ESAI



Seniman dan Kekuasaan
 Oleh : Gde Agung Lontar

www.mistersosiologi.com
 
…, ucapannya akan tiba-tiba memberikan alternatif yang selama ini disingkirkan – sebuah alternatif yang pada hakikatnya cocok dengan batin orang banyak; batin yang tak ingin bohong terus-menerus, tak ingin jadi kambing terus-menerus. Batin yang merindukan bahwa embik harus diganti dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan martabat manusia.
(“Embik”, Catatan Pinggir 4, Goenawan Mohamad, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.)
           
Pada mulanya saya bermaksud memberi judul tulisan ini “Seniman dan Kuasa”, dengan begitu saya kira saya akan dapat mengelaborasi secara lebih leluasa seluruh aspek yang mungkin timbul dari hubungan antara lema dasar kuasa berikut seluruh bentuk turunannya yang mungkin dengan seniman. Namun menyadari sangat terbatasnya ruang yang tersedia, maka saya kemudian memberinya sebagaimana dengan judul di atas, yang tentu saja akan segera memberikan keterbatasan atas apa yang sekiranya saya maksudkan dapat saya ulas dalam tulisan ini.

            Apakah yang paling berarti dari seorang seniman? Selain kemampuan estetikanya – yang tentu saja merupakan sebuah keniscayaan, maka seorang seniman haruslah memiliki hati nurani yang begitu murni. Ini mungkin semacam hiperbola; tapi untuk sementara marilah kita percayai klausul itu terlebih dahulu. Sebab sebuah produk estetika yang berasal dari mata air yang keruh, pada akhirnya menjadi kejahatan, atau paling tidak sekadar godaan.
            Dahulu sekali, ketika saya masih bujang-tanggung dan mulai tergila-gila pada dunia sastra, saya sempat berkhayal bahwa ini adalah sebuah dunia yang sungguh mulia. Dan, barangkali karena sebelumnya saya terlebih dahulu mengenal dunia filsafat (semuanya didapat dari bahan bacaan), saya bahkan sempat berangan-angan bahwa tiga peringkat manusia termulia di muka bumi ini adalah para nabi, filsuf, dan seniman. Dengan angan-angan yang membanggakan seperti itulah saya kemudian perlahan-lahan mulai masuk ke dalam dunia sastra. Khayalan yang cukup lama bertahan, sampai kemudian perlahan-lahan mulai runtuh sejak beberapa tahun belakangan.
            Dan hal itu tentu saja mengguncang keyakinan saya selama ini – sama seperti keterguncangan saya ketika satu per satu orang-orang yang semula saya yakini berpihak pada masyarakat lemah ternyata setelah masuk ke dalam lingkar kekuasaan hanya menjadi birokrat yang membebek (atau mengutip GM, mengembik), atau bahkan berkhianat pada kata-kata yang pernah ditulis dan atau diucapkannya sendiri. Saya mungkin terlalu naif dengan angan-angan saya itu, tetapi saya selalu percaya dalam membahas sesuatu per defenisi haruslah disepakati (atau paling tidak dijelaskan) terlebih dahulu agar tidak terjadi kesenjangan atau kesalahan dalam pengertian.
            Karena itu, sepakatkah kita bahwa seorang seniman, selain memiliki kemampuan estetika, ia juga haruslah memiliki hati nurani yang begitu murni? Saya sepakat
            Anda?
            Kalau Anda tidak sepakat, Anda mungkin tidak perlu membuang waktu dengan melanjutkan membaca tulisan ini.
            Dan lagi, janganlah terlebih dahulu mempersoalkan tentang frasa “hati nurani yang begitu murni” itu; sebab siapa yang memilikinya sesungguhnya akan mengetahuinya dengan sendirinya.
            Tentu saja itu semua ada dalam tataran ideal. Dan seperti kata Plato, kita semua hanyalah forma-forma; hanyalah bayangan dari sesuatu yang ideal. Tetapi tentu saja itu bukanlah sebuah peluang permaafan, sebab sesunguhnya semakin jauh kita dari dunia ideal, semakin kita kehilangan akan forma itu. Kita menjadi sesuatu yang lain.
            Persinggungan antara seniman dan kekuasaan adalah sesuatu yang sangat menggetarkan, sebagaimana juga dengan persinggungan antara nabi atau filsuf dengan kekuasaan. Ketiganya berbeda sekali apabila kita ingin berbicara tentang persinggungan antara misalnya (sekadar) seorang dokter atau insinyur atau analis dengan kekuasaan; meski tentu saja ada seorang dokter yang juga seniman dan demikian seterusnya. Sangat menggetarkan karena persinggungan itu sesungguhnya akan menimbulkan persebatian sekaligus pertelingkahan dalam tataran yang sangat mendasar. Kekuasaan hampir seperti sebuah “dunia yang lain” bagi ketiga jenis makhluk mulia itu, meskipun sebenarnya seringkali sudah merupakan sesuatu yang melekat dengan sendirinya – kalau saja mampu dimengerti.
            Persoalannya kemudian, ketika seorang seniman masuk ke dalam wilayah kekuasaan formal (di sini kita berbicara tentang masuk, dan bukan berhadapan, bertentangan, dan seterusnya), menjadi apakah dia sesungguhnya? Bentuk persebatian dan pertelingkahan seperti apakah yang mampu dihasilkannya? Apakah ia perlahan-lahan kehilangan forma-nya, ataukah forma-nya mampu memberi warna di dalam wilayah kekuasaan itu?
            Ada yang menarik perhatian saya dalam kaitan ini dalam Gulang-nya Solzhenitsyn (Gulag, Aleksandr I Solzhenitsyn, Bentang, Oktober 2004). Ini tentang seorang penulis masyhur Rusia bernama Aleksei Maximovich Gorky. Gorky diminta oleh pemerintah Rusia untuk mengunjungi kem tahanan di Kepulauan Solovetsky, agar dapat mengabarkan kepada dunia luar sana bahwa tahanan-tahanan Rusia baik-baik saja. Gorky pun datang. Tetapi, tentu saja para sipir penjara sudah terlebih dahulu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sampailah kemudian ketika di Koloni Anak-anak, tiba-tiba seorang anak berusia 14 tahun berkata, “Hei Gorky, semua yang kamu lihat di sini adalah palsu. Kamu ingin tahu yang sebenarnya? Kamu ingin dengar?” Ya, sang penulis mengangguk. Dia ingin tahu yang sebenarnya. Mereka berdua pun kemudian berbicara. Sampailah, pada 23 Juni Gorky meninggalkan Solovetsky. Tak lama setelah kapal uap lepas dari dok, anak itu ditembak mati! (Tentunya oleh penjaga kem). Tetapi di dalam Buku Tamu, Gorky hanya menulis:
            “… dan bahkan saya merasa malu, kalau saya hanya mengulang-ulang pujian yang sudah basi untuk memuji semangat rakyat yang luar biasa, yang tetap cermat dan tak kenal lelah mengawal Revolusi, dan mampu menjadi kreator kebudayaan yang berani.”
            Ketika menulis itu Gorky mungkin bukan lagi sebagai seorang sastrawan termasyhur, tetapi telah berubah menjadi politikus panggilan.

Payungsekaki, 251208.
Publikasi #1: Riau Pos, 20-06-10.



Jenazah “Keranda Jenazah –“
Oleh :  Gde Agung Lontar
 
www.luciadavita.blogspot.com


Entah Intro, Entah Prolog, Entah Pendahuluan

            Ketika beberapa minggu yang lalu Olyrinson menelpon saya dan dengan gayanya yang teatrikal mengatakan bahwa Komunitas Paragraf menawarkan kepada saya untuk menjadi pembicara dalam acara kali ini, yang pertama-tama terpikirkan oleh saya adalah bahwa apakah saya akan mampu? Apakah saya cukup layak untuk mengambil peran itu? Sebab sampai dengan saat ini harus saya akui bahwa saya belum pernah satu kali pun melakukan hal yang demikian, bahkan pun sekadar menulis sebuah esai. Meskipun bagi sebagian besar rekan di sini hal seperti ini adalah biasa adanya, tetapi bagi saya menjadi berat, karena juga digelayuti sesuatu yang lain. Saya mencoba menolak dengan berbagai alasan, di antaranya dengan mengatakan bahwa saya sedang berada di Tanjungpinang dan belum tahu pulangnya entah kapan, tetapi Oly berhasil membuat saya menerima takdir ini. Maka, malapetaka pun dimulailah.
            Berhari-hari kemudian benak saya pun tiba-tiba saja bagai berputar dengan cepat, macam arus pusaran minyak tanah di mulut corong. Huruf-huruf beterbangan, kata-kata berloncatan, kalimat-kalimat berangkaian; tapi jangan membayangkan itu semacam salah satu adegan dalam film berbintang lima The Beautiful Mind, karena yang semua berputar-putar dalam minda saya itu lebih tepat kepada kecamuk dalam kepanikan dan ketakutan, bukan benih-benih nobel matematika yang sedang bertumbuhan. Tiba-tiba saja dalam benak saya itu menghumbalang percikan-percikan pemikiran yang begitu rumit, yang sekali-sekala terasa seperti lampu pijar yang menyala, lalu redup kembali, padam, berkelap-kelip, hingga kemudian hasilnya hanyalah menaningkan kepala.
            Segera saja kata-kata yang terpacak dalam kepala saya itu adalah “bedah buku”. Apakah bedah buku itu? Kenapa kata-kata yang sebenarnya begitu sederhana dan cukup sering didengar itu tiba-tiba menjadi begitu rumit dalam kepala? Ataukah kepala saya sendiri yang memperumit persoalan itu? Ataukah sebuah buku yang kebetulan ketika itu tengah saya bacalah yang memperumitnya? Buku yang berjudul Petualangan Semiologi karangan Roland Barthes itu (Pustaka Pelajar, 2007) memang berhasil mengacak-acak pemikiran saya tentang teks, tentang lingusitik, tentang tanda, tentang simbol, tentang deskripsi maupun prosesnya. Sebuah batang kata, sebuah untaian kalimat, sebuah jelujur paragraf; ternyata tak sesederhana seperti yang terlihat. Kalau sudah begitu, apakah bedah buku menjadi mungkin?
            Hal yang kemudian turut memusingkan kepala saya adalah, di dalam kelebat itu juga muncul kata-kata yang juga sempat terkenal entah dari siapa (mohon maaf karena saya tidak sempat mencari referensi yang lebih lengkap) yang mengatakan bahwa “pengarang mati ketika karya lahir”. Maknanya secara sederhana adalah, bahwa sebuah karangan itu adalah merupakan suatu entitas tersendiri, suatu makhluk tersendiri, lepas dari pengarangnya. Ia berhak memaknai dirinya sendiri, orang lain pun berhak memahami dirinya seperti apa. Hal yang kemudian menjadi anekdot residu pemikiran bagi saya adalah, kasihanlah pengarang seperti Putu Wijaya atau Eddy D Iskandar yang terpaksa mati berkali-kali karena begitu banyaknya karya mereka, dan “enaklah” pengarang seperti Mary Shelley yang hanya menghasilkan satu karya seumur hidupnya.
            Dalam KBBI edisi III cetakan tahun 2002, lema “bedah buku” dijelaskan sebagai tentang pembicaraan dan diskusi mengenai isi buku. Saya tidak sempat mencari referensi lain yang lebih menghunjam, dengan demikian syukur alhamdulillah karena dengan hanya defenisi dari KBBI tersebut sepertinya pekerjaan akan menjadi lebih ringan. Demikian juga, ternyata Oly dan Marhalim pun cukup cerdik untuk tidak menggunakan kata-kata bedah buku itu. Dalam sms dari Marhalim, beliau hanya menuliskan “Bahas buku cerpen ….”, sedangkan dari Oly dalam catatannya yang baru dapat saya baca beberapa hari yang lalu setelah pulang dari Tanjungpinang hanya menuliskan “… ini adalah buku yang akan didiskusikan ….”
            Tetapi sadarilah, persoalannya sebenarnya tetap sama juga. “Bedah”, “bahas”, “diskusi” semuanya adalah bentuk lain dari penelaahan. Dengan demikian, tak terhindarkan bahwa mau tak mau saya harus bertungkus-lumus membawa isi buku tersebut ke dalam laboratorium di kepala ini, yang fasilitasnya palingan baru setara puskesmas. Oleh karena itu, oleh karena setiap karangan adalah suatu entitas tersendiri di mana ia bisa memaknai dirinya sendiri, oleh karena setiap orang bahkan termasuk pengarangnya sendiri bisa memahami karangan itu menurut pemahamannya sendiri, oleh karena Roland Barthes sudah berhasil menggocoh-gocoh isi benak saya, dan oleh karena rayuan Olyrinson; maka kekacauan pikiran ini pun dilanjutkanlah dengan terlebih dahulu mohon maaf lahir dan bathin.

Keranda Pelepah Pinang

            Entah kenapa, membaca buku Keranda Jenazah Ayah ini membuat pikiran naning saya di atas kian berpanjang-panjang. Tidak seperti buku-buku antologi cerpen pilihan Riau Pos terdahulu, terus terang antologi yang ini sangat mengecewakan saya. Betapa tidak, dari 24 buah cerpen yang dicantumkan, saya mencatat hampir separuhnya, tepatnya 11 buah cerpen saya katagorikan berkualitas mengecewakan. Hanya 2 buah cerpen yang menurut saya di atas rata-rata. Bandingkan dengan antologi tahun 2002 (Terbang Malam) yang menurut saya hanya memuat sebuah cerpen yang mengecewakan, tetapi ada 5 buah cerpen berkualitas di atas rata-rata dari 22 buah cerpen yang dimuat. Atau bandingkan pula dengan antologi tahun 2006 (Jalan Pulang) yang juga hanya memuat dua buah cerpen yang mengecewakan, tetapi masih ada 4 buah cerpen di atas rata-rata, dari 19 buah cerpen yang dimuat. Tentu penilaian itu semua sedikit-banyak mengandung unsur subjektifnya; itulah untungnya jadi penulis esai dadakan, dan bukan kriktikus adinan.
            Apa yang dapat kita – atau paling tidak saya – baca dari data-data di atas? Kesimpulan gegas yang mungkin dapat kita ambil adalah sang editor buku antologi ini kurang selektif dalam memilih cerpen-cerpen yang akan dimuat. Sebuah antologi, apalagi dengan embel-embel “pilihan”, mau tidak mau dan pada dasarnya memanglah seharusnya bersifat selektif. Meskipun dalam Jalan Pulang, HBK – yang juga merupakan editor antologi tahun 2007 ini – menuliskan bahwa “Sebagai sebuah karya yang tidak istimewa dengan kesalahan di sana-sini, buku ini [antologi 2006; pen.] diharapkan bisa menjadi sebuah dokumentasi bagi perjalanan sastra Riau …”, tetaplah kita harus memandang sebuah antologi (+ pilihan) bukanlah map berkas-berkas, karena ia juga diharapkan dapat “… menjadi pelecut bagi lahirnya karya-karya dengan pencapaian estetika yang lebih baik di kemudian hari”.
            Terlalu semena-mena agaknya kalau “kesalahan” itu kita – atau paling tidak saya – tuduhkan kepada sang editor semata-mata. Bagaimana pun sang editor memilih dari yang sudah ada: itulah karya-karya yang kita ciptakan dan kemudian kita kirimkan. Editor media hampir tidak punya pilihan lain. Pada suatu masa, mungkin ia terpaksa memilih yang kurang buruk dari yang paling buruk. Maka, saya bersyak kuat, masalahnya ada pada kita semua, masyarakat sastra Riau. Dalam esai sastra dan berbagai tulisan lainnya belakangan tidak jarang termuat kegelisahan penulisnya tentang perkembangan sastra di Riau. Dan kebetulan bersama empat buah buku yang diserahkan Oly kepada saya, buku esai sastra berjudul Krisis Sastra Riau agaknya membenarkan kerisauan itu semua, dan dugaan statistik subjektif saya di atas.
            “Perempuan dengan Seribu Satu Tikaman Pisau di Tubuh, Juga Hatinya” karya Aliela semula sempat menggoda saya dengan judul, dan juga nama pengarangnya itu. Roland Barthes dalam bukunya di atas mengatakan bahwa fungsi judul adalah memarkai awal dari teks, yaitu membuat teks itu menjadi dagangan. Dalam konteks itu judul cerpen ini mungkin sudah cukup mengena, meskipun bagi saya terkesan rumit. Tetapi judul adalah nama; ia tidak berada dalam konsep ekonomi atau selebritas semata. Nama adalah penanda. Dalam sejarah umat manusia, yang paling pertama diajarkan oleh Tuhan kepada manusia Adam adalah tentang nama-nama. Sedangkan dalam sejarah Islam, selain sebagai penanda nama seringkali juga mengandung doa, harapan, impian, cita-cita, dan pertanda. Di sini Aliela terasa seperti memubazirkan itu semua. Belum lagi ceritanya yang tiba-tiba meloncat ke masa lalu, yang bagi saya tak jelas korelasinya karena tak terbaca konteks latar-belakangnya. Lalu, kehadiran nama-nama Tun Fatimah dan Bendahara Sri Maharaja pun terasa seperti dipaksakan. Kemanakah engkau Aliela? Saya ingin merindukan kelembaban “Tanah”-mu yang serasa mengharukan.
            Untuk Dessy Wahyuni dengan “Tentang Cintaku”, selamat datang. Tetapi tentang “Getah Damar” Ellyzan Katan, baby, cerpen ini sesungguhnya memiliki potensi untuk dieksplorasi lebih mendalam. Unsur lokalitasnya, unsur kejiwaannya. Kalau saja Ellyzan mau bersabar semacam Ahmad Tohari yang begitu telaten dengan detil, atau juga Orhan Pamuk, atau Andrea Hirata; niscaya cerpen ini dapat mencapai puncak kecemerlangannya – bukan hanya sekadar narasi dua pemanen getah damar. Di sini saya tidak menemukan kejutan “Payudara” yang membengkakkan dada itu.
            Cerpen “Pisau dalam Diri” karya Fadlillah Malin Sutan Kayo terus terang mengingatkan saya pada banyak karya prosa dari ranah Minang, bahkan sejak zaman Salah Asuhan. Tema ini, barangkali karena terlalu sering diangkat, terasa menjadi sekadar semacam obat generik; bukan obat bermerk yang memiliki hak paten dengan harga yang mahal itu. Ini tentu tidak salah selama kita dapat memotretnya dari sudut yang belum pernah dijelajah oleh orang lain, yang ternyata dapat memberikan pemandangan yang berbeda dan mungkin jauh lebih indah. Pemandangan yang dapat membuat kita makin cinta kepada tanah dan pusaka kita, dan bukan bingung dalam kesedihan karena “… tidak mengerti, bagaimana mencintai negeri yang sudah menjadi kota ini, dengan tanah dan harta pusaka sudah terjual semua”.
            Cerpen-cerpen Fariz Ihsan Putra sepanjang pengamatan saya bertipe cerpen kejiwaan, dengan percikan-percikan filsafat di sana sini, narasi yang panjang, dan bagi saya terus terang rada-rada sulit dipahami. Orang awam akan mengatakan ini cerpen “berat”. Sesungguhnya penulisan cerpen semacam ini menyimpang dari mainstream yang dikehendaki media-media (koran) masa kini, yang lebih mengedepankan pemuatan cerpen-cerpen yang “ringan” dan ringkas. Alhamdulillah Riau Pos tampaknya mengabaikan hal semacam itu sehingga dapat memberi tempat bagi Fariz untuk memusingkan orang lain dengan karya-karyanya. Dengan “Dekaden” sekali lagi Fariz mengaduk-aduk pikiran kita dengan pertanyaan tentang pihak manakah sesungguhnya yang sedang mengalami kemerosotan “multi-dimensi”, si aku dan Sabina-kah, atau masyarakat. Kalau saja Fariz juga dapat mengaduk-aduk perasaan ….
            Tetapi, apa sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh Fedli Aziz dengan “Tak Sampai”? Bergenre serupa dengan “Dekaden”, cerpen ini seperti hendak berpretensi berfilsafat dengan pertanyaan-pertanyaan yang melingkar hingga menjadi kusut, sehingga ia jatuh dalam penyakit pertama-nya esai Sutardji seperti yang akan kita simak nanti. Mengutip kata sang tokoh, “Jadi jangan lagi bicarakan hal-hal yang membingungkan itu. Cukup!!!”, mengingatkan saya pada Ludwig Wittgenstein. Filsuf Austria yang memiliki kehidupan dan pemikiran yang rumit ini juga pernah mengatakan “… apa yang memang dapat dikatakan, dapat dikatakan secara jelas. Dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus berdiam diri” (K Bertens, 1981).
            Di sini saya memang harus berdiam diri untuk “Hikayat Gajah Terakhir”, karena pengarang “sudah mati”. Harapan kemudian timbul ketika “Ibu, Anaknya, dan Sebongkah Batu” muncul dari tangan Iggoy el Fitra. Meskipun masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang komunitas Ilalangsenja dan Yetti KA, Iggoy berhasil membangun teknik penceritaan yang cukup menarik, sekaligus mencoba mengawinkan dua mitos yang akrab bagi kita, yaitu mitos Malin Kundang dan Batu Belah Batu Bertangkup, sehingga cerpen ini boleh mengundang banyak interpretasi.
            “Rumah di Seberang Kuburan” karya Labibah Zain bagi saya terasa sangat sederhana, bahkan seperti membaca cerpen-cerpen dari zaman Jepang. Mengherankan sesungguhnya karya ini ternyata muncul dari tangan penulis yang karya-karyanya sudah pernah dimuat di berbagai media bergengsi di pusat sana. Semangat saya kemudian mulai bangkit lagi ketika membaca “Lagu Purnama Sungai Duku” karya M Badri. Alur cerpen ini serasa mengalir begitu lirih, dalam kesejukan air sungai yang ditaburi embun di dini hari. Nyaris mendekati cerpen suasana, yang menjadi kekuatan Umar Kayam. Mitos dan dongeng pun saling berkelindan dengan kekinian, menawarkan kekayaan penafsiran, yang akan jauh lebih kaya lagi kalau bait penutupnya tidak terkesan berpretensi. Sayangnya M Badri sepertinya sedikit tergoda dengan Seno Gumira, ketika menuliskan dialog “Apakah kamu juga menyukai senja?”.
            “Kisah di Tengah Ilalang” – sebuah cerpen yang tergolong panjang – karya Murparsaulian ini kembali mengingatkan saya pada Seno Gumira Adjidarma, tetapi bukan pada episode “senja” atau pun “kabut”, melainkan “penembak misterius”; ketika berita berkelindan dengan cerita. Meskipun Mur bergelimang dalam dunia jurnalistik, sebagaimana juga Seno, tetapi sepanjang pengamatan saya Mur jarang sekali atau bahkan tidak pernah menulis cerpen yang berkaitan dengan dunia jurnalistik. Ini dapat dilihat dalam keempat cerpennya yang dimuat dalam Pertemuan dalam Pipa, maupun dalam buku-buku antologi cerpen yang diterbitkan Riau Pos, yang menurut saya tergolong dalam cerpen-cerpen kejiwaan, sebagaimana Fariz Ihsan. Jadi, sepertinya ini sesuatu yang lain dari Mur, dan eksplorasi seperti ini sesungguhnya oke-oke saja. Hanya saja Mur harus berhati-hati agar tidak terjebak menjadi sekadar reportase belaka, sehingga orang-orang tidak menggoda bertanya ketika Mur menulis “… Tokoh-tokoh yang dulu berteriak hendak membela nasib kita, kini suaranya tak terdengar lagi. Dan tak ada lagi berita di koran-koran yang dulu sibuk memberitakan di halaman utama. Semuanya senyap. Bagai ditelan hantu!”.
            “Senyum Long Wai” dari Musa Ismail hanya sekadar dapat membuat saya mencantumkan sebuah tandatanya (?). Tetapi “Fitnah Ular”-nya Mhd Amin MS cukup menjanjikan karena menyimpan metafora yang agak berlapis. Ular, pejabat-pejabat, orang-orang ramai, serta sedikit humor. Plot cerita ini pun dapat mengingatkan kita pada tragedi lumpur Lapindo, tentang bagaimana manusia Indonesia memandang tragedi dan kehidupannya. Kemajuan ilmu teknologi dilawan dengan mengumpulkan dukun-dukun yang saling berlomba untuk menunjukkan keampuhannya masing-masing, sambil berharap sorotan televisi, dan syukur-syukur uang seratus juta. Pada saat yang sama plot cerpen ini pun mengingatkan saya pada sebuah cerpen yang berjudul “Xenotaph”, yang dimuat dalam Horison Maret 2003.
            Cerpen dengan metafora yang cukup kuat juga muncul dalam “Kurap” karya Nyoto. Dengan agak-agak perasaan geli-geli-jijik saya membaca cerpen ini, dan makin menjadi-jadi ketika merayap ke daerah pantat. Tetapi Nyoto mungkin tidak peduli seperti katanya, “Dikau ni budak kecik, apalah tau rasa sedap orang”. Sepanjang pengamatan saya, Nyoto sepertinya memang suka meneror pembaca dengan cerpen-cerpennya; mudah-mudahan kalau dia ada di sini dia tidak akan meneror saya pula dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tetapi, terus terang, saya merasa agak kehilangan “Segerombolan Anjing”.
            Membaca cerpen-cerpen Olyrinson entah kenapa selalu serasa menyesakkan dada dan tak jarang dengan keharuan yang mendalam. Demikian juga yang dapat kita simak dalam “Keranda Jenazah Abah” ini. Padahal saya tergolong seorang yang pembosan. Cerpen-cerpen Oly hampir selalu bertokohkan anak kecil, orangtua yang sengsara, dan perusahaan besar yang membuat mereka semua menjadi sengsara. Plot yang hampir selalu serupa dalam berbagai cerpennya, sesungguhnya berpotensi untuk membuat saya bosan. Tetapi entah sihir apa yang digunakannya, itu ternyata tidak terjadi. Rangkaian kata-kata, bar dan irama yang bagai ditata tangan-tangan magis, membuat saya tetap terpesona. Ini bukan hiperbola. Kata kuncinya mungkin terletak pada pencapaian estetika, meskipun secara sederhana. “Keranda Jenazah Abah” sekali lagi menunjukkan siapa Oly.
            “Rumahku untuk Pulang” karya Pandapotan MT Siallagan adalah cerpen yang terkesan menjebak. Alur dan teknik penceritaan yang dikembangkan seperti mengarahkan kita pada unsur-unsur romantisme sekaligus heroisme, namun di akhir cerita pembaca dibanting dengan semacam pengkhianatan yang hampir-hampir tidak logis dengan jalan cerita yang telah dibangun. Sementara itu Ragdi F Daye dengan “Lantai Hotel untuk Menangis” sesungguhnya mengandung sinisme terhadap fenomena yang berkembang belakangan ini. Yaitu acara-acara yang bersifat religius di hotel-hotel berbintang, zikir-zikir bersama, atau acara yang berhubungan dengan penyembuhan kejiwaan. Kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya banyak yang mengandung kontradiksi dan kepalsuan.
            “Ketika di Selatpanjang” karya Ranti A sesungguhnya berpotensi untuk menjadi cerpen yang cukup menarik. Gaya penceritaannya yang sederhana, dengan alur yang terasa cukup lancar, membuat pembaca merasa cukup nyaman membacanya. Sayangnya konflik yang dibangun terasa kurang jelas. Sementara itu “Buaya Itu Telah Mati” karya Rita Achdris menariknya mengandung unsur parodi dalam metaforanya. Dan Saidul Tombang dengan “Mumbang” adalah penurunan yang cukup tajam dibandingkan “Salsa”. Dengarlah opening “Salsa”: Berceritalah kepadaku tentang ketulusan, selaik putihnya putik melati dan cahaya pagi tanpa renda jelaga. Kisahkan juga kepadaku tentang indahnya cahaya bulan setaji ayam ….
            Sobirin Zaini dengan “Dendam Abah” kalau di masa Orde Baru bisa dituduh provokator. Cerpen ini seperti menyarankan perlawanan kepada penguasa (yang lalim), meskipun sayangnya dengan cara main belakang. Konflik yang dibangun pun kita sudah mengenal secara umum: “Tapi, tidak demikian halnya bagi mereka, bagi para pengayuh becak seperti Abah Khalid dan kawan-kawannya, kekayaan yang melimpah itu sampai saat ini seperti tak pernah dirasakan. Kekayaan negeri itu hanya sebuah dongeng. Dongeng yang mereka dengar dari mulut orang-orang. … Karena kenyataannya, semua yang dibanggakan itu tak dapat mensejahterakan rakyat ….”
            Cerpen “Kawin” karya Sutrianto tiba-tiba memberikan suasana yang berbeda. Tampil dengan kalimat-kalimat ringkas atau bahkan tak lengkap, cerpen ini membuat kita seperti manusia yang terbata-bata. Sesungguhnya ini cerpen berpotensi untuk menjadi cerpen suasana; tingggal 2½ angka lagi mungkin ia dapat mencapai tingkat “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Sayangnya konflik yang dibangun seperti terasa dibuat-buat, dengan beberapa tindak kekerasan yang membuat pembaca merasa kurang nyaman.
            Untuk Syaifuddin Abdullah dengan “Laut Ini, Pernah Marah!”, selamat datang juga. Sedang “Bus Misterius”-nya Syafrizal Sutan Malano mungkin lebih tepat dimuat di majalah Misteri atau Liberty, misalnya. Bukan dengan maksud ingin mengatakan bahwa tema misteri terlarang dalam ranah sastra, tetapi hanya masalah pencapaian estetika. “Tiga Pertapa” dari Leo Tolstoy juga cerita misteri, tetapi ada sesuatu yang membuat kita berkontemplasi. Demikian juga dengan cerpen-cerpen Budi Darma dan Danarto misalnya, sesungguhnya juga mengandung unsur misteri.
                       

Entah Ending, Entah Epilog, Entah Penutup
            Entah kenapa sejak pertama kali melihat buku antologi ini empat hari yang lalu saya tidak bisa menahan hati untuk memberinya judul “Jenazah ‘Keranda Jenazah –‘”. Entah kenapa pula dalam pembahasan buku ini saya juga tidak mampu menahan hati untuk menulis yang langsung menohok kepada masing-masing person, padahal engkau tahu hal yang seperti itu akan sangat berbahaya. Siapakah engkau, Gde. Apakah engkau memang memiliki hak untuk melakukan itu semua? Apakah engkau memiliki latar belakang ilmu sastra yang mumpuni, atau paling tidak orang-orang telah mengangkatmu sebagai seorang juri? Padahal engkau tidak mengerti apa-apa, tidak tahu teori-teori sastra, apalagi hingga masuk ke dalam wilayah linguistik.
            Entah kenapa supaya “aman” saya juga tidak mampu membuat tulisan seperti yang dilakukan Abel, Fakhrunnas, Marhalim, atau pun Griven sekadar menyebut beberapa nama yang “hanya” bergerak di tataran bunga-bunga, kembang-kembang, hiasan, relief, ornamen; lalu menggabungkan inti berbagai karangan itu seolah-olah ingin menunjukkan inilah kelebihan dan kehebatan cerpen-cerpen Riau, atau paling tidak yang dimuat di Riau Pos. Terus terang saya sudah berusaha mencobanya dalam waktu yang sempit itu, mencari kembang, hiasan, ornamen; yang kiranya dapat dirangkai-rangkai menjadi bangunan yang indah. Mohon maaf, saya tidak berhasil menemukan itu di sini.
            Saya tidak setuju ketika dalam pengantar antologi 2006-nya HBK menulis bahwa “… karena dalam sastra, kualitas sebuah karya amatlah sumir dan relatif”. Untuk beberapa segi kualitas sebuah karya sastra terasa jelas dipampangkan; atau dalam beberapa kejadian tidak begitu kelihatan. Dalam perlombaan, dalam sayembara, dalam antologi pilihan, hal itu terlihat cukup nyata. Pengasuh rubrik sastra di media mau tak mau akan memilih yang dianggap terbaik dari puluhan atau bahkan ratusan karya-karya yang datang dalam periode itu. Lalu kenapa ada perbedaan nuansa kebanggaan ketika sebuah karya dimuat di Kompas dibandingkan di koran daerah, misalnya; atau di Horison berbanding Aneka, misalnya. Semua kebanggaan itu jelas karena berkaitan bahwa seorang pengarang itu sudah berhasil mencapai tingkat tertentu dalam berkarya yang diakui dengan termuatnya karyanya pada media yang membanggakan itu.
            Sutardji CB bahkan menyatakannya dalam bentuk pernyataan negatif beberapa puluh tahun yang lalu. Dalam esai berjudul “Beberapa Penyakit dalam Cerpen Indonesia” yang termuat dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir (ed. Pamusuk Eneste, 1983), SCB menulis ada empat kriteria penyakit dalam cerpen Indonesia, yang dengan demikian mau tak mau akan merujuk kepada kualitas suatu karya. Untuk kepentingan kita semua, mungkin ada baiknya saya kutip secara ringkas keempat kriteria itu.
            Pertama, abstraksi: menyuguhkan yang abstrak secara abstrak pula. Ide, fislsafat, sistem-sistem moral dan sebagainya dibiarkan tetap abstrak di dalam cerpen. Cerpen yang baik mengkongkretkan yang abstrak. Menangkap yang abstrak lalu menghidupkannya dalam peristiwa-peristiwa, momen-momen, dan karakter. Kalau tidak, itu namanya tulisan filsafat, khotbah dan semacamnya dan bukan cerpen. Fariz dan Murparsaulian di antaranya nampaknya punya kecenderungan seperti itu. Kedua: kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide-ide, hal-hal, peristiwa-peristiwa dan kehidupan dalam sebuah cerpen. Cerpen bukanlah novel yang disarikan. Bila novel adalah gajah, cerpen bukan gajah mini melainkan makhluk lainnya lagi. Ketiga: kurangnya disiplin menulis. Cerpen ditulis begitu saja, tanpa memperhitungkan dengan cermat cara penyampaiannya (style). Style menambahkan pada suatu pikiran tertentu semua hal-hal yang wajar untuk menimbulkan seluruh efek yang seharusnya dihasilkan oleh pikiran tersebut; kata Stendhal. Penyakit ini terdapat pada kebanyakan pengarang. Keempat: kurangnya ketrampilan dalam menggunakan bahasa Indonesia. Konstruksi kalimat bahasa Indonesia sering dicampuradukkan saja dengan konstruksi bahasa daerah. Pada batas-batas tertentu inbi bisa diterima, misalnya untuk mendapatkan suasana lokal yang sering dipakai dalam kalimat-kalimat langsung. Tetapi kalau naratornya yang mencampuradukkan tentulah sangat mengganggu. Penyakit ini juga banyak terdapat di kalangan pengarang.
            Dari buku yang sama, saya juga melihat ada yang bisa ditambahkan pada esai SCB di atas. Jakob Sumardjo dalam “Umar Kayam: Memotret Suasana Batin” menulis bahwa kalau kita membaca cerpen atau novel sekarang ini, rata-rata mereka masih menekankan pentingnya pemaparan kejadian lahiriah. Di dalamnya memang ada perkembangan, perubahan, atau peristiwa, tapi terbatas pada mata. Dan mata hanya mampu melihat permukaan saja. Memaparkan proses perkembangan kejadian hanya melalui “pandangan mata” persis seperti pelukis naturalis yang memindahkan apa yang dilihat mata ke dalam kanvas.

            Kalau sudah begini, mengutip Maman S Mahayana, di manakah letak (Melayu) Riau dalam peta kesusasteraan Indonesia? Dalam berbagai kesempatan kita selalu menyanjung-nyanjung sejarah cemerlang sastra dan bahasa kita ratusan tahun yang lalu. Dalam konteks kesejarahan, atau dalam usaha memupuk kebanggaan anak negeri sehingga dapat menjadi pemicu semangat paling tidak dalam usaha meraih kecemerlangan yang sama, itu memang ada baiknya. Tetapi ketika hal itu diulang-ulang, bahkan vitamin pun dapat menjadi racun. Biarlah itu semua menjadi pembelajaran, menjadi petunjuk, menjadi sejarah; tetapi bukan menjadi belenggu sehingga muncul kata-kata kanak-kanak, “Bapakku bupati.”, “Bapakku jenderal, lebih hebat bapakku, kan?”; padahal mereka sendiri hanyalah kanak-kanak dengan ingus yang berlelehan.

PBR, 200108.
Publikasi #1: Riau Pos, 27-01 & 03-02-08.
Sebelumnya dikupas dalam pertemuan Komunitas Paragraf.




Senandung dari Balai Bahasa Provinsi Riau
 OLEH : gde agung lontar
  

            Pagi tanggal 05 Februari yang lalu saya mengunjungi Balai Bahasa Provinsi Riau (BBPR) dalam rangka memenuhi undangan untuk menghadiri acara bertajuk Pertemuan Sastrawan Riau yang ditaja oleh lembaga tersebut. Ini sesungguhnya adalah kunjungan saya yang ke sekian dalam beberapa tahun belakangan ke gedung yang berada di dalam kompleks Kampus Universitas Riau di Panam tersebut. Setiap kunjungan itu entah kenapa saya selalu merasa seperti seseorang yang “disastrawankan”. Itu membuat saya merasa menjadi seseorang yang istimewa, namun sekaligus juga harus memikul tanggungjawab yang besar (paralel agaknya dengan petuah Paman Ben dalam Spider-man); karena menurut saya kedudukan sastrawan hanya sedikit di bawah filsuf. Pada saat yang sama juga timbul perasaan miris, karena bagi kebanyakan orang masa kini sastrawan itu hanyalah sejenis makhluk yang aneh, asing, nyaris tak berguna; meski kadangkala menimbulkan perasaan kagum yang ajaib.
            Acara yang dihadiri puluhan undangan itu pun berlangsung cukup meriah dan menyenangkan. Ternyata topik yang menjadi pokok bahasan yang ditaja tuan rumah, Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum. sebagai Kepala BBPR, adalah dalam rangka membicarakan beberapa program kerja/kegiatan yang akan dilaksanakan BPPR dalam tahun anggaran 2014 ini. Ada lebih dari 20 program, yang sebagian besar di antaranya adalah dalam rangka menyambut Pekan Sastra se-Sumatera yang September tahun ini akan diselenggarakan di Pekanbaru. Dengan demikian, BBPR mengundang para sastrawan dan budayawan ini adalah selain dalam rangka temu-ramah, juga untuk menjemput peran-serta mereka dalam program-program tersebut.
            Bagi saya pribadi, ketika melihat BBPR memaparkan program-program kerja/kegiatan tersebut; saya jadi teringat tentang transparansi dalam kegiatan pemerintahan – ini barangkali dapat menjadi salah satu contoh yang terpuji manakala instansi-instansi pemerintahan yang lain justru [terkesan] berusaha menyembunyikannya dengan berbagai maksud, alasan, dan tujuan. Maka di dalam acara itu pun terjadilah diskusi, saling pertukaran informasi dan pikiran, serta ada juga kritik dan saran yang semuanya diharapkan dapat membuat program-program yang akan dilaksanakan tersebut berlangsung secara lebih baik. Hanya saja, seperti kebanyakan acara sejenis yang kemudian berjalan penuh passion, waktu yang tersedia akhirnya terasa begitu singkat. Mudah-mudahan, ada waktu yang cukup saat pembahasan yang lebih spesifik dan detail nantinya.
            Oleh karena itu, di dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membahas program-program yang akan dilaksanakan tersebut, melainkan saya ingin mencoba menelisik posisi, keberadaan, dan peran BBPR di Provinsi Riau dan dalam konteks Provinsi Riau sebagai tanah “ibunda” Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Melayu.
            Peran bahasa di dalam masyarakat [di mana pun di dunia ini; saya kira] seringkali terkesan mendua, atau kadangkala bahkan mengalami semacam kontradiksi. Ketika digunakan sehari-hari, nyaris tak ada yang memedulikan kaidah-kaidah yang seharusnya ditaati dalam berbahasa; namun pada saat lain tiba-tiba saja bahasa itu menjadi begitu penting dan sangat dihormati. Keadaan terakhir itu terjadi biasanya ketika sudah menyangkut ikatan suatu kelompok (puak, kaum, suku, ras, bangsa, d.ll.), kehormatan dan penghormatan dalam tradisi, d.st.
            Bangsa Indonesia ketika para pemudanya berketetapan hati pada 1928 untuk di antaranya mengakui berbahasa satu yaitu Bahasa Indonesia; maka itu sesungguhnya adalah sebuah lompatan politik dalam berkebangsaan yang begitu luar biasa, karena memiliki pandangan dan efek yang jauh ke depan. Seperti kita tahu, hingga sekarang ini masih banyak negara-bangsa yang masih memiliki problematika yang pelik dalam menentukan bahasa persatuan atau bahasa nasionalnya; yang bahkan hingga menyeret ke persoalan ikatan antar suku-bangsa yang ada! Banyak di antaranya bahkan kemudian menggunakan bahasa mantan bangsa penjajahnya sebagai bahasa nasional! Sebuah ironi – yang syukurnya tidak kita alami.
            Maka layaklah kiranya – sebagai sebuah bangsa yang besar dan beradab – Bangsa Indonesia menyayangi sekaligus menghormati Bahasa Indonesia. Yaitu di antaranya dengan cara lebih mendahulukan penggunaannya daripada bahasa yang lain, menggunakannya dengan kaidah-kaidah yang baik dan benar, serta ikut serta dalam pengembangannya. Di antaranya inilah peran Balai Bahasa (yang kalau di pusat, lembaga ini sekarang bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), sebagaimana dapat disimak dalam visi dan misinya.
            Dengan begitu maka sesungguhnya posisi BBPR adalah unik, karena ia berada di tanah “ibunda” Bahasa Indonesia itu. Dengan posisi demikian, sesungguhnya kita boleh berharap – meskipun sebagai bagian dari sebuah instansi vertikal – BBPR memiliki “kekuatan” dan peran yang lebih dibanding balai-balai bahasa di provinsi lainnya. Kita selalu mempunyai perasaan yang unik ketika sedang berada di tanah “leluhur”, bukan?
            Dan sedikit-banyak, hal semacam ini agaknya sudah terbayangkan oleh Kepala BBPR saat baru menduduki jabatannya ini, seperti dapat disimak dalam wawancara dengan Hary B Koriun (yang dimuat dalam situs ulunlampung.blogspot.com tanggal 19 Februari 2011). Di antaranya yang disebut adalah usaha-usaha memperkokoh kemelayuan dalam konteks maraknya “klaim” warisan budaya oleh Malaysia dan Singapura pada periode itu, Malaysia yang [konon] sedang menyusun kamus Bahasa Melayu (tentu maksudnya bukan Kamus Dewan yang sudah ada saat ini), kosakata-kosakata arkhaik dalam Bahasa Melayu, perhatian yang lebih intens pada bidang kesastraan, d.ll.
            Dalam tahun-tahun kemudian, dari beberapa pertemuan atau tulisan yang dapat saya simak atau alami, BBPR tampaknya cukup berhasil menyelenggarakan kegiatan yang bersifat spesifik dalam konteks kemelayuan tersebut, seperti di antaranya berhasil diterbitkannya buku Ensiklopedia Sastra Riau, beberapa jurnal, serta kegiatan-kegiatan lomba atau semacamnya. Meski demikian, nampaknya Riau mengharapkan peran yang lebih luas lagi, seperti yang diungkapkan Al Azhar, Junaidi, Kazzaini, Mosthamir, dan rekan-rekan lainnya dalam pertemuan itu.
            Namun agaknya harus dapat dipahami bahwa instansi yang bersifat vertikal ke Jakarta seperti BBPR ini memiliki keterbatasan untuk bergerak secara lebih leluasa dalam “tataran horisontal”. Hal ini dapat kita simak pada beberapa pernyataan Kepala BBPR dalam beberapa kesempatan, seperti: “Karena kami tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Yang dapat kami lakukan paling-paling hanyalah menyampaikan teguran.”, saat menjawab surat pembaca Pandu Syaiful. Atau tentang BBPR yang belum dianggap oleh Pemerintah Daerah. Atau bahkan tentang masalah masyarakat Melayu sendiri yang sepertinya sudah mulai enggan berbahasa Melayu!
            Bahasa adalah produk budaya. Dalam konteks itu, dan juga “memandang” Visi Riau 2020, maka lontaran gagasan Al Azhar yang dimuat dalam Koran Riau beberapa hari lalu tentang perlu dibentuknya Dinas Kebudayaan secara mandiri menjadi menarik untuk diperjuangkan. Gagasan semacam ini sebenarnya sudah pernah muncul dan menjadi perdebatan di awal reformasi dulu, tentang perlunya Departemen Kebudayaan secara tersendiri. Saya sendiri mencoba bermimpi, kalau menjadi presiden akan mengubah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Departemen Kebudayaan dan Pendidikan; karena bagi saya kebudayaan sesungguhnya adalah inti sebuah peradaban.
            Dalam keterbatasan itu, maka berkenaan dengan kebahasaan, kesastraan, dan kemelayuan, peran BBPR menjadi seperti tamu yang berguna tapi hanya boleh duduk di beranda rumah belaka. Saya tidak tahu apakah persoalan tata laksana birokrasi pemerintahan begitu menghalangi hal semacam ini, atau hanya sekadar persoalan niat, keinginan, perhatian, kemampuan, dan/atau kepentingan semata. Tapi saya percaya, salah satu tradisi dasar kemelayuan yang terkenal begitu egaliter itu adalah masyarakat Melayu begitu menghormati dan melayani tamunya.
            Hari ketika tulisan ini selesai dibuat adalah saat pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau 2014-2019. Maka saya berharap peristiwa ini dapat menjadi momentum yang tepat untuk melambungkan Kebudayaan Melayu melampaui 2020. Dalam konteks ini, salah satunya adalah perhatian yang lebih besar dari Provinsi kepada BBPR. Atau bila secara langsung harus menghadapi kendala-kendala yang pelik, dapat dihidupkan kembali gagasan didirikannya Dewan Bahasa dan Sastra Riau, seperti yang pernah dirintis BM Diah d.kk dulu; sebagaimana perbincangan saya dengan rekan Abel Tasman. Dewan inilah yang kelak bekerja sama secara langsung dengan BBPR.
            Bila hal ini dapat terlaksana, menurut saya ada beberapa kerja besar yang sudah menanti. [1] Menyusun Kamus Besar Bahasa Melayu [Riau] menurut saya adalah salah satu yang utama. Bila berkunjung ke Gedung Suman HS lantai 3, saya selalu sedih karena sudah berderet puluhan kamus bahasa daerah lain, namun tidak ada Bahasa Melayu! Menurut saya ini hal yang memalukan bagi kita semua. Entah kemana perginya pasal 5 larik 1 Gurindam 12 Raja Ali Haji. (Menurut rekan saya Abel Tasman, sesungguhnya kamus tersebut sudah pernah dirintis penyusunannya, namun sepertinya terkendala masalah teknis [dan juga pembiayaan dari PemDa]. Masalah teknis di antaranya adalah banyaknya klaim dialek. Saya juga berharap, kamus ini kelak bukan saja berisi tentang lema dan pengertiannya, namun juga memuat persoalan gramatika dan segi-segi lingustik lainnya, Ini kemudian menjadi diskusi yang menarik bagi kami).
[2] Kemudian tentang pengajaran Bahasa Melayu, baik di sekolah maupun luar sekolah, baik dalam konteks local content maupun local concern, baik membaca maupun menulis, baik latin maupun arab-melayu, baik dalam lingkungan privat maupun publik. Bahasa yang ditinggalkan penuturnya akan menjadi bahasa mati. [3] Gagasan untuk mendirikan Monumen Bahasa bagi saya sangat menarik, penting, bermanfaat; dan bahkan saya membayangkan akan sebuah arsitektur yang monumental. Namun konon gagasan ini berbenturan dengan “belahan jiwa” kita, Provinsi Kepulauan Riau. Maka, sambil bergurau dengan Abel saya bilang, “Dah, daripada berebut, kita usulkan saja monumen tu didirikan di perbatasan. Di Pulau Rupat, misalnya. Dirikan yang megah, sekaligus tempat lokasinya kelak sekalian dijadikan destinasi pelancongan! Untuk di Pekanbaru dan Tanjungpinang (dan juga mungkin di lokasi tempat dibacakannya Soempah Pemoeda 1928) didirikan replikanya.”
[4] Penerbitan buku; dalam pengertian ini baik yang berbentuk cetakan maupun elektronik (e-book, micro-film); berupa buku maupun terbitan berkala; bersumber dari naskah, makalah, tesis, disertasi, hasil penelitian, d.st.; berjenis sains, teknologi, humaniora, religi, d.st; berasal dari kearifan lokal maupun terjemahan; tradisi maupun modern atau bahkan ultra-modern; d.ll. Jepang maju konon berkat Restorasi Meiji 1866, yang salah satu di antaranya adalah penerbitan buku secara besar-besaran! Perlu dipahami, buku ada kalanya bernilai ekonomi tinggi, tetapi seringkali buku yang penting dalam membangun kebudayaan kurang bernilai ekonomi. Sebuah paradoks, memang. Maka mengalokasikan 3 % dari anggaran pendidikan untuk kegiatan ini di tahap awal cukuplah barangkali. [5] Perlunya pendokumentasian, penelitian, perlindungan (d.st) secara lebih intensif lagi terhadap bahasa-bahasa dan sastra-sastra daerah di Riau yang hampir punah; seperti dari puak/suku Akit, Bonai, Sakai, Talangmamak, d.ll. [6] Mendukung kegiatan-kegiatan sastra dan budaya Riau secara lebih komprehensif, bukan dalam konsep artifisial semata. [7] D.ll.
Maka, sambil menghaturkan Tahniah pada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau 2014-2019 yang baru saja dilantik, saya menitip harapan kiranya momentum ini dapat dianjungkan.
Akhir kalam, di ujung pertemuan itu kami pun santap siang bersama, beramah-tamah dalam suasana yang penuh kekeluargaan, serta sapa dan senyum yang menyejukkan dari para kerabat BBPR; suasana yang rasanya jarang saya temukan di tempat lain. Tabik.

Payungsekaki, 19022014.
Publikasi #1: Riau Pos, 02-03-14.




KOPERASI SENIMAN RIAU
SEBUAH GAGASAN

Oleh Gde Agung Lontar




Bahkan Tuhan pun berkoperasi!
Tuhan meminjamkan tangan kepadamu ….
Tuhan mengizinkanmu hidup dengan hati ….
Tuhan mempersilahkanmu menggunakan mata dan telinga pinjaman-Nya ….
Hidup dengan otak, yang dicahayai oleh Allah melalui perangkat lunak yang disebut akal, sehingga otakmu bisa berpikir ….

(Emha Ainun Nadjib, penggalan sajak Koperasi.)

Kisah Anak Negeri
            Suatu hari terjadi dialog seperti ini:
            “Bang, aku sudah berhasil menulis dua buah naskah novel. Menurut aku sih bagus, tapi sampai sekarang aku belum berhasil menerbitkannya. Sudah ada beberapa penerbit yang aku kirimkan proposalnya, tapi sampai sekarang bahkan jawabannya pun belum aku terima. Macam mana, Bang?”
            Kawan yang lain lagi,
            “Iya, Bang. Saya ini kan suka melukis. Sudah puluhan lukisan yang berhasil saya buat. Tapi bahkan untuk sekadar pameran pun saya belum dapat melakukannya. Masa saya harus pameran di tepi jalan, kan kasihan kena debu. Belum lagi nanti bisa-bisa dipelasah Satpol PP.”
            Lalu, Si Gendut,
            “Bung, kan Bung tahu, beta ini punya teater dan sanggar tari. Beta sudah bikin banyak naskah drama dan koregrafi tari. Baik yang tradisi maupun yang modern. Tapi, seperti yang Bung tahu, beta dan kawan-kawan sampai sekarang tak tahu macam mana caranya untuk mempresentasikan karya-karya kami. Paling-paling, sampai sekarang kami hanya pentas di lingkungan kami sendiri. Macam onani saja rasanya. Proposal? Ah, sudah banyak kami lempar. Ke Dinas, ke Dewan-dewan, ke konglomerat, ke yayasan, ke tokoh-tokoh masyarakat. Haram semua.”
            Dialog di atas sesungguhnya hanyalah sebuah ilustrasi, fiksi belaka. Tidak sungguh-sungguh benar terjadi. Bahkan rangkaian percakapan itu sendiri tak dapat disebut sebagai sebuah dialog, karena tidak adanya kesimetrian pertelagahan pikiran dan perasaan di dalamnya, kecuali sekadar kesejajaran gagasan. Meski demikian, dialog di atas bukannya tidak dapat disebut benar-benar pernah terjadi, dan bukannya pula tidak dapat disebut sebagai sebuah dialog. Pada suatu waktu, pada suatu tempat, dialog semacam itu pernah terjadi – dan tidak jarang. Entah ketika itu saya, entah ketika itu Anda, entah ketika itu kita ada di sana. Kenapa bisa demikian?
            Setiap manusia membutuhkan aktualisasi diri, begitulah setidak-tidaknya menurut Abraham Maslow. Kebutuhan aktualisasi diri ini adalah merupakan kebutuhan di mana orang ingin memaksimalkan potensi diri, ingin mengembangkan diri, sehingga keberadaannya diakui oleh orang lain. Ini sebenarnya jenjang tertinggi menurut Maslow dengan hierarchy of needs-nya, setelah: kebutuhan faali, keamanan, sosialisi, dan penghargaan terpenuhi. Tetapi tidak setiap manusia “patuh” mengikuti jenjang Maslow itu. Bagi kaum seniman pada umumnya, seringkali kebutuhan aktualisasi mendahului yang lainnya, bahkan mungkin berjalan dalam urutan terbalik.
            Aktualisasi diri berkaitan dengan masalah eksistensi yang paling dalam, hal-hal yang selalu menjadi topik utama kaum seniman. Tetapi di sinilah masalahnya, untuk mendapatkan pengakuan sang seniman membutuhkan media yang membuat khalayak dapat dengan mudah mengakses karya-karyanya. Dan, kita tahu, di sini inilah salah satu bagian yang paling sulit; meskipun berkat perkembangan zaman hal-hal seperti ini sebenarnya bisa saja menjadi jauh lebih mudah. Sebuah paradoks? Memang.
            Mari coba kita bahas sedikit masalah ini.
            Secara sederhana cara untuk mengekspos karya-karya sang seniman agar dikenal oleh masyarakat dapat kita bagi menjadi dua, yaitu: tradisional dan modern (katakanlah begitu). Untuk contoh cara yang tradisional, seorang sastrawan yang sudah menyelesaikan sebuah naskah novel misalnya kemudian perlu memperbanyak / menduplikasi novel itu dalam bentuk buku untuk kemudian didistribusikan ke berbagai tempat agar mudah dijangkau oleh masyarakat yang berminat. Pelukis sedikit lain caranya karena dia tentu saja “tidak boleh” menduplikasi lukisannya karena produk lukisan mengenal istilah asli dan palsu secara fisik; maka dia kemudian memerlukan suatu tempat agar khalayak ramai dapat dengan mudah melihat (dan kemudian membeli) karyanya itu, baik berupa acara pameran, dipajang di sebuah galeri seni, ruang pajang di sebuah hotel, atau sekadar digantung di sebuah toko. Sedang bagi sang koreografer tari dengan hasil koreografinya, atau sang sutradara teater dengan dramanya, tentu akan segera mencari panggung dalam upaya mempersembahkan karyanya.
            Sedang dengan cara modern, dapat saya ringkas salah satunya dengan memanfaatkan media internet atau world wide web. Cukup dengan membuat website pribadi, atau menumpang juga bisa, di sana sang seniman dapat memajang karya-karyanya. Naskah novel dapat langsung diunggah, lukisan dapat difoto terlebih dahulu (lebih mudah dengan kamera digital), sedang karya tari atau teater dibuatkan videonya (handycam­-nya cukup minjam, dan panggungnya kalau boleh menumpang sebentar di Gedung Idrus Tintin). Setelah itu semua, karya-karya itu berpotensi untuk disimak oleh ratusan juta orang – sebuah angka yang mustahil untuk dicapai oleh novel-novel Harry Potter sekalipun! Bukankah ini sebuah peluang yang menggiurkan?
Tetapi, ada masalah luar biasa yang menghadang di sini, terutama bagi kaum seniman, yaitu berkaitan dengan hak cipta. Kita tahu, di dunia maya masalah hak cipta adalah sesuatu yang rentan, dan agaknya inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa cara ini masih kurang menarik; di samping keterbatasan-keterbatasan yang masih ada, baik diakibatkan oleh masalah internal (diri sang seniman itu sendiri), maupun eksternal (internet dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, sosial budaya dan kebiasaan masyarakat, sarana pendukung, d.ll). Meski demikian, sejak bertahun-tahun yang lalu ada saja seniman (dan kelompoknya) yang mencoba memanfaatkan fasilitas ini, meskipun sepintas yang saya lihat pada umumnya kurang dapat berkembang dengan memuaskan, atau bahkan kemudian tutup buku. Sebuah paradoks, bukan?
            Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kasihan sekali jadi seniman, bukan? Sudah dia yang bertungkus-lumus dalam upaya melahirkan karya yang jenial (paling tidak sementara menurut kepala-hotaknya sendiri), memeras pikiran perasaan dan badan, merentang waktu hingga lupa almanak; eh dia pula yang harus bersusah-payah menduplikasi serta menyorong-nyorong karyanya kesana-kemari, seringkali dengan resiko ekonomi yang sebenarnya nyaris tak tertanggungkan lagi. Di negara-negara yang lebih maju, sebenarnya proses pasca-penciptaan ini (proposal, produksi / duplikasi, distribusi, pemasarn, d.ll) telah diambil perannya oleh para agen atau kurator, sehingga membantu menjembatani kepentingan antara pihak seniman dan produser hingga konsumen, serta paling tidak mengeliminasi resiko ekonomi bagi sang seniman sendiri. Tidak jarang, dalam kasus-kasus tertentu, berkat jasa agen atau kurator ini pihak produser bahkan sudah berinvestasi sejak pra-penciptaan. Impian yang terlalu tinggi bagi kita di sini.
            Dalam beberapa diskusi dengan beberapa sahabat, atau dari membaca artikel d.ll, tak jarang tercetus pernyataan (sebenarnya juga pertanyaan) tentang berjaraknya seniman dan masyarakat (dalam hal ini terutama dalam soal mempersembahkan karyanya, bukan dalam hal proses kreatifnya), dan berjaraknya masyarakat dan seniman (terutama dalam hal mengapriasiasi karyanya). Yaitu, masyarakat kita nyaris tidak tahu tentang novel itu, lukisan anu, tarian iku, ataupun drama entah (kecuali yang berasal dari produk-produk mainstream, yang berasal dari Jakarta-sentris, atau yang berbau-bau “populer”; intinya yang berhasil membentuk opini masyarakat banyak melalui kekuatan media (atau media yang kuat)). Tetapi menurut saya tentu saja itu adalah hal yang logis, bagaimana mungkin masyarakat mengenali karya-karya kita bila karya-karya itu tidak pernah terekspos sampai ke mereka? Kalau sudah begitu, jangan lagi mengharapkan adanya suatu umpan-balik dan atau perenungan dan atau manfaat nyata bagi mereka, untuk sekadar mengisi teka-teki silang tentang nama pengarang novel Nubuat pun misalnya mereka tidak akan tahu.
            Sebenarnya bagi para seniman, kebutuhan aktualisasi diri itu seringkali bukan semata didasarkan pada kebutuhan eksistensialisasi diri (soal ini jangan dulu kita bertelagah tentang Sartre, Camus, Heidegger, atau Iwan Simatupang), tetapi juga berkaitan dengan “eksistensialisasi masyarakat”. Ini mungkin terdengar congkak, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah, pada dasarnya seluruh karya seni adalah merupakan produk kontemplasi sang seniman atas masyarakatnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karya itu adalah cermin bagi masyarakatnya. Sebuah cermin yang dapat membuat kita mengetahui ada sebuah jerawat batu di wajah kita (masyarakat), atau panau di punggung, peradangan amandel, atau mungkin gincu yang terlalu tebal. Pada saat yang sama, karya seni itu mau tak mau sebenarnya adalah produk masyarakat itu juga. Ia dapat menjadi sekadar sampah, kain lap, atau mungkin malahan menjadi sebuah monumen yang akan dikenang umat manusia hingga ribuan tahun mendatang (epik Mahabharata dari India ± 2.500 tahun yang lalu, lukisan Monalisa dari Italia ± 600 tahun yang lalu, hikayat Hang Tuah  dari Indonesia ± 400 tahun yang lalu).
            Dalam upaya aktualisasi diri ini Penulis juga mengalami hal yang sama saja dengan yang dialami rekan-rekan seniman lainnya. Ketidakmampuan diri untuk mengekspos karya secara mandiri (seperti yang beberapa sahabat kita mampu lakukan) dipalang oleh keterbatasan berbagai sumberdaya – sebagaimana yang banyak sahabat kita alami. Pernah mencoba ke beberapa penerbit (untuk novel dan kumpulan cerpen), tapi kita tahu bagaimana mereka, dan mungkin juga keterbatasan karya kita sendiri (setidaknya menurut editor mereka). Pernah juga berharap dari Komunitas Cerpenis Indonesia yang rencananya akan dibentuk (dari keputusan Kongres Cerpen Indonesia, November 2005), tapi sampai sekarang tak terdengar lagi gaungnya. Pelepasan yang selama ini berhasil Penulis lakukan akhirnya “hanyalah” melalui media-media seperti majalah dan suratkabar. Syukurlah akhirnya, barangkali separuh berkat keberuntungan, dua buah novel Penulis berhasil diterbitkan (yang satu karena menang sayembara, yang lain karena diundang oleh Disbudpar). Itu pun sepertinya tidak terdistribusi secara maksimal.
Tidak banyak seniman yang mendapatkan keberuntungan semacam itu. Sebagian besar dari kita bersusah-payah mengajukan berbagai tawaran dan proposal ke sana ke mari, tetapi di negeri “Ibu Melayu” ini sepertinya kerja seniman ini belum masuk kategori mustahak. Tak sedikit pula seniman yang mencoba melakukan secara mandiri dengan segala keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya; membentuk yayasan, majelis, komunitas, kelompok, d.st. Ada yang berhasil mentereng, tapi jauh lebih banyak lagi yang sekadar mentheleng; hingga kemudian hanya terbitlah sebuah buku kumpulan puisi edisi fotokopi atau hasil print-out-an (masih mending agaknya, dulu stensilan), lukisan dipajang di sudut-sudut entah hingga berdebu dan berjamur, dan komposisi tari di sekadar panggung 17-an yang riuh dengan soundsystem alam terkembang. Meski berhasil eksis, tetap saja tidak berhasil mencapai eksistensi masyarakat (luas).
Dalam konteks inilah Penulis kemudian teringat pada koperasi.

Introduksi Koperasi
Koperasi adalah sebuah bentuk badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluarkan. Setidak-tidaknya begitulah defenisi koperasi menurut UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian. Jangan baca lema koperasi dalam KBBI, lebih tidak menarik lagi.
Bapak Koperasi dan Demokrasi Ekonomi kita, yang juga sekaligus merupakan salah seorang Proklamator RI, Bung Hatta, sejak bahkan sebelum awal mula berdiri Republik ini sudah mengatakan bahwa bentuk usaha yang paling sesuai bagi Bangsa Indonesia adalah koperasi. Ini karena secara tradisional, pola sosial-budaya orang Indonesia itu suka saling tolong-menolong, suka bekerja bersama-sama, bergotong-royong; yang ringan sama dijinjing, yang berat sama dipikul.
Tetapi koperasi di Indonesia sendiri sebenarnya pertama kali diperkenalkan pada tahun 1896 oleh Raden Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah (Masad Masrur, 2008). Ketika itu ia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang pada rentenir. Koperasinya ini kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi Pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu perkoperasian kemudian berkembang luas di tengah masyarakat. Banyak koperasi-koperasi lainnya bertumbuhan, hingga kemudian sempat dikhawatirkan oleh Kolonial koperasi itu akan dijadikan pusat-pusat perlawanan kaum pribumi. Sampai, tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
            Bung Hatta menempatkan koperasi sebagai bagian dari perjuangan pembebasan terhadap imperialisme Belanda, khususnya eksploitasi ekonomi kolonial, untuk dapat bagi rakyat mengimbangi perusahaan-perusahaan bermodal besar. Kita kemudian mengenal perjuangan Bung Hatta ini secara yuridis dalam berkenegaraan Republik Indonesia tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 yang terkenal itu, di mana di antaranya dalam ayat (1) tercantum: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.
            Dalam tataran dunia internasional pun koperasi bukanlah asing sama sekali. Bahkan sejak PD II hingga kini bisa dikatakan bahwa koperasi adalah salah satu bentuk organisasi ekonomi modern yang berkembang pesat serta mengambil peran penting di Eropa Barat. Jadi, keliru kalau kita beranggapan bahwa koperasi adalah bentuk organisasi ekonomi yang tradisional, yang katro. Kita dapat melihat pada negara-negara yang memiliki tingkat sosial-budaya yang tinggi pun, badan usaha koperasi memiliki peranan penting. Seperti Finlandia, sebuah negara maju yang mendapat banyak pujian dalam hampir berbagai segi berkenegaraan (Finlandia relatif sangat bersih dari korupsi, urusan-urusan publik sangat mudah, sangat memperhatikan lingkungan hidup, d.ll). Juga dapat kita lihat di Denmark, Kanada, Jerman, Jepang, dan bahkan USA.
            Di bawah ini sebagai ilustrasi dapat kita lihat beberapa catatan tentang perkembangan koperasi di beberapa negara :

v  Kanada : 25 % dari penduduknya setidaknya adalah anggota dari satu koperasi. Di ibukotanya, Quebec, bahkan 70 % penduduknya adalah anggota koperasi;
v  Finlandia : S-Group memiliki anggota 1.468.572 orang (th. 2004) yang merupakan 62 % dari rumahtangga Finlandia;
v  Jerman : ada 20 juta orang anggota koperasi, yang merupakan 25 % penduduk;
v  Jepang : sepertiga penduduknya adalah anggota koperas;
v  India : 239 juta penduduk menjadi anggota koperasi;
v  Selandia Baru : 40 % penduduk dewasa adalah anggota koperasi (th. 2007);
v  Singapura : separuh penduduknya anggota koperasi;
v  USA : 40 % penduduknya adalah anggota koperasi (th. 2006).

            Di samping itu dalam tataran dunia internasional, mengenai usaha bersama seperti koperasi ini telah mendapatkan tempat dalam Resolusi Sidang Umum PBB yang tercantum dalam Sertifikat Nomor 54 / 123 Tahun 1999 dan kemudian Nomor 56 / 114 Tahun 2001, di mana tercantum peran koperasi yang sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan integrasi sosial di negara-negara seluruh dunia.
            Sayangnya, di negara kita sendiri koperasi seringkali mendapat citra yang kurang baik. Sayup-sayup sampai sering kita dengar, terutama pada zaman OrBa dulu banyaknya koperasi jadi-jadian. Koperasi yang dibentuk hanya sekadar untuk mengeruk uang negara melalui berbagai fasilitas, lalu setelah itu mati suri; gejala-gejala serupa yang agaknya mulai timbul belakangan ini. Atau, seseorang membentuk koperasi dengan berbagai janji, mengumpulkan uang masyarakat, kemudian lari. Tetapi, sebagaimana juga badan-badan usaha lainnya, kejadian-kejadian buruk itu bukanlah disebabkan kegagalan dari sistem koperasi itu sendiri (terbukti di banyak negara maju koperasi merupakan salah satu pilihan utama), tetapi merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang tertentu.
            Hal yang terpenting yang harus dipahami dalam perkoperasian ini adalah bahwa koperasi bukanlah representasi kapitalisme, namun juga koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar. Koperasi adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat / rakyat kecil untuk bisa berperan dalam arena pasar. Tetapi, oleh karena koperasi bukan dari kapitalisme, koperasi dijalankan berlandaskan pada sistem kekeluargaan dan gotong-royong, maka dibentuknya sebuah koperasi bukanlah dengan tujuan utama mencari laba sebesar-besarnya, melainkan lebih kepada kepentingan melayani kebutuhan bersama para anggotanya.

Koperasi Seniman Riau (?)
            Karena itulah melalui tulisan ini Penulis menawarkan sebuah gagasan kepada sahabat seniman untuk bersama-sama membentuk wadah usaha bersama berbentuk koperasi seniman. Kenapa koperasi? Karena seperti telah dijelaskan di muka, koperasi adalah badan usaha bersama. Berbagai sumberdaya yang diperlukan diusahakan secara bersama. Dalam permodalan aktiva lancar misalnya, koperasi mengenal iuran pokok dan iuran wajib. Iuran pokok (misalnya Rp 1 juta, tergantung kesepakatan) dibayarkan satu kali saja pada saat pertama kali menjadi anggota, sedangkan iuran wajib (misalnya Rp 100 ribu) dibayarkan anggota setiap bulan. Di samping itu koperasi juga mengenal modal penyertaan, yang fungsinya nyaris seperti saham dalam perseroan. Karena itulah, setiap tahun tutup buku, setiap anggota kelak akan mendapatkan bagian sisa hasil usaha (mirip dividen dalam perseroan) berdasarkan besarnya kontribusi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Dari sejumlah modal yang berhasil dikumpulkan itulah, termasuk aktiva-aktiva lainnya, kegiatan usaha koperasi itu dapat dijalankan.
            Kalau mau lebih teknis sedikit, ditambah dengan secuil mimpi, katakanlah ada 100 rekan yang berminat berusaha bersama, maka modal awal yang terkumpul adalah Rp 100 juta dari iuran pokok [misalnya] satu juta per anggota, dan Rp 10 juta dari iuran wajib bulan pertama. Jumlahnya Rp 110 juta. Ditambah dengan asumsi rerata masing-masing memasukkan modal penyertaan sebesar Rp 1 juta (ini bukanlah wajib bagi seluruh anggota, dan besarnya modal penyertaan pun tergantung kemampuan masing-masing), maka total modal awal terkumpul adalah Rp 220 juta. Dari modal bersama inilah kegiatan bersama-sama dapat dijalankan.
            Kegiatan usaha apakah yang akan dijalankan? Tentu saja kegiatan utama koperasi ini adalah dalam upaya aktualisasi anggotanya yang merupakan para seniman itu. Yang sastrawan jelas membutuhkan penerbitan, yang lain membutuhkan pementasan, pameran dan galeri, d.st. Maka, paling tidak, menurut Penulis, pada tahap awal koperasi ini memerlukan adanya divisi-divisi (dalam istilah perkoperasian: unit-unit usaha) penerbitan, event-organizer, perdagangan umum, dan ada baiknya juga ada divisi simpan-pinjam.
Meski demikian, agar dapat tetap berlangsungnya usaha koperasi ini, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selain berlandaskan upaya aktualisasi anggotanya, juga harus dapat mendatangkan sejumlah manfaat ekonomi yang memadai. Untuk itu, maka di samping adanya kepengurusan, koperasi juga harus memiliki semacam dewan redaksi dan atau editor dan atau kurator yang bertugas melakukan penelitian atas karya-karya yang akan diangkat. Maka, mau tidak mau akan terjadi proses seleksi di sini. Proses seleksi ini baik berupa sekadar penjadwalan, koreksi/penyuntingan (bila saling disepakati), atau bahkan penolakan. Hal ini di samping karena keterbatasan sumberdaya, juga koperasi jangan sampai mengangkat karya secara serampangan sehingga merugikan koperasi itu sendiri, dan para anggotanya pada akhirnya.
Mengenai nama dan jumlah koperasi yang akan dibentuk, berpulang pada niat dan kebutuhan (masing-masing kelompok) seniman. Namun untuk jumlah koperasi, Penulis menyarankan untuk tidak terlalu banyak agar di sana dapat terhimpun sejumlah besar anggota yang dengan demikian juga akan terhimpun sejumlah besar modal, sehingga dengan kekuatan itu koperasi akan bergerak lebih leluasa dalam melaksanakan kegiatannya.
Kemudian, seperti banyak orang bijak mengatakan, kegiatan yang paling sulit dalam suatu usaha sebenarnya bukanlah saat memproduksinya, tetapi bagaimana menjualnya. Ini juga tentu memerlukan diskusi lebih lanjut, tetapi yang pasti adalah koperasi harus membuat jaringan yang kuat dan luas, atau paling tidak berusaha menjadi bagian dari suatu jaringan yang kuat dan luas.
Setelah itu, keuntungan apa lagi yang kiranya akan didapat dengan menjadi anggota koperasi seperti ini? Seperti biasanya dalam sebuah usaha koperasi, anggota akan melakukan berbagai kegiatan usaha secara bersama-sama, merancangnya, menjalankannya, dan mengevaluasinya, serta tentu saja akhirnya mendapatkan manfaat ekonominya secara bersama-sama pula. Di samping itu di antaranya dapat dijabarkan sbb :

1.       Memperoleh sertifikat dan atau kartu keanggotaan;
2.      Berhak mengikuti rapat-rapat anggota dalam rangka menentukan arah Koperasi di masa depan, melakukan evaluasi, serta mengajukan kritik dan saran;
3.      Berhak memperoleh dividen sisa hasil usaha pada setiap tahun tutup buku, sebanding dengan simpanan dan kontribusinya;
4.      Melalui Divisi Simpan-Pinjam, berhak memperoleh pinjaman tanpa agunan hingga jumlah dan jangka waktu tertentu, dengan kewajiban pengembalian yang sangat ringan; bila dibutuhkan juga dapat mengajukan pinjaman dengan agunan, dengan syarat dan ketentuan berlaku;
5.      Berhak mengikuti program-program dan atau kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan; d.ll.

Dan, siapakah anggota dari koperasi ini? Tentu para seniman.
Seniman, Makhluk Apa Itu?
Tetapi, ada masalah di sini. Siapakah seniman itu? Tidak seperti profesi-profesi lainnya, seniman tidak dengan mudah dapat didefenisikan. Profesi-profesi lain (dokter, insinyur, psikolog, d.ll) ada lembaga resmi yang memiliki hak untuk menasbihkannya pada seseorang, seniman tidak ada. Meskipun ada lembaga-lembaga resmi seperti institut kesenian, fakultas sastra, sekolah seni rupa, d.st., tetapi entah bagaimana mereka tidak memiliki hak untuk menasbihkan seseorang menjadi seniman. Barangkali, hanya masyarakatlah yang berhak menasbihkannya (dan dalam konteks sekarang, juga kritikus dan media massa; itu pun juga pada akhirnya perlu mendapatkan “persetujuan” masyarakat).
Dalam KBBI (edisi th. 2002), lema “seniman” didefenisikan sebagai “orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni”. Defenisi ini meskipun sederhana paling tidak sudah menunjukkan harus adanya kaitan langsung antara bakat, mencipta, dan menggelarkan (minimal membuktikan) karya seninya. Sayangnya lagi, masih menyimpan masalah tentang bagaimana sesuatu itu dapat disebut sebagai sebuah karya seni (yang bermutu). Ini barangkali akan menjadi bahan kajian lebih lanjut, dalam konteks koperasi ini.
Kemudian, perlu juga diperbincangkan nanti, apabila dengan batasan-batasan tertentu, seniman-seniman dalam bidang apa sajakah yang akan diakomodasi dalam koperasi itu. Apakah di sana juga tercakup sastrawan, pelukis, teaterawan, pematung, komikus, d.st; atau dibatasi untuk bidang-bidang tertentu saja. Serta berdasarkan kriteria apakah seseorang itu berhak diyakini bahwa dia adalah seorang seniman, sehingga ia layak untuk ikut menjadi anggota Koperasi. Di sini perlu ada pembahasan yang berhati-hati sekali, serta dengan pikiran yang terbuka karena, sekali lagi, hal semacam ini dapat saja menjebak pemahaman kita hingga terkungkung dalam tempurung yang sempit.
Hal ini pun perlu jadi bahan pertimbangan yang hati-hati tentang batasan-batasan “Riau” sebagaimana yang dimaksud dalam “koperasi seniman Riau”. Apakah yang dimaksud dengan “Riau” itu? Silakan bahas.


Sebuah Utopia?
            Meski demikian barangkali ada sebuah masalah klasik yang mungkin belum apa-apa kita semua sudah dapat baca di sini, yaitu masalah ego. Kita tahu semua, dan mungkin sudah merupakan takdirnya, makhluk yang mengaku dan atau diakui bertitel seniman ini biasanya sangat tinggi keegoannya (bukan egoisme, lho). Mereka biasanya tidak mau diatur, tidak mau diperintah, tidak mau disuruh-suruh, jarang mau diberi petunjuk, jarang mau dinasehati, kerja sesuka hati (biasanya alasannya tergantung mood), sulit berdisiplin (kecuali bila sedang menyelesaikan karyanya), d.ll. Pokoknya, dalam bahasa ringkas dan sederhana, makhluk yang punya harga diri tinggi; yang namun sayangnya oleh masyarakat kebanyakan ditangkap sebagai som-bong, angkuh, eksentrik – dan pada suatu masa termasuk: jorok. Bagaimana mungkin sebuah usaha akan dijalankan dengan orang-orang yang seperti itu?
            Dunia usaha, termasuk koperasi di dalamnya, agar dapat berjalan dengan baik mensyaratkan harus dikelola oleh orang-orang yang – yah, maaf saja, bukan seperti “mereka” di atas. Orang-orang yang bergerak di bidang usaha biasanya berdisiplin tinggi, kreatif (dalam kegiatan usaha maksudnya), mampu bekerja keras, serta mampu bekerja sama; kriteria yang kebanyakan seniman “tidak” memilikinya. Jadi, bagaimana mungkin sebuah koperasi seniman dapat berjalan? Bukankah itu menjadi sebuah utopia?
            Pada kenyataannya, dari berbagai sumber, dapat kita ketahui bahwa di negara kita tercinta ini bukan tidak ada yang namanya koperasi seniman. Bahkan sebagai contoh, ada yang namanya Koperasi Seniman Indonesia. Namun, sayangnya sampai tulisan ini selesai Penulis belum berhasil mendapatkan referensi yang mendalam tentang koperasi-koperasi seniman itu, bagaimana keadaan mereka sekarang, bagaimana mereka dijalankan, d.st. Jadi, ini kelak mungkin dapat menjadi bahan pekerjaan guna upaya pembandingan dan pembelajaran.
            Meski demikian, sudah adanya koperasi-koperasi seniman itu (di Riau sepengetahuan Penulis belum ada, mohon koreksi bila salah), tetap membuktikan bahwa sebuah koperasi seniman bukanlah mustahil adanya. Yang diperlukan hanyalah pengelolaan yang dilakukan secara profesional, menurut kriteria-kriteria dalam dunia usaha. Lagi pula, pandangan umum tentang perilaku seniman sebagaimana di atas, seringkali hanya sekadar “kulit” belaka. Seorang seniman, sebagaimana manusia lainnya, bila dihadapkan dengan tantangan tertentu pada akhirnya dia tentu juga bisa berubah mengikuti tuntutan profesionalisme itu.
            Tinggallah bagi Penulis, semoga tulisan ini dapat memberi sedikit pencerahan atau makna bagi kita semua. Dan, meminjam Barack Obama:

IT’S TIME TO CHANGE
!



www.pekanbaruriau.com
 
MEMBACA LAWA :
Siti Jailawa bukan Sitti Nurbaja

OLEH : Gde Agung Lontar


Perempuan yang Lawa
            Ini adalah kisah tentang perjuangan seorang wanita. Perjuangan untuk mempertahankan cinta, kebersamaan, dan kepemilikan. Untuk masa-masa di mana latar novel ini berlangsung, yaitu antara zaman pendudukan Jepang hingga kedatangan kembali Belanda dalam rangka menjajah kembali Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya, dengan demikian perjuangan wanita ini terasa menyimpang dari adat resam budaya yang kita kenal untuk masa itu. Apalagi latar tempat berlangsungnya cerita novel ini berada di sebuah kawasan yang tergolong terpencil untuk masa itu (bahkan pun relatif hingga sekarang), di mana persentuhan budaya dengan dunia Barat atau dunia luar tidak berlangsung secara intens; sehingga dipercaya dapat memberikan pandangan-pandangan yang lebih “modern” dalam alam pikiran masyarakatnya. Saya tidak akan mengangkat hal ini seperti dalam tulisan ini apabila latar tempat kisah novel ini berlangsung di Jakarta atau bahkan Padang, misalnya. Maka kita tidak akan heran apabila wanita-wanita dalam Layar Terkembang, Belenggu, atau bahkan Salah Asuhan misalnya sudah memiliki pemikiran yang demikian terbuka dan “maju”, jauh “melampaui” lingkungan sosio-kultural mereka yang sebenarnya.
          Lantas, apakah Lawa – baik sebagai sebuah novel maupun sebagai seorang tokoh yang bernama lengkap Siti Jailawa – menjadi sebuah anomali? Jawaban yang paling aman agaknya: berpulanglah kepada interpretasi masing-masing pembaca.
            Dan memang, saya menangkap, dalam konteks sosio-kulturalnya pada masa itu Lawa adalah seorang wanita dan perempuan yang begitu tegar, kuat, liat, dan penuh semangat setidak-tidaknya dalam hal mempertahankan mahligai cintanya; meskipun pada saat yang sama dia juga sebenarnya begitu rapuh, hingga bahkan hampir luruh. Kita dapat mengetahui bahwa strukturasi kultural dalam masyarakat tempatan yang masih merupakan bagian dari adat budaya Minangkabau pada masa itu, hampir tidak memberi ruang pada wanita untuk menentukan pilihan-pilihan untuk kehidupannya sendiri. Perkawinan, pendidikan, pemerintahan di antaranya; atas nama adat-istiadat dan hukum syariat masih merupakan domain kuat kaum laki-laki dalam menentukannya. Untungnya dalam masyarakat matrilinier – kalau mau dibilang begitu – “kekuatan” kaum perempuan masih ada dalam wilayah garis keturunan dan harta pusaka.
            Tetapi, Siti Jailawa memang bukan Sitti Nurbaja. Meskipun memang sama-sama menikah atas pilihan orangtua, serta dinikahkan pula dengan seorang yang sudah tua, pikiran-pikiran dan suasana yang melatarbelakanginya memang berbeda. Lawa dinikahkan lebih dalam upaya untuk menyelamatkan keberadaannya sendiri. Lawa adalah anak sebatang kara, sementara Mamak Daud – orang yang mengasuhnya selama ini – sudah renta atau paling tidak dalam kondisi yang tidak prima, sementara serdadu Belanda sudah hampir sampai ke desa. Tetapi pernikahan Sitti Nurbaja lebih dalam upaya untuk menyelamatkan keluarganya, sehingga dalam konteks egosentrisme dirinya adalah korban, sehingga seharusnya ia melawan dan menolak pernikahan yang memang tidak diinginkannya itu. Apalagi pada saat yang sama Sitti Nurbaja sudah punya pilihan hati sendiri. Tetapi, Sitti Nurbaja tidak melakukannya. Ini boleh menjadi perdebatan panjang, apakah pengorbanannya itu bermakna atau hanya sekadar kekalahan belaka.
            Tetapi yang lebih penting dari itu, kita selanjutnya dapat melihat percikan pemikiran Lawa tentang kaumnya terasa cukup maju seakan melenting jauh dari waktu dan tempat latar kisahnya; yang bahkan di dunia Barat sana baru menemukan bentuknya dalam gerakan feminisme belasan tahun kemudian. Mari kita lihat apa yang ada dalam percikan-percikan pemikiran Lawa itu. Maklum, status janda membuat seorang perempuan jadi serba susah. Berbuat baik saja dianggap jelek, apalagi berbuat buruk. Terpandang ke laki orang saja disebut menggatal, apalagi bermain cinta dengan bujang-bujang. Miang, kata orang. Nasib janda memang serba susah. Mati pajak (63). Ini adalah sebuah keluhan, sekaligus gugatan. Atau: Mengapa harus perempuan yang disalahkan? Mengapa Markoni harus mencoba perawan baru? Apakah pernikahan itu bagian dari percobaan? Coba sana, coba sini, mana yang sesuai dialah yang dipakai? Mana yang tak suai lalu dibuang bersepai? Mengapa bukan aku yang harus mencoba pejantan baru? (14~15). Ini menurut saya benar-benar sebuah perlawanan sekaligus tantangan terhadap alam pikiran tempatan pada masa itu, meskipun baru hanya muncul di dalam alam mindanya semata. Bahkan sedikit lebih jauh dari itu, Lawa bahkan sempat bernakal-nakal. “Lawa” lebih dari sekadar cantik. Seorang gadis yang dipanggil Lawa itu berarti dia cantik, manis, menarik, dan segalanya. Kata orang, Lawa itu macam pulut: berminyak, agak bergetah, dan sangat terasa bila di lidah (81). Untaian kalimat yang tiba-tiba saja mengingatkan saya pada Cantik itu Luka. Dan, yang semacam ini sepertinya cukup banyak dipersembahkan Saidul dalam Lawa, baik berupa narasi maupun dialog.
            Tetapi, “lompatan” pemikiran yang seperti itu tidak kita temukan pada Sitti Nurbaja. Inti dalam kisah Sitti Nurbaja mungkin sekali terdapat dalam dialog antara Sitti Nurbaja dengan Samsulbahri, yang dapat dilihat di halaman 143 s/d 147 dalam Sitti Nurbaya terbitan Balai Pustaka cetakan XIII tahun 1981. Dalam dialog itu ringkasnya Sitti (secara panjang lebar, sebenarnya) mengatakan: “Oleh sebab itu, kupinta kepadamu, Sam, bila engkau kelak beranak perempuan, janganlah sekali-kali kaupaksa kawin dengan laki-laki yang tiada disukainya. … Sungguhpun ibu-bapa tahu dan kenal akan anaknya, tetapi yang terlebih mengetahui akan dirinya, tentulah anak itu sendiri juga. … Pada pikiranku, kewajiban ibu-bapa dalam hal perkawinan anaknya pertama mengingat umur anaknya itu; … Kedua, haruslah orang tua itu bertanya kepada anaknya, sudahkah ada niatnya hendak kawin? … Ketiga, haruslah ditanyakan, sukakah ia kepada jodohnya itu atau tiada. Yang sebaik-baiknya, tentulah anak itu sendiri mencari jodohnya. … Keempat, haruslah umurnya berpadanan. … Kepandaian harus pula sama, supaya dapat berunding dan bercakap-cakap dalam segala hal. … Rupanya janganlah berbeda sebagai malam dengan siang; karena itu pun boleh pula mendatangkan hal-hal yang kurang baik.” (143~146). Lalu, kata Sitti pula: “Bukan itu saja, tetapi selagi talak dipegang laki-laki saja dan laki-laki boleh beristri sampai beberapa orang, susahlah akan mengubah hal itu.” (147). Percikan pemikiran ini masih dalam setaraf keluhan berikut usulan, bukanlah perlawanan, apalagi tantangan. Kalau pun kemudian Sitti juga mengatakan: “Jika perempuan yang memegang talak, dan aku tiada terikat oleh ayahku, niscaya tiada kupanjangkan jodoh ini ….” (147); itu hanyalah sekadar menarik diri dari pertelagahan.

Lelaki yang Bimbang
            Tak ada yang berarti pada seorang lelaki yang bimbang. Segala perbuatannya hanyalah persiapan sekaligus siasat, tapi tak pernah sampai-sampai. Tak ada yang dapat dipegang. Seperti itulah Markoni; lelaki yang dengan mengherankan telah membuat bunga raya Lawa menjadi mekar dan merah kembali, tetapi yang tak juga sampai-sampai. Atau, seperti itukah cinta? Sebuah kata yang tak terpahami? Atau justru sebuah kata yang begitu banyak dipahami?
            Zahra adalah wanita yang sesungguhnya ada dalam hati dan kepala Markoni. Tapi, bagai kisah Sitti Nurbaja pula, ia menjadi sebuah “kasih tak sampai”. Tragis. Tetapi, siapakah yang sesungguhnya mengalami ketragisan itu? Markoni yang sudah merasa begitu banyak melakukan pengorbanan sekaligus kesalahan kah? Atau Zahra yang telah begitu setia menanti kembalinya cinta selama tujuh musim kah? Tetapi, dalam kisah cinta ini, sepertinya kita berhak menggugat Markoni.
Mengherankan sesungguhnya, bagaimana Markoni yang begitu merasa termehek-mehek pada Zahra dengan alasan yang terkesan mengada-ada justru ingin meninggalkannya pada saat yang sama! Padahal mereka berdua sudah pun ditunangkan. Padahal, masa perkawinan mereka tinggal hanya menghitung bulan. Dengarlah alasan Markoni yang menurut saya menjengkelkan ini: Namun, itulah. Tak selamanya garis yang akan dilalui selurus dan semulus yang dibayangkan. Dua bulan setelah kami bertunangan, kabar kedatangan Belanda benar-benar menjadi mimpi buruk. Semua orang merasa ketakutan. Belanda tidak hanya merampas harta pertanian warga, namun juga menangkapi orang-orang yang bisa dimanfaatkannya, terutama laki-laki dewasa. / Tak ada jalan selain berangkat ke perantauan. Lalu ditambahkan: “Malu aku sama ayah, Bunda. Dia susah-susah berusaha, berdagang keliling negeri. Seharusnya aku juga berbuat hal yang sama.” Padahal dari kisah empat ratus tahun yang lalu kita mengetahui bagaimana Romeo dalam usaha mencapai cinta kasih sejatinya Juliet justru menantang segala marabahaya yang bahkan datang dari pihak keluarga kekasihnya sendiri. Ini sepertinya menjadi alasan yang lemah untuk kepergiannya menjauh dari sang kekasih yang – katanya – begitu dicintainya, justru pada saat-saat marabahaya mengintai mereka. Apalagi bila segala alasan ini dikonfrontir dengan pernyataan-pernyataan Zahra. Agaknya, Zahra mengetahui yang sebenarnya, ketika ia mengatakan: “Za tak percaya Abang pergi hanya karena alasan Belanda. Pasti ada alasan lain. Abang tak sayang lagi sama Za ‘kan?” (47). Tetapi Markoni tetap tak peduli, hingga akhirnya dia pergi.
            Ketegasan sikap Markoni ini – mengherankan – hanya sampai di situ. Kalau dimintai pertanggungjawabannya, Markoni boleh saja berkilah bahwa kepergiannya itu kemudian adalah lebih dikarenakan sebuah kecelakaan. Dalam sebuah tugas yang diperintahkan kepala kampung, Markoni tertangkap Belanda hingga kemudian dibawa dan dipenjarakan di Salo. Jadi, ia tidak benar-benar pergi dengan sendirinya. Tetapi, niat dan siasat yang telah disusun dan sepertinya tak pernah pudar, menjadikan kisah tertangkapnya ia hanya membuatnya memiliki alasan yang bagus.
            Lalu, berhasil melarikan diri dari Salo, Markoni kemudian menikahi seorang janda cantik bernama Siti Jailawa. Maka, kebimbangan dan siasat selama tujuh tahun pun dimulailah. Tetapi, siasat ternyata bukan hanya datang dari satu pihak saja. Perkawinan mereka yang kemudian telah berlangsung selama tujuh tahun yang tidak juga memiliki seorang anak pun, menjadi api dalam sekam, bara dalam gambut; siap membakar sawah mereka, siap menghanguskan jalan perkawinan mereka. Bagi Lawa, mau tak mau titik ini menjadi buhul yang paling lemah dalam keberlangsungan ikatan perkawinan mereka. Sementara bagi Markoni, di bawah lindungan adat resam budaya ketiadaannya anak itu sepertinya bukan membuatnya merasa rindu atau paling tidak membutuhkan, tetapi justru menjadi pemantik terpendam dalam usaha kembali ke pangkal jalan. Dalam usaha penebusan kesalahan.
            Dengarlah apa kata hatinya: “Bagiku, tujuh tahun adalah sebuah pengabdian yang dalam, penantian yang panjang, kesetiaan yang maha luas, keikhlasan yang maha dalam. Tujuh tahun juga menjadi kepergian yang lama ….” (93). Meskipun kalimat selanjutnya berkaitan tentang penantian panjang sang Bunda, tetapi merujuk pada paragraf sebelumnya pernyataan yang dikutip itu lebih ditujukan kepada Lawa, kepada bagaimana ia memandang perkawinannya dengan Lawa. Dengan tanpa rasa belas kasihan, terlihat bagaimana sepertinya Markoni “memutar-balik keadaan”, dan menganggap perkawinannya dengan Lawa itu lebih karena kebutuhan Lawa daripada kebutuhan mereka berdua. Ia telah merasa menyelamatkan Lawa dari terkaman serdadu Jepang, telah merasa mengabdi, berkorban, menunggu, merasa dirinya ikhlas; persis seperti repertoar-repertoar kebanyakan politikus kita di masa ini.
            Barangkali itulah pula sebabnya mengapa kemudian Markoni melakukan monolog, semacam permaafan, berikut ini: Biarkan aku menjadi pecundang, dan akan kupikul kemanapun busuk bangkai di pundakku (90).

Membaca Lawa
            Senyampang membaca novel ini, melihat struktur bentuk penceritaannya segera teringat saya pada My Name is Red karya Orhan Pamuk, dan kemudian Pada Sebuah Kapal karya Nh Dini. Yaitu penceritaan dengan narator “aku” atau orang pertama untuk seluruh tokoh / karakter utama dalam cerita itu. Orhan Pamuk ada banyak tokoh “aku” yang menceritakan kisah dari sudut-pandangnya sendiri, bahkan termasuk seekor anjing; sementara Nh Dini, sebagaimana Saidul Tombang, hanya ada dua tokoh, tetapi dalam format yang berbeda. Nh Dini membuat masing-masing tokoh berkisah dari sudut-pandangnya sendiri satu kali dan secara keseluruhan dari awal hingga akhir, hingga bahkan novelnya itu dapat dibelah dua berdiri sendiri-sendiri; sementara Saidul Tombang mendekati format Orhan yang berselang-seling antar-tokoh pada masing-masing segmen cerita.
            Yang seperti ini sebenarnya sebuah bentuk penceritaan yang cukup unik, dan tergolong sulit sesungguhnya bagi sang pengarang karena sang pengarang harus mampu menjadi orang yang berbeda-beda sesuai dengan tokoh yang sedang menjadi “aku” di dalam novelnya. Ia harus lebih menyelami karakter tokohnya, harus lebih memahaminya, harus menjadi dirinya; karena ketika “aku” yang berbeda berbicara tentulah seharusnya terkandung ikutan-ikutan suasana lahir dan batin yang berbeda pula. Kesulitan itu akan makin tinggi ketika ada banyak detil yang ingin diungkapkan; baik detil lahiriah, detil batiniah, maupun detil lingkungan. Orhan Pamuk dan Nh Dini sudah melewati hal itu.
            Meskipun memiliki kesulitan yang (sesungguhnya) tinggi, bentuk teknik penceritaan yang seluruhnya tokoh “aku” yang menjadi naratornya seperti dimaksud di atas, sesungguhnya memiliki banyak daya tarik dan tantangan – yang dengan demikian juga kelebihan – dibandingkan teknik yang konvensional (di mana sebagai naratornya adalah tokoh “aku” / orang pertama, atau narator murni yang bukan merupakan bagian dari cerita). Dengan setiap tokoh utama diberi kesempatan untuk berkisah menurut sudut-pandangnya, maka sebenarnya novel itu telah membuka peluang untuk melihat suatu peristiwa atau masalah dari berbagai sudut pandang. Kemarahan, kebencian, keengganan, penolakan, kecintaan, perintah; segala hal, di dalam cerita itu jadi bukan hanya sekadar kata-kata yang terbaca itu belaka. Seseorang yang dirasakan oleh tokoh lainnya sebagai memberi perintah semata, mungkin sebenarnya hanyalah sebuah keterpaksaan karena tiadanya pilihan lain. Seseorang yang dirasakan oleh tokoh lainnya sebagai kebencian semata, mungkin sebenarnya hanyalah sebuah penolakan yang terpaksa. Demikianlah seterusnya.
            Bahkan di dalam kepala kita sendiri pun sesungguhnya seringkali terjadi dialog dan perdebatan, yang membuat kita berusaha memahami berbagai hal secara menyeluruh; meskipun dengan segala keterbatasan kita hal itu adalah mustahil.
            Tetapi sayangnya Saidul Tombang yang telah mengambil teknik penceritaan yang menjanjikan itu kurang mulus dalam upaya meletakkan masing-masing tokoh “aku” sebagai narator berikut suasana lahir dan batinnya masing-masing. Kita tidak dapat merasakan adanya perbedaan yang signifikan antara ketika si pengarang bertindak sebagai narator dengan Lawa sebagai narator atau pun saat Markoni sebagai narator. Kata-kata “ups” yang bertebaran di sana-sini sepertinya menegaskan hal itu. Tetapi yang lebih penting, saya tidak dapat merasakan suasana yang berbeda di antara ketiga narator atau tokoh “aku” itu; atau paling tidak antara Lawa dan Markoni. Atau, kalau pun ada, itu terasa halus sekali; nyaris tak ter-ada-kan. Menurut hemat saya, seharusnya Saidul dapat lebih mengeksplorasi – dan kemudian mengeksploitasi – kedalaman perbedaan mereka, apalagi antara pria dan wanita yang seharusnya begitu nyata bedanya. Hanya di suasana atau gaya bahasa saya dapat menangkapnya; itu pun nyaris.

            Di samping menggunakan beberapa “aku” sebagai narator sekaligus tokoh cerita, Saidul juga menggunakan teknik cerita-berbingkai; yaitu cerita di dalam cerita. Teknik penceritaan seperti ini banyak kita jumpai dalam khasanah sastra klasik, terutama yang berasal dari wilayah anak benua India hingga Afrika Utara. Di antaranya yang sangat terkenal adalah Alf Laylah wa Laylah atau Seribu Satu Malam dan Kalilah wa Dimnah atau Kalilah dan Dimnah, yang bahkan menampilkan teknik cerita-berbingkai yang cukup rumit dan berlapis-lapis. Teknik penceritaan seperti ini sepanjang pengamatan saya sekarang sudah amat jarang digunakan, padahal ia sangat menjanjikan bagi penulisnya untuk dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih mendalam dan lebih luas. Apakah teknik ini berguna bagi Lawa? Mungkin kita dapat menunggunya dalam sekuel, sebagaimana yang diisyaratkan dalam kalimat penutup novel ini.

            Saidul Tombang menarik perhatian saya pertama kali ketika cerpennya berjudul “Salsa” dimuat dalam Riau Pos bertahun yang lalu. Kemudian saya segera menyadari kalau penulis ini suka merangkai kalimat-kalimat yang berima, kalimat-kalimat yang puitis, serupa prosa liris, sehingga memberikan estetika tersendiri yang kelak kalau dapat diolah secara maksimal dan tidak terjebak dalam pengulangan atau peng-ada-ada-an dapat menjadi ciri khasnya. Lihatlah misalnya di antaranya dalam cerpen “Kerikil dalam Sepatu”: …, sebelah matanya mengedip lemah. Dagu belah itu tengadah. Atau dalam “Mata Beliung”: …. Namun setiap kali si mata beliung dijadikan barang bukti, disimpan di laci besi, atau dimantra dengan aneka jampi-jampi, si beliung tetap saja berhasil meloloskan diri. Atau juga dalam “Mumbang”: …. Seperti ketika nenek menemukan engkau tertidur di pelantar rumah orang karena takut pulang. Atau, ketika engkau tidur di atas loteng yang biasa kalian sebut salang, untuk mengintip apa saja yang akan diceritakan keluargamu tentangmu yang sudah empat hari tak pulang-pulang. Tetapi lebih dari itu semua, saya tetap paling menyukai opening “Salsa”: Berceritalah kepadaku tentang ketulusan, selaik putihnya putik melati dan cahaya pagi tanpa renda jelaga. Kisahkan juga kepadaku tentang indahnya cahaya bulan setaji ayam ….
            Kalimat-kalimat yang seperti ini pun dapat kita temukan di banyak tempat dalam Lawa. Saya mencatat beberapa di antaranya:
-         Di sisi kirinya, seorang lelaki sudah beristri perlahan namun pasti menjemput mimpi karena sudah letih menanti sejak pagi; (1)
-         …, juga mulai terlelap karena sejak lama hatinya dirubung gelap; (1)
-         …, suasana hening dan bening berubah menjadi bising; (2)
-         Matanya tertumbuk ke perempuan tua yang tidur meringkuk, bertekuk lutut dalam selimut; (2)
-         Kerongkongannya tercekat. Dadanya seakan disebat; (2)
-         …, harum merebak, orang-orang dilanda sebak; (4)
-         Bangunan rumah tangga kami adalah sebuah taman dengan kuncup-kuncup bebungaan. Kumbang-kumbang beterbangan. Semut-semut hitam yang berkeliaran. Pagar hijau yang menyejukkan pandangan. Ada pula kursi kayu berhadap-hadapan; (8)
-         Aku ingin disentuh, tak sekadar riap tubuh atau berbagi lenguh; (24)
-         … saat hatiku mulai merapuh, saat raga ini ingin berlabuh; (65)
-         Hari sudah menjelang petang. Bayang-bayang sudah memanjang; (69)
-         …, motivasi kedatangannya juga rancu; karena rindu atau karena mau menumpahkan rasa malu?; (102)
-         Malam merambat. Gelap menyekap. Rumah-rumah papan sudah menutup tingkap. Pelita sumbu, apinya melindap. Melahap gelap; (176)
-         Hatiku yang menghanyut menyungsang pun tak Tuan pandang. Apa yang kurang, Tuan? (201)

Di samping memanfaatkan kalimat-kalimat berima dan atau liris seperti itu, dalam novel ini Saidul juga cukup rajin mengolah kalimat-kalimat metafor atau simbolis atau perlambang. Lihatlah di antaranya:
-         Kadang aku malu pada sekuncup bunga raya. Bunga dengan kembang merah merekah dan beserbuk sari-sari kuning itu, kerap melontarkan protes sebagai bentuk kecemburuannya kepadaku. Katanya, manisnya madu yang dia simpan … dst; (9)
-         Seperti malam ini, ada bunga-bunga di dadaku yang bermekaran. Permukaan hatiku basah. Musim kering yang telah lama melanda sawah ladangku, kini mulai ditimpa hujan … dst; (22)

Epilog
            Keseluruhan bangunan novel ini sebenarnya sudah cukup menjanjikan. Dari segi bentuk, Saidul mencoba meramu bahkan beberapa teknik penceritaan sekaligus. Saidul juga mencoba mengangkat khasanah dan kearifan lokal yang barangkali tidak kalah dibandingkan dengan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi-nya; kalau saja ia lebih sabar dan teliti memolesnya. Tetapi di antara semua itu, ada yang sangat mengganggu dan mengusik logika berpikir kita – sebagaimana juga yang pernah disinggung oleh Marhalim Zaini dalam esainya di Riau Pos. Bagaimana mungkin Markoni tidak bisa mengetahui bahwa Tiara sebenarnya adalah istrinya sendiri, Lawa?
            Keteledoran Markoni itu – kalau boleh disebut demikian – bahkan cenderung mengarah ke kedunguan. Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui bahwa orang yang sekarang sedang berjalan berdekatan bersama-sama selama berhari-hari dengannya itu adalah orang yang sama yang sudah tujuh tahun hidup bersama dengannya? Padahal rentang waktu perpisahan mereka sepertinya tak sampai satu hari; rentang waktu yang tidak akan membuat orang mudah lupa, meskipun terselubung dalam penyamaran (kecuali mungkin dengan penyelubungan canggih seperti yang biasa dilakukan si ahli menyamar Ethan dalam film dan serial tv Mission: Impossible, itu pun kadang-kadang penyamarannya diceritakan masih bisa terbongkar). Cukup banyak hal sebenarnya yang dapat membuat Markoni seharusnya menyadari lebih awal siapakah Tiara itu sebenarnya. Meskipun Markoni mencoba mencari-cari alasan pembenaran ketidaktahuannya, kesamaan perbekalan mereka hingga bahkan ke jenis, bentuk, dan kemasannya seharusnya membuat kecurigaannya menguat. Lalu suara, tingkah laku, sulit untuk bersandiwara praktis hampir 24 jam penuh sehari; apalagi kalau yang bukan ahlinya. Apalagi ketika Tiara dilanda sakit, seharusnya sandiwara itu mustahil untuk dilakukan. Tetapi, apa lacur, sepertinya Lawa begitu lihai bersandiwara atau menyamar atau Markoni yang begitu bebalnya.

            Kemudian, ada sedikit lagi yang menggelitik urat tanya saya. Dalam konteks latar waktu, tempat, dan kultural cerita ini, bagaimana mungkin Lawa (dan juga Markoni) dengan fasih menggunakan kata-kata berikut ini, di antaranya yang dapat saya kutip: episentrum (6), melankolik (24), knock out (75), mengkanvaskanku (76), daftar antre (77), adrenalin (80), eksotik (80), motivasi (102), premature (167), dan kamuflase (207).

            Tetapi, lebih dari itu semua, saya begitu tergoda dengan rangkaian kata-kata ini: Cinta sejati adalah sebuah hubungan dua insan yang tak mungkin (33). Sebuah paradoks yang cukup memikat.

            Wallahualam.
Payungsekaki, 070608.

Naskah ini disunting dari makalah yang disampaikan dalam acara Bedah Buku Novel Lawa, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kampar, tanggal 07 Juni 2008.

Tidak ada komentar: