Senin, 01 Juni 2015

CERPEN "Mencuri Melayu"

Gedung Idrus Tintin Tak Berkepala !





Mencuri Melayu
Cerpen   gde agung lontar

            Berita  menggemparkan di negeri kami kian menjadi-jadi. Belum lama berselang beredar kabar Candi Sintong lesap tak berasap. Media massa yang bertambun itu pun hiruk-pikuk, belum lagi ditambah kicau dan racau di laman maya. Berbagai komentar dan tanggapan berhamburan, berlusin-lusin analisa dan praduga mengemuka, tak kurang-kurang pula rasa percaya tak percaya. Bagaimana mungkin bangunan candi yang masif dan pastilah beratnya berton-ton itu bisa menghilang dengan tiba-tiba?
            “Kalau dicuri jelas tak mungkin.” bantah petugas penjaga situs. “Tak ada bekas jejak mencurigakan apa pun di sekitar situs. Segala batu dan bata itu kan beratnya ratusan ton. Berapa truk harus disediakan. Membongkarnya juga pastilah lama sekali. Tak mungkin, kan? Lagi pula saya selalu mengawasinya. Tak mungkin, lah.”
            “Habis, apa yang terjadi?”
            Tak ada jawaban yang pasti. Ada yang bilang, jangan-jangan jin yang sudah melakukannya. Atau alien dari luar angkasa. Atau lindap ke dalam bumi begitu saja. Ada pula yang bercuriga itu sekadar hasil konspirasi petugas sendiri. Maklum, mereka konon gajinya kecil-kecil.
            Sudah cukup lama sebelum itu sebetulnya negeri kami sudah dihumbalangkan dengan berbagai berita dan isu yang mengharu-biru serupa itu. Kalau tak salah ingat agaknya dimulai dengan lenyapnya Tugu Satu Milyar Barel di Duri, yang tak lama kemudian disusul dengan saudaranya yang dua milyar barel. Perusahaan minyak itu pun sempat heboh, menuduh kesana-kemari, tapi kemudian segera senyap. Agak lama berselang, tiba-tiba tersiar pula kabar Musium Sang Nila Utama kemalingan. Segala benda dan artefak yang memanglah tak seberapa itu melayang dalam semalam. Akibatnya, tiga hari kemudian kepala musium itu dipecat. Tapi berita heboh segera bersambung ketika dari pelosok-pelosok daerah perusahaan-perusahaan tambang batubara mengabarkan bahwa deposit-deposit batubara mereka yang sudah ditumpuk menggunung dan siap dijual itu tiba-tiba juga ikut melayap entah kemana. Perlu puluhan ribu dumptruck untuk melakukannya dalam semalam; dan itu jelas tak mungkin dilakukan manusia.
            Maka, sejak itu segala petinggi negeri pun rapat rapat dan rapat. Karena bukan itu saja, yang kecil-kecil pun bersepah terjadi di sana-sini. Laporan-laporan aneh dan membingungkan (bahkan kadang-kadang mengesalkan) dari masyarakat mulai bertimbun. Dari laporan tentang hilangnya tiba-tiba tulisan Arab-Melayu di berbagai plank nama jalan dan kantor-kantor pemerintahan tanpa ada jejak bekas hapusan, lesapnya ornamen relief kearifan Melayu di Gedung Perpustakaan Soeman HS, melayangnya atap bumbung panjang Gedung Anjungan Idrus Tintin hingga ternampak macam orang tak berkepala, gaibnya seluruh teluk belanga serta songket dan batik tabir dari lemari-lemari pakaian sampai ke pasar-pasar dan butik-butik, sampai kepada menguapnya buku-buku yang berisi apa saja hal tentang Melayu. Itu dimulai dari buku pelajaran di sekolah, yang setiap ada yang menerakan hal tentang Melayu, konon perlahan-lahan memudar sampai menjadi kertas putih belaka hanya dalam 33 detik! Juga menghilangnya buku-buku Gurindam 12 Raja Ali Haji, sampai kepada buku-buku tunjuk-ajar Tennas Effendi yang terbaru sekali pun.
Para petinggi negeri pun sebenarnya juga tak kalah runsingnya, karena sejak kejadian-kejadian itu, mereka tiba-tiba tidak lagi dapat berpantun, baik di awal maupun di akhir pidato. Kalau pantun itu ada di naskah, dia lenyap begitu akan dibaca. Kalau si petinggi kebetulan hafal, dia lemau di ujung lidah. Apa tak malu, tu.
            Sebelum lagi para petinggi itu menemukan solusi, peristiwa kian menjadi-jadi. Kemudian lenyaplah pula segala panglong yang tersisa – lagi-lagi dengan tiba-tiba. Sudahlah tak ada lagi kayu hutan untuk dipelasah, tempat untuk mengolah pun ikut pula musnah. Di lain pihak, berjuta-juta tandan buah elaeis macam dicuri ribuan ninja sawit dalam semalam. Lalu dari Taluk muncul pula kabar bahwa tapak Kerajaan Kandis yang diduga situs pemukiman eksodus eks Kemaharajaan Atlantis itu pun telah sirna pula. Dan berita-berita pun kian meledak dengan laporan perusahaan minyak tentang hilangnya satu per satu pompa-pompa angguk mereka.
            Petinggi negeri kemudian akhirnya mengudang para pemuka masyarakat; tokoh-tokoh agama, para tokoh adat, dan kaum cerdik-pandai. Tersadar masalah rupanya tak lagi dapat mereka selesaikan sendiri, tak juga dapat sekadar diselipkan di bawah tikar. Di ballroom hotel bintang lima itu mereka berkumpul, tapi sekali ini ada yang ganjil. Tak macam biasanya, tak satu pun di antara orang-orang patut itu yang terlihat menggunakan pakaian adat semacam teluk belanga dan songket batik tabir. Macam mana tidak, kan semua sudah hilang entah dicuri!
Maka, pertemuan pun dimulai. Malu tak lagi dapat berpantun apalagi pepatah-petitih, acara pun segera saja masuk ke inti persoalan.
            “Jadi, dari sebentangan masalah mustahil yang sudah disampaikan tadi, apa yang dapat kita lakukan? Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Bagaimana kita dapat mengatasinya? Bagaimana kita mencegahnya?”

* * *

            Tapi aku tak tahu lagi bagaimana kesudahannya perundingan para peneraju negeri itu. Lagi pula aku tak begitu peduli. Sejak hilangnya berbagai artefak, benda-benda, dan segala harta-kekayaan negeri kami baik yang berbentuk maupun tidak itu; memang telah menjadi pembicaraan pula di antara aku dan kawan-kawanku. Apa yang sudah terjadi? Siapakah yang mencurinya? Siapa yang telah merampas kekayaan Melayu kita?
            “Tak mungkin jin dan mambang.” bantah Leman Tonjang pula. “Itu sudah menjadi masa lalu.”
            “Juga tak mungkin alien.” tambah Kadir Tonggeng tak mau kalah. “Itu masih di masa depan nanti.”
            “Habis siapa?” tanya Wan Deraman yang memang selalu bertanya.
            “Lindap tenggelam tak mungkin juga.” lenguh Awang Teleng heran. “Tak mungkin bumi memilih-milih. Kita pun bisa tenggelam, kan?”
            “Siapa lagi lah kalau bukan orang.” kataku tiba-tiba.
            “Orang mana?” tanya mereka serempak.
            “Orang luar lah. Siapa lagi?”
Terdengar suara gumaman ramai.
            “Ah, tak mungkin lah tu.” bantah suara ragu.
            “Tak mungkin macam mana.”
            “Kan tak ada jejak apa pun yang menjadi bukti kalau itu perbuatan manusia.”
            “Memanglah tak perlu jejak apa pun. Itu hanya untuk orang bodoh. Dengan teknologi masa kini semua menjadi mungkin.” aku berkata pasti.
Kembali suara gumaman ramai.
            “Sekarang begini,” kataku kemudian, “semua harta kekayaan kita telah dicuri oleh orang luar. Tak banyak yang tersisa lagi. Apa yang harus kita lakukan?”
            “Kita tangkap mereka!”
            “Ya! Kita tangkap dan penjarakan mereka!”
            “Kita suruh mereka mengembalikan lagi semuanya!”
Suara ramai memekakkan telinga, seolah-olah ingin menjadi pahlawan kesiangan semua. Aku tertawa-tawa.
            “Tak perlulah itu. Payah orang macam kita ni untuk melakukannya.”
            “Habis?”
            “Kita ikut mencuri saja!”
            “Apa?”
            “Ya, daripada semua habis dicuri oleh orang-orang luar itu, sementara kita hanya memandang-mandang saja sampai liur terburai-burai, baguslah kita ikut juga mencuri di sini. Paling tidak kita pun masih bisa ikut menikmatinya.”
            Itu pembicaraan aku dan kawan-kawanku beberapa minggu yang lalu. Hasilnya, Candi Sintong itulah – yang sekarang telah berganti menjadi lembaran-lembaran rupiah di tangan. Kami pun tertawa-tawa, bergembira-ria, berpesta-pora, berfoya-foya; membayar segala kemelaratan dan ketertindasan kami selama ini.
            Esok satu lagi tapak yang sangat purba dan sangat mahal akan menjadi sasaran kami: Candi Muara Takus.
Payungsekaki, 041114.
: AT.
[Publikasi #1: Riau Pos, 01 Maret 2015]

Tidak ada komentar: