Seniman dan Kekuasaan
Oleh
: Gde Agung Lontar
www.mistersosiologi.com |
…, ucapannya akan tiba-tiba
memberikan alternatif yang selama ini disingkirkan – sebuah alternatif yang
pada hakikatnya cocok dengan batin orang banyak; batin yang tak ingin bohong
terus-menerus, tak ingin jadi kambing terus-menerus. Batin yang merindukan
bahwa embik harus diganti dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan martabat
manusia.
(“Embik”, Catatan Pinggir 4, Goenawan Mohamad, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995.)
Pada mulanya saya bermaksud memberi judul tulisan ini “Seniman dan
Kuasa”, dengan begitu saya kira saya akan dapat mengelaborasi secara lebih
leluasa seluruh aspek yang mungkin timbul dari hubungan antara lema dasar kuasa
berikut seluruh bentuk turunannya yang mungkin dengan seniman. Namun menyadari
sangat terbatasnya ruang yang tersedia, maka saya kemudian memberinya
sebagaimana dengan judul di atas, yang tentu saja akan segera memberikan
keterbatasan atas apa yang sekiranya saya maksudkan dapat saya ulas dalam
tulisan ini.
Apakah yang paling berarti dari
seorang seniman? Selain kemampuan estetikanya – yang tentu saja merupakan
sebuah keniscayaan, maka seorang seniman haruslah memiliki hati nurani yang
begitu murni. Ini mungkin semacam hiperbola; tapi untuk sementara marilah kita
percayai klausul itu terlebih dahulu. Sebab sebuah produk estetika yang berasal
dari mata air yang keruh, pada akhirnya menjadi kejahatan, atau paling tidak
sekadar godaan.
Dahulu sekali, ketika saya masih
bujang-tanggung dan mulai tergila-gila pada dunia sastra, saya sempat berkhayal
bahwa ini adalah sebuah dunia yang sungguh mulia. Dan, barangkali karena
sebelumnya saya terlebih dahulu mengenal dunia filsafat (semuanya didapat dari
bahan bacaan), saya bahkan sempat berangan-angan bahwa tiga peringkat manusia
termulia di muka bumi ini adalah para nabi, filsuf, dan seniman. Dengan
angan-angan yang membanggakan seperti itulah saya kemudian perlahan-lahan mulai
masuk ke dalam dunia sastra. Khayalan yang cukup lama bertahan, sampai kemudian
perlahan-lahan mulai runtuh sejak beberapa tahun belakangan.
Dan hal itu tentu saja mengguncang
keyakinan saya selama ini – sama seperti keterguncangan saya ketika satu per
satu orang-orang yang semula saya yakini berpihak pada masyarakat lemah
ternyata setelah masuk ke dalam lingkar kekuasaan hanya menjadi birokrat yang
membebek (atau mengutip GM, mengembik), atau bahkan berkhianat pada kata-kata
yang pernah ditulis dan atau diucapkannya sendiri. Saya mungkin terlalu naif
dengan angan-angan saya itu, tetapi saya selalu percaya dalam membahas sesuatu per defenisi haruslah disepakati (atau
paling tidak dijelaskan) terlebih dahulu agar tidak terjadi kesenjangan atau
kesalahan dalam pengertian.
Karena itu, sepakatkah kita bahwa
seorang seniman, selain memiliki kemampuan estetika, ia juga haruslah memiliki
hati nurani yang begitu murni? Saya sepakat
Anda?
Kalau Anda tidak sepakat, Anda
mungkin tidak perlu membuang waktu dengan melanjutkan membaca tulisan ini.
Dan lagi, janganlah terlebih dahulu
mempersoalkan tentang frasa “hati nurani yang begitu murni” itu; sebab siapa
yang memilikinya sesungguhnya akan mengetahuinya dengan sendirinya.
Tentu saja itu semua ada dalam
tataran ideal. Dan seperti kata Plato, kita semua hanyalah forma-forma; hanyalah bayangan dari sesuatu yang ideal. Tetapi
tentu saja itu bukanlah sebuah peluang permaafan, sebab sesunguhnya semakin
jauh kita dari dunia ideal, semakin kita kehilangan akan forma itu. Kita menjadi sesuatu yang lain.
Persinggungan antara seniman dan
kekuasaan adalah sesuatu yang sangat menggetarkan, sebagaimana juga dengan
persinggungan antara nabi atau filsuf dengan kekuasaan. Ketiganya berbeda
sekali apabila kita ingin berbicara tentang persinggungan antara misalnya (sekadar)
seorang dokter atau insinyur atau analis dengan kekuasaan; meski tentu saja ada
seorang dokter yang juga seniman dan demikian seterusnya. Sangat menggetarkan
karena persinggungan itu sesungguhnya akan menimbulkan persebatian sekaligus
pertelingkahan dalam tataran yang sangat mendasar. Kekuasaan hampir seperti
sebuah “dunia yang lain” bagi ketiga jenis makhluk mulia itu, meskipun
sebenarnya seringkali sudah merupakan sesuatu yang melekat dengan sendirinya –
kalau saja mampu dimengerti.
Persoalannya kemudian, ketika
seorang seniman masuk ke dalam wilayah kekuasaan formal (di sini kita berbicara
tentang masuk, dan bukan berhadapan, bertentangan, dan
seterusnya), menjadi apakah dia sesungguhnya? Bentuk persebatian dan
pertelingkahan seperti apakah yang mampu dihasilkannya? Apakah ia
perlahan-lahan kehilangan forma-nya,
ataukah forma-nya mampu memberi warna
di dalam wilayah kekuasaan itu?
Ada yang menarik perhatian saya dalam kaitan
ini dalam Gulang-nya Solzhenitsyn (Gulag,
Aleksandr I Solzhenitsyn, Bentang, Oktober 2004). Ini tentang seorang penulis
masyhur Rusia bernama Aleksei Maximovich Gorky. Gorky
diminta oleh pemerintah Rusia untuk mengunjungi kem tahanan di Kepulauan
Solovetsky, agar dapat mengabarkan kepada dunia luar sana bahwa tahanan-tahanan Rusia baik-baik
saja. Gorky pun
datang. Tetapi, tentu saja para sipir penjara sudah terlebih dahulu
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Sampailah kemudian ketika di
Koloni Anak-anak, tiba-tiba seorang anak berusia 14 tahun berkata, “Hei Gorky,
semua yang kamu lihat di sini adalah palsu. Kamu ingin tahu yang sebenarnya? Kamu
ingin dengar?” Ya, sang penulis mengangguk. Dia ingin tahu yang sebenarnya.
Mereka berdua pun kemudian berbicara. Sampailah, pada 23 Juni Gorky
meninggalkan Solovetsky. Tak lama setelah kapal uap lepas dari dok, anak itu
ditembak mati! (Tentunya oleh penjaga kem). Tetapi di dalam Buku Tamu, Gorky hanya menulis:
“… dan bahkan saya merasa malu,
kalau saya hanya mengulang-ulang pujian yang sudah basi untuk memuji semangat
rakyat yang luar biasa, yang tetap cermat dan tak kenal lelah mengawal
Revolusi, dan mampu menjadi kreator kebudayaan yang berani.”
Ketika menulis itu Gorky mungkin bukan lagi sebagai seorang
sastrawan termasyhur, tetapi telah berubah menjadi politikus panggilan.
Payungsekaki, 251208.
Publikasi #1: Riau Pos, 20-06-10.
Jenazah “Keranda Jenazah –“
Oleh : Gde Agung Lontar
Entah Intro, Entah
Prolog, Entah Pendahuluan
Ketika beberapa minggu yang lalu
Olyrinson menelpon saya dan dengan gayanya yang teatrikal mengatakan bahwa
Komunitas Paragraf menawarkan kepada saya untuk menjadi pembicara dalam acara
kali ini, yang pertama-tama terpikirkan oleh saya adalah bahwa apakah saya akan
mampu? Apakah saya cukup layak untuk mengambil peran itu? Sebab sampai dengan
saat ini harus saya akui bahwa saya belum pernah satu kali pun melakukan hal
yang demikian, bahkan pun sekadar menulis sebuah esai. Meskipun bagi sebagian
besar rekan di sini hal seperti ini adalah biasa adanya, tetapi bagi saya
menjadi berat, karena juga digelayuti sesuatu yang lain. Saya mencoba menolak
dengan berbagai alasan, di antaranya dengan mengatakan bahwa saya sedang berada
di Tanjungpinang dan belum tahu pulangnya entah kapan, tetapi Oly berhasil
membuat saya menerima takdir ini. Maka, malapetaka pun dimulailah.
Berhari-hari kemudian benak saya pun
tiba-tiba saja bagai berputar dengan cepat, macam arus pusaran minyak tanah di
mulut corong. Huruf-huruf beterbangan, kata-kata berloncatan, kalimat-kalimat
berangkaian; tapi jangan membayangkan itu semacam salah satu adegan dalam film
berbintang lima The Beautiful Mind, karena yang semua berputar-putar
dalam minda saya itu lebih tepat kepada kecamuk dalam kepanikan dan ketakutan,
bukan benih-benih nobel matematika yang sedang bertumbuhan. Tiba-tiba saja
dalam benak saya itu menghumbalang percikan-percikan pemikiran yang begitu
rumit, yang sekali-sekala terasa seperti lampu pijar yang menyala, lalu redup
kembali, padam, berkelap-kelip, hingga kemudian hasilnya hanyalah menaningkan
kepala.
Segera saja kata-kata yang terpacak
dalam kepala saya itu adalah “bedah buku”. Apakah bedah buku itu? Kenapa
kata-kata yang sebenarnya begitu sederhana dan cukup sering didengar itu
tiba-tiba menjadi begitu rumit dalam kepala? Ataukah kepala saya sendiri yang
memperumit persoalan itu? Ataukah sebuah buku yang kebetulan ketika itu tengah
saya bacalah yang memperumitnya? Buku yang berjudul Petualangan Semiologi
karangan Roland Barthes itu (Pustaka Pelajar, 2007) memang berhasil
mengacak-acak pemikiran saya tentang teks, tentang lingusitik, tentang tanda,
tentang simbol, tentang deskripsi maupun prosesnya. Sebuah batang kata, sebuah
untaian kalimat, sebuah jelujur paragraf; ternyata tak sesederhana seperti yang
terlihat. Kalau sudah begitu, apakah bedah buku menjadi mungkin?
Hal yang kemudian turut memusingkan
kepala saya adalah, di dalam kelebat itu juga muncul kata-kata yang juga sempat
terkenal entah dari siapa (mohon maaf karena saya tidak sempat mencari
referensi yang lebih lengkap) yang mengatakan bahwa “pengarang mati ketika
karya lahir”. Maknanya secara sederhana adalah, bahwa sebuah karangan itu
adalah merupakan suatu entitas tersendiri, suatu makhluk tersendiri, lepas dari
pengarangnya. Ia berhak memaknai dirinya sendiri, orang lain pun berhak
memahami dirinya seperti apa. Hal yang kemudian menjadi anekdot residu
pemikiran bagi saya adalah, kasihanlah pengarang seperti Putu Wijaya atau Eddy
D Iskandar yang terpaksa mati berkali-kali karena begitu banyaknya karya
mereka, dan “enaklah” pengarang seperti Mary Shelley yang hanya menghasilkan
satu karya seumur hidupnya.
Dalam KBBI edisi III cetakan tahun
2002, lema “bedah buku” dijelaskan sebagai tentang pembicaraan dan diskusi
mengenai isi buku. Saya tidak sempat mencari referensi lain yang lebih
menghunjam, dengan demikian syukur alhamdulillah karena dengan hanya defenisi
dari KBBI tersebut sepertinya pekerjaan akan menjadi lebih ringan. Demikian
juga, ternyata Oly dan Marhalim pun cukup cerdik untuk tidak menggunakan
kata-kata bedah buku itu. Dalam sms dari Marhalim, beliau hanya menuliskan
“Bahas buku cerpen ….”, sedangkan dari Oly dalam catatannya yang baru dapat
saya baca beberapa hari yang lalu setelah pulang dari Tanjungpinang hanya
menuliskan “… ini adalah buku yang akan didiskusikan ….”
Tetapi sadarilah, persoalannya
sebenarnya tetap sama juga. “Bedah”, “bahas”, “diskusi” semuanya adalah bentuk
lain dari penelaahan. Dengan demikian, tak terhindarkan bahwa mau tak mau saya
harus bertungkus-lumus membawa isi buku tersebut ke dalam laboratorium di
kepala ini, yang fasilitasnya palingan baru setara puskesmas. Oleh karena itu,
oleh karena setiap karangan adalah suatu entitas tersendiri di mana ia bisa
memaknai dirinya sendiri, oleh karena setiap orang bahkan termasuk pengarangnya
sendiri bisa memahami karangan itu menurut pemahamannya sendiri, oleh karena
Roland Barthes sudah berhasil menggocoh-gocoh isi benak saya, dan oleh karena
rayuan Olyrinson; maka kekacauan pikiran ini pun dilanjutkanlah dengan terlebih
dahulu mohon maaf lahir dan bathin.
Keranda Pelepah Pinang
Entah
kenapa, membaca buku Keranda Jenazah Ayah ini membuat pikiran naning
saya di atas kian berpanjang-panjang. Tidak seperti buku-buku antologi cerpen
pilihan Riau Pos terdahulu, terus terang antologi yang ini sangat
mengecewakan saya. Betapa tidak, dari 24 buah cerpen yang dicantumkan, saya
mencatat hampir separuhnya, tepatnya 11 buah cerpen saya katagorikan
berkualitas mengecewakan. Hanya 2 buah cerpen yang menurut saya di atas
rata-rata. Bandingkan dengan antologi tahun 2002 (Terbang Malam) yang
menurut saya hanya memuat sebuah cerpen yang mengecewakan, tetapi ada 5 buah
cerpen berkualitas di atas rata-rata dari 22 buah cerpen yang dimuat. Atau
bandingkan pula dengan antologi tahun 2006 (Jalan Pulang) yang juga
hanya memuat dua buah cerpen yang mengecewakan, tetapi masih ada 4 buah cerpen
di atas rata-rata, dari 19 buah cerpen yang dimuat. Tentu penilaian itu semua
sedikit-banyak mengandung unsur subjektifnya; itulah untungnya jadi penulis
esai dadakan, dan bukan kriktikus adinan.
Apa
yang dapat kita – atau paling tidak saya – baca dari data-data di atas?
Kesimpulan gegas yang mungkin dapat kita ambil adalah sang editor buku antologi
ini kurang selektif dalam memilih cerpen-cerpen yang akan dimuat. Sebuah
antologi, apalagi dengan embel-embel “pilihan”, mau tidak mau dan pada dasarnya
memanglah seharusnya bersifat selektif. Meskipun dalam Jalan Pulang, HBK
– yang juga merupakan editor antologi tahun 2007 ini – menuliskan bahwa
“Sebagai sebuah karya yang tidak istimewa dengan kesalahan di sana-sini, buku
ini [antologi 2006; pen.] diharapkan bisa menjadi sebuah dokumentasi bagi
perjalanan sastra Riau …”, tetaplah kita harus memandang sebuah antologi (+
pilihan) bukanlah map berkas-berkas, karena ia juga diharapkan dapat “… menjadi
pelecut bagi lahirnya karya-karya dengan pencapaian estetika yang lebih baik di
kemudian hari”.
Terlalu
semena-mena agaknya kalau “kesalahan” itu kita – atau paling tidak saya –
tuduhkan kepada sang editor semata-mata. Bagaimana pun sang editor memilih dari
yang sudah ada: itulah karya-karya yang kita ciptakan dan kemudian kita
kirimkan. Editor media hampir tidak punya pilihan lain. Pada suatu masa,
mungkin ia terpaksa memilih yang kurang buruk dari yang paling buruk. Maka,
saya bersyak kuat, masalahnya ada pada kita semua, masyarakat sastra Riau.
Dalam esai sastra dan berbagai tulisan lainnya belakangan tidak jarang termuat
kegelisahan penulisnya tentang perkembangan sastra di Riau. Dan kebetulan
bersama empat buah buku yang diserahkan Oly kepada saya, buku esai sastra
berjudul Krisis Sastra Riau agaknya membenarkan kerisauan itu semua, dan
dugaan statistik subjektif saya di atas.
“Perempuan
dengan Seribu Satu Tikaman Pisau di Tubuh, Juga Hatinya” karya Aliela semula
sempat menggoda saya dengan judul, dan juga nama pengarangnya itu. Roland
Barthes dalam bukunya di atas mengatakan bahwa fungsi judul adalah memarkai
awal dari teks, yaitu membuat teks itu menjadi dagangan. Dalam konteks itu
judul cerpen ini mungkin sudah cukup mengena, meskipun bagi saya terkesan
rumit. Tetapi judul adalah nama; ia tidak berada dalam konsep ekonomi atau
selebritas semata. Nama adalah penanda. Dalam sejarah umat manusia, yang paling
pertama diajarkan oleh Tuhan kepada manusia Adam adalah tentang nama-nama.
Sedangkan dalam sejarah Islam, selain sebagai penanda nama seringkali juga
mengandung doa, harapan, impian, cita-cita, dan pertanda. Di sini Aliela terasa
seperti memubazirkan itu semua. Belum lagi ceritanya yang tiba-tiba meloncat ke
masa lalu, yang bagi saya tak jelas korelasinya karena tak terbaca konteks
latar-belakangnya. Lalu, kehadiran nama-nama Tun Fatimah dan Bendahara Sri
Maharaja pun terasa seperti dipaksakan. Kemanakah engkau Aliela? Saya ingin
merindukan kelembaban “Tanah”-mu yang serasa mengharukan.
Untuk
Dessy Wahyuni dengan “Tentang Cintaku”, selamat datang. Tetapi tentang “Getah
Damar” Ellyzan Katan, baby, cerpen ini sesungguhnya memiliki potensi
untuk dieksplorasi lebih mendalam. Unsur lokalitasnya, unsur kejiwaannya. Kalau
saja Ellyzan mau bersabar semacam Ahmad Tohari yang begitu telaten dengan
detil, atau juga Orhan Pamuk, atau Andrea Hirata; niscaya cerpen ini dapat
mencapai puncak kecemerlangannya – bukan hanya sekadar narasi dua pemanen getah
damar. Di sini saya tidak menemukan kejutan “Payudara” yang membengkakkan dada
itu.
Cerpen
“Pisau dalam Diri” karya Fadlillah Malin Sutan Kayo terus terang mengingatkan
saya pada banyak karya prosa dari ranah Minang, bahkan sejak zaman Salah
Asuhan. Tema ini, barangkali karena terlalu sering diangkat, terasa menjadi
sekadar semacam obat generik; bukan obat bermerk yang memiliki hak paten dengan
harga yang mahal itu. Ini tentu tidak salah selama kita dapat memotretnya dari
sudut yang belum pernah dijelajah oleh orang lain, yang ternyata dapat
memberikan pemandangan yang berbeda dan mungkin jauh lebih indah. Pemandangan
yang dapat membuat kita makin cinta kepada tanah dan pusaka kita, dan bukan
bingung dalam kesedihan karena “… tidak mengerti, bagaimana mencintai negeri
yang sudah menjadi kota ini, dengan tanah dan harta pusaka sudah terjual
semua”.
Cerpen-cerpen
Fariz Ihsan Putra sepanjang pengamatan saya bertipe cerpen kejiwaan, dengan
percikan-percikan filsafat di sana sini, narasi yang panjang, dan bagi saya
terus terang rada-rada sulit dipahami. Orang awam akan mengatakan ini cerpen
“berat”. Sesungguhnya penulisan cerpen semacam ini menyimpang dari mainstream
yang dikehendaki media-media (koran) masa kini, yang lebih mengedepankan
pemuatan cerpen-cerpen yang “ringan” dan ringkas. Alhamdulillah Riau Pos
tampaknya mengabaikan hal semacam itu sehingga dapat memberi tempat bagi Fariz
untuk memusingkan orang lain dengan karya-karyanya. Dengan “Dekaden” sekali
lagi Fariz mengaduk-aduk pikiran kita dengan pertanyaan tentang pihak manakah
sesungguhnya yang sedang mengalami kemerosotan “multi-dimensi”, si aku dan
Sabina-kah, atau masyarakat. Kalau saja Fariz juga dapat mengaduk-aduk perasaan
….
Tetapi,
apa sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh Fedli Aziz dengan “Tak Sampai”?
Bergenre serupa dengan “Dekaden”, cerpen ini seperti hendak berpretensi
berfilsafat dengan pertanyaan-pertanyaan yang melingkar hingga menjadi kusut,
sehingga ia jatuh dalam penyakit pertama-nya esai Sutardji seperti yang akan
kita simak nanti. Mengutip kata sang tokoh, “Jadi jangan lagi bicarakan hal-hal
yang membingungkan itu. Cukup!!!”, mengingatkan saya pada Ludwig Wittgenstein.
Filsuf Austria yang memiliki kehidupan dan pemikiran yang rumit ini juga pernah
mengatakan “… apa yang memang dapat dikatakan, dapat dikatakan secara jelas.
Dan tentang apa yang tidak dapat dikatakan, orang harus berdiam diri” (K
Bertens, 1981).
Di
sini saya memang harus berdiam diri untuk “Hikayat Gajah Terakhir”, karena
pengarang “sudah mati”. Harapan kemudian timbul ketika “Ibu, Anaknya, dan
Sebongkah Batu” muncul dari tangan Iggoy el Fitra. Meskipun masih belum bisa
melepaskan diri dari bayang-bayang komunitas Ilalangsenja dan Yetti KA, Iggoy
berhasil membangun teknik penceritaan yang cukup menarik, sekaligus mencoba
mengawinkan dua mitos yang akrab bagi kita, yaitu mitos Malin Kundang dan Batu
Belah Batu Bertangkup, sehingga cerpen ini boleh mengundang banyak interpretasi.
“Rumah
di Seberang Kuburan” karya Labibah Zain bagi saya terasa sangat sederhana,
bahkan seperti membaca cerpen-cerpen dari zaman Jepang. Mengherankan
sesungguhnya karya ini ternyata muncul dari tangan penulis yang karya-karyanya
sudah pernah dimuat di berbagai media bergengsi di pusat sana. Semangat saya
kemudian mulai bangkit lagi ketika membaca “Lagu Purnama Sungai Duku” karya M
Badri. Alur cerpen ini serasa mengalir begitu lirih, dalam kesejukan air sungai
yang ditaburi embun di dini hari. Nyaris mendekati cerpen suasana, yang menjadi
kekuatan Umar Kayam. Mitos dan dongeng pun saling berkelindan dengan kekinian,
menawarkan kekayaan penafsiran, yang akan jauh lebih kaya lagi kalau bait
penutupnya tidak terkesan berpretensi. Sayangnya M Badri sepertinya sedikit
tergoda dengan Seno Gumira, ketika menuliskan dialog “Apakah kamu juga menyukai
senja?”.
“Kisah
di Tengah Ilalang” – sebuah cerpen yang tergolong panjang – karya Murparsaulian
ini kembali mengingatkan saya pada Seno Gumira Adjidarma, tetapi bukan pada
episode “senja” atau pun “kabut”, melainkan “penembak misterius”; ketika berita
berkelindan dengan cerita. Meskipun Mur bergelimang dalam dunia jurnalistik,
sebagaimana juga Seno, tetapi sepanjang pengamatan saya Mur jarang sekali atau
bahkan tidak pernah menulis cerpen yang berkaitan dengan dunia jurnalistik. Ini
dapat dilihat dalam keempat cerpennya yang dimuat dalam Pertemuan dalam Pipa,
maupun dalam buku-buku antologi cerpen yang diterbitkan Riau Pos, yang
menurut saya tergolong dalam cerpen-cerpen kejiwaan, sebagaimana Fariz Ihsan.
Jadi, sepertinya ini sesuatu yang lain dari Mur, dan eksplorasi seperti ini
sesungguhnya oke-oke saja. Hanya saja Mur harus berhati-hati agar tidak
terjebak menjadi sekadar reportase belaka, sehingga orang-orang tidak menggoda
bertanya ketika Mur menulis “… Tokoh-tokoh yang dulu berteriak hendak membela
nasib kita, kini suaranya tak terdengar lagi. Dan tak ada lagi berita di
koran-koran yang dulu sibuk memberitakan di halaman utama. Semuanya senyap.
Bagai ditelan hantu!”.
“Senyum
Long Wai” dari Musa Ismail hanya sekadar dapat membuat saya mencantumkan sebuah
tandatanya (?). Tetapi “Fitnah Ular”-nya Mhd Amin MS cukup menjanjikan karena
menyimpan metafora yang agak berlapis. Ular, pejabat-pejabat, orang-orang ramai,
serta sedikit humor. Plot cerita ini pun dapat mengingatkan kita pada tragedi
lumpur Lapindo, tentang bagaimana manusia Indonesia memandang tragedi dan
kehidupannya. Kemajuan ilmu teknologi dilawan dengan mengumpulkan dukun-dukun
yang saling berlomba untuk menunjukkan keampuhannya masing-masing, sambil
berharap sorotan televisi, dan syukur-syukur uang seratus juta. Pada saat yang
sama plot cerpen ini pun mengingatkan saya pada sebuah cerpen yang berjudul
“Xenotaph”, yang dimuat dalam Horison Maret 2003.
Cerpen
dengan metafora yang cukup kuat juga muncul dalam “Kurap” karya Nyoto. Dengan
agak-agak perasaan geli-geli-jijik saya membaca cerpen ini, dan makin
menjadi-jadi ketika merayap ke daerah pantat. Tetapi Nyoto mungkin tidak peduli
seperti katanya, “Dikau ni budak kecik, apalah tau rasa sedap
orang”. Sepanjang pengamatan saya, Nyoto sepertinya memang suka meneror pembaca
dengan cerpen-cerpennya; mudah-mudahan kalau dia ada di sini dia tidak akan
meneror saya pula dengan pertanyaan-pertanyaannya. Tetapi, terus terang, saya
merasa agak kehilangan “Segerombolan Anjing”.
Membaca
cerpen-cerpen Olyrinson entah kenapa selalu serasa menyesakkan dada dan tak
jarang dengan keharuan yang mendalam. Demikian juga yang dapat kita simak dalam
“Keranda Jenazah Abah” ini. Padahal saya tergolong seorang yang pembosan.
Cerpen-cerpen Oly hampir selalu bertokohkan anak kecil, orangtua yang sengsara,
dan perusahaan besar yang membuat mereka semua menjadi sengsara. Plot yang
hampir selalu serupa dalam berbagai cerpennya, sesungguhnya berpotensi untuk
membuat saya bosan. Tetapi entah sihir apa yang digunakannya, itu ternyata
tidak terjadi. Rangkaian kata-kata, bar dan irama yang bagai ditata
tangan-tangan magis, membuat saya tetap terpesona. Ini bukan hiperbola. Kata
kuncinya mungkin terletak pada pencapaian estetika, meskipun secara sederhana.
“Keranda Jenazah Abah” sekali lagi menunjukkan siapa Oly.
“Rumahku
untuk Pulang” karya Pandapotan MT Siallagan adalah cerpen yang terkesan
menjebak. Alur dan teknik penceritaan yang dikembangkan seperti mengarahkan
kita pada unsur-unsur romantisme sekaligus heroisme, namun di akhir cerita
pembaca dibanting dengan semacam pengkhianatan yang hampir-hampir tidak logis
dengan jalan cerita yang telah dibangun. Sementara itu Ragdi F Daye dengan “Lantai
Hotel untuk Menangis” sesungguhnya mengandung sinisme terhadap fenomena yang
berkembang belakangan ini. Yaitu acara-acara yang bersifat religius di
hotel-hotel berbintang, zikir-zikir bersama, atau acara yang berhubungan dengan
penyembuhan kejiwaan. Kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya banyak yang
mengandung kontradiksi dan kepalsuan.
“Ketika
di Selatpanjang” karya Ranti A sesungguhnya berpotensi untuk menjadi cerpen
yang cukup menarik. Gaya penceritaannya yang sederhana, dengan alur yang terasa
cukup lancar, membuat pembaca merasa cukup nyaman membacanya. Sayangnya konflik
yang dibangun terasa kurang jelas. Sementara itu “Buaya Itu Telah Mati” karya
Rita Achdris menariknya mengandung unsur parodi dalam metaforanya. Dan Saidul
Tombang dengan “Mumbang” adalah penurunan yang cukup tajam dibandingkan
“Salsa”. Dengarlah opening “Salsa”: Berceritalah kepadaku tentang
ketulusan, selaik putihnya putik melati dan cahaya pagi tanpa renda jelaga.
Kisahkan juga kepadaku tentang indahnya cahaya bulan setaji ayam ….
Sobirin
Zaini dengan “Dendam Abah” kalau di masa Orde Baru bisa dituduh provokator.
Cerpen ini seperti menyarankan perlawanan kepada penguasa (yang lalim),
meskipun sayangnya dengan cara main belakang. Konflik yang dibangun pun kita
sudah mengenal secara umum: “Tapi, tidak demikian halnya bagi mereka, bagi para
pengayuh becak seperti Abah Khalid dan kawan-kawannya, kekayaan yang melimpah
itu sampai saat ini seperti tak pernah dirasakan. Kekayaan negeri itu hanya
sebuah dongeng. Dongeng yang mereka dengar dari mulut orang-orang. … Karena
kenyataannya, semua yang dibanggakan itu tak dapat mensejahterakan rakyat ….”
Cerpen
“Kawin” karya Sutrianto tiba-tiba memberikan suasana yang berbeda. Tampil
dengan kalimat-kalimat ringkas atau bahkan tak lengkap, cerpen ini membuat kita
seperti manusia yang terbata-bata. Sesungguhnya ini cerpen berpotensi untuk
menjadi cerpen suasana; tingggal 2½ angka lagi mungkin ia dapat mencapai
tingkat “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Sayangnya konflik yang dibangun
seperti terasa dibuat-buat, dengan beberapa tindak kekerasan yang membuat
pembaca merasa kurang nyaman.
Untuk
Syaifuddin Abdullah dengan “Laut Ini, Pernah Marah!”, selamat datang juga.
Sedang “Bus Misterius”-nya Syafrizal Sutan Malano mungkin lebih tepat dimuat di
majalah Misteri atau Liberty, misalnya. Bukan dengan maksud ingin
mengatakan bahwa tema misteri terlarang dalam ranah sastra, tetapi hanya
masalah pencapaian estetika. “Tiga Pertapa” dari Leo Tolstoy juga cerita
misteri, tetapi ada sesuatu yang membuat kita berkontemplasi. Demikian juga
dengan cerpen-cerpen Budi Darma dan Danarto misalnya, sesungguhnya juga
mengandung unsur misteri.
Entah Ending, Entah Epilog, Entah Penutup
Entah
kenapa sejak pertama kali melihat buku antologi ini empat hari yang lalu saya
tidak bisa menahan hati untuk memberinya judul “Jenazah ‘Keranda Jenazah –‘”.
Entah kenapa pula dalam pembahasan buku ini saya juga tidak mampu menahan hati
untuk menulis yang langsung menohok kepada masing-masing person, padahal engkau
tahu hal yang seperti itu akan sangat berbahaya. Siapakah engkau, Gde. Apakah
engkau memang memiliki hak untuk melakukan itu semua? Apakah engkau memiliki
latar belakang ilmu sastra yang mumpuni, atau paling tidak orang-orang telah
mengangkatmu sebagai seorang juri? Padahal engkau tidak mengerti apa-apa, tidak
tahu teori-teori sastra, apalagi hingga masuk ke dalam wilayah linguistik.
Entah
kenapa supaya “aman” saya juga tidak mampu membuat tulisan seperti yang
dilakukan Abel, Fakhrunnas, Marhalim, atau pun Griven sekadar menyebut beberapa
nama yang “hanya” bergerak di tataran bunga-bunga, kembang-kembang, hiasan,
relief, ornamen; lalu menggabungkan inti berbagai karangan itu seolah-olah
ingin menunjukkan inilah kelebihan dan kehebatan cerpen-cerpen Riau, atau
paling tidak yang dimuat di Riau Pos. Terus terang saya sudah berusaha
mencobanya dalam waktu yang sempit itu, mencari kembang, hiasan, ornamen; yang
kiranya dapat dirangkai-rangkai menjadi bangunan yang indah. Mohon maaf, saya
tidak berhasil menemukan itu di sini.
Saya
tidak setuju ketika dalam pengantar antologi 2006-nya HBK menulis bahwa “…
karena dalam sastra, kualitas sebuah karya amatlah sumir dan relatif”. Untuk
beberapa segi kualitas sebuah karya sastra terasa jelas dipampangkan; atau
dalam beberapa kejadian tidak begitu kelihatan. Dalam perlombaan, dalam
sayembara, dalam antologi pilihan, hal itu terlihat cukup nyata. Pengasuh
rubrik sastra di media mau tak mau akan memilih yang dianggap terbaik dari
puluhan atau bahkan ratusan karya-karya yang datang dalam periode itu. Lalu
kenapa ada perbedaan nuansa kebanggaan ketika sebuah karya dimuat di Kompas
dibandingkan di koran daerah, misalnya; atau di Horison berbanding Aneka,
misalnya. Semua kebanggaan itu jelas karena berkaitan bahwa seorang pengarang
itu sudah berhasil mencapai tingkat tertentu dalam berkarya yang diakui dengan
termuatnya karyanya pada media yang membanggakan itu.
Sutardji
CB bahkan menyatakannya dalam bentuk pernyataan negatif beberapa puluh tahun
yang lalu. Dalam esai berjudul “Beberapa Penyakit dalam Cerpen Indonesia” yang
termuat dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir (ed. Pamusuk Eneste, 1983),
SCB menulis ada empat kriteria penyakit dalam cerpen Indonesia, yang dengan
demikian mau tak mau akan merujuk kepada kualitas suatu karya. Untuk kepentingan
kita semua, mungkin ada baiknya saya kutip secara ringkas keempat kriteria itu.
Pertama,
abstraksi: menyuguhkan yang abstrak secara abstrak pula. Ide, fislsafat,
sistem-sistem moral dan sebagainya dibiarkan tetap abstrak di dalam cerpen.
Cerpen yang baik mengkongkretkan yang abstrak. Menangkap yang abstrak lalu
menghidupkannya dalam peristiwa-peristiwa, momen-momen, dan karakter. Kalau
tidak, itu namanya tulisan filsafat, khotbah dan semacamnya dan bukan cerpen.
Fariz dan Murparsaulian di antaranya nampaknya punya kecenderungan seperti itu.
Kedua: kecenderungan ingin merangkum terlalu banyak ide-ide, hal-hal,
peristiwa-peristiwa dan kehidupan dalam sebuah cerpen. Cerpen bukanlah novel
yang disarikan. Bila novel adalah gajah, cerpen bukan gajah mini melainkan
makhluk lainnya lagi. Ketiga: kurangnya disiplin menulis. Cerpen ditulis begitu
saja, tanpa memperhitungkan dengan cermat cara penyampaiannya (style). Style
menambahkan pada suatu pikiran tertentu semua hal-hal yang wajar untuk
menimbulkan seluruh efek yang seharusnya dihasilkan oleh pikiran tersebut; kata
Stendhal. Penyakit ini terdapat pada kebanyakan pengarang. Keempat: kurangnya
ketrampilan dalam menggunakan bahasa Indonesia. Konstruksi kalimat bahasa
Indonesia sering dicampuradukkan saja dengan konstruksi bahasa daerah. Pada
batas-batas tertentu inbi bisa diterima, misalnya untuk mendapatkan suasana
lokal yang sering dipakai dalam kalimat-kalimat langsung. Tetapi kalau
naratornya yang mencampuradukkan tentulah sangat mengganggu. Penyakit ini juga
banyak terdapat di kalangan pengarang.
Dari
buku yang sama, saya juga melihat ada yang bisa ditambahkan pada esai SCB di
atas. Jakob Sumardjo dalam “Umar Kayam: Memotret Suasana Batin” menulis bahwa
kalau kita membaca cerpen atau novel sekarang ini, rata-rata mereka masih
menekankan pentingnya pemaparan kejadian lahiriah. Di dalamnya memang ada
perkembangan, perubahan, atau peristiwa, tapi terbatas pada mata. Dan mata
hanya mampu melihat permukaan saja. Memaparkan proses perkembangan kejadian
hanya melalui “pandangan mata” persis seperti pelukis naturalis yang
memindahkan apa yang dilihat mata ke dalam kanvas.
Kalau
sudah begini, mengutip Maman S Mahayana, di manakah letak (Melayu) Riau dalam
peta kesusasteraan Indonesia? Dalam berbagai kesempatan kita selalu
menyanjung-nyanjung sejarah cemerlang sastra dan bahasa kita ratusan tahun yang
lalu. Dalam konteks kesejarahan, atau dalam usaha memupuk kebanggaan anak
negeri sehingga dapat menjadi pemicu semangat paling tidak dalam usaha meraih
kecemerlangan yang sama, itu memang ada baiknya. Tetapi ketika hal itu
diulang-ulang, bahkan vitamin pun dapat menjadi racun. Biarlah itu semua
menjadi pembelajaran, menjadi petunjuk, menjadi sejarah; tetapi bukan menjadi
belenggu sehingga muncul kata-kata kanak-kanak, “Bapakku bupati.”, “Bapakku
jenderal, lebih hebat bapakku, kan?”; padahal mereka sendiri hanyalah
kanak-kanak dengan ingus yang berlelehan.
Publikasi #1: Riau Pos, 27-01 & 03-02-08.
Sebelumnya dikupas dalam pertemuan Komunitas Paragraf.
Senandung dari Balai Bahasa Provinsi Riau
OLEH : gde
agung lontar
Pagi
tanggal 05 Februari yang lalu saya mengunjungi Balai Bahasa Provinsi Riau
(BBPR) dalam rangka memenuhi undangan untuk menghadiri acara bertajuk Pertemuan
Sastrawan Riau yang ditaja oleh lembaga tersebut. Ini sesungguhnya adalah
kunjungan saya yang ke sekian dalam beberapa tahun belakangan ke gedung yang
berada di dalam kompleks Kampus Universitas Riau di Panam tersebut. Setiap
kunjungan itu entah kenapa saya selalu merasa seperti seseorang yang
“disastrawankan”. Itu membuat saya merasa menjadi seseorang yang istimewa,
namun sekaligus juga harus memikul tanggungjawab yang besar (paralel agaknya
dengan petuah Paman Ben dalam Spider-man);
karena menurut saya kedudukan sastrawan hanya sedikit di bawah filsuf. Pada
saat yang sama juga timbul perasaan miris, karena bagi kebanyakan orang masa
kini sastrawan itu hanyalah sejenis makhluk yang aneh, asing, nyaris tak
berguna; meski kadangkala menimbulkan perasaan kagum yang ajaib.
Acara
yang dihadiri puluhan undangan itu pun berlangsung cukup meriah dan
menyenangkan. Ternyata topik yang menjadi pokok bahasan yang ditaja tuan rumah,
Drs. Agus Sri Danardana, M.Hum. sebagai Kepala BBPR, adalah dalam
rangka membicarakan beberapa program kerja/kegiatan yang akan dilaksanakan BPPR
dalam tahun anggaran 2014 ini. Ada lebih dari 20 program, yang sebagian besar
di antaranya adalah dalam rangka menyambut Pekan Sastra se-Sumatera yang
September tahun ini akan diselenggarakan di Pekanbaru. Dengan demikian, BBPR
mengundang para sastrawan dan budayawan ini adalah selain dalam rangka temu-ramah,
juga untuk menjemput peran-serta mereka dalam program-program tersebut.
Bagi
saya pribadi, ketika melihat BBPR memaparkan program-program kerja/kegiatan
tersebut; saya jadi teringat tentang transparansi dalam kegiatan pemerintahan –
ini barangkali dapat menjadi salah satu contoh yang terpuji manakala
instansi-instansi pemerintahan yang lain justru [terkesan] berusaha
menyembunyikannya dengan berbagai maksud, alasan, dan tujuan. Maka di dalam
acara itu pun terjadilah diskusi, saling pertukaran informasi dan pikiran,
serta ada juga kritik dan saran yang semuanya diharapkan dapat membuat
program-program yang akan dilaksanakan tersebut berlangsung secara lebih baik.
Hanya saja, seperti kebanyakan acara sejenis yang kemudian berjalan penuh passion, waktu yang tersedia akhirnya
terasa begitu singkat. Mudah-mudahan, ada waktu yang cukup saat pembahasan yang
lebih spesifik dan detail nantinya.
Oleh
karena itu, di dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membahas
program-program yang akan dilaksanakan tersebut, melainkan saya ingin mencoba
menelisik posisi, keberadaan, dan peran BBPR di Provinsi Riau dan dalam konteks
Provinsi Riau sebagai tanah “ibunda” Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Melayu.
Peran
bahasa di dalam masyarakat [di mana pun di dunia ini; saya kira] seringkali
terkesan mendua, atau kadangkala bahkan mengalami semacam kontradiksi. Ketika
digunakan sehari-hari, nyaris tak ada yang memedulikan kaidah-kaidah yang
seharusnya ditaati dalam berbahasa; namun pada saat lain tiba-tiba saja bahasa
itu menjadi begitu penting dan sangat dihormati. Keadaan terakhir itu terjadi
biasanya ketika sudah menyangkut ikatan suatu kelompok (puak, kaum, suku, ras,
bangsa, d.ll.), kehormatan dan penghormatan dalam tradisi, d.st.
Bangsa
Indonesia ketika para pemudanya berketetapan hati pada 1928 untuk di antaranya
mengakui berbahasa satu yaitu Bahasa Indonesia; maka itu sesungguhnya adalah
sebuah lompatan politik dalam berkebangsaan yang begitu luar biasa, karena
memiliki pandangan dan efek yang jauh ke depan. Seperti kita tahu, hingga
sekarang ini masih banyak negara-bangsa yang masih memiliki problematika yang
pelik dalam menentukan bahasa persatuan atau bahasa nasionalnya; yang bahkan
hingga menyeret ke persoalan ikatan antar suku-bangsa yang ada! Banyak di
antaranya bahkan kemudian menggunakan bahasa mantan bangsa penjajahnya sebagai
bahasa nasional! Sebuah ironi – yang syukurnya tidak kita alami.
Maka
layaklah kiranya – sebagai sebuah bangsa yang besar dan beradab – Bangsa
Indonesia menyayangi sekaligus menghormati Bahasa Indonesia. Yaitu di antaranya
dengan cara lebih mendahulukan penggunaannya daripada bahasa yang lain,
menggunakannya dengan kaidah-kaidah yang baik dan benar, serta ikut serta dalam
pengembangannya. Di antaranya inilah peran Balai Bahasa (yang kalau di pusat,
lembaga ini sekarang bernama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa),
sebagaimana dapat disimak dalam visi dan misinya.
Dengan
begitu maka sesungguhnya posisi BBPR adalah unik, karena ia berada di tanah
“ibunda” Bahasa Indonesia itu. Dengan posisi demikian, sesungguhnya kita boleh
berharap – meskipun sebagai bagian dari sebuah instansi vertikal – BBPR
memiliki “kekuatan” dan peran yang lebih dibanding balai-balai bahasa di
provinsi lainnya. Kita selalu mempunyai perasaan yang unik ketika sedang berada
di tanah “leluhur”, bukan?
Dan
sedikit-banyak, hal semacam ini agaknya sudah terbayangkan oleh Kepala BBPR
saat baru menduduki jabatannya ini, seperti dapat disimak dalam wawancara
dengan Hary B Koriun (yang dimuat dalam situs ulunlampung.blogspot.com tanggal
19 Februari 2011). Di antaranya yang disebut adalah usaha-usaha memperkokoh
kemelayuan dalam konteks maraknya “klaim” warisan budaya oleh Malaysia dan
Singapura pada periode itu, Malaysia yang [konon] sedang menyusun kamus Bahasa
Melayu (tentu maksudnya bukan Kamus Dewan yang sudah ada saat ini),
kosakata-kosakata arkhaik dalam Bahasa Melayu, perhatian yang lebih intens pada
bidang kesastraan, d.ll.
Dalam
tahun-tahun kemudian, dari beberapa pertemuan atau tulisan yang dapat saya
simak atau alami, BBPR tampaknya cukup berhasil menyelenggarakan kegiatan yang
bersifat spesifik dalam konteks kemelayuan tersebut, seperti di antaranya
berhasil diterbitkannya buku Ensiklopedia
Sastra Riau, beberapa jurnal, serta kegiatan-kegiatan lomba atau
semacamnya. Meski demikian, nampaknya Riau mengharapkan peran yang lebih luas
lagi, seperti yang diungkapkan Al Azhar, Junaidi, Kazzaini, Mosthamir, dan
rekan-rekan lainnya dalam pertemuan itu.
Namun
agaknya harus dapat dipahami bahwa instansi yang bersifat vertikal ke Jakarta
seperti BBPR ini memiliki keterbatasan untuk bergerak secara lebih leluasa
dalam “tataran horisontal”. Hal ini dapat kita simak pada beberapa pernyataan
Kepala BBPR dalam beberapa kesempatan, seperti: “Karena kami tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Yang
dapat kami lakukan paling-paling hanyalah menyampaikan teguran.”, saat menjawab surat pembaca Pandu
Syaiful. Atau tentang BBPR yang belum “dianggap” oleh Pemerintah Daerah. Atau bahkan tentang masalah masyarakat Melayu sendiri yang sepertinya
sudah mulai enggan berbahasa Melayu!
Bahasa
adalah produk budaya. Dalam konteks itu, dan juga “memandang” Visi Riau 2020,
maka lontaran gagasan Al Azhar yang dimuat dalam Koran Riau beberapa hari lalu tentang perlu dibentuknya Dinas
Kebudayaan secara mandiri menjadi menarik untuk diperjuangkan. Gagasan semacam
ini sebenarnya sudah pernah muncul dan menjadi perdebatan di awal reformasi
dulu, tentang perlunya Departemen Kebudayaan secara tersendiri. Saya sendiri
mencoba bermimpi, kalau menjadi presiden akan mengubah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan menjadi Departemen Kebudayaan dan Pendidikan; karena bagi saya
kebudayaan sesungguhnya adalah inti sebuah peradaban.
Dalam
keterbatasan itu, maka berkenaan dengan kebahasaan, kesastraan, dan kemelayuan,
peran BBPR menjadi seperti tamu yang berguna tapi hanya boleh duduk di beranda
rumah belaka. Saya tidak tahu apakah persoalan tata laksana birokrasi
pemerintahan begitu menghalangi hal semacam ini, atau hanya sekadar persoalan
niat, keinginan, perhatian, kemampuan, dan/atau kepentingan semata. Tapi saya
percaya, salah satu tradisi dasar kemelayuan yang terkenal begitu egaliter itu
adalah masyarakat Melayu begitu menghormati dan melayani tamunya.
Hari
ketika tulisan ini selesai dibuat adalah saat pelantikan Gubernur dan Wakil
Gubernur Riau 2014-2019. Maka saya berharap peristiwa ini dapat menjadi
momentum yang tepat untuk melambungkan Kebudayaan Melayu melampaui 2020. Dalam
konteks ini, salah satunya adalah perhatian yang lebih besar dari Provinsi
kepada BBPR. Atau bila secara langsung harus menghadapi kendala-kendala yang
pelik, dapat dihidupkan kembali gagasan didirikannya Dewan Bahasa dan Sastra
Riau, seperti yang pernah dirintis BM Diah d.kk dulu; sebagaimana perbincangan
saya dengan rekan Abel Tasman. Dewan inilah yang kelak bekerja sama secara
langsung dengan BBPR.
Bila
hal ini dapat terlaksana, menurut saya ada beberapa kerja besar yang sudah
menanti. [1] Menyusun Kamus Besar Bahasa Melayu [Riau] menurut saya adalah
salah satu yang utama. Bila berkunjung ke Gedung Suman HS lantai 3, saya selalu
sedih karena sudah berderet puluhan kamus bahasa daerah lain, namun tidak ada
Bahasa Melayu! Menurut saya ini hal yang memalukan bagi kita semua. Entah
kemana perginya pasal 5 larik 1 Gurindam 12 Raja Ali Haji. (Menurut rekan saya
Abel Tasman, sesungguhnya kamus tersebut sudah pernah dirintis penyusunannya,
namun sepertinya terkendala masalah teknis [dan juga pembiayaan dari PemDa].
Masalah teknis di antaranya adalah banyaknya klaim dialek. Saya juga berharap,
kamus ini kelak bukan saja berisi tentang lema dan pengertiannya, namun juga
memuat persoalan gramatika dan segi-segi lingustik lainnya, Ini kemudian
menjadi diskusi yang menarik bagi kami).
[2] Kemudian tentang pengajaran Bahasa
Melayu, baik di sekolah maupun luar sekolah, baik dalam konteks local content maupun local concern, baik membaca maupun
menulis, baik latin maupun arab-melayu, baik dalam lingkungan privat maupun
publik. Bahasa yang ditinggalkan penuturnya akan menjadi bahasa mati. [3]
Gagasan untuk mendirikan Monumen Bahasa bagi saya sangat menarik, penting,
bermanfaat; dan bahkan saya membayangkan akan sebuah arsitektur yang
monumental. Namun konon gagasan ini berbenturan dengan “belahan jiwa” kita,
Provinsi Kepulauan Riau. Maka, sambil bergurau dengan Abel saya bilang, “Dah,
daripada berebut, kita usulkan saja monumen tu didirikan di perbatasan. Di
Pulau Rupat, misalnya. Dirikan yang megah, sekaligus tempat lokasinya kelak
sekalian dijadikan destinasi pelancongan! Untuk di Pekanbaru dan Tanjungpinang
(dan juga mungkin di lokasi tempat dibacakannya Soempah Pemoeda 1928) didirikan
replikanya.”
[4] Penerbitan buku; dalam pengertian
ini baik yang berbentuk cetakan maupun elektronik (e-book, micro-film); berupa buku maupun terbitan berkala; bersumber
dari naskah, makalah, tesis, disertasi, hasil penelitian, d.st.; berjenis
sains, teknologi, humaniora, religi, d.st; berasal dari kearifan lokal maupun
terjemahan; tradisi maupun modern atau bahkan ultra-modern; d.ll. Jepang maju
konon berkat Restorasi Meiji 1866, yang salah satu di antaranya adalah
penerbitan buku secara besar-besaran! Perlu dipahami, buku ada kalanya bernilai
ekonomi tinggi, tetapi seringkali buku yang penting dalam membangun kebudayaan kurang
bernilai ekonomi. Sebuah paradoks, memang. Maka mengalokasikan 3 % dari
anggaran pendidikan untuk kegiatan ini di tahap awal cukuplah barangkali. [5]
Perlunya pendokumentasian, penelitian, perlindungan (d.st) secara lebih
intensif lagi terhadap bahasa-bahasa dan sastra-sastra daerah di Riau yang
hampir punah; seperti dari puak/suku Akit, Bonai, Sakai, Talangmamak, d.ll. [6]
Mendukung kegiatan-kegiatan sastra dan budaya Riau secara lebih komprehensif,
bukan dalam konsep artifisial semata. [7] D.ll.
Maka, sambil menghaturkan Tahniah pada
Gubernur dan Wakil Gubernur Riau 2014-2019 yang baru saja dilantik, saya
menitip harapan kiranya momentum ini dapat dianjungkan.
Akhir kalam, di ujung pertemuan itu kami
pun santap siang bersama, beramah-tamah dalam suasana yang penuh kekeluargaan,
serta sapa dan senyum yang menyejukkan dari para kerabat BBPR; suasana yang
rasanya jarang saya temukan di tempat lain. Tabik.
Publikasi #1: Riau Pos, 02-03-14.
KOPERASI SENIMAN RIAU
SEBUAH GAGASAN
Oleh Gde Agung Lontar
Bahkan Tuhan
pun berkoperasi!
Tuhan
meminjamkan tangan kepadamu ….
Tuhan
mengizinkanmu hidup dengan hati ….
Tuhan
mempersilahkanmu menggunakan mata dan telinga pinjaman-Nya ….
Hidup
dengan otak, yang dicahayai oleh Allah melalui perangkat lunak yang disebut
akal, sehingga otakmu bisa berpikir ….
(Emha
Ainun Nadjib, penggalan sajak Koperasi.)
Kisah Anak
Negeri
Suatu hari terjadi dialog seperti ini:
“Bang, aku sudah berhasil menulis dua buah naskah novel.
Menurut aku sih bagus, tapi sampai sekarang aku belum berhasil menerbitkannya.
Sudah ada beberapa penerbit yang aku kirimkan proposalnya, tapi sampai sekarang
bahkan jawabannya pun belum aku terima. Macam mana, Bang?”
Kawan yang lain lagi,
“Iya, Bang. Saya ini kan suka melukis. Sudah puluhan lukisan yang
berhasil saya buat. Tapi bahkan untuk sekadar pameran pun saya belum dapat
melakukannya. Masa saya harus pameran di tepi jalan, kan kasihan kena debu. Belum lagi nanti
bisa-bisa dipelasah
Satpol PP.”
Lalu, Si Gendut,
“Bung, kan
Bung tahu, beta ini punya teater dan sanggar tari. Beta sudah bikin banyak
naskah drama dan koregrafi tari. Baik yang tradisi maupun yang modern. Tapi,
seperti yang Bung tahu, beta dan kawan-kawan sampai sekarang tak tahu macam
mana caranya untuk mempresentasikan
karya-karya kami. Paling-paling, sampai sekarang kami hanya pentas di
lingkungan kami sendiri. Macam onani saja rasanya. Proposal? Ah, sudah banyak
kami lempar. Ke Dinas, ke Dewan-dewan, ke konglomerat, ke yayasan, ke
tokoh-tokoh masyarakat.
Haram semua.”
Dialog di atas sesungguhnya hanyalah sebuah ilustrasi,
fiksi belaka. Tidak sungguh-sungguh benar terjadi. Bahkan rangkaian percakapan
itu sendiri tak dapat disebut sebagai sebuah dialog, karena tidak adanya kesimetrian
pertelagahan pikiran dan perasaan di dalamnya, kecuali sekadar kesejajaran
gagasan. Meski demikian, dialog di atas bukannya tidak dapat disebut
benar-benar pernah terjadi, dan bukannya pula tidak dapat disebut sebagai
sebuah dialog. Pada suatu waktu, pada suatu tempat, dialog semacam itu pernah
terjadi – dan tidak jarang. Entah ketika itu saya, entah ketika itu Anda, entah
ketika itu kita ada di sana.
Kenapa bisa demikian?
Setiap manusia membutuhkan aktualisasi diri, begitulah
setidak-tidaknya menurut Abraham Maslow. Kebutuhan aktualisasi diri ini adalah
merupakan kebutuhan di mana orang ingin memaksimalkan potensi diri, ingin
mengembangkan diri, sehingga keberadaannya diakui oleh orang lain. Ini
sebenarnya jenjang tertinggi menurut Maslow dengan hierarchy of needs-nya, setelah: kebutuhan faali, keamanan,
sosialisi, dan penghargaan terpenuhi. Tetapi tidak setiap manusia “patuh”
mengikuti jenjang Maslow itu. Bagi kaum seniman pada umumnya, seringkali
kebutuhan aktualisasi mendahului yang lainnya, bahkan mungkin berjalan dalam
urutan terbalik.
Aktualisasi diri berkaitan dengan masalah eksistensi yang
paling dalam, hal-hal yang selalu menjadi topik utama kaum seniman. Tetapi di
sinilah masalahnya, untuk mendapatkan pengakuan sang seniman membutuhkan media
yang membuat khalayak dapat dengan mudah mengakses karya-karyanya. Dan, kita
tahu, di sini inilah salah satu bagian yang paling sulit; meskipun berkat
perkembangan zaman hal-hal seperti ini sebenarnya bisa saja menjadi jauh lebih
mudah. Sebuah paradoks? Memang.
Mari coba kita bahas sedikit masalah ini.
Secara sederhana cara untuk mengekspos karya-karya sang
seniman agar dikenal oleh masyarakat dapat kita bagi menjadi dua, yaitu:
tradisional dan modern (katakanlah begitu). Untuk contoh cara yang tradisional,
seorang sastrawan yang sudah menyelesaikan sebuah naskah novel misalnya
kemudian perlu memperbanyak / menduplikasi novel itu dalam bentuk buku untuk
kemudian didistribusikan ke berbagai tempat agar mudah dijangkau oleh
masyarakat yang berminat. Pelukis sedikit lain caranya karena dia tentu saja
“tidak boleh” menduplikasi lukisannya karena produk lukisan mengenal istilah
asli dan palsu secara fisik; maka dia kemudian memerlukan suatu tempat agar
khalayak ramai dapat dengan mudah melihat (dan kemudian membeli) karyanya itu, baik
berupa acara pameran, dipajang di sebuah galeri seni, ruang pajang di sebuah
hotel, atau sekadar digantung di sebuah toko. Sedang bagi sang koreografer tari
dengan hasil koreografinya, atau sang sutradara teater dengan dramanya, tentu
akan segera mencari panggung dalam upaya mempersembahkan karyanya.
Sedang dengan cara modern, dapat saya ringkas salah
satunya dengan memanfaatkan media internet atau world wide web. Cukup dengan membuat website pribadi, atau menumpang juga bisa, di sana sang seniman dapat memajang
karya-karyanya. Naskah novel dapat langsung diunggah, lukisan dapat difoto
terlebih dahulu (lebih mudah dengan kamera digital), sedang karya tari atau
teater dibuatkan videonya (handycam-nya
cukup minjam, dan panggungnya kalau
boleh menumpang sebentar di Gedung Idrus Tintin). Setelah itu semua,
karya-karya itu berpotensi untuk disimak oleh ratusan juta orang – sebuah angka
yang mustahil untuk dicapai oleh novel-novel Harry Potter sekalipun! Bukankah ini sebuah peluang yang
menggiurkan?
Tetapi, ada
masalah luar biasa yang menghadang di sini, terutama bagi kaum seniman, yaitu
berkaitan dengan hak cipta. Kita tahu, di dunia maya masalah hak cipta adalah
sesuatu yang rentan, dan agaknya inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa
cara ini masih kurang menarik; di samping keterbatasan-keterbatasan yang masih
ada, baik diakibatkan oleh masalah internal (diri sang seniman itu sendiri),
maupun eksternal (internet dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, sosial
budaya dan kebiasaan masyarakat, sarana pendukung, d.ll). Meski demikian, sejak
bertahun-tahun yang lalu ada saja seniman (dan kelompoknya) yang mencoba
memanfaatkan fasilitas ini, meskipun sepintas yang saya lihat pada umumnya
kurang dapat berkembang dengan memuaskan, atau bahkan kemudian tutup buku.
Sebuah paradoks, bukan?
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kasihan sekali jadi
seniman, bukan? Sudah dia yang bertungkus-lumus dalam upaya melahirkan karya
yang jenial (paling tidak sementara menurut kepala-hotaknya sendiri), memeras
pikiran perasaan dan badan, merentang waktu hingga lupa almanak; eh dia pula
yang harus bersusah-payah menduplikasi serta menyorong-nyorong karyanya
kesana-kemari, seringkali dengan resiko ekonomi yang sebenarnya nyaris tak
tertanggungkan lagi. Di negara-negara yang lebih maju, sebenarnya proses
pasca-penciptaan ini (proposal, produksi / duplikasi, distribusi, pemasarn, d.ll) telah diambil perannya
oleh para agen atau kurator, sehingga membantu menjembatani kepentingan antara
pihak seniman dan produser hingga konsumen, serta paling tidak mengeliminasi resiko ekonomi bagi sang
seniman sendiri. Tidak jarang, dalam kasus-kasus tertentu, berkat jasa agen
atau kurator ini pihak produser bahkan sudah berinvestasi sejak pra-penciptaan.
Impian yang terlalu tinggi bagi kita di sini.
Dalam beberapa diskusi dengan beberapa sahabat, atau dari
membaca artikel d.ll, tak
jarang tercetus pernyataan (sebenarnya juga pertanyaan) tentang berjaraknya
seniman dan masyarakat (dalam hal ini terutama dalam soal mempersembahkan
karyanya, bukan dalam hal proses kreatifnya), dan berjaraknya masyarakat dan
seniman (terutama dalam hal mengapriasiasi karyanya). Yaitu, masyarakat kita
nyaris tidak tahu tentang novel itu, lukisan anu, tarian iku, ataupun drama entah
(kecuali yang berasal dari produk-produk mainstream,
yang berasal dari Jakarta-sentris, atau yang berbau-bau “populer”; intinya yang
berhasil membentuk opini masyarakat banyak melalui kekuatan media (atau media
yang kuat)). Tetapi menurut saya tentu saja itu adalah hal yang logis,
bagaimana mungkin masyarakat mengenali karya-karya kita bila karya-karya itu
tidak pernah terekspos sampai ke mereka? Kalau sudah begitu, jangan lagi
mengharapkan adanya suatu umpan-balik dan atau perenungan dan atau manfaat
nyata bagi mereka, untuk sekadar mengisi teka-teki silang tentang nama
pengarang novel Nubuat pun misalnya
mereka tidak akan tahu.
Sebenarnya bagi para seniman, kebutuhan aktualisasi diri
itu seringkali bukan semata didasarkan pada kebutuhan eksistensialisasi diri (soal
ini jangan dulu kita bertelagah tentang Sartre, Camus, Heidegger, atau Iwan
Simatupang), tetapi juga berkaitan dengan “eksistensialisasi masyarakat”. Ini
mungkin terdengar congkak, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah, pada
dasarnya seluruh karya seni adalah merupakan produk kontemplasi sang seniman
atas masyarakatnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, karya itu adalah cermin bagi
masyarakatnya. Sebuah cermin yang dapat membuat kita mengetahui ada sebuah
jerawat batu di wajah kita (masyarakat), atau panau di punggung, peradangan amandel, atau mungkin
gincu yang terlalu tebal. Pada saat yang sama, karya seni itu mau tak mau sebenarnya adalah produk masyarakat itu
juga. Ia dapat menjadi sekadar sampah, kain lap, atau mungkin malahan menjadi
sebuah monumen yang akan dikenang umat manusia hingga ribuan tahun mendatang
(epik Mahabharata dari India ± 2.500
tahun yang lalu, lukisan Monalisa
dari Italia ± 600 tahun yang lalu, hikayat Hang
Tuah dari Indonesia ± 400 tahun yang
lalu).
Dalam upaya aktualisasi diri ini Penulis juga mengalami
hal yang sama saja dengan yang dialami rekan-rekan seniman lainnya.
Ketidakmampuan diri untuk mengekspos karya secara mandiri (seperti yang
beberapa sahabat kita mampu lakukan) dipalang oleh keterbatasan berbagai
sumberdaya – sebagaimana yang banyak sahabat kita alami. Pernah mencoba ke
beberapa penerbit (untuk novel dan kumpulan cerpen), tapi kita tahu bagaimana
mereka, dan mungkin juga keterbatasan karya kita sendiri (setidaknya menurut
editor mereka).
Pernah juga berharap dari Komunitas Cerpenis Indonesia
yang rencananya akan dibentuk (dari keputusan Kongres Cerpen Indonesia, November 2005), tapi
sampai sekarang tak terdengar lagi gaungnya. Pelepasan yang selama ini berhasil
Penulis lakukan akhirnya “hanyalah” melalui media-media seperti majalah dan
suratkabar. Syukurlah akhirnya, barangkali separuh berkat keberuntungan, dua
buah novel Penulis berhasil diterbitkan (yang satu karena menang sayembara,
yang lain karena diundang oleh Disbudpar). Itu pun sepertinya tidak terdistribusi secara
maksimal.
Tidak banyak
seniman yang mendapatkan keberuntungan semacam itu. Sebagian besar dari kita
bersusah-payah mengajukan berbagai tawaran dan proposal ke sana ke mari, tetapi di negeri “Ibu Melayu”
ini sepertinya kerja seniman ini belum masuk kategori mustahak. Tak sedikit
pula seniman yang mencoba melakukan secara mandiri dengan segala keterbatasan
sumberdaya yang dimilikinya; membentuk yayasan, majelis, komunitas, kelompok, d.st. Ada yang berhasil
mentereng, tapi jauh lebih banyak lagi yang sekadar mentheleng; hingga kemudian hanya terbitlah sebuah buku kumpulan
puisi edisi fotokopi atau hasil print-out-an
(masih mending
agaknya, dulu stensilan), lukisan dipajang di sudut-sudut entah hingga berdebu
dan berjamur, dan komposisi tari di sekadar panggung 17-an yang riuh dengan soundsystem alam terkembang. Meski “berhasil” eksis, tetap saja tidak
berhasil mencapai eksistensi masyarakat (luas).
Dalam konteks
inilah Penulis kemudian teringat pada koperasi.
Introduksi
Koperasi
Koperasi adalah sebuah bentuk badan
usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluarkan. Setidak-tidaknya begitulah
defenisi koperasi menurut UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian. Jangan baca
lema koperasi dalam KBBI, lebih tidak menarik lagi.
Bapak Koperasi dan
Demokrasi Ekonomi kita, yang juga sekaligus merupakan salah seorang Proklamator
RI, Bung Hatta, sejak bahkan sebelum awal mula berdiri Republik ini sudah
mengatakan bahwa bentuk usaha yang paling sesuai bagi Bangsa Indonesia adalah
koperasi. Ini karena secara tradisional, pola sosial-budaya orang Indonesia
itu suka saling tolong-menolong, suka bekerja bersama-sama, bergotong-royong;
yang ringan sama dijinjing, yang berat sama dipikul.
Tetapi koperasi di
Indonesia
sendiri sebenarnya pertama kali diperkenalkan pada tahun 1896 oleh Raden Aria
Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah (Masad Masrur, 2008). Ketika itu ia
mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat
hutang pada rentenir. Koperasinya ini kemudian dibantu pengembangannya oleh
pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi Pemerintah Hindia Belanda.
Sejak itu perkoperasian kemudian berkembang luas di tengah masyarakat. Banyak
koperasi-koperasi lainnya bertumbuhan, hingga kemudian sempat dikhawatirkan
oleh Kolonial koperasi itu akan dijadikan pusat-pusat perlawanan kaum pribumi.
Sampai, tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres
Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai
Hari Koperasi Indonesia.
Bung Hatta menempatkan koperasi sebagai bagian dari
perjuangan pembebasan terhadap imperialisme Belanda, khususnya eksploitasi ekonomi
kolonial, untuk dapat bagi rakyat mengimbangi perusahaan-perusahaan bermodal
besar. Kita kemudian mengenal perjuangan Bung Hatta ini secara yuridis dalam
berkenegaraan Republik Indonesia tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 yang
terkenal itu, di mana di antaranya dalam ayat (1) tercantum: “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.
Dalam tataran dunia internasional pun koperasi bukanlah
asing sama sekali. Bahkan sejak PD II hingga kini bisa dikatakan bahwa koperasi
adalah salah satu bentuk organisasi ekonomi modern yang berkembang pesat serta
mengambil peran penting di Eropa Barat. Jadi, keliru kalau kita beranggapan
bahwa koperasi adalah bentuk organisasi ekonomi yang tradisional, yang katro. Kita dapat melihat pada negara-negara
yang memiliki tingkat sosial-budaya yang tinggi pun, badan usaha koperasi memiliki
peranan penting. Seperti Finlandia, sebuah negara maju yang mendapat banyak
pujian dalam hampir berbagai segi berkenegaraan (Finlandia relatif sangat
bersih dari korupsi, urusan-urusan publik sangat mudah, sangat memperhatikan
lingkungan hidup, d.ll).
Juga dapat kita lihat di Denmark,
Kanada, Jerman, Jepang, dan bahkan USA.
Di bawah ini sebagai ilustrasi dapat
kita lihat beberapa catatan tentang perkembangan koperasi di beberapa negara :
v Kanada
: 25 % dari penduduknya setidaknya adalah anggota dari satu koperasi. Di
ibukotanya, Quebec, bahkan 70 % penduduknya adalah anggota koperasi;
v Finlandia
: S-Group memiliki anggota 1.468.572 orang (th. 2004) yang merupakan 62 % dari
rumahtangga Finlandia;
v Jerman
: ada 20 juta orang anggota koperasi, yang merupakan 25 % penduduk;
v Jepang
: sepertiga penduduknya adalah anggota koperas;
v India
: 239 juta penduduk menjadi anggota koperasi;
v Selandia
Baru : 40 % penduduk dewasa adalah anggota koperasi (th. 2007);
v Singapura
: separuh penduduknya anggota koperasi;
v USA
: 40 % penduduknya adalah anggota koperasi (th. 2006).
Di samping itu dalam tataran dunia internasional,
mengenai usaha bersama seperti koperasi ini telah mendapatkan tempat dalam
Resolusi Sidang Umum PBB yang tercantum dalam Sertifikat Nomor 54 / 123 Tahun
1999 dan kemudian Nomor 56 / 114 Tahun 2001, di mana tercantum peran koperasi
yang sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan
kerja, dan peningkatan integrasi sosial di negara-negara seluruh dunia.
Sayangnya, di negara kita sendiri koperasi seringkali
mendapat citra yang kurang baik. Sayup-sayup sampai sering kita dengar,
terutama pada zaman OrBa
dulu banyaknya koperasi jadi-jadian. Koperasi yang dibentuk hanya sekadar untuk
mengeruk uang negara melalui berbagai fasilitas, lalu setelah itu mati suri;
gejala-gejala serupa yang agaknya mulai timbul belakangan ini. Atau, seseorang
membentuk koperasi dengan berbagai janji, mengumpulkan uang masyarakat,
kemudian lari. Tetapi, sebagaimana juga badan-badan usaha lainnya,
kejadian-kejadian buruk itu bukanlah disebabkan kegagalan dari sistem koperasi
itu sendiri (terbukti di banyak negara maju koperasi merupakan salah satu
pilihan utama), tetapi merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang
atau sekelompok orang tertentu.
Hal yang terpenting yang harus dipahami dalam
perkoperasian ini adalah bahwa koperasi bukanlah representasi kapitalisme,
namun juga koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar. Koperasi adalah
sebuah lembaga self-help lapisan
masyarakat / rakyat kecil untuk bisa berperan dalam arena pasar. Tetapi, oleh
karena koperasi bukan dari kapitalisme, koperasi dijalankan berlandaskan pada
sistem kekeluargaan dan gotong-royong, maka dibentuknya sebuah koperasi
bukanlah dengan tujuan utama mencari laba sebesar-besarnya, melainkan lebih
kepada kepentingan melayani kebutuhan
bersama para anggotanya.
Koperasi
Seniman Riau (?)
Karena itulah melalui tulisan ini Penulis menawarkan
sebuah gagasan kepada sahabat seniman untuk bersama-sama membentuk wadah usaha
bersama berbentuk koperasi seniman. Kenapa koperasi? Karena seperti telah
dijelaskan di muka, koperasi adalah badan usaha bersama. Berbagai sumberdaya
yang diperlukan diusahakan secara bersama. Dalam permodalan aktiva lancar
misalnya, koperasi mengenal iuran pokok
dan iuran wajib. Iuran pokok
(misalnya Rp 1 juta, tergantung kesepakatan) dibayarkan satu kali saja pada
saat pertama kali menjadi anggota, sedangkan iuran wajib (misalnya Rp 100 ribu)
dibayarkan anggota setiap bulan. Di samping itu koperasi juga mengenal modal penyertaan, yang fungsinya nyaris
seperti saham dalam perseroan. Karena itulah, setiap tahun tutup buku, setiap
anggota kelak akan mendapatkan bagian sisa hasil usaha (mirip dividen dalam
perseroan) berdasarkan besarnya kontribusi masing-masing dalam kegiatan usaha
tersebut. Dari sejumlah modal yang berhasil dikumpulkan itulah, termasuk
aktiva-aktiva lainnya, kegiatan usaha koperasi itu dapat dijalankan.
Kalau mau lebih teknis sedikit, ditambah dengan secuil
mimpi, katakanlah ada 100 rekan yang berminat berusaha bersama, maka modal awal
yang terkumpul adalah Rp 100 juta dari iuran pokok [misalnya] satu
juta per anggota,
dan Rp 10 juta dari iuran wajib bulan pertama. Jumlahnya Rp 110 juta. Ditambah
dengan asumsi rerata masing-masing memasukkan modal penyertaan sebesar Rp 1
juta (ini bukanlah wajib bagi seluruh anggota, dan besarnya modal penyertaan
pun tergantung kemampuan masing-masing), maka total modal awal terkumpul adalah
Rp 220 juta. Dari modal bersama inilah kegiatan bersama-sama dapat dijalankan.
Kegiatan usaha apakah yang akan dijalankan? Tentu saja
kegiatan utama koperasi ini adalah dalam upaya aktualisasi anggotanya yang
merupakan para seniman itu. Yang sastrawan jelas membutuhkan penerbitan, yang
lain membutuhkan pementasan, pameran dan galeri, d.st. Maka, paling tidak,
menurut Penulis, pada tahap awal koperasi ini memerlukan adanya divisi-divisi
(dalam istilah perkoperasian: unit-unit usaha) penerbitan, event-organizer, perdagangan umum, dan ada baiknya juga ada divisi
simpan-pinjam.
Meski demikian,
agar dapat tetap berlangsungnya usaha koperasi ini, kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan selain berlandaskan upaya aktualisasi anggotanya, juga harus dapat
mendatangkan sejumlah manfaat ekonomi yang memadai. Untuk itu, maka di samping
adanya kepengurusan, koperasi juga harus memiliki semacam dewan redaksi dan atau
editor dan atau kurator yang bertugas melakukan penelitian atas karya-karya
yang akan diangkat. Maka, mau tidak mau akan terjadi proses seleksi di sini.
Proses seleksi ini baik berupa sekadar penjadwalan, koreksi/penyuntingan (bila
saling disepakati), atau bahkan penolakan. Hal ini di samping karena
keterbatasan sumberdaya, juga koperasi jangan sampai mengangkat karya secara
serampangan sehingga merugikan koperasi itu sendiri, dan para anggotanya pada
akhirnya.
Mengenai nama dan
jumlah koperasi yang akan dibentuk, berpulang pada niat dan kebutuhan
(masing-masing kelompok) seniman. Namun untuk jumlah koperasi, Penulis
menyarankan untuk tidak terlalu banyak agar di sana dapat terhimpun sejumlah besar anggota
yang dengan demikian juga akan terhimpun sejumlah besar modal, sehingga dengan
kekuatan itu koperasi akan bergerak lebih leluasa dalam melaksanakan
kegiatannya.
Kemudian, seperti
banyak orang bijak mengatakan, kegiatan yang paling sulit dalam suatu usaha
sebenarnya bukanlah saat memproduksinya, tetapi bagaimana menjualnya. Ini juga
tentu memerlukan diskusi lebih lanjut, tetapi yang pasti adalah koperasi harus
membuat jaringan yang kuat dan luas, atau paling tidak berusaha menjadi bagian
dari suatu jaringan yang kuat dan luas.
Setelah itu,
keuntungan apa lagi yang kiranya akan didapat dengan menjadi anggota koperasi
seperti ini? Seperti biasanya dalam sebuah usaha koperasi, anggota akan
melakukan berbagai kegiatan usaha secara bersama-sama, merancangnya,
menjalankannya, dan mengevaluasinya, serta tentu saja akhirnya mendapatkan manfaat
ekonominya secara bersama-sama pula. Di samping itu di antaranya dapat
dijabarkan sbb :
1.
Memperoleh sertifikat dan atau
kartu keanggotaan;
2.
Berhak mengikuti rapat-rapat
anggota dalam rangka menentukan arah Koperasi di masa depan, melakukan
evaluasi, serta mengajukan kritik dan saran;
3.
Berhak memperoleh dividen sisa
hasil usaha pada setiap tahun tutup buku, sebanding dengan simpanan dan
kontribusinya;
4.
Melalui Divisi Simpan-Pinjam, berhak
memperoleh pinjaman tanpa agunan hingga jumlah dan jangka waktu tertentu, dengan
kewajiban pengembalian yang sangat ringan; bila dibutuhkan juga dapat mengajukan
pinjaman dengan agunan, dengan syarat dan ketentuan berlaku;
5. Berhak
mengikuti program-program dan atau kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan;
d.ll.
Dan, siapakah
anggota dari koperasi ini? Tentu para seniman.
Seniman,
Makhluk Apa Itu?
Tetapi, ada
masalah di sini. Siapakah seniman itu? Tidak seperti profesi-profesi lainnya,
seniman tidak dengan mudah dapat didefenisikan. Profesi-profesi lain (dokter,
insinyur, psikolog, d.ll)
ada lembaga resmi yang memiliki hak untuk menasbihkannya pada seseorang, seniman
tidak ada. Meskipun ada lembaga-lembaga resmi seperti institut kesenian, fakultas
sastra, sekolah seni rupa, d.st.,
tetapi entah bagaimana mereka tidak memiliki hak untuk menasbihkan seseorang
menjadi seniman. Barangkali, hanya masyarakatlah yang berhak menasbihkannya
(dan dalam konteks sekarang, juga kritikus dan media massa; itu pun juga pada akhirnya perlu
mendapatkan “persetujuan” masyarakat).
Dalam KBBI (edisi
th. 2002), lema “seniman” didefenisikan sebagai “orang yang mempunyai bakat
seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni”. Defenisi ini
meskipun sederhana paling tidak sudah menunjukkan harus adanya kaitan langsung
antara bakat, mencipta, dan menggelarkan (minimal membuktikan) karya seninya.
Sayangnya lagi, masih menyimpan masalah tentang bagaimana sesuatu itu dapat
disebut sebagai sebuah karya seni (yang bermutu). Ini barangkali akan menjadi
bahan kajian lebih lanjut, dalam konteks koperasi ini.
Kemudian, perlu
juga diperbincangkan nanti, apabila dengan batasan-batasan tertentu,
seniman-seniman dalam bidang apa sajakah yang akan diakomodasi dalam koperasi
itu. Apakah di sana juga tercakup sastrawan, pelukis, teaterawan, pematung,
komikus, d.st; atau
dibatasi untuk bidang-bidang tertentu saja. Serta berdasarkan kriteria apakah
seseorang itu berhak diyakini bahwa dia adalah seorang seniman, sehingga ia
layak untuk ikut menjadi anggota Koperasi. Di sini perlu ada pembahasan yang
berhati-hati sekali, serta dengan pikiran yang terbuka karena, sekali lagi, hal
semacam ini dapat saja menjebak pemahaman kita hingga terkungkung dalam
tempurung yang sempit.
Hal ini pun perlu
jadi bahan pertimbangan yang hati-hati tentang batasan-batasan “Riau”
sebagaimana yang dimaksud dalam “koperasi seniman Riau”. Apakah yang dimaksud
dengan “Riau” itu? Silakan bahas.
Sebuah
Utopia?
Meski demikian barangkali ada sebuah masalah klasik yang
mungkin belum apa-apa kita semua sudah dapat baca di sini, yaitu masalah ego.
Kita tahu semua, dan mungkin sudah merupakan takdirnya, makhluk yang mengaku
dan atau diakui bertitel seniman ini biasanya sangat tinggi keegoannya (bukan
egoisme, lho). Mereka biasanya tidak mau diatur, tidak mau diperintah, tidak
mau disuruh-suruh, jarang mau diberi petunjuk, jarang mau dinasehati, kerja
sesuka hati (biasanya alasannya tergantung mood),
sulit berdisiplin (kecuali bila sedang menyelesaikan karyanya), d.ll. Pokoknya, dalam bahasa
ringkas dan sederhana, makhluk yang punya harga diri tinggi; yang namun
sayangnya oleh masyarakat kebanyakan ditangkap sebagai som-bong, angkuh, eksentrik – dan
pada suatu masa termasuk: jorok. Bagaimana mungkin sebuah usaha akan dijalankan
dengan orang-orang yang seperti itu?
Dunia usaha, termasuk koperasi di dalamnya, agar dapat
berjalan dengan baik mensyaratkan harus dikelola oleh orang-orang yang – yah,
maaf saja, bukan seperti “mereka” di atas. Orang-orang yang bergerak di bidang
usaha
biasanya
berdisiplin tinggi, kreatif (dalam kegiatan usaha maksudnya), mampu bekerja
keras,
serta mampu
bekerja sama; kriteria
yang kebanyakan seniman “tidak” memilikinya. Jadi, bagaimana mungkin sebuah
koperasi seniman dapat berjalan? Bukankah itu menjadi sebuah utopia?
Pada kenyataannya, dari berbagai sumber, dapat kita
ketahui bahwa di negara kita tercinta ini bukan tidak ada yang namanya koperasi
seniman. Bahkan sebagai contoh, ada yang namanya Koperasi Seniman Indonesia.
Namun, sayangnya sampai tulisan ini selesai Penulis belum berhasil mendapatkan
referensi yang mendalam tentang koperasi-koperasi seniman itu, bagaimana
keadaan mereka
sekarang, bagaimana mereka dijalankan, d.st.
Jadi, ini kelak mungkin dapat menjadi bahan pekerjaan guna upaya pembandingan
dan pembelajaran.
Meski demikian, sudah adanya koperasi-koperasi seniman
itu (di Riau sepengetahuan Penulis belum ada, mohon koreksi bila salah), tetap
membuktikan bahwa sebuah koperasi seniman bukanlah mustahil adanya. Yang
diperlukan hanyalah pengelolaan yang dilakukan secara profesional, menurut
kriteria-kriteria dalam dunia usaha. Lagi pula, pandangan umum tentang perilaku
seniman sebagaimana di atas, seringkali hanya sekadar “kulit” belaka. Seorang
seniman, sebagaimana manusia lainnya, bila dihadapkan dengan tantangan tertentu
pada akhirnya dia tentu juga bisa berubah mengikuti tuntutan profesionalisme
itu.
Tinggallah bagi Penulis, semoga tulisan ini dapat memberi
sedikit pencerahan atau makna bagi kita semua. Dan, meminjam Barack Obama:
IT’S
TIME TO CHANGE
!
www.pekanbaruriau.com |
MEMBACA LAWA
:
Siti
Jailawa bukan Sitti Nurbaja
OLEH : Gde Agung Lontar
Perempuan
yang Lawa
Ini
adalah kisah tentang perjuangan seorang wanita. Perjuangan untuk mempertahankan
cinta, kebersamaan, dan kepemilikan. Untuk masa-masa di mana latar novel ini
berlangsung, yaitu antara zaman pendudukan Jepang hingga kedatangan kembali
Belanda dalam rangka menjajah kembali Indonesia yang sudah memproklamirkan
kemerdekaannya, dengan demikian perjuangan wanita ini terasa menyimpang dari
adat resam budaya yang kita kenal untuk masa itu. Apalagi latar tempat
berlangsungnya cerita novel ini berada di sebuah kawasan yang tergolong
terpencil untuk masa itu (bahkan pun relatif hingga sekarang), di mana
persentuhan budaya dengan dunia Barat atau dunia luar tidak berlangsung secara
intens; sehingga dipercaya dapat memberikan pandangan-pandangan yang lebih
“modern” dalam alam pikiran masyarakatnya. Saya tidak akan mengangkat hal ini
seperti dalam tulisan ini apabila latar tempat kisah novel ini berlangsung di Jakarta atau bahkan Padang,
misalnya. Maka kita tidak akan heran apabila wanita-wanita dalam Layar Terkembang, Belenggu, atau bahkan Salah Asuhan misalnya sudah memiliki
pemikiran yang demikian terbuka dan “maju”, jauh “melampaui” lingkungan
sosio-kultural mereka yang sebenarnya.
Lantas,
apakah Lawa – baik sebagai sebuah novel maupun sebagai seorang tokoh yang
bernama lengkap Siti Jailawa – menjadi sebuah anomali? Jawaban yang paling aman
agaknya: berpulanglah kepada interpretasi masing-masing pembaca.
Dan
memang, saya menangkap, dalam konteks sosio-kulturalnya pada masa itu Lawa
adalah seorang wanita dan perempuan yang begitu tegar, kuat, liat, dan penuh
semangat setidak-tidaknya dalam hal mempertahankan mahligai cintanya; meskipun
pada saat yang sama dia juga sebenarnya begitu rapuh, hingga bahkan hampir
luruh. Kita dapat mengetahui bahwa strukturasi kultural dalam masyarakat
tempatan yang masih merupakan bagian dari adat budaya Minangkabau pada masa itu,
hampir tidak memberi ruang pada wanita untuk menentukan pilihan-pilihan untuk
kehidupannya sendiri. Perkawinan, pendidikan, pemerintahan di antaranya; atas
nama adat-istiadat dan hukum syariat masih merupakan domain kuat kaum laki-laki
dalam menentukannya. Untungnya dalam masyarakat matrilinier – kalau mau
dibilang begitu – “kekuatan” kaum perempuan masih ada dalam wilayah garis
keturunan dan harta pusaka.
Tetapi,
Siti Jailawa memang bukan Sitti Nurbaja. Meskipun memang sama-sama menikah atas
pilihan orangtua, serta dinikahkan pula dengan seorang yang sudah tua, pikiran-pikiran
dan suasana yang melatarbelakanginya memang berbeda. Lawa dinikahkan lebih
dalam upaya untuk menyelamatkan keberadaannya sendiri. Lawa adalah anak
sebatang kara, sementara Mamak Daud – orang yang mengasuhnya selama ini – sudah
renta atau paling tidak dalam kondisi yang tidak prima, sementara serdadu
Belanda sudah hampir sampai ke desa. Tetapi pernikahan Sitti Nurbaja lebih
dalam upaya untuk menyelamatkan keluarganya, sehingga dalam konteks
egosentrisme dirinya adalah korban, sehingga seharusnya ia melawan dan menolak
pernikahan yang memang tidak diinginkannya itu. Apalagi pada saat yang sama
Sitti Nurbaja sudah punya pilihan hati sendiri. Tetapi, Sitti Nurbaja tidak
melakukannya. Ini boleh menjadi perdebatan panjang, apakah pengorbanannya itu
bermakna atau hanya sekadar kekalahan belaka.
Tetapi
yang lebih penting dari itu, kita selanjutnya dapat melihat percikan pemikiran
Lawa tentang kaumnya terasa cukup maju seakan melenting jauh dari waktu dan
tempat latar kisahnya; yang bahkan di dunia Barat sana baru menemukan bentuknya dalam gerakan
feminisme belasan tahun kemudian. Mari kita lihat apa yang ada dalam
percikan-percikan pemikiran Lawa itu. Maklum,
status janda membuat seorang perempuan jadi serba susah. Berbuat baik saja
dianggap jelek, apalagi berbuat buruk. Terpandang ke laki orang saja disebut
menggatal, apalagi bermain cinta dengan bujang-bujang. Miang, kata orang. Nasib
janda memang serba susah. Mati pajak (63). Ini adalah sebuah keluhan,
sekaligus gugatan. Atau: Mengapa harus
perempuan yang disalahkan? Mengapa Markoni harus mencoba perawan baru? Apakah
pernikahan itu bagian dari percobaan? Coba sana, coba sini, mana yang sesuai
dialah yang dipakai? Mana yang tak suai lalu dibuang bersepai? Mengapa bukan
aku yang harus mencoba pejantan baru? (14~15). Ini menurut saya benar-benar
sebuah perlawanan sekaligus tantangan terhadap alam pikiran tempatan pada masa
itu, meskipun baru hanya muncul di dalam alam mindanya semata. Bahkan sedikit lebih jauh dari itu, Lawa bahkan sempat
bernakal-nakal. “Lawa” lebih dari sekadar
cantik. Seorang gadis yang dipanggil Lawa itu berarti dia cantik, manis,
menarik, dan segalanya. Kata orang, Lawa itu macam pulut: berminyak, agak
bergetah, dan sangat terasa bila di lidah (81). Untaian kalimat yang
tiba-tiba saja mengingatkan saya pada Cantik
itu Luka. Dan, yang semacam ini sepertinya cukup banyak dipersembahkan
Saidul dalam Lawa, baik berupa narasi
maupun dialog.
Tetapi,
“lompatan” pemikiran yang seperti itu tidak kita temukan pada Sitti Nurbaja.
Inti dalam kisah Sitti Nurbaja
mungkin sekali terdapat dalam dialog antara Sitti Nurbaja dengan Samsulbahri,
yang dapat dilihat di halaman 143 s/d 147 dalam Sitti Nurbaya terbitan Balai Pustaka cetakan XIII tahun 1981. Dalam
dialog itu ringkasnya Sitti (secara panjang lebar, sebenarnya) mengatakan: “Oleh sebab itu, kupinta kepadamu, Sam, bila
engkau kelak beranak perempuan, janganlah sekali-kali kaupaksa kawin dengan
laki-laki yang tiada disukainya. … Sungguhpun ibu-bapa tahu dan kenal akan
anaknya, tetapi yang terlebih mengetahui akan dirinya, tentulah anak itu
sendiri juga. … Pada pikiranku, kewajiban ibu-bapa dalam hal perkawinan anaknya
pertama mengingat umur anaknya itu; … Kedua, haruslah orang tua itu bertanya
kepada anaknya, sudahkah ada niatnya hendak kawin? … Ketiga, haruslah
ditanyakan, sukakah ia kepada jodohnya itu atau tiada. Yang sebaik-baiknya,
tentulah anak itu sendiri mencari jodohnya. … Keempat, haruslah umurnya
berpadanan. … Kepandaian harus pula sama, supaya dapat berunding dan
bercakap-cakap dalam segala hal. … Rupanya janganlah berbeda sebagai malam
dengan siang; karena itu pun boleh pula mendatangkan hal-hal yang kurang baik.”
(143~146). Lalu, kata Sitti pula: “Bukan
itu saja, tetapi selagi talak dipegang laki-laki saja dan laki-laki boleh
beristri sampai beberapa orang, susahlah akan mengubah hal itu.” (147).
Percikan pemikiran ini masih dalam setaraf keluhan berikut usulan, bukanlah
perlawanan, apalagi tantangan. Kalau pun kemudian Sitti juga mengatakan: “Jika perempuan yang memegang talak, dan aku
tiada terikat oleh ayahku, niscaya tiada kupanjangkan jodoh ini ….” (147);
itu hanyalah sekadar menarik diri dari pertelagahan.
Lelaki
yang Bimbang
Tak
ada yang berarti pada seorang lelaki yang bimbang. Segala perbuatannya hanyalah
persiapan sekaligus siasat, tapi tak pernah sampai-sampai. Tak ada yang dapat
dipegang. Seperti itulah Markoni; lelaki yang dengan mengherankan telah membuat
bunga raya Lawa menjadi mekar dan merah kembali, tetapi yang tak juga
sampai-sampai. Atau, seperti itukah cinta? Sebuah kata yang tak terpahami? Atau
justru sebuah kata yang begitu banyak dipahami?
Zahra
adalah wanita yang sesungguhnya ada dalam hati dan kepala Markoni. Tapi, bagai
kisah Sitti Nurbaja pula, ia menjadi
sebuah “kasih tak sampai”. Tragis. Tetapi, siapakah yang sesungguhnya mengalami
ketragisan itu? Markoni yang sudah merasa begitu banyak melakukan pengorbanan
sekaligus kesalahan kah? Atau Zahra yang telah begitu setia menanti kembalinya
cinta selama tujuh musim kah? Tetapi, dalam kisah cinta ini, sepertinya kita berhak
menggugat Markoni.
Mengherankan sesungguhnya, bagaimana
Markoni yang begitu merasa termehek-mehek pada Zahra dengan alasan yang
terkesan mengada-ada justru ingin meninggalkannya pada saat yang sama! Padahal
mereka berdua sudah pun ditunangkan. Padahal, masa perkawinan mereka tinggal
hanya menghitung bulan. Dengarlah alasan Markoni yang menurut saya
menjengkelkan ini: Namun, itulah. Tak
selamanya garis yang akan dilalui selurus dan semulus yang dibayangkan. Dua
bulan setelah kami bertunangan, kabar kedatangan Belanda benar-benar menjadi
mimpi buruk. Semua orang merasa ketakutan. Belanda tidak hanya merampas harta
pertanian warga, namun juga menangkapi orang-orang yang bisa dimanfaatkannya,
terutama laki-laki dewasa. / Tak ada jalan selain berangkat ke perantauan.
Lalu ditambahkan: “Malu aku sama ayah,
Bunda. Dia susah-susah berusaha, berdagang keliling negeri. Seharusnya aku juga
berbuat hal yang sama.” Padahal dari kisah empat ratus tahun yang lalu kita
mengetahui bagaimana Romeo dalam usaha mencapai cinta kasih sejatinya Juliet
justru menantang segala marabahaya yang bahkan datang dari pihak keluarga
kekasihnya sendiri. Ini sepertinya menjadi alasan yang lemah untuk kepergiannya
menjauh dari sang kekasih yang – katanya – begitu dicintainya, justru pada saat-saat
marabahaya mengintai mereka. Apalagi bila segala alasan ini dikonfrontir dengan
pernyataan-pernyataan Zahra. Agaknya, Zahra mengetahui yang sebenarnya, ketika
ia mengatakan: “Za tak percaya Abang
pergi hanya karena alasan Belanda. Pasti ada alasan lain. Abang tak sayang lagi
sama Za ‘kan?”
(47). Tetapi Markoni tetap tak peduli, hingga akhirnya dia pergi.
Ketegasan
sikap Markoni ini – mengherankan – hanya sampai di situ. Kalau dimintai
pertanggungjawabannya, Markoni boleh saja berkilah bahwa kepergiannya itu
kemudian adalah lebih dikarenakan sebuah kecelakaan. Dalam sebuah tugas yang
diperintahkan kepala kampung, Markoni tertangkap Belanda hingga kemudian dibawa
dan dipenjarakan di Salo. Jadi, ia tidak benar-benar pergi dengan sendirinya.
Tetapi, niat dan siasat yang telah disusun dan sepertinya tak pernah pudar, menjadikan
kisah tertangkapnya ia hanya membuatnya memiliki alasan yang bagus.
Lalu,
berhasil melarikan diri dari Salo, Markoni kemudian menikahi seorang janda
cantik bernama Siti Jailawa. Maka, kebimbangan dan siasat selama tujuh tahun
pun dimulailah. Tetapi, siasat ternyata bukan hanya datang dari satu pihak
saja. Perkawinan mereka yang kemudian telah berlangsung selama tujuh tahun yang
tidak juga memiliki seorang anak pun, menjadi api dalam sekam, bara dalam
gambut; siap membakar sawah mereka, siap menghanguskan jalan perkawinan mereka.
Bagi Lawa, mau tak mau titik ini menjadi buhul yang paling lemah dalam
keberlangsungan ikatan perkawinan mereka. Sementara bagi Markoni, di bawah
lindungan adat resam budaya ketiadaannya anak itu sepertinya bukan membuatnya
merasa rindu atau paling tidak membutuhkan, tetapi justru menjadi pemantik
terpendam dalam usaha kembali ke pangkal jalan. Dalam usaha penebusan
kesalahan.
Dengarlah
apa kata hatinya: “Bagiku, tujuh tahun
adalah sebuah pengabdian yang dalam, penantian yang panjang, kesetiaan yang
maha luas, keikhlasan yang maha dalam. Tujuh tahun juga menjadi kepergian yang
lama ….” (93). Meskipun kalimat selanjutnya berkaitan tentang penantian
panjang sang Bunda, tetapi merujuk pada paragraf sebelumnya pernyataan yang
dikutip itu lebih ditujukan kepada Lawa, kepada bagaimana ia memandang
perkawinannya dengan Lawa. Dengan tanpa rasa belas kasihan, terlihat bagaimana
sepertinya Markoni “memutar-balik keadaan”, dan menganggap perkawinannya dengan
Lawa itu lebih karena kebutuhan Lawa daripada kebutuhan mereka berdua. Ia telah
merasa menyelamatkan Lawa dari terkaman serdadu Jepang, telah merasa mengabdi,
berkorban, menunggu, merasa dirinya ikhlas; persis seperti repertoar-repertoar
kebanyakan politikus kita di masa ini.
Barangkali
itulah pula sebabnya mengapa kemudian Markoni melakukan monolog, semacam
permaafan, berikut ini: Biarkan aku
menjadi pecundang, dan akan kupikul kemanapun busuk bangkai di pundakku (90).
Membaca
Lawa
Senyampang
membaca novel ini, melihat struktur bentuk penceritaannya segera teringat saya
pada My Name is Red karya Orhan
Pamuk, dan kemudian Pada Sebuah Kapal
karya Nh Dini. Yaitu penceritaan dengan narator “aku” atau orang pertama untuk
seluruh tokoh / karakter utama dalam cerita itu. Orhan Pamuk ada banyak tokoh
“aku” yang menceritakan kisah dari sudut-pandangnya sendiri, bahkan termasuk
seekor anjing; sementara Nh Dini, sebagaimana Saidul Tombang, hanya ada dua
tokoh, tetapi dalam format yang berbeda. Nh Dini membuat masing-masing tokoh
berkisah dari sudut-pandangnya sendiri satu kali dan secara keseluruhan dari
awal hingga akhir, hingga bahkan novelnya itu dapat dibelah dua berdiri
sendiri-sendiri; sementara Saidul Tombang mendekati format Orhan yang
berselang-seling antar-tokoh pada masing-masing segmen cerita.
Yang
seperti ini sebenarnya sebuah bentuk penceritaan yang cukup unik, dan tergolong
sulit sesungguhnya bagi sang pengarang karena sang pengarang harus mampu
menjadi orang yang berbeda-beda sesuai dengan tokoh yang sedang menjadi “aku”
di dalam novelnya. Ia harus lebih menyelami karakter tokohnya, harus lebih
memahaminya, harus menjadi dirinya; karena ketika “aku” yang berbeda berbicara
tentulah seharusnya terkandung ikutan-ikutan suasana lahir dan batin yang
berbeda pula. Kesulitan itu akan makin tinggi ketika ada banyak detil yang
ingin diungkapkan; baik detil lahiriah, detil batiniah, maupun detil
lingkungan. Orhan Pamuk dan Nh Dini sudah melewati hal itu.
Meskipun memiliki kesulitan yang (sesungguhnya) tinggi,
bentuk teknik penceritaan yang seluruhnya tokoh “aku” yang menjadi naratornya
seperti dimaksud di atas, sesungguhnya memiliki banyak daya tarik dan tantangan
– yang dengan demikian juga kelebihan – dibandingkan teknik yang konvensional
(di mana sebagai naratornya adalah tokoh “aku” / orang pertama, atau narator
murni yang bukan merupakan bagian dari cerita). Dengan setiap tokoh utama
diberi kesempatan untuk berkisah menurut sudut-pandangnya, maka sebenarnya
novel itu telah membuka peluang untuk melihat suatu peristiwa atau masalah dari
berbagai sudut pandang. Kemarahan, kebencian, keengganan, penolakan, kecintaan,
perintah; segala hal, di dalam cerita itu jadi bukan hanya sekadar kata-kata
yang terbaca itu belaka. Seseorang yang dirasakan oleh tokoh lainnya sebagai
memberi perintah semata, mungkin sebenarnya hanyalah sebuah keterpaksaan karena
tiadanya pilihan lain. Seseorang yang dirasakan oleh tokoh lainnya sebagai
kebencian semata, mungkin sebenarnya hanyalah sebuah penolakan yang terpaksa.
Demikianlah seterusnya.
Bahkan
di dalam kepala kita sendiri pun sesungguhnya seringkali terjadi dialog dan
perdebatan, yang membuat kita berusaha memahami berbagai hal secara menyeluruh;
meskipun dengan segala keterbatasan kita hal itu adalah mustahil.
Tetapi
sayangnya Saidul Tombang yang telah mengambil teknik penceritaan yang
menjanjikan itu kurang mulus dalam upaya meletakkan masing-masing tokoh “aku”
sebagai narator berikut suasana lahir dan batinnya masing-masing. Kita tidak dapat
merasakan adanya perbedaan yang signifikan antara ketika si pengarang bertindak
sebagai narator dengan Lawa sebagai narator atau pun saat Markoni sebagai
narator. Kata-kata “ups” yang bertebaran di sana-sini sepertinya menegaskan hal
itu. Tetapi yang lebih penting, saya tidak dapat merasakan suasana yang berbeda
di antara ketiga narator atau tokoh “aku” itu; atau paling tidak antara Lawa
dan Markoni. Atau, kalau pun ada, itu terasa halus sekali; nyaris tak ter-ada-kan.
Menurut hemat saya, seharusnya Saidul dapat lebih mengeksplorasi – dan kemudian
mengeksploitasi – kedalaman perbedaan mereka, apalagi antara pria dan wanita
yang seharusnya begitu nyata bedanya. Hanya di suasana atau gaya bahasa saya dapat menangkapnya; itu pun
nyaris.
Di samping menggunakan beberapa “aku” sebagai narator
sekaligus tokoh cerita, Saidul juga menggunakan teknik cerita-berbingkai; yaitu
cerita di dalam cerita. Teknik penceritaan seperti ini banyak kita jumpai dalam
khasanah sastra klasik, terutama yang berasal dari wilayah anak benua India
hingga Afrika Utara. Di antaranya yang sangat terkenal adalah Alf Laylah wa Laylah atau Seribu Satu
Malam dan Kalilah wa Dimnah atau
Kalilah dan Dimnah, yang bahkan menampilkan teknik cerita-berbingkai yang cukup
rumit dan berlapis-lapis. Teknik penceritaan seperti ini sepanjang pengamatan
saya sekarang sudah amat jarang digunakan, padahal ia sangat menjanjikan bagi
penulisnya untuk dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih mendalam
dan lebih luas. Apakah teknik ini berguna bagi Lawa? Mungkin kita dapat
menunggunya dalam sekuel, sebagaimana yang diisyaratkan dalam kalimat penutup
novel ini.
Saidul
Tombang menarik perhatian saya pertama kali ketika cerpennya berjudul “Salsa”
dimuat dalam Riau Pos bertahun yang lalu. Kemudian saya segera menyadari kalau
penulis ini suka merangkai kalimat-kalimat yang berima, kalimat-kalimat yang
puitis, serupa prosa liris, sehingga memberikan estetika tersendiri yang kelak
kalau dapat diolah secara maksimal dan tidak terjebak dalam pengulangan atau
peng-ada-ada-an dapat menjadi ciri khasnya. Lihatlah misalnya di antaranya
dalam cerpen “Kerikil dalam Sepatu”: …, sebelah
matanya mengedip lemah. Dagu belah itu tengadah. Atau dalam “Mata Beliung”:
…. Namun setiap kali si mata beliung
dijadikan barang bukti, disimpan di laci besi, atau dimantra dengan aneka
jampi-jampi, si beliung tetap saja berhasil meloloskan diri. Atau juga dalam “Mumbang”: …. Seperti ketika nenek menemukan engkau tertidur di pelantar rumah orang
karena takut pulang. Atau, ketika engkau tidur di atas loteng yang biasa kalian
sebut salang, untuk mengintip apa saja yang akan diceritakan keluargamu
tentangmu yang sudah empat hari tak pulang-pulang. Tetapi lebih dari
itu semua, saya tetap paling menyukai opening
“Salsa”: Berceritalah
kepadaku tentang ketulusan, selaik putihnya putik melati dan cahaya pagi tanpa
renda jelaga. Kisahkan juga kepadaku tentang indahnya cahaya bulan setaji ayam
….
Kalimat-kalimat yang seperti ini pun
dapat kita temukan di banyak tempat dalam Lawa.
Saya mencatat beberapa di antaranya:
-
Di sisi
kirinya, seorang lelaki sudah beristri perlahan namun pasti menjemput mimpi
karena sudah letih menanti sejak pagi; (1)
-
…, juga mulai terlelap karena sejak lama hatinya
dirubung gelap; (1)
-
…, suasana hening dan bening berubah menjadi bising; (2)
-
Matanya tertumbuk ke perempuan tua yang tidur
meringkuk, bertekuk lutut dalam selimut; (2)
-
Kerongkongannya tercekat. Dadanya seakan disebat; (2)
-
…, harum merebak, orang-orang dilanda sebak; (4)
-
Bangunan rumah tangga kami adalah sebuah taman dengan kuncup-kuncup
bebungaan. Kumbang-kumbang beterbangan. Semut-semut hitam yang berkeliaran.
Pagar hijau yang menyejukkan pandangan. Ada
pula kursi kayu berhadap-hadapan; (8)
-
Aku ingin disentuh, tak sekadar riap tubuh atau berbagi lenguh; (24)
-
… saat hatiku mulai merapuh, saat raga ini ingin
berlabuh; (65)
-
Hari sudah menjelang petang. Bayang-bayang sudah
memanjang; (69)
-
…, motivasi kedatangannya juga rancu; karena rindu
atau karena mau menumpahkan rasa malu?; (102)
-
Malam merambat. Gelap menyekap. Rumah-rumah papan sudah menutup tingkap.
Pelita sumbu, apinya melindap. Melahap gelap;
(176)
-
Hatiku yang menghanyut menyungsang pun tak Tuan pandang. Apa yang
kurang, Tuan? (201)
Di samping
memanfaatkan kalimat-kalimat berima dan atau liris seperti itu, dalam novel ini
Saidul juga cukup rajin mengolah kalimat-kalimat metafor atau simbolis atau
perlambang. Lihatlah di antaranya:
-
Kadang aku malu pada sekuncup bunga raya. Bunga dengan
kembang merah merekah dan beserbuk sari-sari kuning itu, kerap melontarkan protes
sebagai bentuk kecemburuannya kepadaku. Katanya, manisnya madu yang dia simpan … dst; (9)
-
Seperti malam ini, ada bunga-bunga di dadaku yang
bermekaran. Permukaan hatiku basah. Musim kering yang telah lama melanda sawah
ladangku, kini mulai ditimpa hujan …
dst; (22)
Epilog
Keseluruhan
bangunan novel ini sebenarnya sudah cukup menjanjikan. Dari segi bentuk, Saidul
mencoba meramu bahkan beberapa teknik penceritaan sekaligus. Saidul juga
mencoba mengangkat khasanah dan kearifan lokal yang barangkali tidak kalah
dibandingkan dengan Andrea Hirata dalam Laskar
Pelangi-nya; kalau saja ia lebih sabar dan teliti memolesnya. Tetapi di
antara semua itu, ada yang sangat mengganggu dan mengusik logika berpikir kita
– sebagaimana juga yang pernah disinggung oleh Marhalim Zaini dalam esainya di Riau Pos. Bagaimana mungkin Markoni
tidak bisa mengetahui bahwa Tiara sebenarnya adalah istrinya sendiri, Lawa?
Keteledoran
Markoni itu – kalau boleh disebut demikian – bahkan cenderung mengarah ke
kedunguan. Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui bahwa orang yang sekarang
sedang berjalan berdekatan bersama-sama selama berhari-hari dengannya itu adalah
orang yang sama yang sudah tujuh tahun hidup bersama dengannya? Padahal rentang
waktu perpisahan mereka sepertinya tak sampai satu hari; rentang waktu yang
tidak akan membuat orang mudah lupa, meskipun terselubung dalam penyamaran
(kecuali mungkin dengan penyelubungan canggih seperti yang biasa dilakukan si
ahli menyamar Ethan dalam film dan serial tv Mission: Impossible, itu pun kadang-kadang
penyamarannya diceritakan masih bisa terbongkar). Cukup banyak hal sebenarnya
yang dapat membuat Markoni seharusnya menyadari lebih awal siapakah Tiara itu
sebenarnya. Meskipun Markoni mencoba mencari-cari alasan pembenaran
ketidaktahuannya, kesamaan perbekalan mereka hingga bahkan ke jenis, bentuk,
dan kemasannya seharusnya membuat kecurigaannya menguat. Lalu suara, tingkah
laku, sulit untuk bersandiwara praktis hampir 24 jam penuh sehari; apalagi
kalau yang bukan ahlinya. Apalagi ketika Tiara dilanda sakit, seharusnya
sandiwara itu mustahil untuk dilakukan. Tetapi, apa lacur, sepertinya Lawa
begitu lihai bersandiwara atau menyamar atau Markoni yang begitu bebalnya.
Kemudian,
ada sedikit lagi yang menggelitik urat tanya saya. Dalam konteks latar waktu,
tempat, dan kultural cerita ini, bagaimana mungkin Lawa (dan juga Markoni)
dengan fasih menggunakan kata-kata berikut ini, di antaranya yang dapat saya
kutip: episentrum (6), melankolik (24), knock
out (75), mengkanvaskanku (76), daftar antre (77), adrenalin (80), eksotik
(80), motivasi (102), premature
(167), dan kamuflase (207).
Tetapi,
lebih dari itu semua, saya begitu tergoda dengan rangkaian kata-kata ini: Cinta sejati adalah sebuah hubungan dua
insan yang tak mungkin (33). Sebuah paradoks yang cukup memikat.
Wallahualam.
Payungsekaki, 070608.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar