dengan menguraikan kebiasaan,
bahasa, adat-istiadat, sejarah, cerita rakyat, dan kepercayaannya”. Yang juga
tidak kalah penting dalam konteks ini menurut SS adalah bahwa pengisahan itu
tidak dapat dengan semena-mena dipindahkan begitu saja wilayah geografisnya
tanpa merusak ceritanya. Jadi ada semacam relasi yang begitu kuat dan niscaya
antara pengisahan dengan unsur-unsur geografis. SS kemudian memberikan semacam
simpulan bahwa “Nilai sastra pada karya-karya berwarna lokal harus dicari pada
sastra kedaerahan itu, bukan pada tulisan
warna lokal yang sekadar dikarang demi keganjilan warna lokal itu belaka”.
Namun
dari makalah-makalah yang disampaikan dalam Kongres Cerpen itu kita dapat
melihat beragam pandangan berkaitan dengan persoalan lokalitas itu, mulai dari:
“menjadi lokal, tidak lain tidak bukan menjadi pribumi bagi tema-tema sastra
yang diangkat” (Agus R Sarjono, “Estetika Lokal dan Lokalitas Cerpen
Indonesia”), Maman S Mahayana (“Perjalanan Estetika Lokal Cerpen Indonesia”)
yang memaparkan lokalitas dalam beberapa konsep serta kisah panjang lokalitas
dalam cerpen-cerpen Indonesia, Nirwan Dewanto yang membahas lebih dalam
problematika [istilah] lokalitas (“Problem Lokalitas”), hingga Gus tf Sakai
yang justru mempertanyakan eksistensi lokalitas itu (“Lokalitas Minangkabau”);
dan banyak lagi pemakalah lainnya.
Tetapi
kita tidak akan membahas persoalan lokalitas itu lebih jauh lagi. Hal ini
sekilas diangkat hanyalah sebagai prolog bagi pembahasan ketiga novel berikut,
yang dalam banyak segi mengandung unsur-unsur kedaerahan yang cukup [atau
bahkan begitu] kental; paling tidak sebagaimana yang dipaparkan SS di atas.
Ketiga
novel yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: Dikalahkan Sang Sapurba (DSS) karya Ediruslan Pe Amanriza (EPA), Gelombang Sunyi (GS) karya Taufik Ikram
Jamil (TIJ), dan Tun Amoy (TA) karya
Marhalim Zaini (MZ). Dalam konteks pengarangnya, pemilihan ini agaknya dapat mewakili
3 generasi yang berbeda, barangkali juga gaya, dan fokus perhatiannya. Namun,
yang harus diingat adalah bahwa pembahasan ketiga novel tersebut dalam makalah
ini tidak ada sama sekali kait-mengait dengan hal kualitas kesusastraan yang
disandangnya. Makalah ini hanyalah semata bermaksud menelisik unsur-unsur
kemelayuan yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah dijelaskan di muka,
berikut konteksnya dalam realitas kemelayuan terkini – yang semoga saja ada
faedahnya.
Dikalahkan
Sang Sapurba
Sinopsis ringkas novel ini kira-kira
dapat dinarasikan sebagai berikut. Ada sebuah desa bernama Mahato di [Kab.] Rokan
Hulu, Riau. Suatu masa dulu kawasan di lingkungan Desa Mahato ini terkenal dengan
hasil hutannya, terutama kayu meranti pada masa HPH dan HPHH. Berakhir kejayaan
kayu, tak lama kemudian mun-cul pula era ikan kahyangan atau arwana dalam
kegiatan ekonomi karena di dalam sungai tasik dan danaunya ikan-ikan arwana
yang mahal itu beranak-pinak. Tak lama tumpas pula era arwana, sampailah
kemudian menjelang datang rayuan kebun kelapa sawit.
Adalah Tri Gondo, seorang pengusaha
yang bertulang punggung penguasa [daerah] bermaksud mendirikan perkebunan
kelapa sawit sebagai ekspansi usahanya. Oleh karena tanah Riau sudah
dikapling-kapling dengan spidol berwarna-warni hampir di semerata tempat, Tri
Gondo akhirnya terpaksa mencari tanah tersisa di celah-celah yang ada. Pilihan
kemudian jatuh ke wilayah hutan di lingkungan Desa Mahato itu.
Tri Gondo kemudian bermain mata dengan
Datuk Bandar (Wali Desa Mahato) dan Aris untuk mengusahakan perolehan tanah
penduduk, dengan rayuan dibangunkan kebun kelapa sawit sehingga kelak dapat
menyejahterakan mereka; sebagaimana yang konon telah terjadi di berbagai
wilayah di sekitar desa mereka. Beberapa penduduk berminat, sebagian lainnya
tidak; sehingga luasan lahan yang dapat dikelola tidak memuaskan Tri Gondo yang
bahkan kemudian mengklaim merasa telah dirugikan.
Konflik pun muncul ketika Tri Gondo
yang merasa tidak puas kemudian mendesak Datuk Bandar dan Aris untuk segera
dengan berbagai cara mendesak penduduk yang tersisa agar mendapatkan tambahan
luas lahan, namun para datuk dan penduduk itu bergeming – tetap pada pendirian
mereka. Konflik pun kian memuncak ketika Tri Gondo mengintervensi dengan menda-tangkan ratusan orang entah dari mana untuk membuka
lahan secara paksa, dan bahkan dengan menggusur lahan penduduk. Maka keributan
antara penduduk Desa Mahato dan para pekerja Tri Gondo pun tak terelakkan,
hingga bahkan terjadi kebakaran kampung. Di tengah-tengah itu disisip pula
kelindan kisah percintaan antara Aisyah dan Ahmad yang guru ngaji di desa
transmigran Meranti Kabung (di lain bab tertukar Meranti Kudung), perjodohan
Aris dan Aisyah, “perjodohan” Aris dengan Rohani (anak Datuk Bandar).
DSS (pemenang kedua Sayembara Roman DKJ 1997) adalah sebuah
novel yang sarat dengan warna lokal sebagaimana menurut SS di atas, dipadu pula
dengan hikayat Sang Sapurba sebagaimana disampaikan tukang koba Wak Kadih. Maka
aroma Manusia Melayu pun membuncah dengan kental di sepanjang pengisahan novel
ini.
Orang
Melayu [tradisional] yang percaya akan tahayul cukup menyebar di dalam novel
ini, seperti tentang mitos Sang Sapurba, atau pertanda-pertanda alam sehubungan
dengan kejadian yang akan atau telah berlaku (3). Kepercayaan tahayul ini
sebenarnya adalah sisa-sisa peninggalan masa animisme, dan sekarang nampaknya
sudah mulai terkikis habis, sebagaimana juga dilansir EPA dalam novelnya ini.
Belitan
persoalan ekonomi yang berkelindan dengan nilai-nilai tradisional juga
dibentangkan dengan cukup luas. Pernyataan UUH tentang pandangan tradisional
puak Melayu terhadap harta benda / ekonomi bahwa “yang utama ialah berkahnya,
bukan jumlahnya” (2004: 12) dan “pakailah sekadarnya, agar tahan lama, sehingga
sampai kepada anak-cucu” (2004: 13) agaknya mendapat pembenaran yang sepadan di
dalam novel ini; ketika EPA menulis: “Tapi wilayah perladangan dan pertanian
yang dibuka warga transmigran di seberang tak pernah mendorong penduduk Mahato
untuk berladang dan bertani secara sungguh-sungguh” (17), atau “..., tapi apa
gunanya taraf hidup duniawi yang meningkat, kalau semuanya dikerjakan dengan
cara melanggar nilai-nilai adat yang selama ini mereka pegang teguh.” (119).
Namun
pada saat yang sama, pernyataan UUH itu, dan juga klaim MM yang mengatakan
bahwa “Keseronokan baik fizikal atau mental adalah dipandang rendah. Sesuatu
kerja ... hanyalah kesopanan dan tanggungjawab yang menggerakkannya ... ialah
untuk mendapatkan keredaan Tuhan ....” (1982: 186) mendapatkan tantangan pula
dari EPA ketika ia menulis “... pola hidup masyarakat pun ikut menjadi
terpesong arahnya kepada nafsu serakah ingin mengambil kesempatan untuk menjadi
kaya.” (39), atau ketika ia menampilkan tentang keserakahan Orang Kaya Gemang
(36, 40), atau Datuk Bandar dan Aris (yang di akhir kisah mendapatkan jatah
kebun sawit masing-masing 10 ha).
Pandangan
tradisional puak Melayu terhadap kerajaan (pemimpin – Pen.) menurut UUH yang
menyebutkan bahwa kerajaan itu adalah alat untuk melindungi yang lemah dari
penindasan yang kuat (2004: 10) serta menghendaki pemimpin yang tajam berpikir,
bijaksana, serta orang yang taat melaksanakan ajaran Islam (2004: 11) mendapat
tantangan pula di dalam novel ini. Datuk Bandar sebagai Wali Desa jelas tidak
memainkan peran sebagai pemimpin [Melayu] yang diharapkan. Tergoda oleh
kebendaan, Datuk Bandar – bersama Aris (sebagai representasi pemimpin muda) –
memperdayai penduduknya sendiri untuk memenuhi nafsu Tri Gondo menguasai lahan;
meskipun boleh saja dia berlindung dengan kilah dalam rangka meningkatkan
perekonomian warganya. Di akhir kisah, Orang Kaya Gemang bahkan mencurigai
orang-orang Datuk Bandar dan Aris-lah yang sebenarnya telah membakar habis desa
mereka.
Perilaku
Datuk Bandar ini pun kemudian diperburuk dengan tingkahnya yang terlihat
plin-plan macam baling-baling di atas bukit (152), serta ancamannya untuk Orang
Kaya Gemang (116). Karena itulah lalu muncul pendapat warga tentang Datuk
Bandar ini: “.... Mengapa pula sebagai orang didahulukan selangkah dan
ditinggikan seranting, dia ikut melonggarkan sendi-sendi adat dan tradisi yang
berlaku di sini.” (120).
Namun
di satu sisi, EPA masih memberi ruang dan harapan pada kekuatan adat dan
tradisi untuk mengelola Alam Melayu ketika menulis: “Bagaimana pun berkuasanya
Wali Desa dari segi pemerin-tahan, namun rencana atau program apa pun, baru
bisa dijalankan kalau para pucuk suku sudah mengangguk sebagai tanda
persetujuan mereka.” (131)
Sifat
Manusia Melayu yang sopan-santun, suka menyam-paikan sesuatu dengan cara tidak
langsung, misal melalui kias-kias, pantun-pantun, perumpamaan-perumpamaan
(HSAP, 2007) cukup bertebaran luas di dalam novel ini. Bersifat sentimentil dan
introver dapat ditemukan pada diri Aisyah dan Orang Kaya Gemang.
EPA
di dalam novel ini agaknya juga sempat menyanggah MM dengan mengatakan bahwa
tradisi minum kopi yang sudah berlangsung ratusan tahun dalam masyarakat Melayu
itu bukanlah merupakan kebiasaan hidup berleha-leha seperti kebanyakan anggapan
orang, melainkan karena kedai kopi adalah semacam pusat informasi, untuk
mendapatkan dan memberi kabar tentang berbagai macam hal, naik-turunnya harga
getah, dst. (162). Namun ini tentu berlaku pada masa teknologi komunikasi dan
informasi belum secanggih seperti sekarang ini.
Terakhir,
yang cukup menonjol adalah paparan UUH tentang proses tingkat emosi orang
Melayu (2004: 15) yang terentang dari menghindar/rajuk hingga amuk yang rupanya
cukup terelaborasi di dalam novel ini dalam takaran yang cukup sublim. Hal yang
sesungguhnya sekarang ini sudah sangat jarang ditemukan untuk sampai ke level
merah itu.
Gelombang
Sunyi
Tidak
sebagaimana Dikalahkan Sang Sapurba
yang kental nuansa realisme, dalam Gelombang
Sunyi unsur-unsur yang dapat mendukung tesis tentang Manusia Melayu itu
terasa samar kehadirannya, atau mungkin begitu sublim. Pembaca akan cukup sulit
untuk menemukan narasi-narasi dan atau dialog-dialog yang dapat secara nyata
dibentangkan dalam konteks itu.
Sinopsis
ringkas novel yang terkesan muram dalam bentuk [menyerupai] cerita berbingkai
ini kira-kira dapat dinarasikan sebagai berikut. Ada dua cerita utama
sebenarnya yang dikisahkan oleh pengarangnya, yang saling berkelindan –
terutama dalam minda. Yang satu adalah pengisahan tokoh aku yang berprofesi sebagai seorang wartawan; yang lainnya –
menurut pengetahuan Penulis – mengisahkan tentang masa-masa akhir Kerajaan
Riau-Lingga (1911) dengan kisah eksodus besar-besaran dari Penyengat ke
Singapura dan Malaka. Penulis menduga agaknya novel ini oleh pengarangnya (TIJ)
diniatkan menjadi semacam sequel dari
novelnya terdahulu, Hempasan Gelombang.
Novel
dibuka dengan suasana muram – bahkan gelap [dalam arti yang sesungguhnya maupun
metafor] – yang nyaris menyelimuti seluruh pengisahan, di mana diceritakan
tokoh aku berada di dalam penahanan
entah siapa, dalam kondisi fisik yang luluh-lantak. Keadaan ini dialami tokoh aku karena sebagai seorang wartawan ia
sebelumnya telah meliput berita yang berkaitan dengan perampasan lahan/tanah
penduduk oleh pengusaha/penguasa [yang
sudah berkali-kali dilakukannya dalam banyak kesempatan]. Dalam pengi-sahan
nampaknya beberapa [oknum] tentara telah menciduknya dan kemudian
menginterogasi, mengintimidasi, dan menyiksanya untuk memperoleh informasi atau
pengakuan tertentu.
Dalam
pada itu tokoh aku
teringat/terbayang/termimpikan/ terasuki oleh kisah pendudukan Belanda di
Penyengat yang akhirnya berujung pada tamatnya riwayat Kerajaan Riau-Lingga
itu. Sultan [Abdul Rahman II Muadzam Syah - ?] tidak bersedia menanda-tangani
perjanjian penyerahan yang disodorkan Belanda demi menjaga marwah, dan ia
beserta keluarganya kemudian mening-galkan Penyengat. Peristiwa ini kemudian
disusul dengan eksodus besar-besaran penduduk Penyengat, terutama ke Singapura.
Meskipun
berbeda latar waktu dan peristiwa, TIJ agaknya meregangkan seutas benang merah
di antara keduanya. Yaitu perampasan lahan/tanah/wilayah oleh yang tidak
berhak; yang kebetulan lebih berkuasa/kuat. Di akhir kisah, seperti kita tahu,
Kerajaan Riau-Lingga berakhir; sementara tokoh aku kemudian dilepaskan – namun dengan beban intimidasi.
Persoalan
tahayul/mitos yang “melilit” Manusia Melayu tradisional – yang oleh MM disebut
salah satu penghalang kemajuan – juga dapat ditemukan dalam beberapa tempat di
dalam novel ini, seperti: peristiwa hamilnya Imah (15), tentang hantu Kupik
yang begitu menakutkan di masa kecil tokoh aku
(16), atau tentang burung cicilak (73).
Orang
Melayu yang dikatakan sentimentil, introvert, dan bercakap dengan kiasan atau
bahkan sindiran nampaknya dapat ditemukan dalam perkataan tokoh aku ketika berada dalam tekanan berikut:
“Lantaklah, cecuplah darahku, isaplah darahku ....” (57); atau “Siapakah orang
yang budiman baik hati sepenuh bola bumi, sehingga sudi menampar saya, tolong
jelaskan mengapa saya diorangkan, diperlakukan dengan santun?” (19) – meskipun
kemu-dian dengan cepat beralih dan berbalik menjadi kemarahan dan per-lawanan
[dalam gelap], yang nampaknya menunjukkan suatu proses dari rajuk ke amuk
menurut UUH itu, hingga sampai keluar kata-kata: “Hanjing5) .... Berani
menampar orang dalam gelap ....” (21).
Kisah
perampasan tanah penduduk [Melayu] dalam novel ini terlihat sejajar dengan DSS, seperti terlihat dalam “...
perampasan tanah yang dilakukan perusahaan besar nasional terhadap tanah-tanah
milik Kahar dan kawan-kawan ..., terjadi huru-hara di kampung tersebut.
Orang-orang kampung dituduh menyerang perusahaan ....” (113). Atau dalam “...
tapi mengapa kebun rakyat dan hutan ulayat yang dibabat? Mengapa tidak cari
hutan lain saja?” (57); yang terselip pula sedikit kearifan budaya tentang
pelestarian hutan seperti urai UUH. Sementara dalam cakupan wilayah yang lebih
luas, tergambar pula dalam pernyataan Sultan Riau-Lingga [dalam mimpi/tidur
anak sang tokoh aku] berikut,
“Kafir-kafir itu tidak akan dapat memaksa kita menyerahkan kerajaan.” (29).
Hal
ini pula nampaknya muncul sumir dalam dialog “.... Pikiran lokal dianggap
sebagai hantu jembalang, ....” (93), dan “Dalam contoh konkretnya, seperti yang
aku hadapi, pendatang baru haruslah tunduk dengan tatanan yang ada pada wilayah
yang didatanginya ....” (93).
Kesejajaran
kisah perampasan dalam kedua novel itu ternyata bersanding juga dengan nuansa
pendapat yang mengatakan bahwa orang Melayu suka terpesona kepada
orang/pemimpin [dari] luar yang selalu dianggap lebih hebat, lebih sakti, lebih
pintar; yang di dalam novel ini dapat ditemukan dalam dialog – yang justru
disampaikan oleh Residen Bruinkops yang Belanda itu [meskipun tentu dengan
tujuan tertentu] kepada Abu Muhammad Adnan (salah satu petinggi Kerajaan?),
yaitu: “... bahwa seharusnya Riau tidak menaruh harapan terlalu besar kepada
Jepun. Masalahnya, Jepun juga adalah bangsa asing yang senantiasa berhitung
untung-rugi suatu perkara ....” (145); sehubungan dengan rencana para petinggi
Riau-Lingga untuk meminta bantuan Jepun dalam upaya menghadapi Belanda.
Menurut
Penulis, yang nampaknya luput dari perhatian MM adalah kenyataan secara
tradisional Manusia Melayu selalu memiliki marwah diri yang tinggi, meskipun
secara kontradiksi seringkali berlaku merendahkan diri serta tidak suka menonjolkan
diri sendiri. Dalam novel ini, marwah diri ini muncul dalam pernyataan Sultan:
“Kafir-kafir itu tidak akan dapat memaksa kita menyerahkan kerajaan. Anak-anak
cucu kita kelak akan tahu bahwa walau kalah, kita tidak pernah menyerahkan
marwah bangsa.” (29). Namun, di lain pihak muncul pula semacam “pengkhianatan”
dari para petinggi Melayu, dalam dialog Yam tentang mengapa Kria (suaminya)
sampai beriya-iya merasa dirinya seorang pejuang, “... padahal banyak
datuk-datuk dan para amir justru menghadap Belanda di Tanjungpinang setelah
Sultan menghilang. Mereka bahkan membuat pernyataan setia kepada Hindia
Belanda, kemudian bergambar bersama dengan senyuman mengembang.”6) (128). Meskipun kemudian ada semacam “penjelasan”
tentang hal ini.
Kedua
pengisahan utama dalam novel ini tokoh-tokoh utamanya mengalami kekalahan.
Namun kekalahan yang bermarwah seperti yang disampaikan Sultan di atas, sembari
tetap “.... Perjuangan membela kemuliaan manusia akan terus dilakukan. Ini tak
bisa ditekan, tak bisa diredam ....” (114).
Tun Amoy
Dibanding
DSS dan GS, membaca Tun Amoy entah
kenapa Penulis merasa seperti berada di antara keduanya. TA juga mengusung “aliran” realisme7), meskipun tak sekental DSS8); pada saat yang
sama TA juga terasa menyuruk
kesan-kesan impresionisme sebagaimana GS,
terutama di bagian-bagian awal yang mengalir secara liris, serta kelindan
cerita utama dengan pengisahan mitos/sejarah Hang Nadim. Dalam TA juga kita dapat menemukan limpahan
muatan-muatan kultural, baik yang bersifat kebendaan maupun non-kebendaan,
sehingga nyaris terasa sesak-mampat. Andai saja novel ini sedikit lebih
panjang.
Ada
satu hal lagi yang menarik. Di dalam novel ini nampaknya tidak ada satu pun di
antara tokoh-tokoh utama yang berdarah “murni” Melayu!
Sinopsis
ringkas novel TA lebih kurang dapat
dibentangkan sebagai berikut. Tun Amoy adalah nama tokoh utama, seorang gadis
(!) yang bernama asli Tunjiana. Tun Amoy sesungguhnya adalah anak biologis Tuk
Daeng (Bugis?) dan Yoko (Jepang), namun Tun Amoy sendiri tidak mengetahuinya
hingga akhir kisah, demikian juga dengan Yoko. Ketika masih kecil (saat Yoko ke
Surabaya), oleh Tuk Daeng, Tunjiana diserahkan kepada Wak Dogok dan istrinya
untuk dijadikan anak angkat – hal yang baru diketahui Tun Amoy di akhir kisah.
Wak
Dogok adalah orang Melayu dari Suku Asli (proto
Melayu), dan ia dikenal sebagai seorang dukun, sebagaimana juga Wak Akik
(Jawa), dan Tuk Daeng sendiri.
Konflik
pengisahan berkelindan antara hamil di luar-nikahnya Tun Amoy dan sengketa
nelayan jaring batu vs jaring rawai yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun
– dengan sedikit penyisipan kisah Hang Nadim dan Tun Teja “dalam minda” Tun
Amoy.9) Hamilnya Tun Amoy adalah akibat
perbuatan bejat Wak Dogok, yang baru terungkap di akhir kisah. Untuk menutup
perbuatan mesumnya, Wak Dogok berusaha menikahkan Tun Amoy dengan pemuda
bernama Kantan – sementara Tun Amoy sendiri tengah mengharapkan pulangnya Nadim
dari rantau, seorang pemuda yang telah menjadi “kekasihnya”.
Pengisahan
berakhir tragis ketika Tun Amoy sadar dari pingsannya mendapatkan dirinya dalam
keadaan terikat, sementara di dekatnya pemuda Kantan seperti berada dalam
keadaan kerasukan. Tuk Daeng dan Yoko sendiri tak begitu jelas, apakah
meninggal setelah terjadi badai, atau menghilang.
Persoalan
tahayul/mitos juga muncul di dalam TA
pada beberapa tempat, seperti: “..., kalau tak hendak kampung porak-poranda
oleh badai topan dari Selat Malaka, jangan sembarangan menyebut kata ‘Lancang
Kuning’ (41), atau “Wak Dogok tetap percaya bahwa laut, tanah, pohon, burung,
tanjung, ikan, dan binatang-binatang liar dikawal oleh makhluk halus ....”
(78), atau “Kata orang-orang tua, kalau sehabis nengok orang mati harus segera
mandi dan membersihkan diri, supaya tak kesawan”
(226).
Oleh
karena tokoh-tokoh utama dalam TA
bukanlah orang “murni” berdarah Melayu, maka menarik untuk menyimak pendapat
mereka tentang orang Melayu. Tun Amoy: “Agaknya ini bedanya dengan orang asli
macam kami,10) yang lebih suka
berbelanja dari pada menabung, atau mengelolanya jadi usaha. Prinsip kami, kais pagi makan pagi, kais petang makan
petang, pasti tak berlaku untuk orang Cina.” (10). Wak Akik: “Sikap orang
Melayu yang terkesan keras dan suka mengamuk ini, menurut salah seorang pemuka
adatnya, merupakan ciri khas yang telah bersebati dalam sikap mental orang
Melayu.” (32). Wak Dogok: “Nampaknya hasrat membeli orang kampung ini memang
lebih tinggi dibanding dengan hasrat menjual.” (92).
Sementara
itu, beberapa di antara tokoh-tokoh itu percaya bahwa dirinya sudah “menjadi”
Melayu, sebagaimana pernyataan mereka berikut. Tun Amoy (di samping pernyataan
di atas): “Malah, rasanya lebih senang berkunjung ke rumah orang Cina [saat
perayaan GongXi Fa Choi – Pen.] dari
pada ke rumah kami-kami orang Melayu.” (7-8). Wak Akik: “Karena aku memang
memulai hidup baru di sini. Punya kampung halaman di sini. Hampir
segala-galanya dalam hidupku seperti telah menjadi bagian dari orang Melayu.”
(32). Toke Ojol: “Betul itu, Wak. Aku
ini memanglah orang Tionghoa. Tapi aku ini pun orang Melayu. Tengoklah, anak
aku ada juga yang masuk Islam, dia kawin sama orang kampung ....” (153). Tok
Daeng: “Ia [menggumamkan dirinya sendiri – Pen.] memang Melayu, karena telah
lahir dari rahim seorang Melayu, di tanah Melayu,11) setiap waktu berjuang untuk mempertahankan negeri
Melayu.” (165).
Pernyataan-pernyataan
di atas adalah semacam klaim masing-masing tokoh tentang posisi
“sosio-antropologis” mereka di tengah-tengah Alam Melayu. Meski demikian,
pernyataan itu nampaknya sejajar dan dapat dibenarkan menurut UUH yang melansir
beberapa golongan/kriteria etnis bukan Melayu untuk “menjadi” Melayu;
sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Di
lain pihak, ada pula tanggapan orang-orang kampung (Melayu) terhadap
pendatang-pendatang itu,12) yang muncul dalam
pernyataan demikian: “.... Dan kalian ini. Orang-orang pendatang macam kalian
inilah yang sebetulnya yang jadi punca dari berlarut-larutnya masalah ini.
Kalianlah sebenarnya yang nak memecah orang-orang Melayu di pulau ini!” (152).
Sifat
introver dan tahu diri orang Melayu muncul pula dalam kalimat, “..., lagi pun
orang miskin macam kita ini harus tahu dirilah.” (17). Sementara kearifan soal
pelestarian alam muncul dalam, “Masalahnya, [jaring batu – Pen.] akan merusak
habitat dasar laut seperti terumbu, ....” (33); meskipun dalam konteks
pengisahan pernyataan ini didorong kepentingan tertentu.
Namun,
ada satu “problem besar” yang cukup krusial sebenarnya diangkat MZ dalam TA ini, dalam hal relasi Melayu dan
agama Islam,13) yang dapat kita
temukan dalam monolog Tuk Daeng berikut: “.... Tapi apakah Melayu itu agama,
sehingga Tuhan bertahta di sana? Apakah kalau tak beragama, atau beragama
selain Islam lalu ia menjadi tak Melayu?” (165).
Wacana
arus utama menyebutkan bahwa ada relasi yang tak terpisahkan antara Melayu dan
Islam (MM, TR, UUH, EPA dalam referensi makalah ini). Bahkan UUH menyebutkan
seorang etnis Cina yang tinggal di Alam Melayu dan sudah memeluk agama Islam,
dapat menjadi Melayu (sebagaimana dapat kita temukan dalam suntingan TA di atas). Namun menurut Penulis,
barangkali setidaknya ada perbedaan antara Melayu dalam konteks politis dan
antropologis. Ini akan menjadi/memerlukan kajian yang sangat mendalam, yang
dapat kita percayakan pada para pakar yang berkompeten.14)
Novel
dan Realitas
Adakah
hubungan antara fiksi – atau dalam hal ini novel – dengan realitas? Adakah
maknanya? Adakah relevansinya? Adakah pengaruhnya? Atau, apakah harus?
Pemikiran
tentang hal ini sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama, sehingga menimbulkan
dua ekstrim pendapat yang secara sederhana dapat disebut di satu ekstrim dengan
semboyan “seni untuk seni” dan di ekstrim lainnya “sastra yang terlibat”. Di
Indonesia, dua perbedaan ini sempat mengkristal pada era pergantian dua Orde:
Lama dan Baru.
Dalam
“’T’ dari Tanggung Jawab”, Iwan Simatupang (2004: 332) menyatakan bahwa “tiap
seni adalah organisme mutlak sejak dari mula sekali”. Dengan demikian,
sastrawan eksistensialis15) ini ingin
menyatakan bahwa tiap seni adalah mandiri, dan bila dikembangkan simbol konsep
biologi itu, maka seni itu akan bertumbuh, berkembang, atau bahkan mati
dalam/mengikuti suatu rentang waktu. Ini sejalan dengan yang dikatakannya
kemudian bahwa, “Pengarang cerpen16) hanyalah memberi
arah saja .... Pembaca diminta mengambil bagian mutlak dalam kehidupan (dari
dan dalam) cerpen.” (2004: 333-334).
Akan
tetapi, SS agaknya secara realistis terlihat pesimis, apakah ada interaksi yang
bermakna antara karya sastra dan masyarakat (realitas). Dalam “Relevansi
Nilai-nilai Sastra bagi Masyarakat Modern” (1999: 72-73) SS menulis: “Orang
rupanya merasa terganggu oleh pemikiran yang terlalu dalam tentang kehidupan
yang terkandung dalam karya sastra dan karena itu penerbitan buku-buku sastra
secara komersial tidak menguntungkan.” Lima belas tahun kemudian, kebenaran itu
agaknya dapat kita lihat semakin nyata17) manakala masyarakat [awam] terlihat semakin menggandrungi sinetron18) dan atau produk-produk budaya pop19) lainnya, yang disokong penuh oleh kekuatan
[neo]-kapitalisme.
Gregory
V Plekhanov20) meyakini bahwa
sastra dan seni adalah wadah yang menampung mentalitas sosial suatu masyarakat.
Semua seni ataupun sastra pasti muncul dari sebuah konsepsi ideologis tentang
dunia, dan semua karya sastra berisi ideologi tertentu. Keyakinan Plekhanov ini
tentu berimplikasi pada simpulan bahwa ada relasi yang bermakna antara fiksi
dan realitas.
Sementara
itu, dalam konteks novel, Goldman21) berkesimpulan bahwa
novel adalah sebuah genre sastra yang ciri utamanya adalah adanya relasi yang
tak terdamaikan antara hero atau
tokoh dengan dunianya. Situasi yang tidak terdamaikan menunjukkan hilangnya
nilai-nilai otentik serta dunia yang terdegradasi dan hero yang problematik.22) Pernyataan ini
agaknya terlihat sejalan bila kita lihat dalam ketiga novel di atas, terutama
pada GS dan TA.
Milan
Kundera23) sendiri memandang tugas seorang
sastrawan sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang nyata adalah
untuk menemukan dunia itu. Karya sastra harus menghindarkan diri dari
penggambaran realitas yang hanya merupakan penampakan.24) Karya sastra harus menjelaskan posisi dunia yang
sebenarnya, terutama situasi eksistensial manusia di tengah dunianya.
Namun,
belakangan muncul pertanyaan yang lebih menghentak dalam hal ini, apakah fiksi dan realitas itu? Adakah sungguh perbedaan di antara keduanya? Serta
apakah ada relasi yang bermakna yang dapat kita tangkap – bukan sekadar
“tangkap dan lepas”-nya Amir Hamzah? Pertanyaan-pertanyaan yang sudah mengarah
ke ranah filsafat ini muncul dalam apa yang disebut sebagai alam simulakrum,
hiper-realitas, pasca-realis, dan para-fisika oleh Baudrillard25); yang telah membawa, sastra sebagai sebuah model fiksi,
masuk ke dalam kesejajaran realitas dunia. Realitas sastra menjadi sejajar
secara objektif dan material dengan realitas sosial, dengan bahasa dan sistem
tanda yang dimainkan dalam sastra secara sosial menjadi sama; demikian juga
dengan fakta-fakta imaji dalam sastra dan fakta-fakta individual dalam realitas
sosial. Sehingga memunculkan semacam kesimpulan bagi Baudrillard bahwa
perdebatan antara fiksi-nonfiksi secara sosiologis menjadi sejajar dan
sekaligus menjadi tak penting sama sekali.
Dalam
konteks ketiga novel di atas, makalah ini tidak akan membahas apakah
novel-novel tersebut (masing-masing sebagai satu kesatuan entitas fiksi)
memiliki relasi – atau relevansi – yang bermakna dengan realitas, melainkan –
sebagaimana tujuan awal – adalah untuk [sekadar] menelisik apakah ada hubungan
yang logis antara pengarang-novel-realita Melayu, yang dihubungkan melalui
kutipan-kutipan dan bahasan-bahasan [singkat] di atas.
HSAP sebagai editor,
dalam pengantarnya, menyimpulkan ada 2 perspektif atau paradigma yang digunakan
[oleh para penulis di dalam buku dimaksud – Pen.] dalam menampilkan pemahaman
mereka tentang satu atau beberapa unsur budaya Melayu. Disebutnya sebagai paradigma esensialis dan paradigma kontekstualis. (2007: xl)
Paradigma
esensialis terdiri atas kemelayuan dalam: wilayah, kepribadian, adat-istiadat,
sejarah sistem politik, bahasa, naskah dan sastra, kesenian, teknologi, dan
perangkat simbol. Sementara dalam paradigma kontekstualis, adalah kemelayuan
dalam konteks: relasi historis, fungsional, dan struktural.
Untuk keperluan
makalah ini, Penulis hanya akan mengutip dalam konteks kepribadian dan
adat-istiadat.
Hal kemelayuan dalam
kepribadian, HSAP (2007: xlv) mengantarnya dengan pernyataan bahwa:
“Kesamaan-kesamaan pada pola perilaku dan tindakan inilah yang memungkinkan
seorang peneliti kemudian membuat sebuah abstraksi mengenai pola-pola perilaku
warga suatu kebudayaan, yang dalam antropologi seringkali disebut sebagai ‘pola
kebudayaan’”. Hal kepribadian orang Melayu ini kemudian dirangkumnya berupa:
-
“merajuk” untuk menghindari konflik ketidaknyamanan dalam
interaksi sosial;
-
lebih suka menyampaikan sesuatu dengan cara tidak
langsung melalui kias-kias, perumpamaan, pantun-pantun;
-
lebih suka menahan diri dalam banyak hal, “tahu diri”,
suka “merendah”, “sadar diri”;
-
bersifat sentimentil;
-
berkesan memiliki kepribadian introver;
-
“tolak-angsur”, suka damai dan toleran, relatif terbuka
terhadap suku bangsa lain; dan
-
amuk.
Terhadap bentangan
di atas, HSAP lebih cenderung berpendapat bahwa ciri-ciri kepribadian tersebut
merupakan [atau lebih dominan] untuk (dapat ditemukan) pada pria-pria Melayu
(2007: xliv-xlix).
Dalam konteks
adat-istiadat, HSAP merangkumnya dalam:
-
saling menghormati, yang diwujudkan dalam sopan-santun
dalam bertutur, berpakaian, bergaul;
-
saling memberi, yang diwujudkan dalam aktivitas kebaikan
berupa: menanam budi, menerima budi, dan membalas budi.
Namun, “simpulan” di
atas mendapat tantangan pula dari HSAP (2007: xlix-liii), apakah benar
ciri-ciri itu semua merupakan tanda-tanda eksklusif Manusia Melayu? Menurutnya,
perilaku saling memberi yang merupakan sebuah pertukaran sosial (antropologi: social exchange) juga merupakan fenomena
yang dapat ditemui pada setiap suku-bangsa di dunia. Maka, bisakah ciri-ciri
yang ditemukan di atas [dinayatakan] sebagai ciri khas Melayu? Tampaknya tidak,
karena di kalangan suku-suku bangsa yang lain juga dapat ditemukan bahkan
kadang-kadang terlihat lebih menonjol daripada di kalangan orang Melayu.26)
Bagaimana pula
dengan realitas Manusia Melayu terkini? Apakah ada relasi yang bermakna dengan
ketiga novel di atas sehingga karya sastra itu relevan terhadap realitas
Manusia Melayu terkini? DSS tampaknya
paling dekat dengan realitas Manusia Melayu terkini, barangkali oleh karena ia
berangkat dari sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi – kalau di film-film
Hollywood biasa dilabeli “inspired by
true story”. Klimaks cerita yang mengangkat kekalahan orang Melayu juga
tampaknya sejajar dengan kondisi kemelayuan saat ini.27) Namun, setelah 15 tahun lebih, apakah sudah memiliki
dampak yang bermakna bagi Manusia Melayu?
GS pula, yang topiknya memiliki kesejajaran dengan DSS, juga nampaknya berklimaks dengan
kekalahan orang Melayu – yang bahkan dapat dilihat dalam dua pengisahan yang
diceritakan. GS bahkan lebih muram,
di mana sang tokoh wartawan – di dalam penahanan/penculikan – mengalami
distorsi-distorsi pemikian, atau paling tidak intrusi yang mengalahkan. Daniel
Goleman (1996: 110) mengatakan bahwa “... perasaan telah keluar jalur dan
mengarah menjadi penyakit adalah bila perasaan begitu kuatnya sehingga
mengalahkan pikiran-pikiran lainnya ...; pada orang yang mengalami depresi
klinis, pikiran yang bernada mengasihani diri sendiri dan merana, putus asa,
dan kehilangan pegangan, mengalahkan semua pikiran lainnya”. Agaknya “penyakit”
semacam inilah yang tengah mengungkung Manusia (sastrawan) Melayu umumnya, yang
tampaknya masih saja menyeret-nyeret cangkang kura-karanya, sembari meringis
dan menangis memilukan hati – tetapi juga sekaligus pada saat yang sama
terkagum-kagum pada ukiran indah yang sudah tergurat di cangkang itu.
TA tampaknya lebih bercerita secara personal. Tak ada tema
“besar” yang dijadikannya konflik, selain pertelagahan nelayan dan imaji Hang
Nadim dan Tun Teja.28) Namun dalam
“kepersonalan” itulah sesungguhnya MZ mengangkat relung-relung kemelayuan dalam
kesubliman. Persoalan Manusia Melayu menelusup dan menyusup di antara gumaman,
isak tangis, kemarahan, bahkan kebekuan. Namun, oleh karena pola ini yang
digunakan, agaknya hal ini membuat novel ini terasa semakin berjarak dengan realitas;
belum lagi bila ditemukan kenyataan bahwa tidak ada tokoh utama yang
“benar-benar” berdarah Melayu. Tapi, di lain pihak, hal ini justru memberikan
sudut pandang yang unik untuk kita meraba-raba bagaimana kira-kira pandangan
orang bukan Melayu terhadap orang Melayu. Pandangan diri kita terhadap diri
kita sendiri yang disampaikan kepada orang lain (“subjek subjektif”),
seringkali sesungguhnya tidak bermakna. Maka pandangan orang bukan Melayu ini
dapat menjadi masukan yang berharga, dan di alam realitas dapat diolah secara
lebih bermanfaat.
Kesimpulan yang
boleh jadi dapat ditarik dari ketiga novel di atas adalah bahwa sesungguhnya
sedang ada krisis dalam Alam Melayu [Riau].
Dulang
Ditangkup
Sesungguhnya EPA sudah mengangkat
persoalan Manusia Melayu ini dalam “Budaya Melayu dan Tantangan Zaman”29) dengan menyatakan bahwa “Krisis itu boleh jadi dalam
bentuk ketidakfahaman pemimpin-pemimpin masyarakat Melayu sekarang terhadap
nilai-nilai yang dikandung oleh budaya Melayu itu.” Bagaimana kondisinya satu
generasi kemudian (20 tahun) dalam kenyataan? Apakah pendapat itu masih
relevan? Menyimak ketiga novel di atas (paling mutakhir, TA yang dirilis 2008 dan GS
2009) tampaknya masih mendukung pernyataan itu.
Mahdini pula, dalam
“Budaya Melayu: Masa Lalu, Masa Kini, dan Akan Datang”30), melihat keadaan yang kontradiktif sekaligus memiriskan
bagaimana “Orang-orang Melayu mundur dan kembali kepada budaya dan agama
mereka, namun dengan pandangan yang sempit. Mereka tetap melihat ke Timur
Tengah untuk mendapatkan inspirasi dan bimbingan, namun Timur Tengah juga
sedang kewalahan menghadapi penjajahan ....”
Kenyataan beberapa
tahun belakangan, seiring pertumbuhan otonomi daerah – kita dapat melihat
bagaimana di seluruh wilayah dibangun apa yang disebut sebagai Islamic Center dengan bangunannya yang
megah-megah dan [sangat] mahal, orang-orang berebut berpakaian ala Timur
Tengah, jilbab dan hijab, pengajian dan maghrib bersama – namun, apakah ada
maknanya dalam kehidupan nyata, dalam realitas Manusia Melayu masa kini, apalagi
bila ingin dikomparasikan dengan kearifan-kearifan tata-laku yang konon telah
mendarah-daging dalam masyarakat Melayu – seperti yang dapat dilihat dan banyak
diangkat dalam tulisan-tulisan peneraju kebudayaan Melayu [Riau] ayahanda
Tennas Effendi? Sementara pada saat yang sama, sudah puluhan tahun pula, dalam
peradaban modern, bagaimana konflik-konflik di Timur Tengah timbul dan
tenggelam tanpa mereka dapat selesaikan dengan kearifan Agama Islam.
Di lain pihak pula
MM mengklaim bahwa pada umumnya sistem nilai dan tata susila orang Melayu-lah
yang menjadi halangan kepada kemajuan mereka sendiri (1982: 205). Orang Melayu
masih bersifat feodal walaupun mereka telah menerima pendidikan modern dan
mempunyai keahlian dalam politik (1982: 124). Bagi pemimpin-pemimpin bukan
Melayu mereka melihat perilaku sopan-santun dan perasaan takut orang Melayu
kepada huru-hara adalah kelemahan yang dapat dimanfaatkan dan bukan untuk
difahami (1982: 144). Dalam banyak kesempatan di dalam bukunya itu MM
memaparkan bagaimana hal itu menjadi kesimpulannya.
Namun
kebudayaan tidaklah bersifat statis. Sejalan dengan EPA31) yang berpendapat “... sesungguhnya budaya Melayu
sentiasa boleh disesuaikan dengan pembaharuan, pertumbuhan, dan perkembangan,
asalkan hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
terkandung di dalamnya”. Kata EPA selanjutnya, “Kelenturan budaya Melayu boleh
kita lihat pada struktur dan keterbukaan sistem bahasanya.”
MM pula
jauh sebelumnya juga sudah melansir kemungkinan ini32) dengan menawarkan bahwa “Jika orang-orang Melayu hendak
dipulihkan semula, maka semua sikap dan nilai yang telah membawa kepada dilema
mereka sekarang mestilah dikaji dan dinilai dan di mana yang perlu ditinggalkan
atau diubah.” (1982: 136)
Menurut
Penulis, kebudayaan adalah inti peradaban. Pendapat ini Penulis rasa sejalan
dengan berbagai defenisi atau pendapat yang disampaikan antara lain oleh
Wallerstein, Dawson, Durkheim, dan Mauss & Spengler misalnya, yang
mengindikasikan bahwa peradaban [setidak-tidaknya] lahir, atau berkembang, atau
merupakan produk dari kebudayaan. Atau dalam simpulan Samuel P Huntington:
“Kebudayaan merupakan tema umum dalam kaitan dengan setiap rumusan peradaban”.
(2001: 40).
Untuk
mengembangkan, menghasilkan, terlebih melahirkan [untuk menjadi] sebuah
beradaban yang baru, masyarakat tersebut harus memiliki kemauan dan kekuatan
pula untuk berubah; tetapi juga tidak hanya cukup masyarakat pendukungnya
semata, melainkan – dan terutama dalam banyak kasus – memerlukan peran pemimpin
yang cakap, kuat, dan berpihak pada masyarakatnya. Pemimpin yang bodoh, lemah,
dan mengabaikan masyarakat – apalagi berperilaku tidak berbudaya – maka
tidaklah dapat diharapkan; sebagaimana yang telah diperingatkan Raja Ali Haji
dalam Tsamarat al-Muhimmah33) sebagai berikut:
“Raja yang jelek
dapat dilihat dari sikapnya yang congkak, iri hati, jahat, serakah,
menghambur-hamburkan uang, tak acuh terhadap soal-soal administrasi, penipu,
tidak memiliki humor, dan bersifat menghambat.”
Maka,
wahai Manusia Melayu, barangkali dengan sedikit percikan permenungan ini
dapatlah agaknya menjadi tantangan yang menggairahkan, apakah kita ingin
menjadi Manusia Melayu yang dapat menyelesaikan cabaran masa kini dan masa
depan hingga mampu mencapai keagungan tamaddun Melayu [Riau] di masa yang tidak
jauh di depan, atau sekadar jatuh sebagai “manusia indonesia” yang mengecewakan
Mochtar Lubis itu?
Payungsekaki, 04 September 2014.
www.gdeagunglontar.blospot.com
www.metropolitan-payungsekaki.blogspot.com
CATATAN
AKHIR :
1) Diubah-suai dari
Martin Heidegger “Being-unto Death”.
2) “Budaya Melayu
dan Tantangan Zaman”, dalam Dialog
Selatan I, 1995, h: 147.
3) Dalam Heddy Shri
Ahimsa-Putra (ed.).
4) “Puisi Melayu dan
Puisi Dunia”, dalam Rumah Sastra
Indonesia, 2002, h: 37.
5) Menarik
barangkali untuk dikaji oleh pakar linguistik bagaimana dalam bahasa [lisan]
Melayu dikenal apabila sebuah kata yang berawalan huruf vokal mendapat
“imbuhan” h bermakna memperoleh semacam penekanan yang lebih/paling kuat.
Kata semacam ini cukup banyak bertebaran di dalam novel ini, atau yang
barangkali sering kita dengar seperti kepala
hotak atau aku hembat.
6) Pertanyaan
intermeso: apakah ketika dialog ini muncul Yam sudah terlebih dahulu melihat
gambar/foto yang dimaksud?
7) Menyebutkan
aliran yang diusung pada suatu karya sastra sesungguhnya beresiko, karena
paling tidak ada dua alasan: resistensi/penolakan dari pengarangnya, serta
sistematika dan kategori-kategori aliran itu sendiri yang tampaknya masih
diperdebatkan. Karena itu makalah ini menempatkannya dalam tanda petik, dengan
maksud hanya sebagai pembayang yang sederhana belaka.
8) Adanya latar
waktu yang kuantitatif mungkin akan menggiring sebagian pembaca untuk
menganggap sebuah fiksi benar-benar bersifat realis; namun Penulis berpendapat
hal itu tidak selalu demikian.
9) Namun ada
beberapa “cabang” dan “ranting” lainnya yang cukup untuk membuat TA harus dibaca dengan konsentrasi yang
cukup tinggi.
10) Tun Amoy tidak
menyadari bahwa ia keturunan Bugis + Jepang.
11) Apakah ini
sekadar klaim emosional sang tokoh? Karena pada narasi paragraf sebelumnya
disebutkan “... ia lahir dari rahim seorang perempuan ... di negeri Bugis sana,
....”
12) Sebenarnya di
dalam cerita, ini lebih ditujukan pada para penguasa (Camat, petugas keamanan)
yang orang Jawa; namun dalam konteks ini maksudnya dapatlah kita perluas.
13) Penulis juga
pernah menimbang-nimbang “persoalan” ini.
14) Salah satu, kalau
tidak salah, termasuk MZ sendiri (dari latar pendidikan).
15) Ini adalah
kategori yang umum dilekatkan pada Iwan.
16) Di sini diluaskan
menjadi sastra, atau setidaknya fiksi.
17) Meskipun sempat
digoyang oleh Saman dan tetralogi Laskar Pelangi.
18) Bahkan ada
stasiun tv yang nyaris 24 jam menayangkan serial sinetron melulu, banyak yang
berupa sinetron stripping, dengan
panjang episode yang berjela-jela, namun alur cerita yang meliuk-kusut tak
jelas ujung-pangkalnya. Sering terjadi perdebatan apakah sinetron yang demikian
itu bermanfaat bagi masyarakat, namun pihak sinetron berkilah bahwa selalu ada
pelajaran yang dapat dipetik dari “kata-kata yang bijak” atau pengisahan
sebab-akibat di dalamnya.
19) Ada kontroversi
mengenai pernyataan semacam ini.
20) Dalam Ahyar Anwar
(2012: 50).
21) Ibid, h: ....
22) Barangkali
pernyataan yang muncul oleh karena harus adanya regangan konflik yang bermakna
dalam sebuah karya sastra.
23) Loc cit, h: 209.
24) Barangkali
maksudnya adalah “persepsi fisikal”.
25) Loc cit, h: 300.
26) Pernyataan yang
dapat menimbulkan kontroversi. Tetapi barangkali HSAP dapat melihatnya bukan
secara parsial. Kepribadian Melayu adalah kumpulan dan kelindan seluruh
ciri-ciri di atas. Dalam analogi membuat kue, kue semprit dan roti sama-sama
ada menggunakan bahan terigu dan mentega, tetapi semprit menggunakan maizena
yang tidak terdapat pada roti, dan roti menggunakan ragi yang tidak terdapat
pada kue semprit. Barangkali demikian.
27) Boleh juga dibaca
“Jerebu Riau” dalam Riau Pos, 27
April 2014.
28) Penulis jadi
curiga, ada apa antara MZ dan Tun Teja.
29) Dalam Dialog Selatan I (1995: 144).
30) Dalam Alam Melayu (2003: 101).
31) Loc cit, h: 144.
32) Dan inilah
agaknya dapat kita saksikan pengaruhnya pada bagaimana keadaan [Melayu}
Malaysia terkini.
33) Dari Mahdini
“Budaya Melayu ... dst” dalam Alam Melayu
(2003: 103).
BAHAN BACAAN :
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (ed.). Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta:
Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bersama Adicita Karya Nusa, Oktober
2007.
Amanriza, Ediruslan Pe. Dikalahkan Sang Sapurba. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2000.
Anwar, Ahyar. Teori
Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Aveling, Harry. Rumah
Sastra Indonesia. Magelang: Indonesia Tera, 2002.
Goleman, Daniel. Kecerdasan
Emosional. Terj.: T Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Hamidy, UU. Jagad
Melayu Riau dalam Lintasan Budaya. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, Januari
2004.
Huntington, Samuel P. Benturan
Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penerbit Qalam,
2001.
Jamil, Taufik Ikram. Gelombang
Sunyi. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2009.
Mohamad, Mahathir bin. Dilema Melayu. Terj.: Ibrahim bin Saad. Selangor: Federal Publications,
1982.
Persatuan Penulis Johor (PPJ) 1995 (ed.). Dialog Selatan I. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1995.
Rahman, Elmustian dan Tien Marni dan Zulkarnain (ed.). Alam Melayu: Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan.
Pekanbaru: UNRI Press, 2003.
Sastrowardoyo, Subagio. Sekilas Soal Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Simatupang, Iwan. Kebebasan
Pengarang dan Masalah Tanah Air. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Oktober
2004.
Zaini, Marhalim. Tun
Amoy. Pekanbaru: Gurindam Press, 2008.
ESAI ini adalah makalah yang dibentangkan dalam Diskusi Sastra se-Sumatera yang dilaksanakan di Hotel Pangeran Pekanbaru, pada tanggal 12-09-2014, dalam rangka kegiatan Pekan Sastra 2014 yang diselenggarakan
oleh Balai Bahasa Provinsi Riau.