Rabu, 02 Agustus 2023

 

SETIAP ORANG PUNYA PENDAMPING DARI ALAM GAIB, TAPI HANYA SEDIKIT SEKALI YANG MENGETAHUINYA, DAN LEBIH SEDIKIT LAGI YANG DAPAT BERINTERAKSI DENGANNYA. OLEH YANG TERAKHIR ITU KAMI DISEBUT SEBAGAI :

 

 

 Akuan

 

 


 SAMBUNGAN 2

Aku pun telah berdiri di tengah-tengah tanah lapang itu, setelah terlebih dahulu melepas jaket dan ransel bututku dan meletakkannya dengan hati-hati di atas kursi panjang yang kududuki tadi. Dalam dunia persilatan tidak ada identitas yang lebih meyakinkan daripada jurus-jurus silat itu sendiri. Setidak-tidaknya itulah ingatan yang kupahami dari pembelajaranku selama ini, serta dari komik-komik silat klasik yang sempat kugilai waktu sekolah menengah dahulu. Dari satu-satunya taman bacaan yang masih tersisa yang bertengger tak jauh dari kampungku itulah kemudian aku mengenal nama-nama Teguh Santosa, Jan Mintaraga, Hans Jaladara, dan lain-lain – para maestro pembuat komik. Meskipun dalam jilidan yang kusut, dan atau tak lengkap, dan atau halaman yang hilang, robek, buram, tak bersampul – dan bau.

Yah, Pak Tua, tenanglah berdiri di situ, aku akan mempertunjukkan jurus-jurus mautku!

Aku pun segera mengambil sikap tegak berdiri. Lalu menghormat takzim. Kemudian membuka langkah ….

Astaga! Aku lupa sesuatu!

Dengan agak malu, aku lalu tergesa melepas sepatuku dan melemparnya ke tepi begitu saja. Bukan karena silatku tak bisa bersepatu, tapi sekadar untuk menghormati Datuk Guru saja. Di kampung, kami selalu begitu.

Aku kembali membuka langkah, tubuh agak merendah dengan kedua lutut sedikit tertekuk. Sambil sedikit mengayunkan tubuh ke kanan aku menunjuk ke atas dengan jari telunjuk kananku, sedikit tegang dengan wajah menunduk, aku masih mencoba untuk berkonsentrasi, lalu dengan sedikit sentakan membuat gerakan mengayun mengikuti arah jarum jam, lalu telunjuk kiriku menunjuk tegas ke bawah, sementara kedua telapak kakiku belum lagi beranjak ke mana-mana.

Aku kemudian berdiri tegak kembali, dan mencoba tersenyum ramah. Kukira itu cukup. Tapi ternyata aku salah.

“Apa itu?” terdengar suara mengejek.

Aku agak jengkel juga. Masa Pak Tua itu tidak tahu? Tapi, aku akhirnya menjungkit kedua bahuku dan lalu kembali mengulang langkah-langkah pembukaan itu, berikut beberapa jurus awal yang standar-standar – tanpa kembangan-kembangan, kalau mengikuti istilah di dalam buku-buku komik itu. Tapi kupikir saat itu aku seperti terikut suasana juga, seperti dalam malam-malam Ramadhan seusai shalat tharawih di laman silek dekat masjid tua jauh di kampung sana. Sampai-sampai aku jadi ragu pada saat kapan aku harus menghentikan pertunjukan itu. Aku sudah bergerak-gerak dan berputar-putar kesana-kemari, meninggalkan alur-alur jejak seperti kuntum-kuntum bunga di atas permukaan tanah lapang itu, dengan beberapa titik-titik putik sari hasil hentakan kaki ketika melompat dan menghunjamkannya kembali ke muka bumi. Aku mungkin hampir kesurupan kalau tidak mendengar suara ini,

“Berhenti!”

 

Terdengar suara menggelegar, seperti dari kejauhan, tetapi begitu cepat dan kuat menghunjam telingaku. Aku seketika tersadar, dan segera menghentikan gerakanku. Tapi akibatnya aku terhuyung tanpa arah, berputar setengah lingkaran, dengan kaki bersilang hampir seperti mengunci sendiri. Bodoh! Aku berdiri kembali dengan tersipu malu. Membungkuk takzim, sempat kulihat lekukan bibir seperti tersenyum tipis dari Pak Tua itu. Wah – tersenyum tipis? Itu perkembangan yang bagus, bukan? Tapi sepersekian detik kemudian aku kecele. Bibir itu mengerut keras kembali, dengan sedikit irama seperti mengejek.

“Memang pangean bathino pandainya menari saja!”

Aku diam saja. Komentar yang kurang ajar – kalau adikku yang mengatakannya sudah kutampar dia. Tapi ada bagusnya juga: setidak-tidaknya ia sudah mengenal identitasku seperti yang diinginkannya.

“Tapi itu belum cukup!”

Belum cukup?

Kulihat Pak Tua itu kemudian masuk gelanggang.

“Aku harus mengujimu!”

Alamak! Ini yang kumaksud tadi dengan aku telah salah perhitungan. Aku diharuskannya bertanding dengannya! Apa-apan ini? Bagaimana mungkin silat empat tahun harus melawan silat empat puluh tahun?

Tapi Pak Tua itu sudah bersiap-siap. Kedua kakinya sudah kukuh memaku bumi. Lalu gerakan kedua tangan dan tubuhnya mulai terlihat membuka jurus. Gerakannya cepat, dengan hentakan-hentakan yang menimbulkan suara yang berdesir, pergesekan dengan udara yang mengakibatkan garis-garis angin yang mengiris tajam seperti mata pedang. Aku tak punya pilihan lain. Pak Tua ini jelas bukan model orang yang bisa diajak bicara mendayu-dayu, meratap-ratap bahwa hamba hanyalah seorang murid yang baru belajar dasar-dasar silat belaka sehingga tentu tak layak berlawan langsung dengan satu dari empat mahaguru. Karena itu aku pun dengan terpaksa bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Lalu Pak Tua itu mendadak saja bergerak cepat seperti ingin segera membobol jantungku. Aku tak bisa menghindar. Tapi entah karena meleset – atau disengaja – telapak tangannya tiba-tiba membuka dan berbelok membentur bahu kiriku. Seketika aku seperti merasa dihantam balok besar – berbarengan dengan perasaan tersengat listrik, meskipun tak semenyakitkan tadi. Aku terhuyung hampir terjengkang.

Pak Tua itu menghentikan serangannya dan menggeleng-geleng.

“Kau bikin malu Si Malin saja!”

Mendengar nama itu disebut, aku jadi teringat kembali. Aku pun jadi paham, kengerianku terhadap Pak Tua ini bukan semata-mata karena silat empat puluh tahun itu, melainkan juga karena pesan Pendekar Guru menjelang keberangkatanku itu.

“Beliau adalah seorang cindaku!”

Cindaku? Aku terkejut juga. Itu adalah sebutan yang siapa pun juga di daerah kami pasti pernah mendengarnya, tapi ia seperti hantu. Sebutannya jelas, cerita-cerita tentangnya selalu menakutkan, tapi tak pernah ada yang mampu membuktikannya, meskipun banyak yang mengklaim pernah menyaksikannya. Dan sekarang, Pendekar Guru sendiri, yang begitu kuhormati ini, tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa abang seperguruannya adalah seorang cindaku?

“Dan menurut pengetahuan yang kami dapat, cindaku tidak pernah cocok dengan akuan! Jadi kau harus berhati-hati, anakku.”

 

Sekarang aku rasa aku telah menggunakan belasan langkah untuk menghadapi serangan menggebu-gebu dari Datuk Guru, sementara beliau sendiri sepertinya baru menggunakan beberapa langkah atau jurus yang diulang-ulangnya saja. Meski begitu, aku tetap tidak mampu mengimbangi beliau, bahkan berulang kali tubuhku terjengkang atau terhantam pukulannya. Memang benar juga kata Pak Tua itu, ini jelas akan mempermalukan Pendekar Guru.

Silek atau Silat Pangean menurut Pendekar Guru sudah berusia ratusan tahun. Dan selama itu Silat Pangean sudah menorehkan nama yang harum dalam dunia persilatan – begitu kalau mau menggunakan istilah perkomikan. Namun begitu sayangnya pada masa lalu silat pangean kurang berkembang luas, karena bersifat tertutup dan hanya diturunkan pada orang-orang “lingkaran dalam”. Karena itulah, meski terkenal, silat pangean pada masa lalu sempat menjadi misteri – bahkan pun hingga masa kini sebenarnya. Mungkin mirip seperti cindaku itu: ceritanya ada, tetapi orang-orang sulit membuktikannya.

Ya, di negeri kami sesungguhnya memang ada begitu banyak misteri; bahkan pun untuk kami sendiri.

 

BERSAMBUNG

 

 

Tidak ada komentar: