(www.finalfantasy.wikia.com) |
SINOPSIS
NOVEL TRILOGI
Petualangan Az-Zahara dan Kawan-kawan
UMUM
Novel yang
berjudul utama Petualangan Az-Zahara dan Kawan-kawan ini adalah sebuah
novel petualangan-fantasi remaja. Novel ini berkisah
tentang persahabatan remaja, interaksi antar-mereka, memupuk kecintaan akan
alam dan lingkungan, merangsang rasa ingin tahu dan kreativitas, serta memahami
berbagai perbedaan; dalam bungkus kisah-kisah petualangan yang fantastis.
Az-Zahara dan
kedelapan sahabatnya yang ikut dalam kisah petualangan ini adalah siswa-siswi
SMA kelas 1 (atau sekarang biasa disebut Kelas X). Dalam pergaulan mereka di
sekolah ada 3 kelompok perkawanan yang dikisahkan dalam novel ini.
Masing-masing De Natura, geng anak-anak pintar; Barbie Best, geng
siswi-siswi kaya dan centil; dan Salamander, geng siswa-siswa berandal.
Az-Zahara sendiri tidak termasuk di antaranya.
Az-Zahara berasal
dari keluarga yang kurang mampu. Ibunya adalah seorang janda dari seorang
wartawan yang meninggal dalam sebuah kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Dalam
pergaulan sesamanya, Zahara adalah anak yang mudah untuk membuka suatu hubungan
persahabatan baru, namun selalu kesulitan untuk mempertahankannya. Oleh karena
itu Zahara hampir selalu berganti teman.
Pada suatu ketika,
dalam suatu konflik yang melibatkan anggota ketiga kelompok itu, bersama-sama
Az-Zahara mereka kemudian “terlempar” ke dalam suatu alam yang tidak mereka
kenal. Di alam inilah mereka kemudian menemukan pengalaman-pengalaman fantastis
yang tidak akan mereka temui di alam nyata. Sembari di sini pula mereka mulai
menemukan peran mereka masing-masing, menilai kembali konflik di antara sesama
mereka, mengenal alam lebih dekat, dll.; dalam perjalanan menuju “pulang”.
Novel ini disajikan dalam bentuk trilogi, yaitu: Buku I : Putri Altaira dan 8
Makhluk Ajaib, Buku II : Kristal Ammonn, dan Buku III
(judul sementara Estuaria).
BUKU I :
Putri Altaira dan 8 Makhluk Ajaib
Pada suatu pagi saat memasuki sekolahnya, Az-Zahara yang
biasa datang telat menemukan seluruh temannya siswa-siswi dan guru sekolah itu
telah berubah bentuk menjadi berbagai jenis hewan. Di sini mulai terjadi proses
pertelingkahan antara sekadar kesalahan persepsi atau suatu kenyataan, antara
kebenaran maupun sekadar fantasi. Ini juga sebenarnya ingin melukiskan suasana
keterasingan Zahara dengan teman-teman sekolahnya, serta sekilas kritikan
tentang kebiasaan remaja dalam memberi gelar kepada teman-temannya dengan
berbagai nama hewan atau semacam itu.
Pada hari itu pula “puncak” dari sebuah konflik
antar-mereka yang sudah dibangun beberapa hari sebelumnya akan terjadi;
sekaligus merupakan awal dari petualangan fantastis mereka. Dalam upaya
menyelesaikan konflik tersebut, Kaliq sang ketua De Natura akan
berhadapan dengan Reimon sang ketua Salamander secara fisik di sebuah
stadion. Zahara pun ada di situ, karena ia berhasil “diselipkan” dalam konflik
tersebut oleh Anya yang ketua Barbie Best. Anya tidak menyukai Zahara
karena ia menganggap Zahara ingin memacari Pasha yang sedang diincarnya.
Suatu ketika saat perkelahian antara Kaliq dan Reimon
tengah berlangsung, muncullah halimun tebal dari dalam gelas yang menjadi
simbol puncak konflik mereka. Halimun itulah yang kemudian membawa mereka
semua, termasuk Echa, Bima, Viktor, dan Bram; ke “dunia lain”
Di dunia lain itu mereka kemudian bertemu dengan Kaum
Rangkatai yang sudah menghuni sebuah menara selama 400 tahun. Mereka tidak bisa
keluar dari menara selama itu karena terkurung oleh Labirin Larynx dan rumput
maggot yang tumbuh menjadi raksasa ketika siang hari. Di Negeri Rangkatastan
itu tidak ada bangunan lain kecuali satu-satunya menara itu. Juga tidak ada
tumbuh-tumbuhan lain kecuali rumput maggot. Ternyata pada suatu masa dahulu di
negeri mereka tumbuh pohon eyk, namun oleh penguasa ketika itu seluruh pohon
eyk ditebang untuk diambil kayunya untuk membangun sebuah menara yang sangat
besar, dengan tujuan untuk mempertunjukkan kebesaran Kaum Rangkatastan. Namun
menara raksasa yang bernama Bab-El itu tidak juga selesai dibangun meskipun
pohon eyk mereka sudah habis ditebangi, sementara akibat tidak adanya pohon eyk
rumput-rumput maggot menjadi ganas. Menara itu pun kemudian runtuh dan mereka
semua akhirnya terkurung di dalam Menara Oswyth selama ratusan tahun.
Di sini, dengan beberapa konflik kecil di antara mereka,
Az-Zahara dkk yang dipercayai oleh Kaum Rangkatai sebagai Putri Altaira dan 8
makhluk ajaib kemudian membantu Kaum Rangkatai mengatasi masalahnya dengan
menemukan kunci Labirin Larynx dan menundukkan rumput maggot dengan menanamkan
benih purba pohon eyk.
Dalam Buku I ini pula masing-masing tokoh yang ternyata
“telah benar-benar berubah menjadi menyerupai berbagai jenis hewan” mulai
mencoba memahami peran mereka masing-masing di dalam dunia lain itu. Anehnya, Az-Zahara
justru tidak mengalami perubahan bentuk apa pun. Dan ini menimbulkan kecurigaan
di antara mereka. Apakah Az-Zahara si nenek sihir itu?
Data Fisik : 147 halaman
kwarto spasi 1½, font Georgia
11.
Daftar Isi : Prolog
Az-Zahara
Konflik
Gelas
Dunia
dalam Gelas
Di
Tanah Steppia
Menara
Putri
Altaira dan 8 Makhluk Ajaib
Nubuat
Labirin
Larynx
Benih
Purba
Epilog
BUKU II :
Kristal Ammonn
Buku II ini diawali dengan petualangan Az-Zahara dkk
menyeberangi Laut Lagunnia setelah membantu Kaum Rangkatai mengatasi masalah
mereka. Sebagaimana keterangan Raja Ragmar pemimpin Kaum Rangkatai bahwa
kemungkinan negeri dari mana Zahara dkk berasal terletak di Tanah Trovishka
yang berada di seberang Laut Lagunnia. Di laut ini mereka kemudian menemukan
berbagai pengalaman yang mendebarkan. Mulai dari bertemu dengan ubur-ubur kapal
peranggi, belut listrik, ikan blabber, ikan pari raksasa vamantha, serta
ganggang kelve.
Di Tanah Trovishka mereka kemudian bertemu dengan suatu
kelompok bangsa Bunyan. Negeri mereka yang bernama Idonea ternyata saat itu
sedang mengalami masalah. Dua puluh tahun yang lalu terjadi kudeta yang
dipimpin oleh Hulubalang Tamir yang sekarang menguasai Idonea. Untungnya anak
raja dan sepupunya yang ketika itu masih kecil berhasil diselamatkan oleh
sebuah keluarga pelayan istana saat Tamir melakukan pembersihan. Kedua anak itu
kemudian dikenal dengan nama Kemal dan Keawe. Keawe inilah yang kemudian
bertemu dengan Zahara dkk di pantai tempat mereka terdampar. Sayangnya dalam
perjalanan ke Benteng El Lulette di mana Kemal berada, beberapa teman Zahara
terpisah dalam suatu penyergapan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Tamir.
Reimon, Viktor, Bram, Anya, dan Echa kemudian dibawa ke Azuriah, ibukota
Idonea, di mana saat itu Maharaja Tamir berkuasa.
Keberhasilan Tamir melakukan kudeta berdarah puluhan
tahun yang lalu, itu juga sebetulnya berkat bantuan sebuah negeri kuat di
seberang Gurun Sharariva. Tujuannya tak lain untuk menguasai deposit batu
kristal yang sangat terkenal, yang dinamakan ammonn. Selama ini raja-raja
negeri Idonea tidak pernah memberikan izin untuk melakukan penambangan terhadap
kristal ammonn itu, karena dipercayai kristal itulah yang menjaga kesuburan tanah
Idonea dan keseimbangan alamnya. Di bawah pemerintahan Tamir, negeri kuat itu
kemudian melakukan penambangan habis-habisan, terutama di Lembah Nalani yang
terkenal subur. Akibatnya alam negeri Idonea hancur, kesuburan tanahnya
merosot, dan rakyat yang semula hidup makmur dengan cepat merosot menjadi
melarat dan bahkan sebagian besar praktis menjadi pengungsi karena tersingkir
dari tanah di mana semula mereka bertani dan berkebun.
Kemal dan Keawe yang mulai dewasa kemudian menyadari
keadaan yang ditanggung rakyat Idonea, dan peran mereka sebagai pewaris tahta
yang harus memimpin rakyatnya dalam mengatasi kehancuran itu. Perlahan-lahan
mereka bersama-sama kemudian menyusun kekuatan, guna memukul balik Maharaja
Tamir. Meskipun mereka kemudian mengetahui negeri yang mendukung Tamir itu
adalah sebuah negeri kuat dari bangsa perielf di seberang gurun besar, mereka
tidak gentar. Bersama-sama Zahara, Pasha, Kaliq, dan Bram; mereka kemudian
melakukan perjalanan ke Azuriah. Di tengah perjalanan yang memakan waktu berhari-hari
itu, mereka kemudian menemukan berbagai pengalaman menarik, sebelum kemudian
berhasil mengalahkan Tamir.
Di sini pula dicoba mempertajam kembali konflik antara
kedua kelompok yang berseteru, dengan terpisahnya mereka pada dua pihak besar
yang saling berhadapan. Namun pada saat yang sama dengan demikian mereka juga
jadi bisa menilai peran mereka masing-masing dalam konflik itu. Meski demikian,
masih ada satu tujuan mereka yang sama. Yaitu “pulang”.
Data fisik : 373 halaman kwarto spasi 1½, font Georgia 11.
Daftar Isi : Prolog
Lagunnia
Ubur-ubur
Kapal Peranggi
Vamantha
Trovishka
Benteng
Maja
Perjalanan
yang Memisahkan
Bandaraya
Maharaja
Tamir
Benteng
Aleela
Azuriah
Perjamuan
Istimewa
Mencari
Jalan Pulang
Benteng
El Lulette
Merebut
Benteng Aleela
Murka
Di
Khasanah Datuk Bendahara
Seribu
Duka di Bandaraya
Petualangan
Singa dan Macan
Dan
Perang Besar pun Dimulai
Celah
Haleena
Lembah
Nalani
Membangunkan
Armada Tua
Tanah
Seribu Rimau Perkasa
Dan
Debu pun Mengepul di Padang Nahama
Tameng
Batang Pisang
Kembali
ke Istana Majidah
Epilog
BUKU III :
Estuaria
Buku terakhir dari trilogi Az-Zahara ini, sebagaimana
judulnya, diharapkan menjadi muara dari setiap konflik dan peristiwa yang
mereka alami. Sekarang dalam masa penulisan.
Buku ini akan dimulai dengan perjalanan Zahara dkk
melintasi gurun besar Sharariva. Ternyata Idonea bukanlah negeri asal mereka.
Oleh Kemal dan Keawe, mereka kemudian disarankan untuk menyeberangi gurun
tersebut. Di gurun besar ini mereka kemudian bertemu dengan kelompok suku lanun
yang dipimpin oleh Talon yang unik, dan berbagai pengalaman yang menegangkan,
tetapi sekaligus menyenangkan.
Setelah menyeberangi Gurun Sharariva, mereka sampai di
Tanah Subtrovia yang berbukit-bukit dan bersalju yang dihuni oleh bangsa
Perielf. Negeri mereka bernama Eileenia, yang dipimpin oleh sang ratu Cyrene. Meskipun saat itu
negeri mereka terkenal makmur, maju, dan kuat; namun pada saat yang sama Ratu
Cyrene sebenarnya sedang mengalami masalah. Berkebalikan dengan negeri Idonea,
Ratu Cyrene saat itu justru sedang menghadapi ancaman kudeta. Dan kelompok yang
akan melakukan perebutan kekuasaan itu kelihatan semakin kuat karena mereka
berhasil mendapatkan kristal ammonn dan bersekongkol dengan Kaum Gengasy, suku
bangsa raksasa dari utara.
Az-Zahara dkk kemudian terlibat dalam konflik tersebut.
Kalau selama ini belum terlalu terlihat peran mereka sebagai “makhluk ajaib”,
maka pada Buku III ini, dengan dibimbing oleh Ratu Cyrene mereka menemukan
peran mereka masing-masing. Di sini pula peran Raja Ragmar et Raheem VIII dan
Raja El Kaikara ben Kwayera, nama asli Kemal, muncul kembali dengan
“kepentingan” mereka masing-masing. Di sini pula akan terlihat “peran” kristal
ammonn yang sebenarnya. Dan di sini pulalah Az-Zahara dkk akhirnya menemukan “jalan
pulang”.
Petualangan Az-Zahara dan kawan-kawan
d a l a m
(www.thecrowdvoice.com) |
BUKU KESATU
Putri Altaira dan 8 Makhluk Ajaib
Prolog
Pagi ini
Az-Zahara datang ke sekolahnya dan secara mengejutkan mendapatkan seluruh
temannya satu sekolah telah berubah menjadi hewan! Bukan dengan maksud
menghina, tentunya. Zahara benar-benar melihat fisik mereka semua telah berubah
menjadi hewan, atau setidak-tidaknya menyerupai hewan. Tetapi, bagaimana
mungkin Zahara dapat menyakini bahwa hewan-hewan itu adalah teman-temannya?
Apakah bukan tidak mungkin bahwa hewan-hewan itu lepas dari sebuah kebun
binatang? Atau barangkali entah dari rimba mana, yang kemudian tiba-tiba saja
bersepakat untuk berkumpul di sekolahnya? Atau bisa juga hewan-hewan itu memang
sengaja didatangkan oleh pihak sekolah, untuk mata-pelajaran biologi misalnya?
Atau barangkali untuk sebuah perayaan? Karnaval? Atau bahkan itu semua sekadar
topeng, kostum, yang dipakai oleh teman-temannya satu sekolah dan Zahara tidak
dapat segera menyadarinya karena ia masih terengah-engah habis berlari karena
datang hampir terlambat? Ya, Zahara, banyak sekali kemungkinan yang bisa saja
mengaburkan persepsimu pagi ini. Jadi, setidak-tidaknya, lain kali kamu harus
menghilangkan kebiasaan terlambatmu itu.
Tetapi
Zahara tentulah tidak sebodoh itu. Meskipun gadis berpotongan rambut ala Jepang
itu bukanlah yang terpintar di sekolah itu, ia dengan segera dapat
memilah-milah mana yang sekadar akibat kebodohan dirinya sendiri atau itu
merupakan suatu kebenaran. Mula-mula ia memang sempat menyangka kalau
kacamatanyalah yang salah. Karena itu beberapa detik di muka Zahara sempat
melepas-memasangkan kacamatanya mencoba meyakinkan diri kalau pemandangan itu
ternyata hanya sekadar kesalahan optikal saja. Mungkin karena ada pembiasan
cahaya, atau terjadi sprektrumisasi yang tidak diketahuinya melalui
kacamatanya. Ternyata tidak.
Gitu deh. Akhirnya, di dalam benaknya timbul
argumentasi dan perdebatan seperti ini. Dalam kasus ini, pertama-tama Zahara
tahu bahwa apa yang dilihatnya itu bukanlah teman-temannya yang sedang
menggunakan topeng atau kostum untuk sebuah acara atau karnaval. Di samping
sekarang tidak sedang ada acara apa pun, apalagi karnaval, Zahara bisa
membedakan sesuatu itu sekadar kostum atau yang sebenarnya. Hal yang sederhana
karena banyak orang juga mampu melakukannya. Kedua, meskipun tidak bertentangan
dengan akal bahwa ada kemungkinan hewan-hewan itu sengaja didatangkan untuk
pelajaran biologi, tetapi jelas sekali rasanya sangat berlebihan apabila hal
itu ternyata memang benar. Apalagi kalau justru siswa-siswanya yang sekarang
tidak ada, melainkan hewan-hewan itulah yang justru sekarang berkeliaran dengan
bebas di seluruh areal sekolah. Kalau sudah begitu, siapa yang akan belajar?
Lalu, bagaimana dengan kemungkinan bahwa hewan-hewan itu lepas dari sebuah
kebun binatang atau datang dari hutan rimba raya? Kemungkinan ini pun tentu
masih masuk akal, tetapi untuk mematahkan semua kemungkinan itu – sekaligus
termasuk yang sudah dipatahkan sebelum ini, Zahara punya jawaban pamungkas.
Yaitu ….
Bagaimana ia tidak dapat
mengenali bahwa hewan-hewan itu adalah teman-temannya, kalau seluruh hewan itu
berwajah manusia, yang sebagian di antaranya memang dikenalinya. Di samping itu
mereka semua – maksudnya hewan-hewan itu, atau sekarang teman-temannya?,
entahlah – juga menyandang tas sekolah masing-masing dengan gayanya
masing-masing. Ada
Budhi – atau sekarang harus ditambahkan-nya dengan kata-kata “Si Gajah”, yang
ketua OSIS; sempat selintas menoleh kepadanya dan tersenyum.
Tersenyum? Atau sekadar melebarkan bibirnya hingga menyentuh kedua kupingnya
yang lebar melambai-lambai itu? Ada Yance “Si Jerapah” sang jagoan basket yang
lagi melintasi koridor sambil men-drible bola dengan –
kaki-depan-kanannya? Lalu Elvie “Si Kupu-kupu Kebaya Kabung” yang rada norak en
genit. Firman “Si Trenggiling”. Abdi “Si Badak”. Beberapa pinguin, meerkat,
kera, dan tikus. Orang utan, anoa, enggang, kelinci, kucing, simpanse, tupai,
cenderawasih, dan …. Wow! Arjuna-nya cewek satu sekolah, Herlambang, sekarang
menjadi “Si Rusa” yang anggun dan perkasa dengan tanduknya yang
bercabang-cabang! Yang tampak begitu bersinar keemasan, karena bagai muncul
dari sebuah lorong bercahaya menyilaukan, melangkah anggun dengan dagu yang
tinggi dan kukuh, dan ….
Cepat-cepat
Zahara menggelengkan kepalanya sambil mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya,
guna menghilangkan imajinasi yang tadi sempat menggoda. Huh, siapa peduli Sang
Arjuna yang angkuh dan sombong itu; ketusnya dalam hati sambil sedikit
mencibir. Meskipun akibat itu Si Lobster yang tiba-tiba muncul dari belakang
menyentuhkan capitnya yang besar sambil ngeledek,
“Aduuh,
manisnyaaa. Senyum-senyum kok sendirian sih?” lalu tertawa, dan meninggalkannya
dengan begitu saja. Tentu saja Zahara sempat terkejut dan sedikit terlonjak
dengan kejadian yang tanpa diduganya itu. Apalagi ditambah rada-rada terasa
dingin dan seperti berlendir capit besar yang sempat menyentuh pipinya tadi.
Hii …. Zahara seperti menggigil, dan karena itu segera saja mempergegas
langkahnya, melewati hewan-hewan menjengkelkan yang juga teman-temannya satu
sekolah itu. Sampai saat ini memang gadis itu belum lagi ketemu dengan
teman-teman satu kelas yang tentu dikenalnya lebih familiar. Bagaimana ya
kira-kira rupa mereka?
Pertama-tama
haruslah dipahami bukannya tidak ada perasaan takut sama sekali dalam hati Zahara.
Tentu saja beberapa saat lalu perasaan terkejut dan terguncang atawa shock menimpa
dirinya ketika pertama kali mendapatkan satu sekolah itu telah dipenuhi dengan
ratusan hewan dari berbagai jenis dan bentuk, yang barangkali penjabarannya
hanya dapat ditandingi oleh sebuah ensiklopedi. Lalu, perasaan ngeri dan takut
mulai merambat perlahan-lahan ke dalam dadanya, membuat dirinya menjadi lemas,
tapi pada saat yang sama juga kaku tak bergerak. Beberapa saat ia bergeming
seperti itu, bagai patung yang dilupakan pemahatnya, sementara beberapa hewan –
eh, teman-teman lainnya – berseliweran di sekelilingnya. Hal yang kemudian
membuat perasaan terguncang dan takutnya perlelahan berkurang adalah saat ia
mulai tersadar kembali ketika mendapatkan sebuah tepukan lembut di bahunya.
“Kamu
terlambat lagi, Zahara? Ayo cepat masuk.” Dan seekor panda raksasa telah
berdiri di sampingnya dan tersenyum ramah. Itu adalah Pak Basri, guru Bahasa
Nusanesia-nya. Maafkan Pak kalau aku tadi telah menyebutmu “seekor”. Tersadar
demikian, Zahara cepat hendak bertanya. Tetapi bahkan sekadar kata “Pak ….” pun
tak mampu keluar dari bibirnya yang mungil. Maka menghilanglah Si Panda di
tengah kerumunan hewan-hewan lainnya. Tetapi, apa yang kemudian juga
diketahuinya setelah itu adalah, ternyata bukan hanya teman-teman satu
sekolahnya yang telah berubah menjadi – atau menyerupai – bentuk hewan, tetapi
juga guru-gurunya, dan mungkin juga semua orang yang ada di sekolah itu,
termasuk satpam, ibu kantin, dan mungkin juga penjaga sekolah.
Hal
yang juga kemudian turut membuat ia mampu menekan rasa takutnya pada situasi
yang ditemuinya itu adalah, di samping wajah-wajah pada hewan-hewan itu adalah
wajah-wajah teman-temannya satu sekolah, juga dikarenakan tidak ada satu pun di
antara mereka yang berubah menjadi hewan yang menakutkannya. Seperti ular,
misalnya. Namun, tampilan wajah teman-temannya itu jangan dibayangkan seperti
dalam sinetron-sinetron yang menggelikan itu, yang hanya seperti menempelkan
wajah seseorang pada tubuh hewan tertentu. Nggak lucu! Melainkan dengan
cara yang lebih keren. Raut wajah-wajah itu bisa dikenali lebih karena
komposisi lekuk-liku wajah yang bagaikan diguratkan pada hewan-hewan tersebut.
Jadi, kalau Pak Basri yang berubah menjadi seekor panda itu dapat dikenalinya,
itu karena bentuk raut wajahnya yang masih terlihat cukup jelas dan bukan
karena kepala Pak Basri menempel di tubuh seekor panda. Kemudian, sikap mereka
pun – meski telah berubah bentuk menjadi hewan – tetap saja seperti sikap
anak-anak sekolah menengah seperti biasanya. Ada yang serius baca buku sambil
jalan, ada yang asyik bermain-main entah dengan bola basket atau lainnya, ada
pula yang sibuk dengan ponselnya, ada yang lagi bercanda dengan teman-temannya,
dan yang paling banyak sekadar mejeng sambil lirik sana lirik sini. Ya, tak ada
satu pun yang bersikap seperti hewan sesungguhnya, kalau mereka itu memang
benar-benar hewan sesungguhnya. Karena itulah, meskipun masih diselimuti
perasaan kaget dan bingung, perlahan-lahan Zahara menerobos jalan di antara
mereka menuju ke kelasnya – bagaimana pun sebagai seorang pelajar dia tentu
harus ke kelasnya, bukan?
Ruangan kelas Az-Zahara berada
di paling ujung belakang kompleks sekolah ini. Kelas yang oleh teman-teman yang
lain sering diejek sebagai “kelompok buangan”, meskipun bangunan yang terdiri
dari 6 ruangan itu justru paling mentereng karena baru saja selesai dibangun
tahun kemarin. Lonceng tanda masuk kelas baru saja berbunyi ketika ia sampai di
gerbang tadi. Berjalan perlahan-lahan, mencoba bersikap sewajarnya seperti
biasanya seperti tak ada kejadian aneh apa-apa, sambil sedikit berusaha
tersenyum ramah pada wajah yang tertatap olehnya – bagaimana pun di bawah
sadarnya ia berusaha menjaga sikap manis agar Si Kambing misalnya tidak
tiba-tiba berubah perangai menjadi betul-betul seekor kambing bandot dan
menyeruduk pantatnya. Meskipun akibat perbuatannya itu Zahara justru
mendapatkan tatapan heran dari beberapa wajah yang tidak mengenalnya.
Namun,
sementara berjalan ke kelasnya itu, Zahara masih mencoba membahas satu persoalan
lagi tentang apa yang sedang dihadapinya saat ini. Apakah keadaan yang sedang
dihadapinya ini adalah sebuah realitas? Apakah tidak sekadar sedang bermimpi?
Tiba-tiba, Zahara merasa bahagia sekali kalau ini semua ternyata hanyalah
sebuah mimpi, meskipun tampak begitu nyata. Karena dengan begitu, dengan
selesainya mimpi ini pastilah nantinya ia terbangun dan paginya mendapatkan
suasana sekolahnya seperti sediakala sebagaimana yang dikenalnya selama ini –
walau dengan beberapa hal yang menyebalkan. Bereslah sudah. Atau,
setidak-tidaknya kalau bukan mimpi, ini hanyalah sekadar persepsi indranya –
terutama indra mata – yang salah. Mungkin mereka semua tidak berubah menjadi
hewan, tetapi matanyalah yang salah menangkap citra di pagi yang memang sedikit
tidak cerah karena sisa-sisa kabut asap akibat kebakaran hutan masih
menggantung. Tetapi, apakah ia sedungu itu? Beberapa film atau sinetron
menunjukkan adegan apabila seorang tokoh mengalami keraguan tentang keadaan
yang tengah dialaminya adalah sebuah realitas atau sekadar mimpi, tokoh itu
mencubit dirinya sendiri – atau minta bantuan seseorang yang berada di
dekatnya, bila ada – dan apabila terasa sakit maka berarti ia sedang sadar yang
dengan demikian keadaan yang tengah dialaminya itu adalah sebuah realitas dan
bukan sekadar mimpi. Meskipun pemecahan seperti itu masih bisa dipertanyakan
lagi – bagaimana kalau kejadian itu benar-benar bukanlah realitas dan bahkan
peristiwa mencubit dan rasa sakit itu juga bukan realitas? Sekilas Zahara
teringat The Matrix [1] (sebenarnya sih kalau mau jujur lebih kepada
Keanu Reeves-nya) – gadis itu tetap saja mencubit lengannya, sakit, pahanya,
sakit, bahkan pipinya, juga sakit; dan akhirnya mengambil kesimpulan dengan
putus asa, bahwa keadaan yang tengah dialaminya ini adalah sebuah realitas,
sebuah kenyataan.
Di samping itu, perihal
kesalahan persepsi, memang Zahara masih mengabaikan-nya – maksudnya sambil
memikirkannya; karena membahas hal ini akan lebih rumit lagi, karena masalah
persepsi itu bukan hanya terletak pada organ tubuhnya semisal mata, tetapi juga
bisa terletak pada objek itu sendiri, perantaranya – dalam hal ini cahaya, dan
bahkan pemikirannya sendiri. Tetapi, ia masih dapat berlega hati karena kalau
pun itu sekadar persoalan persepsi, apakah itu salah atau benar;
setidak-tidaknya untuk saat ini tidak menjadi persoalan baginya. Karena kalau
persepsi itu benar, yang dengan demikian teman-teman dan guru-gurunya
betul-betul telah mengalami perubahan bentuk menjadi hewan, tetaplah mereka itu
teman-teman dan guru-guru yang dikenalnya selama ini. Sisa persoalan tinggal
pertanyaan bagaimana, kapan, dan mengapa hal itu terjadi – yang kesemuanya itu
dapat dipikirkannya, bersama-sama, kemudian. Lalu, kalau persepsi itu salah,
berarti teman-teman dan guru-gurunya sebenarnya tidak berubah bentuk menjadi
hewan, yang dengan demikian tidak ada satu pun yang perlu ia cemaskan perihal
mereka. Tinggallah persoalan pada dirinya sendiri. Mungkin matanya, yang harus
segera dibawa ke dokter mata, yang nanti akan berkata, “Makanya, kalau membaca
jangan sambil tiduran ….”
Tetapi,
terlepas dari semua hal itu, ada satu masalah yang masih menggantung: benarkah
mereka itu semua adalah teman-temannya?
Az-Zahara
Kemaren.
Seperti
biasa, Zahara datang terlambat. Hal ini sebenarnya sudah biasa bagi
teman-temannya satu kelas, dan sudah hal yang membosankan bagi guru-gurunya.
Ibu Guru Matematika bahkan pernah memberikannya sebuah kertas yang berisikan
sebuah diagram dan beberapa tabulasi. “Secara statistik, hari-hari
keterlambatanmu selama 9 bulan di kelas satu ini, bahkan lebih banyak dari
jumlah keterlambatan seluruh siswa di kelas ini.” Meski demikian, Zahara tahu
Bu Tasya tidak benar-benar bermaksud memarahinya. Setidak-tidaknya ia tidak
bisa marah karena baik nilai ulangan maupun ujian matematikanya tidak pernah di
bawah delapan, meskipun barangkali secara statistik keterlambatan kedatangannya
pada pelajaran matematika tidak lebih sedikit daripada pelajaran lainnya yang
berjadwal pagi saat masuk sekolah. Hal yang kemudian membuatnya mulai berubah
belakangan ini adalah karena dua bulan yang lalu ia dipanggil ke dalam rapat
guru dan diberi ultimatum bahwa apabila ia masih juga sering terlambat, maka
nilai ujian semester-akhirnya seluruhnya akan dikurangi satu. Jadi, kalau suatu
mata pelajaran ia mendapat nilai sebenarnya delapan, maka yang akan dicantumkan
dalam rapor adalah tujuh; demikian seterusnya. Meskipun ia ingin memperdebatkan
seberapa besar nilai “sering terlambat” yang dimaksud itu, Zahara akhirnya
menurut saja sambil berjanji di dalam hati ia akan berusaha memenuhinya.
Berkurangnya 12 angka dari 12 mata pelajaran, bukanlah hal yang sedikit, bukan?
Maka, Zahara pun berusaha berubah.
Tetapi,
seperti masih jadi kebiasaan, pagi itu Zahara datang terlambat lagi. Meskipun
hanya 12 menit, tetapi Pak Basri sudah menuliskan kalimat yang penuh dengan
kalimat majemuk di papan tulis, dengan beberapa panah di sana-sini. Kalau dalam
kondisi begini pernah terlintas dalam pikiran Zahara untuk secara iseng
mengikuti iklan sebuah produk dengan masuk berjalan mundur dan lalu bereaksi
seakan hendak keluar ketika sang guru membalikkan wajah. Tetapi akhirnya ia
tersenyum pahit sendiri, sadar karena takkan ada guru yang percaya dengan trik
demikian apabila ia yang melakukannya. “Itu keajaiban.” Barangkali itulah
kata-kata gumaman yang tepat.
Zahara
mengetuk pintu yang setengah terbuka.
“Terlambat
lagi?” tetapi, itu hanyalah sapaan halo atau semacam itu dari Pak Basri; guru
yang menurut banyak pelajar begitu lembut dan menggemaskan, seperti seekor
panda raksasa. Dan setelah itu beliau akan menganggukkan wajahnya ke arah
bangku yang kosong. Tetapi, meskipun hal itu sudah biasa, bagi teman-teman
sekelasnya itu tentulah momen yang sayang untuk dilewatkan karena dapat
dimanfaatkan untuk berbagai hal. Mulai dari menggoda Zahara, mengganggu teman
lainnya, melepaskan ketegangan; pokoknya hal-hal yang menimbulkan suara dan
kegaduhan.
“Woi,
Kukang Lelet, sini duduk deket temen loe!” Ardi yang duduk paling
belakang teriak lalu berdiri sambil bergaya hendak menyerahkan kursinya yang
tidak jauh dari … poster seekor simpanse yang sedang asyik makan pisang di
dinding belakang. Yang lain tertawa.
“Enggak,
terimakasih. Udah cocok buat loe.”
Terdengar
tawa yang lebih ramai.
“Iya
Ardi, loe nggak usah malu-malu, deh. Ha ha ha ….”
“He,
Mirna, entar balik sekolah langsung nonton yuk?” seseorang berbisik
“Nonton
‘Si Sarimin Pergi ke Pasar’ boleh, deh.” jawab gadis yang berjilbab.
“Yaah,
manyun dah gua.”
“He
Anto, loe jadi nembak Tieneke nggak? Kalau enggak, gua mau
maju.”
“In
your dream.” jawab Anto kalem.
Pak
Basri bukannya tidak tahu. Tetapi sebagai seorang guru yang konon sangat
mengerti tentang jiwa-jiwa muda yang sedang gegas berkembang, beliau masih
membiarkan beberapa saat lagi dan beberapa keributan kecil lainnya sambil
sedikit tersenyum memperhatikan mereka sebelum kemudian berkata, “Rasanya sudah
cukup, kan?”;
diam sejenak hingga kelas benar-benar kembali hening. “Oke, kita kembali ke
pelajaran. Kalimat majemuk terbentuk dari kalimat-kalimat tunggal yang
dikumpulkan. Artinya, beberapa kalimat tunggal dihubung-hubungkan menjadi satu.
Karena itu, kalimat majemuk pasti terdiri dari dua klausa atau lebih.[2] Jadi, kalimat majemuk bukanlah kalimat
yang menjemukan, oke? Sebagaimana contoh kalimat majemuk yang telah
Bapak tulis ini ….”
Tetapi
Zahara tahu, dia bukanlah fokus dari kegaduhan itu. Mereka hanya memanfaatkan
momentum yang muncul yang diakibatkan oleh keterlambatan dirinya datang ke
sekolah; tetapi dia tidak pernah benar-benar menjadi titik utama suatu
perhatian. Bukan, tentu yang Zahara maksudkan bukanlah ia ingin selalu menjadi
fokus dan mendapatkan perhatian dari seluruh orang – semacam seleb, gitu.
Itu jauh sama sekali. Itu jauh sama sekali dari pikirannya. Yang diinginkannya
adalah tak lebih dari perhatian yang tulus dari teman-temannya, sebuah
persahabatan yang benar-benar persahabatan. Ia ingin masuk ke dalam deretan
bilangan. Ia ingin menjadi anggota dari sebuah himpunan. Ia ingin menjadi
bagian dari suatu kelompok. Tetapi, entah kenapa Zahara menyadari bahwa selama
ini sepertinya ia selalu kesulitan untuk mendapatkan keinginannya itu. Karena
itu, kalau pun tadi ada komentar yang menyebut namanya, ia tahu bahwa itu
hanyalah sekadar ucapan terimakasih dari anggota kelas karena dengan
keterlambatannya itu mereka berhasil mendapatkan momentum refreshing
sejenak. Setelah itu, ia tahu ia akan dilupakan.
Tetapi
Az-Zahara mungkin kurang tahu kalau ia sesungguhnya tidak benar-benar
dilupakan. Setidak-tidaknya ada dua kelompok temannya yang sebenarnya tidak
menyukai kedatangannya yang selalu terlambat itu. Kelompok pertama adalah
kelompok beberapa siswa pria yang selalu tekun dalam belajar. Ada yang menyebut mereka sebagai “geng kutu
buku” (sudah kuno; kata yang lain). Ada
pula yang menggelari mereka sebagai “geng amtenaar” (wah, lebih jadul
lagi; kata yang lainnya lagi). Dan ada pula yang menyebut mereka sebagai “geng
kaum bangsawan” karena mereka rata-rata selalu berpakaian rapih dan terkesan
angkuh. Tetapi mereka sendiri konon menamakan kelompok mereka sebagai De
Natura – entah apa artinya.
Lalu
yang kedua adalah kelompok cewek-cewek tajir yang katanya dipimpin oleh
Anya, si rambut blond celupan. Kelompok ini terdiri dari 5 cewek, yang
penampilannya selalu sumringah dengan dandanan yang sering ditegor guru
pembimbing karena kebanyakan aksesori. Kayaknya sih memang benar-benar tajir,
karena semuanya diantar-jemput dengan mobil kelas menengah ke atas; atau bahkan
tak jarang ada yang bawa sendiri ke sekolah. Anya sendiri memang cantik
sehingga tergolong cewek incaran banyak cowok di sekolah itu. Karena itulah
mereka berlima kadang-kadang kayak merasa sudah jadi seleb saja. Ke
mana-mana maunya menjadi perhatian utama, apalagi kalau di situ ada cowok-cowok
keren.
Perbedaan
di antara kedua geng itu dalam menanggapi keterlambatan Zahara adalah dari segi
esensi dan reaksi. De Natura sejatinya dengan kejadian itu merasa
konsentrasi mereka terhadap mata pelajaran yang sedang dibahas jadi terganggu,
dan dengan demikian merasakan kerugian materi pelajaran dan waktu. Reaksi
mereka biasanya diam dengan cibiran bibir; atau paling-paling salah seorang di
antara mereka akan berkata, “Cepetan dikit dong duduknya. Lelet
amat sih. Kayak hasil kawin silang kukang ama bebek aja!”.
Sementara untuk yang satunya lagi, oh ya mereka menamakan gengnya Barbie
Best (cowok yang usil sering bilang Barbie Beast), memberikan reaksi
yang jauh lebih heboh lagi. Seringkali kata-kata pedas mereka arahkan kepada Zahara,
baik secara langsung maupun kayak main bilyar, semisal: “Aduuh, ada kukang kepengen
kangkung ketabrak engkong-engkong kingkong.” Atau, “Kasihan deh, siapa neh
yang datangnya paling lelet?”, “Pasti Cinderella, abis baru pulang nyuci
sih ….” Dan itu semua hanya karena pada saat seperti itu bukanlah mereka yang
menjadi pusat perhatian, melainkan Zahara. Meski hanya beberapa detik ….
Bahwa
Zahara benar-benar bagaikan Putri Cinderella seperti yang dikatakan oleh geng Barbie
Best, barangkali tidak banyak yang tahu. Atau bahkan tidak ada di sekolah
itu yang tahu. Tidak juga geng Barbie Best itu sendiri, yang justru
paling suka menyorakinya dengan kata-kata itu.
Dua tahun yang lalu.
Az-Zahara
masih SMP kelas dua dengan dandanan rambut berkepang dua. Pulang sekolah siang
itu matahari sangat terik, terasa menyengat bagai mengiris-iris kulit. Rumahnya
sejauh dua kilometer dari sekolah, dan ia biasa berjalan kaki pulang pergi.
Meskipun jarak sedemikian sebenarnya cukup jauh untuk anak seusia dirinya,
tetapi Zahara tidak begitu merasakan kepenatan karena ia dapat menikmati
perjalanannya yang cukup panjang itu
dengan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Kebetulan rumah yang dikontrak
orangtuanya berada di pemukiman yang lumayan padat, dengan banyak orang
berlalu-lalang. Tetapi siang itu tidak seperti biasanya, di tengah perjalanan Zahara
berbelok ke gang lain. Sebuah gang kecil yang tidak kalah padatnya dengan
tempat tinggalnya. Beberapa ratus meter kembali berbelok, lalu berhenti di
depan sebuah gubuk. Gadis kecil itu pun mengetuk sebuah pintu kecil yang ada di
situ.
Beberapa
saat tidak ada jawaban. Zahara kembali mengetuk, kali ini dengan lebih keras.
Terdengar bunyi batuk-batuk dari dalam, sementara sebuah gerobak es krim lewat
di belakangnya dengan teriakan yang sember.
“Siapa
ya?”
“Aku
Jo, Zahara.” Cepat gadis kecil itu menjawab suara yang lirih dan serak itu.
“Sebentar.”
Lalu
terdengar seperti suara orang mendekat dengan berat di atas lantai papan
berkeriut. Waktu bagi Zahara terasa berlalu bagai lama sekali; apalagi ia
tengah mencemaskan sesuatu. Beberapa saat kemudian, pintu pun terkuak dengan perlahan.
Ruangan di dalam sangat temaram, dan uap apak berebut menghambur keluar.
Beberapa saat kemudian baru Zahara dapat melihat wajah orang yang dicarinya
itu, dari pendaran cahaya matahari di luar. Wajah itu tampak sangat kuyu.
“Oh,
kamu.” Wajah itu tersenyum. Tapi lalu, “Kenapa kamu ke sini?”
“Ya,
pengen lihat Ajo.”
“Kamu
sudah pulang sekolah?” sambil berusaha melihat ke atas ke matahari dari balik
pintu, tapi kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya sendiri karena silau yang
terik.
“Ya
sudah, Ajo, kalau tidak mana mungkin Aza ke sini.”
“Kamu
sudah pulang ke rumah?”
“Ya
belum, Ajo.” sambil merentangkan kedua tangannya seolah-olah ingin mengatakan
bahwa kalau ia sudah terlebih dahulu pulang ke rumah tentulah ia sudah
mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah dan tentulah tas sekolah itu tidak
lagi menggelantung di pundaknya.
“Sebaiknya,
kamu pulang dulu.” Batuk-batuk lagi, berbarengan dengan suara teng-teng mangkok
gerobak bakso lewat.
“Aku
mau lihat Ajo. Sudah empat hari nggak jualan, katanya sakit.”
“Yaah,
beginilah. Oh ya, kamu mau masuk?” menoleh ke dalam ruangan gubuknya sebentar,
lalu, “Sebaiknya kita duduk di sini saja, di dalam panas dan bau. Kita duduk di
emperan sini saja.”
Yang
disebut Ajo dengan emperan adalah sekadar sebuah ruangan terbuka selebar satu
meter di depan rumah berjendela satu itu, dengan lantai bersemen retak-retak,
satu buah bangku panjang butut dari sekeping papan, dan tiga buah pot berkerak
di sisi lainnya dengan tumbuhan yang merana di dalamnya. Barangkali karena
musim kemarau yang belum berakhir dan air bersih di situ harus didapat dengan
cara membelinya per jerigen.
Yang
disebut dengan Ajo oleh gadis kecil itu adalah seorang lelaki setengah baya
dengan badan yang kecil untuk ukuran lelaki seusianya. Wajahnya sudah mulai
terpahati dengan keriput-keriput halus, dan jalannya selalu perlahan.
Sehari-hari Zahara mengenalnya sebagai penjual roti bakar di depan sekolahnya.
Dan menurut cerita orang-orang yang pernah didengarnya Ajo sudah berjualan
cukup lama di depan sekolahnya itu; mungkin sudah ada sepuluh tahun.
“Waktu
Ibu mulai buka kantin di sekolah ini, Ajo sudah jualan di depan sana.” Kata Ibu Kantin
yang mengaku sudah delapan tahun membuka tempat berjualannya.
Oleh
karena Zahara kurang memiliki teman, maka pada jam-jam istirahat Zahara suka
duduk-duduk di dekat tempat Ajo jualan, yang kebetulan di bawah sebatang pohon
mahoni muda yang teduh. Apalagi Zahara juga sekali-sekala suka membeli roti
bakar sandwich bikinan Ajo yang sangat enak itu – tentu kalau ia lagi
punya duit jajan. Atau kadangkala Ajo yang memberikannya secara gratis. Karena
itu mereka lantas jadi seperti berteman. Apalagi kalau lagi santai Ajo juga
suka bercerita berbagai macam, dan juga suka mendengarkannya bercerita. Ya,
kalau di sekolah justru seringkali kepada Ajo-lah Zahara suka menyampaikan curhat-nya
tentang berbagai hal. Entah tentang ia telah dimarahi guru, entah temannya yang
suka tak acuh kepadanya, entah tentang pelajarannya yang sulit-sulit. Bahkan
tentang kedua orangtuanya kalau ia lagi sebal kepada mereka.
“Sakit
Ajo parah nggak?”
“Enggak,
cuma batuk-batuk.” Lalu terdengar suara batuk-batuk.
“Kalau
enggak parah, kok lama sekali nggak jualannya.”
“Barangkali
cuma karena capek aja, Za. Jadi, perlu istirahat.”
“Ajo
sudah berobat ke dokter?”
“Sudah
makan obat.”
“Kira-kira
besok sudah bisa jualan?”
“Mudah-mudahan.
Kalau sudah sembuh.”
“Yang
pasti, dong.”
“Zahara
doakan aja, ya ….”
Saling
terdiam sebentar. Terik matahari di bawah atap berkarat itu menyentuh hingga
betis mereka. Lalu tiba-tiba Zahara seperti teringat sesuatu, dan segera
bergegas mengeluarkan bungkusan berplastik hitam dari dalam tasnya.
“Ini
ada kue untuk Ajo. Tadi aku beli di kantin.”
“Waduh,
terimakasih Zahara. Kamu baik sekali.”
“Kebetulan
masih ada sisa duit jajan kok. Ajo kan
juga sering kasih aku roti sandwich.”
Sambil
mengunyah kue yang pertama Ajo kemudian bertanya,
“Kamu
kok bisa tahu rumah Ajo?”
“Lho,
kan Ajo
sendiri yang kasih tahu.”
“Apa
iya? Tapi, seingat Ajo itu sudah lama sekali. Sudah berapa bulan? Lagi pula kan Ajo tidak
menunjukkannya secara langsung, cuma ngomongin aja.”
“Iya,
tapi waktu itu aku langsung mencarinya. Ketemu deh.”
“Oo.
Apa waktu itu Ajo ada di rumah?”
“Ya
enggaklah. Kan
aku langsung dari pulang sekolah. Ajo kan
masih jualan.”
“Oh
iya.” Kemudian, “Kamu enggak ikut makan kue ini?”
“Aku
masih kenyang.”
“Yah,
beginilah rumah Ajo, Za.”
“Enggak
jauh beda dengan rumah Aza.”
“Ah,
masa iya.”
“Bener.”
“Memangnya
papa Zahara kerjaannya apa.”
“Wartawan.”
“Oh
ya? Kan bagus
itu.”
“Tapi,
enggak ada duitnya.”
“Kenapa
kamu bilang begitu?”
“Habis,
tiap aku pengen minta dibeliin apa-apa, selalu jawabannya enggak
ada duit. Sebel!”
“Lho,
jangan gitu Zahara. Kan
tidak segala sesuatu yang kita harapkan itu bakal dapat langsung terkabul.
Mesti ada jalannya dulu.”
“Ajo
kok jadi ngomong kayak mama?”
“Apa
iya?”
“Iya.”
“Tapi
bagus, kan?”
“Bagus
apanya. Aku sudah bosan dengerinnya.”
“Iya
deh. Kalau begitu, sekarang kita cerita yang lain saja. Bagaimana sekolahmu
hari ini?”
“Sama
aja, membosankan.”
“Masa
sekolah bisa membosankan.”
“Maksud
Aza, nyebelin. Kayaknya enggak ada yang mau berteman dengan aku deh.
Tadi, Siska juga mulai menjauh kayaknya. Enggak mau lagi ikut kelompok. Masa
dikasih tahu supaya memegang teguh janji geng kok enggak mau. Kalau enggak mau
menaati, berarti enggak jadi anggota geng lagi, kan?”
“Ajo
sih kurang paham. Tapi kayaknya begitu, ya.”
“Ajo
kurang paham karena belum ngerti, atau belum memahami ceritaku.”
“Hm…,
kayaknya dua-duanya.”
“Ih,
nyebelin.”
“Na,
terus gitu, kan?
Masa enggak boleh orang belum paham atau belum mengerti.”
Tapi
Zahara terus diam, dengan wajah yang sedikit tertekuk di ujung bangku panjang
itu. Sudah cukup sering Ajo melihat wajah yang seperti itu. Karena itu ia sudah
cukup memahaminya. Ia juga sudah cukup memahami watak gadis kecil itu. Zahara
memang sering tampak seperti ingin mengendalikan suasana di sekelilingnya;
terhadap beberapa temannya misalnya, kalau mereka sedang bersama-sama. Ia
sering terlihat ingin menguasai percakapan, dan tidak suka dibantah. Juga
termasuk dalam hal-hal yang bersifat pengambilan keputusan dalam kelompoknya.
Secara keseluruhan ia tampak ingin dominan. Tapi anehnya, pada saat yang sama
Ajo juga dapat merasakan sepertinya gadis kecil itu takut sekali akan
kehilangan teman. Karena itu kadang-kadang ia melihat apabila sedang punya duit
jajan Zahara suka royal membelanjakannya bersama teman-temannya. Seakan-akan ia
ingin mengambil hati mereka, ingin membujuk mereka agar tetap menjadi temannya
dengan itu. Padahal pada saat yang sama ia sendiri ingin tampak dominan, yang
membuat beberapa di antara teman-temannya menjadi risih. Karena itulah tidak
mengherankan kalau Ajo melihat beberapa kali gadis kecil itu bertukar teman;
baik itu teman laki-laki, maupun teman perempuan.
Dari
penglihatannya Ajo tahu kalau gadis kecil itu sebenarnya tergolong mudah untuk
mendapatkan teman. Karena ia cenderung terbuka dan mudah masuk ke dalam
lingkungan dan suasana yang baru. Namun sayangnya pada saat yang sama ia
sepertinya selalu kesulitan dalam menjaga keutuhan pertemanannya setelah dengan
mudah ia mendapatkannya. Nampaknya bagi Ajo, gadis kecil itu seperti terkena
kutukan pepatah lama yang dulu pernah didengarnya, yang maknanya kurang-lebih:
kalau seseorang terlalu takut kehilangan sesuatu, ia justru suatu saat akan
kehilangan sesuatu itu.
“Kamu
punya kucing, Zahara?”
“Punya.”
Masih seperti malas Zahara menjawabnya.
“Siapa
namanya?”
“Emon.”
“Sudah
besar?”
“Sudah.
Pas waktu mau masuk SMP aku mendapatkannya.”
“Bagaimana
kamu mendapatkannya?”
“Maksud
Ajo?”
“Ya,
apa ada orang yang ngasih. Atau dibelikan papa. Atau kamu menemukannya
sendiri.”
“Aku
sendiri yang menemukannya. Waktu itu dia belum segede sekarang. Dia sering aku
lihat lewat di teras rumah. Kadang-kadang sedang main-main dengan kucing-kucing
lain. Bulunya halus dan cantik. Tiba-tiba aku jadi pengen memeliharanya.
Tapi waktu pertama aku panggil, dia langsung lari.”
“Terus
gimana ….”
“Besok-besoknya
aku panggil-panggil lagi, eh dia masih lari, meskipun kadang-kadang seperti ragu
karena aku lihat sekali-sekali sambil lari dia masih lihat-lihat ke arahku.
Suatu kali aku teriakin kuat-kuat, maksudku supaya dia denger dan
ngerti apa maksudku, sambil acung-acungin kue yang sedang aku
makan. Eh, dia malah tambah kenceng ngacirnya.”
“Ya
iya, dong. Terus gimana dia akhirnya mau jadi kucing kamu.”
“Ya,
akhirnya aku rayu aja. Aku bujuk-bujuk dia. Pelan-pelan aku deketin
sambil nunjukin kue. Akhirnya dia enggak lari lagi dan jadi jinak.
Akhirnya dia pun betah sama aku. Mau aku gendong-gendongin malahan.
Tapi, ada lucunya.”
“Oh
ya? Apa itu?”
“Enggak
tahunya dia itu kucing punyanya tetangga ujung gang. Jadi, induk kucingnya
beranak, terus punya anak empat, mati satu. Tapi akhirnya aku dikasihkan juga
anak kucing itu. Aku seneng banget!”
“Kamu suka
gendong-gendong kucing itu?”
“Iya.
Tapi dia jarang mau digendong lama-lama. Kalo dia sudah bosan, langsung
loncat. Kalau aku bersikeras tetap menggendongnya, dia malah marah, meskipun
sudah aku bujuk dengan mengelus-elusnya. Dia tuh ya, Ajo, juga paling sebel
kayaknya kalo tidurnya digangguin ….”
Tanpa
terasa waktu berlalu. Zahara masih asyik mengobrol dengan Ajo. Tapi tanpa
disadarinya di luar sana
ternyata telah terjadi sesuatu. Beberapa saat sebelum kepulangan-sekolahnya,
mamanya menjerit histeris di sebuah ruangan UGD
karena mendapati papanya sudah meninggal. Terdapat beberapa bercak darah di
sekujur tubuh itu. Menurut keterangan beberapa saksi, papa menjadi korban
tabrak lari. Sebuah mobil jip hardtop berwarna hitam berlari kencang dan
menyerempet belakang sepedamotor yang dikendarainya. Kendaraan papanya oleng,
lalu tumbang ke arah kiri. Malangnya pada saat yang sama sebuah angkot lewat
dan tak dapat segera mengeremnya. Akibatnya tubuhnya tertabrak dan sempat
terseret sejauh beberapa meter.
“Hardtop
hitam itu?” tanya seorang pelayat pada temannya yang menceritakan kejadian itu.
Di rumah duka itu memang sudah ramai pelayat datang, termasuk beberapa karyawan
sebuah suratkabar di mana papanya Zahara bekerja.
“Ya, tidak
ada yang tahu. Kabarnya habis menyerempet itu terus langsung kabur. Namanya
juga tabrak lari.” jawab temannya.
“Tak
ada yang mencatat nomor polisinya?”
“Tidak
tahu saya itu. Tapi kabarnya sudah dilaporkan ke polisi dan polisi sedang
mencarinya.”
“Kalau
yang angkot itu bagaimana?”
“Ya
sepertinya tidak bersalah, ya? Entahlah. Soalnya kan dia setelah diserempet hardtop
hitam itu baru terjatuh ke arah angkot. Jadi, angkot tak sengaja menabraknya, kan?”
“Eh,
tapi, saya dengar-dengar juga sepertinya ada unsur kesengajaan ya hardtop
itu menabraknya.”
“Saya
dengar juga begitu.”
Sementara
di dalam, mamanya Zahara sedang duduk di samping jenazah suaminya yang baru
selesai dikafankan. Perempuan berkulit putih itu terbata-bata membaca surah Yaa-Siin
dari sebuah buku kecil. Sesekali terlihat menyeka airmatanya yang berlinang.
Beberapa orang lagi duduk di sekitar jenazah. Kebanyakan juga sedang membaca Yaa-Siin,
atau pun doa-doa.. Ada
juga yang bersandar ke dinding. Kebanyakan di antara mereka adalah ibu-ibu.
Bangku-bangku dan meja di ruangan tengah itu telah dikeluarkan ke halaman depan
dan menjadi tempat duduk beberapa pelayat yang datang. Ya, suasana duka terasa
mengapung di rumah itu, seperti kabut pagi yang enggan pergi. Papanya Zahara
memang dikenal sebagai orang yang suka bergaul di lingkungan itu, sehingga
banyak orang mengenalnya. Pekerjaannya sebagai wartawan itu membuat ia dengan
mudah bergaul dengan orang-orang dan mereka rata-rata menyenanginya.
Setelah
selesai membaca Yaa-Siin untuk yang kesekian kalinya, mamanya Zahara
menoleh pada seseorang dan kemudian memanggilnya mendekat. Laki-laki muda itu
adalah pamannya Zahara, adiknya mamanya.
“Zahara
belum ketemu juga?”
“Belum.
Aku tadi sudah mencarinya ke sekolah, tapi sekolah baru saja bubaran. Aku tidak
menemukannya di sana.
Juga tidak di jalan yang biasa dia lewati.”
“Aduuh, ke
mana sih kamu Za?” Mamanya Zahara tersedan. Kedua bola matanya sejak tadi telah
memerah dan basah oleh linangan kesedihan. Seperti hulu sungai di pegunungan,
yang mengucurkan mata air yang bening, yang merembes di sela-sela bebatuan. Zahara,
di mana sih kamu? Perempuan muda itu sekali lagi memanggil anaknya. Ia ingat Zahara
gadis kecilnya itu selama ini sebenarnya kurang suka berjalan keluyuran.
Biasanya saat pulang sekolah ia akan langsung pulang ke rumah. Tetapi, kenapa
dia justru entah berada di mana di saat-saat yang seperti ini?
“Sabar,
Kak. Mungkin dia main ke rumah temannya. Aku sudah minta bantuan ke beberapa
teman untuk mencarinya. Mudah-mudahan sebentar lagi ketemu. Aku juga habis ini
mau pergi lagi mencarinya.”
“Tapi,
papanya ini sebentar lagi mau dibawa.”
“Iya,
aku mengerti. Sabar ya Kak, pasti sebentar lagi ketemu.”
Tapi
si paman kayaknya tak perlu repot-repot lagi mencarinya. Di depan, seorang
gadis kecil yang masih mengenakan seragam putih-biru SMP
dengan tas sekolah tersandang di bahu kanannya, tampak mendekati rumah itu
dengan ragu-ragu dan wajah yang kebingungan. Sejak masuk gang tadi sebenarnya Zahara
sudah heran dengan apa yang telah terjadi di lingkungan tempat tinggalnya ini.
Sebuah bendera putih bertulisan Arab berwarna hijau tampak melambai-lambai di
mulut gang. Jenis bendera yang cukup dikenalnya karena biasanya menandakan ada
orang yang meninggal. Lalu, di sepanjang gang beberapa tetangga yang melihatnya
tampak seperti memandangnya dengan aneh. Apa yang telah terjadi? Beberapa orang
yang dikenalnya, bahkan hanya melemparkan senyum yang tertahan. Ada apa, sih? Jantungnya
pun mulai berdegup dengan kencang, seraya mempergegas langkahnya. Lalu, ia pun
mulai dapat melihat keramaian yang lebih banyak lagi di depan rumahnya;
keramaian yang biasa ia lihat kalau di sebuah rumah ada orang yang meninggal
dan beberapa orang datang melayatnya. Sebuah karangan bunga lumayan besar
tampak tersandar di dinding sebuah rumah; tapi Zahara tidak melihatnya dengan
serius. Ada apa
sih? Hati Zahara tambah tidak keruan, tapi ia tidak berusaha untuk berlari
mengejar. Ia hanya mempergegas langkahnya. Apakah ada sesuatu yang telah
terjadi pada mama? Apakah mama sudah meninggal? Astaga. Tanpa tertahankan, di
depan rumah akhirnya ia berlari juga masuk ke dalam.
“Mama!”
[1] The
Matrix
(1999), berikut The Matrix: Reloaded (2000) dan The Matrix:
Revolution (2000) adalah trilogi film aksi-fantasi-futuristik karya
sutradara duo-bersaudara Larry dan Andy Wachowsky. Trilogi film ini meramu
sekaligus mengacak-acak antara dunia maya (jaringan komputer) dan dunia nyata.
Keanu Reeves yang aktor utama memerankan tokoh bernama Neo, semacam mesiah
(penyelamat) yang dinanti-nanti oleh umat manusia di masa depan. Trilogi film
ini banyak memunculkan kreativitas baru, baik dari segi cerita, visualisasi,
teknik perfilman, hingga ke teknik-teknik laga; yang kemudian diikuti oleh
banyak film sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar