Dari Pada
Daripada
Oleh gde
agung lontar
Ada satu
[atau barangkali dua] kata yang konon menjadi salah satu ciri khas dalam
berbahasa Indonesia sepanjang masa Orde Baru, yang kian menjadi kontroversi
yang bertelingkah dengan dunia politik di penghujung masa-masa itu, dan di awal
“Orde Reformasi”. Bahkan kata itu pun kian melambung popularitasnya (atau
justru barangkali sebaliknya) ketika monologis
(atau monologwan?; untuk penyebutan
orang yang melakukan pementasan monolog, belum ada di KBBI) Butet Kertaradjasa
berkali-kali mementaskannya dengan artikulasi dan intonasi yang begitu kental
mengingatkan kita pada sosok Soeharto, satu-satunya presiden Indonesia di masa
Orde Baru. Penulis juga sempat terpesona dengan fenomena itu, sehingga juga
sempat menggunakannya secara melebih-lebihkan atau juga ironik (bukan “ironis”; sebangun dengan “kritik” atau “praktik”)
dalam beberapa cerpen atau novel. Belakangan baru Penulis sadari bahwa sudah
ikut terbawa arus yang keliru. Lupa pada “tradisi” di lingkungan sendiri.
Itulah kata depan atau proposisi daripada.
Ya,
hanya sebuah preposisi komparatif daripada.
Namun
ternyata tidaklah sesederhana kelihatannya, karena pada praktiknya preposisi
ini penggunaannya berkelindan dengan preposisi dari, daripada, dan yang
nampaknya terlewatkan oleh para linguis gabungan kata dari pada. Kelindan [dalam resam Melayu dapat juga bermakna “benang
kusut”] ini terjadi antara bahasa lisan dan tulisan, pengetahuan berbahasa para
penuturnya, dan tumbuh-kembang bahasa itu sendiri [termasuk persoalan kebakuan]
yang dalam hal ini adalah Bahasa Melayu-Indonesia.
Nampaknya
dari[pada] mendapatkan perhatian yang
cukup istimewa dari para linguis, sekaligus agaknya juga memeningkan kepala. Ada
beberapa bahasan khusus datang dari mereka soal ini, bahkan sejak masa ilmu
linguistik bermula lagi. Namun nampaknya mereka semua terjebak hanya pada dua
soal saja, yaitu persoalan kekacauan penggunaan bentuk dari dan daripada, dan
persoalan ragam lisan dan ragam tulisan. John Verhaar menulis cukup
panjang-lebar soal ini yang dimuat dalam Kajian
Serba Linguistik, namun inilah di antaranya yang akan kita coba bahas.
John
Verhaar memulai tulisannya dengan mengatakan bahwa “Bahasa Indonesia modern
memperlihatkan adanya perubahan yang tengah berlangsung pada pemakaian
preposisi dari dan bentuk yang lebih
lama daripada”. Pernyataan ini saja
sudah menunjukkan Verhaar sepertinya sudah langsung menghakimi bahwa penggunaan
kata dari adalah [semata-mata]
merupakan penyederhanaan dari bentuk lama daripada;
dan ini mengakibatkan ia membatasi dirinya sendiri secara tidak perlu. Dia juga
selanjutnya menyatakan bahwa dari(pada
[bertugas] memarkahi konstituen komplemen apa saja yang lazim untuk
keposesifan, asosiasi, jarak, asal, pemisahan, penggantian ... dst; yang
kesemuanya dapat tercakup hanya dalam lema dari
dalam KBBI 2002. KBBI itu sendiri hanya menampilkan lema daripada sebagai partikel preposisi menandai perbandingan.
Soedjarwo
pula (1994:102-104) menunjukkan ada beberapa kesalahan penggunaan daripada yang sering kita jumpai dalam
pemakaian bahasa Indonesia. Hal ejaannya yang ditulis terpisah (dari pada) yang seharusnya serangkai (daripada), tanpa beliau menganalisis
kemungkinan ada perbedaan makna atau maksud yang dikandungnya; serta beberapa
kesalahan lainnya yang pada umumnya dalam konteks tekstual.
Tergoda
dengan Verhaar yang menganalisis beberapa teks klasik [dalam kaitan tesisnya di
atas] dalam hal pemakaian kata dari
dan daripada dengan beberapa kategori
linguistik yang tentulah rumit bagi awam semacam Penulis, maka Penulis juga
bermaksud melakukan hal yang sama, hanya saja secara lebih sederhana dan hanya
dalam konteks tulisan ini.
Dalam teks
Hikayat Hang Tuah (HHT) (1978: 51-90)
Penulis mendapatkan kata dari untuk [penggunaan
preposisi] komparatif frekuensi pemakaiannya adalah 0 (nol), sebagai [preposisi
pemarkah] muncul 17 kali; sementara untuk kata daripada sebagai komparatif 4, dan pemarkah 26. Menariknya muncul
juga bentuk dari pada sebagai
pemarkah 2. Dalam teks Sulalatus Salatin
(SS) (1986: 1-66 dari 312 hal.) didapatkan frekuensi penggunaan kata dari sebagai komparatif adalah 0 (nol),
sebagai pemarkah 43; sedangkan daripada
sebagai komparatif 5, sebagai pemarkah 50; tidak ditemukan penggunaan bentuk dari pada. Dalam teks Tata Bahasa Melayu (TBM) (1985: 1-90
dari 210 hal.) penggunaan dari
sebagai komparatif 4, sebagai pemarkah 108; sedangkan daripada sebagai komparatif 9, sebagai pemarkah 5; juga tidak
ditemukan penggunaan dari pada. Dari
suratkabar Warta Malaya (WM) 24 Mei
1934 (h: 5) hanya ditemukan penggunaan daripada
sebagai pemarkah 5 kali. Dari Editorial suratkabar Saudara (SA) 27 Juli 1935 (h: 6) ditemukan penggunaan daripada sebagai komparatif 1, dan
sebagai pemarkah 10. Terakhir, dari Majalah
Guru (MG) edisi Januari 1935 (h: 17-18) hanya ditemukan daripada sebagai komparatif 1, dan
sebagai pemarkah 4.
Apa yang
dapat dimaknai dari data-data kuantitatif di atas? Yang begitu menonjol adalah
begitu tingginya penggunaan “preposisi” daripada
sebagai pemarkah, yang jelas menyalahi kaidah bahasa terkini. Namun ini
barangkali bisa dimaafkan karena yang dikaji adalah teks-teks klasik, mengikuti
[tesis] Verhaar. Tetapi kadang-kadang yang terlihat bukanlah yang sebenarnya.
Setelah ada permasalahan antara ragam lisan dan tulisan, ada persoalan ragam
tulisan yang bagaimana, sampai kepada persoalan yang “kecil dan remeh-temeh
serta teknis” semacam proses penyuntingan, layout,
cetak, hingga sekadar kebiasaan.
Kalau
data kuantitatif di atas disusun dalam bentuk tabel, dengan menggunakan kaidah
berbahasa terkini, maka dapat ditetapkan garis diagonal kesalahan pada matriks dari sebagai komparatif dan daripada sebagai pemarkah, analisisnya
menjadi: HHT 26/21 (salah/benar), SS 50/48, TBM 9/117, WM 5/0, SA 10/1, dan MG
4/1. Dari analisis ini terlihatlah selain TBM, tingkat kesalahan dalam konteks
kaidah terkini sangat menonjol; bahkan juga bila ingin dibandingkan dengan
teks-teks [yang setara] terkini. Namun persoalan ini bila ingin lebih jelas,
tentu harus dikaji secara lebih mendalam lagi.
Semisal,
teks HHT dan SS pada awalnya, atau naskah aslinya, ditulis dalam bentuk tulisan
Arab-Melayu/Jawi. Kemudian terjadi proses transliterasi ke abjad Latin, yang
pada masa itu juga masih berkelindan dengan pengembangan tulisan Jawi (tinjau A
Samad Ahmad & van Wijk) dan pembakuan/konsensus proses transliterasi. Dalam
abjad Latin yang ditulis daripada
kemungkinan besar menjadi prolema bila ditinjau kembali ke naskah Jawi-nya. Maka,
oleh si pengalih-aksara, mungkin menjadi tidak jelas benar konteksnya sebagai
komparatif ataukah pemarkah. Lalu, terbitan-terbitan cetak ulang, edisi revisi,
atau bahkan edisi yang “lebih baru dan lebih komprehensif” semacam SS ini,
jelas-jelas tak bisa dinafikan akan terjadi “kontaminasi” atau bahkan yang
dimaksudkan sebagai “pembetulan”.
Di
antara teks klasik yang dikaji di atas, menariknya (atau mungkin tidak), TBM
yang memiliki tingkat kesalahan paling kecil. Ini mungkin sudah seharusnya
karena ia adalah sebuah buku tata bahasa (bahkan keterlaluan kalau masih ada
kesalahan!; kata si perfeksionis). Artinya, meskipun buku ini terbit pertama
kali tahun 1909, van Wijk tidak terpengaruh sama sekali dengan “hiruk-pikuk
kesalah-kaprahan di sekelilingnya”. Ini di samping yang telah disebutkan, juga
barangkali ada kaitannya dengan tingkat pendidikan dan lingkungan kondusif
penulisnya, serta dicetak di Batavia.
Mari kita
sedikit mengulas tentang “kesalahan” TBM itu. Preposisi dari sebagai komparatif keseluruhannya ditemukan di halaman 75.
Satu contoh adalah: “... misalnya membaiki,
lebih banyak dipakai dari membaikkan ....” Sedangkan daripada sebagai pemarkah satu contohnya
adalah: “... – kedua, bahwa orang Melayu, biarpun pada pokoknya ia taat kepada
ketentuan tersebut, namun menyimpang daripadanya
secara sembarangan ....” (h: 28). Namun, di TBM juga kita menemukan preposisi daripada digunakan sebagai komplemen
pemarkah lain (Verhaar dalam KSL h:
400), seperti contoh: “Memang huruf [Jawi], pada saat ketiga-tiganya bertugas
sebagai konsonan, tidak lain daripada
wakil bagi bunyi a, oe dan i ....” (19).
Meskipun buku yang dikaji ini adalah cetakan tahun 1985,
namun kita boleh lega kemungkinan campur-tangan karena penerjemahnya sudah
mengatakan bahwa “Sudah sewajarnyalah bahwa dalam menerjemahkan karya tersebut
kami telah berusaha sebanyak mungkin untuk menyampaikan isi aslinya kepada para
pembaca di Indonesia” (h: XIII).
Dari Pada
Menariknya,
dari teks-teks yang dikaji di atas, HHT adalah satu-satunya yang menggunakan
gabungan kata dari pada dalam
penggunaan sebagai pemarkah – menyimpang dari “tren” masa itu; meskipun dari 39
halaman yang dikaji itu hanya ditemukan dua kali, dan diikuti dengan 26 kali “kesalahan”
penggunaan daripada sebagai pemarkah.
Apakah itu hanya sekadar kebetulan, “salah edit, atau cetak”? Agaknya patut
diduga demikian. Meski demikian, mari kita coba lihat kedua contoh baik yang
tampaknya tak sengaja itu. Di hal 66 “... maka dirajakan oleh Mamak Bendahara
pada negeri Bintan, kemudian dari pada
itu, maka kita pun kerajaan pula di Melaka ini, ....”; dan di hal 84 ”Hai
Saudaraku, keris ini keris aku, dianugerahkan oleh Batara Majapahit, sebab
itulah maka kuambil pula dari padamu.”
Persoalan
daripada yang muncul sebagai
preposisi pemarkah dalam teks, sehingga mengganggu posisi daripada yang nampaknya sudah “pakem” sebagai preposisi komparatif,
adalah barangkali sekadar masalah konsensus dalam bentuk ragam tulisan. Mungkin
juga perlu diingat bahwa bentuk dari[pada]
sebagai pemarkah nyaris hanya muncul [pada mulanya] dalam ragam lisan; termasuk
HHT. Ia biasanya muncul sebagai “pemarkah kepemilikan” atau juga “pemarkah
jeda”.
Verhaar
sendiri sebenarnya sempat menyinggung fenomena ini. Katanya: “Mereka juga
sering memakai dari(pada) sebagai
alat pemerpanjang waktu untuk menemukan N2 dan dengan demikian pemakaian dari(pada) itu mirip dengan ‘eh...’.”
(h: 398). [Penulis lebih cenderung mirip dengan “e....”-nya Moerdiono].
Lanjutnya lagi: “Saya yakin bahwa dapat diterima keberatan dari sudut gaya bahasa terhadap pemakaian dari(pada) yang memang redundan dan/atau
berfungsi sebagai jeda karena belum jelas N2-nya itu.” (h: 398); yang kemudian
diulangnya lagi di halaman 419. Demikian juga dengan Prof. Soedjarwo yang
mengatakan: “Dalam pemakaian bahasa Indonesia secara lisan daripada sebagai penanda hubungan milik sering sekali digunakan
.... Tujuan penggunaan kata perangkai tersebut ialah untuk mengulur-ulur waktu
sambil memikirkan kata-kata lain untuk melanjutkan pengungkapan gagasannya.” (h:
104).
Maka
menurut Penulis, barangkali kita dapat mengambil jalan tengah sebagai konsensus
di mana ditahbiskannya sebuah gabungan kata dari
pada dalam ragam tulisan untuk dari[pada]
sebagai preposisi pemarkah, yang lebih spesifiknya, sebagai “pemarkah
kepemilikan” atau juga “pemarkah jeda”. Namun ini digunakan hanya untuk kutipan
langsung percakapan (bagaimana pun kita tidak bisa membakukan gaya bicara,
kecakapan, aksen atau logat orang bukan?). Sedangkan untuk narasi, hal demikian
adalah “haram”.
Dengan
demikian, sebagai contoh di dalam HHT teks dialog/ucapan yang lebih tepat
adalah “Hai Si Jebat durhaka, jika engkau berani turunlah engkau dari pada istana Tuanku ini, supaya aku
penggal lehermu!” (58). Sedangkan pada narasi “Maka destar dari emas yang bepermata itu pun dipakainya.” (58). Menariknya,
Verhaar justru memberikan penyelesaian yang menurut Penulis masih bermasalah. Ia
memberi contoh untuk hanya menggunakan dari
sebagai pemarkah pemilik (yang diakuinya sendiri kebanyakan akan berkasus
redundan/berlebih-lebihan) yaitu: “Seorang anggota Polri juga seorang ayah (dari) anak-anaknya, dan suami (dari) istrinya.” (h: 418). Kiranya
apabila ini merupakan ucapan, dapat diterima dalam bentuk “Seorang anggota
Polri juga seorang ayah dari pada
anak-anaknya, dan suami dari pada
istrinya.”; atau apabila narasi mungkin lebih elok ditulis “Seorang anggota
Polri juga seorang ayah oleh
anak-anaknya, dan suami oleh
istrinya.” Sedangkan apabila tanpa preposisi sama sekali, kalimat itu akan
menjadi seperti ular yang tak jelas mana ekor mana kepalanya.
Nah,
ternyata hanya satu kata ini saja sudah bikin pusing, bukan?
Payungsekaki, 230415.
BAHAN BACAAN :
Ahmad, A Samad. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. keempat, 1986.
Editorial suratkabar Saudara edisi 27 Juli 1935 (h: 6);
diunduh dari internet.
Hikayat Hang Tuah.
Jakarta: Departemen P&K, 1978. Diterbitkan seizin PN Balai Pustaka, disalin
dari naskah tulisan tangan huruf Arab kepunyaan Koninklijk Bataviaasch
Genootschap.
Huma. “Wayang Bangsawan
Melayu” dalam Warta Malaya edisi 24
Mei 1934 (h: 5); diunduh dari internet.
KBBI edisi ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Meja Kelang. “Adakah
Orang Melayu Maju?” dalam Majalah Guru
edisi Januari 1935 (h: 17-18); diunduh dari internet.
Soedjarwo. Beginilah Menggunakan Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, edisi revisi 1994.
Verhaar, John.
“Preposisi Dari: Sebagai Pemarkah
Keatributifan?”. Kajian Serba Linguistik:
untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Gunung Mulia dalam kerjasama
dengan Universitas Katolik Atma Jaya, 2000.
Wijk, D Gerth van. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan,
1985. Diterjemahkan oleh TW Kamil dari edisi cetakan ke-3, 1909.
Publikasi #1 Riau Pos, 03 Mei 2015, h: 28.
Tulisan ini adalah versi lengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar