Jumat, 18 Agustus 2023

 

SETIAP ORANG PUNYA PENDAMPING DARI ALAM GAIB, TAPI HANYA SEDIKIT SEKALI YANG MENGETAHUINYA, DAN LEBIH SEDIKIT LAGI YANG DAPAT BERINTERAKSI DENGANNYA. OLEH YANG TERAKHIR ITU KAMI DISEBUT SEBAGAI :

 

  Akuan

 

 


 

 SAMBUNGAN 4

 

Aku tak sempat mengucapkan kata-kata apapun.

Lagi pula apa yang harus aku ucapkan? Terimakasih? Untuk lebam dan bengkak dan nyeri seluruh badan ini? Jangan harap. Saat aku sudah setua kau nanti Pak Tua, kau yang akan kuhajar. Tunggulah.

Sekarang, di seperangkat sofa ini, aku ditinggal sendiri. Ruangan yang lapang dan sunyi. Satu hal aku sempat tersenyum, ini adalah bangunan yang menipu. Dari jalan tadi rumah ini terlihat seperti kecil saja, tetapi setelah kita masuk di dalamnya, ternyata luas sekali, bahkan berlantai dua, dengan sehalaman tanah yang cukup lapang di belakangnya. Aku menduga, mungkin persil lahannya berbentuk seperti leter L. Tapi, akh, siapa juga peduli. Yang jelas aku sekarang telah ditinggal sendiri.

Oh ya, Eman.

“Halo?”

Aku memanggil ragu, sembari celingak-celinguk ke sekeliling dalam ruangan. Di sofa dekatku duduk menggeletak ransel dan jaket bututku. Tak jauh di bawahnya di lantai, sepasang sepatu ketsku yang untungnya tidak butut. Tapi bau garam dan apak keringat mulai tercium oleh hidungku yang nampaknya mulai bekerja normal. Kaos T terasa lengket ke badan, juga penuh lengket dengan remah-remah tanah bekas bantingan. Celana jins apalagi, benar-benar sudah seperti jin – maybe. Jambul Superman-ku? Pasti sudah berubah menjadi jambul Hulk. Maka tak ada yang lain lagi yang segera kuinginkan selain mandi. Lambung ber-DJ-ria masih bisa menunggu.

Tapi tak ada yang merespons.

“Assalamualaikum!”

Aku mengubah taktik sambil mengeraskan suara. Masih tak ada reaksi dari siapa pun, atau bahkan apapun! Waktu mengucap itu aku teringat dengan sedikit geli, ternyata seringkali kita menggunakan kata-kata itu hanya sekadar dalam pengertian ‘hai, ada orang di sana?’ daripada pengertian yang sebenarnya ‘keselamatan untuk kamu’.

Tapi masih tak ada yang merespons.

Aku rasa, inilah finalnya. Aku akan berteriak sekuat-kuatnya memanggil nama itu, sebagaimana yang telah diamanatkan Pak Tua itu. Tapi, begitu aku hendak meneriakkan namanya, mas yang tadi muncul dari balik ruangan tengah dengan sikap yang sudah sangat berubah. Tidak lagi tampak sengak seperti tadi. Wajahnya bahkan cenderung terlihat sedikit lebih pucat – mungkin karena kurangnya lampu penerangan di dalam ruangan ini? – sedikit gemetaran sepertinya, dan kedua tangannya bersedekap takzim. Seperti sedang menghadap seorang ketua mafia saja.

“Wa …., waalaikum salam, Tuan.” sahutnya sambil tergopoh-gopoh mendekat, tapi tidak lebih dekat dibanding guci besar di balik sofa itu. “Ka…, kalau Tuan sudah ingin makan, semua sudah tersaji di meja makan sebelah sana, Tuan.”

Sirna sudah sikap cueknya tadi, hilang entah ke mana. Apakah perubahan itu terjadi karena sekarang sudah jelas baginya bahwa bagaimana pun aku punya hubungan tertentu dengan bosnya? Aku menggeleng kecil, membayangkan sifat kebanyakan manusia, menilai manusia lainnya bukan dari kemanusiaan orang itu sendiri, melainkan ada-tidaknya kaitannya dengan sesuatu yang lain, atau setidak-tidaknya dengan manusia lainnya. Sekarang dia telah memanggilku dengan embel-embel ‘tuan’; seperti zaman kolonial saja. Kalau mau konsisten harusnya loe manggil gua ‘Tuan Muda’!; gerutuku, setengah kesal setengah senang.

“Mas Eman, kan?” aku sok memastikan.

“Saya, Tuan.”

“Boleh tolong tunjukkan kamar untuk saya? Saya ingin mandi dulu,” aku berlagak menunjukkan kekumalanku, “mungkin setelah itu baru makan.”

“Oh, tentu Tuan. Mari, saya tunjukkan.”

 

Kamar itu berada di lantai dua. Berukuran cukup besar dengan beberapa perlengkapan kamar tidur yang sudah lengkap, termasuk televisi. Kamar mandinya ada di dalam, sehingga aku tidak perlu repot dan sungkan. Aku pun kemudian segera mandi dengan guyuran pancuran yang menyegarkan. Rasa pegal dan sakit-sakit di sekujur tubuh pun segera terasa seperti ikut lungsur terbawa aliran air bersama sabun dan sampo. Kurasa aku mandi agak berlama-lama kali itu. Bukan saja karena menikmati kesejukan dan kesegaran air yang memancur, tapi lebih karena saat sedang mandi itu aku juga sempat memikirkan kejadian apa yang sebenarnya sudah terjadi di penghujung pertandingan tadi. Itulah jeda waktu yang seperti hilang dari dalam ingatanku – rasanya persis seperti kehilangan satu paragraf tulisan yang di-tipp-ex pada selembar halaman buku sejarah. Yang masih kuingat terakhir dari rangkaian peristiwa itu adalah menggelegarnya kata ‘cukup’ di tengah-tengah laga tanding kami – yang sebenarnya juga sudah samar-samar kuingat bagaimana jalannya, lalu tiba-tiba saja saat terjaga – atau teringat atau tersadar kembali? – aku sudah duduk di atas sebuah bangku sofa, bukan berdiri di gelanggang bertanah kuning.

Apakah itu berarti aku telah mengalami kekalahan? Pada saat-saat terakhir itu Pak Tua itu sudah bosan dan begitu saja mengakhiri pertandingan dengan memukul roboh diriku dengan begitu mudahnya yang membuat aku kemudian kehilangan kesadaran? Aku rasa itu adalah penjelasan yang paling logis, mengingat bagaimana sebenarnya ketinggian silat mahaguru Datuk Rimau Sati jauh berjenjang-jenjang di atas kemampuan silatku. Kalau beliau benar-benar bermaksud melumpuhkanku, sejak awal-awal tanding tadi ia dapat dengan sangat mudah menepuk lumpuh diriku. Mungkin takkan lebih sulit dibanding menepuk lalat.

Tapi itu tidak dilakukannya. Beliau justru seperti bersengaja bermain-main silat denganku, dengan mengulang-ulang kembali beberapa kali langkah-langkah silatnya – meski aku masih tetap saja terpelanting dan terjengkang. Sikapnya tidak seperti sedang menguji – seperti yang kubayangkan semula, tetapi justru – dan ini baru kusadari agak lama kemudian – seperti seorang guru yang sedang memberikan pelajaran dan pelatihan silat. Yah, inilah agaknya kenapa sepertinya aku kian lama kian dapat mengimbangi langkah-langkah silat beliau. Bukan dalam arti aku benar-benar mampu mengimbangi kemampuan silat beliau – itu jelas mimpi, melainkan aku mampu mengimbangi gerakan-gerakan langkah silat beliau.

Tetapi tunggu – sepertinya bukan begitu. Aku merasa seperti ada paradoks di sini. Semacam kurva yang terbalik yang tak seharusnya – atau semacam itulah. Jelas kemampuan silatku kalah jauh bila dibandingkan dengan beliau. Pelajaran dan pelatihan intensif selama beberapa puluh menit tentu tak akan dengan serta-merta meninggikan tingkat kemampuan silatku. Karena itu, seharusnya semakin tinggi Pak Tua itu meningkatkan serangannya seharusnya semakin mudahlah ia mengalahkanku – walaupun ia tak bermaksud demikian. Tetapi dalam ingatanku yang samar-samar itu, seharusnya saat aku mencapai ‘puncak’ kekalahanku, yang terjadi justru sebaliknya karena aku tahu Pak Tua itu justru kulihat kian menjadi repot dan kesulitan untuk benar-benar mengalahkanku. Seperti sebiji neutron, yang meledak tiba-tiba dengan sangat dahsyatnya setelah mengalami hantaman yang bertubi-tubi dari sinar-sinar elektron …; kalau pelajaran fisikaku benar.

Ini mengingatkanku seperti kejadian itu ….

Pet!

BERSAMBUNG

 

 

 

Tidak ada komentar: